Transformasi dan Dinamika Otentisitas dalam Lanskap Pariwisata Budaya Global
Mendefinisikan Lanskap Pariwisata Budaya Global Abad ke-21
Pariwisata budaya telah menegaskan dirinya sebagai sektor yang sangat penting, tidak hanya sebagai aktivitas rekreasi semata, tetapi juga sebagai motor penggerak ekonomi dan sosial yang signifikan bagi banyak negara di seluruh dunia. Evolusi pariwisata budaya ini erat kaitannya dengan fenomena pariwisata global yang mengalami tahapan difusi geografis yang terstruktur.
Latar Belakang dan Evolusi Pariwisata Global
Perkembangan pariwisata global secara umum dapat dipetakan melalui setidaknya tiga tahap yang dimulai pasca-Perang Dunia II. Tahap pertama pariwisata terkonsentrasi di antara negara-negara maju (More Developed Countries/MDC). Kemudian, tahap kedua, yang dimulai sekitar tahun 1960-an, menunjukkan pergerakan pariwisata mulai mengarah dari negara maju menuju negara-negara berkembang (Less Developed Countries/LDC). Perkembangan ini tidak lepas dari peningkatan infrastruktur pariwisata yang berkualitas, termasuk akomodasi dan transportasi lokal, yang meningkatkan kenyamanan dan daya tarik destinasi secara keseluruhan.
Seiring dengan akselerasi difusi global ini, terjadi peningkatan fokus pada warisan budaya di negara-negara berkembang, seringkali di kawasan yang memiliki kekayaan warisan hidup (living heritage). Keberhasilan pariwisata global dan peningkatan aksesibilitas ini membawa konsekuensi penting: peningkatan risiko pariwisata berlebihan (overtourism) dan potensi komodifikasi budaya. Tantangan keberlanjutan ini menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan dari keberhasilan pariwisata, yang harus dihadapi oleh destinasi kuno di MDC (seperti Kyoto) maupun LDC (seperti Bali).
Tipologi Destinasi Budaya: Warisan Mapan vs. Kreasi Kontemporer
Pariwisata budaya didefinisikan sebagai bentuk perjalanan yang bertujuan untuk mengeksplorasi, memahami, dan menikmati warisan budaya suatu daerah atau komunitas, termasuk kunjungan ke situs bersejarah dan museum. Dalam konteks kontemporer, lanskap pariwisata budaya dapat dikelompokkan menjadi dua paradigma utama yang memiliki strategi, aset, dan tantangan yang berbeda secara fundamental.
Pertama, Model Warisan Mendalam (Deep Heritage) yang berakar pada aset tangible kuno dan tradisi hidup. Destinasi seperti Roma (warisan fisik kuno) dan Kyoto (warisan hidup dan tradisi turun-temurun) berada dalam kategori ini. Kedua, Model Budaya Kreatif (Creative Culture) yang difokuskan pada kreasi identitas baru, aset intangible, seni kontemporer, dan arsitektur yang sengaja dikembangkan untuk membentuk narasi budaya modern. Contoh menonjol dari model ini adalah Berlin dan Dubai.
Perbedaan mendasar ini, yang terletak pada aset dasar (yaitu, artefak terfragmentasi versus inovasi desain dan proyeksi masa depan), secara otomatis menuntut perbedaan dalam strategi interpretasi, tata kelola, dan pendekatan terhadap dilema otentisitas dan keberlanjutan.
Kerangka Konseptual: Otentisitas, Kreativitas, dan Pengalaman Wisatawan
Analisis komparatif yang mendalam dalam pariwisata budaya harus berawal dari kerangka konseptual yang jelas, terutama mengenai dua sumbu utama daya tarik: otentisitas dan inovasi.
Membedah Otentisitas: Obyektifitas dan Proses yang Timbul
Otentisitas budaya diakui sebagai elemen penting yang secara signifikan meningkatkan pengalaman perjalanan yang berkesan (memorable tourism experience). Otentisitas seringkali secara tradisional dipahami sebagai keaslian fisik situs atau artefak (otentisitas obyektif). Namun, pemikiran kontemporer dalam manajemen warisan bergerak melampaui keaslian fisik.
Konsep otentisitas saat ini dipandang sebagai sebuah proses yang timbul (emergent process) yang bersifat episodik, non-linear, dan berpori. Otentisitas ini tidak hanya terjadi di tempat kunjungan (in-situ) tetapi juga dirasakan oleh wisatawan sebelum (pre-) dan setelah (post-) perjalanan. Pendekatan ini memungkinkan pemahaman yang lebih luas tentang relasionalitas pengalaman otentik, di mana keaslian tidak hanya terkait dengan peninggalan itu sendiri, tetapi juga dengan bagaimana peninggalan tersebut diinterpretasikan dan diinternalisasi oleh pengunjung.
Diferensiasi Model Pariwisata: Dari Warisan ke Kreatif
Pergeseran fokus dari aset semata menuju pengalaman telah memicu munculnya model-model pariwisata yang berbeda:
- Pariwisata Warisan Budaya (Cultural Heritage Tourism):Model ini secara historis berpusat pada aset berwujud (monumen, museum) dan pelestarian warisan fisik. Tujuannya adalah edukasi sejarah dan konservasi artefak.
- Pariwisata Kreatif (Creative Tourism):Model ini berkembang pesat di abad ke-21. Fokusnya adalah pada nilai-nilai tak berwujud, seperti pembelajaran, mendapatkan pengalaman, dan pengembangan tradisi. UNESCO’s Creative Cities Network mengelompokkannya ke dalam berbagai bidang, termasuk Desain, Gastronomi, dan Seni Media. Berbeda dengan model warisan, pariwisata kreatif bertujuan mendorong pengembangan komunitas lokal, di mana pendapatan utama seringkali berasal dari partisipasi wisatawan. Contohnya adalah kota Burgos (Gastronomi) dan Edinburgh (Literatur) yang mengintegrasikan industri kreatif dengan promosi pariwisata melalui festival dan rute tematik.
Motivasi Wisatawan: Tarik-Menarik Otentisitas dan Inovasi
Wisatawan global menunjukkan ketertarikan yang tinggi terhadap elemen budaya yang otentik, terlihat dalam respons positif terhadap arsitektur, makanan, seni budaya, dan pelayanan lokal (seperti dalam studi kasus hotel internasional di Bali). Otentisitas menjamin keunikan, yang berpotensi meninggalkan memori mendalam bagi wisatawan.
Namun, pariwisata modern juga didorong oleh inovasi. Kreativitas memiliki kemampuan untuk menghasilkan hal baru, unik, dan bermakna, seringkali dengan memanfaatkan kebijaksanaan, keterampilan, dan bakat orang-orang kreatif, serta bantuan teknologi tinggi. Kemampuan untuk berinovasi dan meningkatkan sumber daya budaya adalah kunci untuk menciptakan daya tarik. Ini menimbulkan dinamika tarik-menarik: meskipun wisatawan mencari akar sejarah dan keaslian, mereka juga menuntut presentasi yang menarik dan pengalaman yang inovatif.
Pendekatan bahwa otentisitas adalah proses yang emergent membenarkan bahwa inovasi teknologi dapat digunakan sebagai alat untuk mengkomunikasikan otentisitas, terutama di destinasi yang memiliki warisan yang terfragmentasi. Jika tujuan utama adalah menciptakan pengalaman yang memorable , maka teknologi imersif yang inovatif berfungsi mengisi kekosongan historis, membantu pengunjung mengaktifkan otentisitas pengalaman.
Berikut adalah perbandingan analitis antara kedua model pariwisata budaya ini:
Table 1: Matriks Perbandingan Model Pariwisata Budaya: Warisan Kuno vs. Kreasi Modern
| Kriteria Perbandingan | Model Warisan Mendalam (Roma, Kyoto) | Model Budaya Kreatif (Dubai, Berlin) |
| Basis Daya Tarik Utama | Otentisitas Sejarah, Artefak Berwujud, Tradisi Turun-Temurun (Warisan Hidup) | Inovasi, Seni Kontemporer, Arsitektur Simbolis, Diversitas Global |
| Fokus Interpretasi | Rekonstruksi Masa Lalu, Kronologi Sejarah, Nilai Heroisme, Mitos | Ekspresi Budaya Saat Ini, Dinamika Sosial-Politik Kontemporer, Proyeksi Masa Depan |
| Tantangan Utama | Degradasi Situs, Overtourism, Komodifikasi Tradisi Lokal | Kritik Otentisitas/Kehilangan Jiwa (Soullessness), Ketergantungan pada Kapital dan Impor Bakat |
| Tujuan Pengembangan | Konservasi, Edukasi Sejarah, Keberlanjutan Sosio-kultural | Pendorong Ekonomi Kreatif, Pemasaran Destinasi Kompetitif, Pembentukan Identitas Baru |
Model Warisan Mendalam (Deep Heritage): Pengalaman Roma dan Kyoto
Model Deep Heritage beroperasi dengan modalitas aset warisan yang telah teruji waktu, namun menghadapi tantangan pelestarian dan manajemen volume wisatawan yang intensif.
Roma dan Mediterania Kuno: Menginterpretasikan Reruntuhan
Destinasi yang berakar pada peradaban kuno, seperti Roma, atau situs-situs yang mencerminkan model serupa seperti Korintus dan Mycenae di Yunani, menarik wisatawan yang termotivasi oleh keinginan untuk “melangkah kembali ke masa lalu”. Daya tarik utamanya adalah situs arkeologi monumental, sisa-sisa arsitektur kuno, dan koleksi artefak serta patung yang dipamerkan di museum. Di Mycenae, misalnya, pengunjung terkesan oleh “Mycenae Emas,” kerajaan mitos Agamemnon yang diabadikan oleh penyair Homer, di mana tembok-tembok megah dan Makam Kerajaan menjadi bukti peradaban kaya pada Zaman Perunggu Akhir.
Dalam model ini, interpretasi sejarah sangat bergantung pada narasi yang melibatkan sejarah dan mitos. Ketertarikan wisatawan pada monumen arkeologi sangat dipengaruhi oleh cara monumen tersebut dipresentasikan, termasuk rekonstruksi, metode interpretasi, dan bagaimana interaksi situs tersebut dengan narasi sejarahnya. Namun, tantangan yang inheren pada warisan kuno adalah bahwa banyak artefak arkeologi seringkali dikumpulkan dan dipamerkan sebagai “seni,” yang terlepas dari konteks arkeologisnya. Pemisahan ini menyulitkan proses “pembuatan makna” (meaning-making) bagi pengunjung yang ingin memahami masa lalu yang terfragmentasi tersebut.
Kyoto dan Pelestarian Warisan Hidup
Kyoto menawarkan paradigma Deep Heritage yang berbeda, berfokus pada Warisan Budaya Takbenda (Intangible Cultural Heritage/ICH) atau warisan hidup. ICH melibatkan konteks sosial dan lingkungan hidup. Bersama dengan destinasi seperti Bali, model ini didasarkan pada tradisi turun-temurun dan pengetahuan lokal.
Ancaman terbesar bagi model Warisan Hidup ini adalah komodifikasi budaya lokal, sebuah proses di mana tradisi disesuaikan atau dilebih-lebihkan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata massal. Komodifikasi ini secara fundamental merusak otentisitas sosiologis yang mendasari produk pariwisata berkelanjutan. Misalnya, keberlanjutan produk seperti spiritual healing di Bali bergantung pada tiga pilar utama: membangun partisipasi masyarakat lokal, memberikan kontribusi besar pada ekonomi lokal, dan menjaga ketahanan lingkungan alam. Produk yang berbasis partisipasi lokal, dan sangat bergantung pada pengetahuan dan aset orang lokal (misalnya pengetahuan tentang Astrologi Bali atau tempat-tempat malukat), memiliki tingkat kelokalan yang tinggi dan karenanya memberikan kontribusi yang tinggi pula terhadap ekonomi lokal. Jika overtourism merusak salah satu pilar ini, seperti terjadi di Bali yang mengalami degradasi lingkungan, masalah sampah, dan penurunan kualitas air akibat lonjakan wisatawan , maka otentisitas budaya yang menjadi daya tarik akan hilang.
Kyoto, dalam upaya membangun pariwisata yang “berbudaya” , telah menerapkan tata kelola yang proaktif untuk melindungi kualitas hidup lokal dan warisan budayanya dari tekanan pariwisata berlebihan. Salah satu respons kebijakan adalah menaikkan pajak wisata dua kali lipat untuk wisatawan asing. Langkah ini merupakan mekanisme manajemen volume dan harga yang bertujuan mengendalikan arus masuk dan memprioritaskan pengalaman berkualitas, menunjukkan bahwa konservasi dan keberlanjutan sosio-kultural harus menjadi tujuan utama, dan keuntungan ekonomi menjadi bonusnya.
Model Budaya Kreatif dan Buatan (Manufactured/Creative Culture): Dinamika Berlin dan Dubai
Model budaya kreatif beroperasi dengan narasi yang berorientasi ke masa depan, sering kali memanfaatkan aset kontemporer atau mereinterpretasi sejarah konflik melalui lensa modernitas.
Berlin: Konstruksi Identitas Pasca-Konflik
Berlin adalah destinasi yang menarik karena berhasil memadukan sejarah yang kaya, budaya yang mendalam, dan desain modern. Kota ini membangun narasi pariwisata budayanya berdasarkan sejarah konflik dan kemampuan regenerasi ideologis.
Berlin mengkomodifikasi sejarah tragis dan ingatan kolektif. Peninggalan seperti Gerbang Brandenburg dan Monumen Tembok Berlin memberikan pengalaman yang kuat dan emosional. Kontras yang menarik tercipta melalui perpaduan arsitektur neoklasik dengan elemen modern, seperti kubah kaca Gedung Reichstag. Lebih lanjut, Berlin menetapkan dirinya sebagai pusat seni modern. Galeri Nasional di Istana Putra Mahkota, yang merupakan koleksi seni kontemporer permanen pertama di dunia, menunjukkan bagaimana Berlin memanfaatkan seni modern untuk membentuk identitas budaya yang berkelanjutan yang berakar pada warisan yang kompleks. Otentisitas Berlin bersumber dari narasi pasca-konflik dan pembaruan, yang memberikan kedalaman emosional yang dicari wisatawan.
Dubai: Strategi Ekonomi Kreatif dan Kritik Otentisitas
Berbeda dengan Berlin yang mengandalkan warisan ideologis, Dubai secara eksplisit memandang budaya sebagai penggerak utama kemajuan ekonomi dan sosial. Keunggulan kompetitif Dubai dibangun di atas keragaman budayanya, menampung lebih dari 200 kebangsaan, yang diyakini memicu inovasi dan kreativitas.
Strategi pariwisata Dubai didasarkan pada investasi strategis, seperti pembentukan distrik kreatif khusus (Al Quoz Creative Zone) dan penempatan seni di ruang publik (taman, lingkungan) untuk menenun kreativitas ke dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan utamanya adalah membentuk identitas budaya progresif dan mengintegrasikan industri kreatif sebagai bagian inti dari rencana ekonomi kota.
Meskipun sukses secara finansial, Dubai sering menghadapi kritik mengenai “ketiadaan jiwa” (soullessness). Kritik ini muncul karena kurangnya fabrik budaya yang kohesif, yang disebabkan oleh sifat kosmopolitan dan transien dari populasinya. Kota ini menarik penduduk yang berbagi minat dalam kemakmuran ekonomi, namun seringkali gagal menumbuhkan koneksi yang lebih dalam yang didasarkan pada nilai dan etika bersama. Dalam model budaya yang dibangun (manufactured culture), di mana pertumbuhan didorong oleh kapitalisme yang cepat, kohesi sosial dan pembangunan kepercayaan menjadi sulit, yang pada akhirnya menantang otentisitas sosiologis jangka panjang destinasi. Hal ini menunjukkan bahwa identitas budaya sejati memerlukan waktu dan interaksi sosial yang mendalam untuk menjadi otentik secara emergent, dan tidak dapat sepenuhnya diimpor atau dibangun hanya melalui infrastruktur fisik.
Peran Sentral Museum, Artefak, dan Teknologi Interpretasi
Peran museum dan teknologi interpretasi menjadi penghubung krusial antara sejarah kuno dan tuntutan pengalaman modern.
Museum sebagai Institusi Pendidikan dan Pemaknaan
Museum telah mengalami evolusi fungsi, bertransformasi dari sekadar “gudang tempat menyimpan barang-barang lama” menjadi alat penting yang berperan memperkuat identitas dan menyediakan pendidikan sejarah. Museum modern kini berfungsi memudahkan masyarakat mendapatkan pendidikan yang baik mengenai budaya masa lalu, sekarang, dan masa depan. Untuk mengoptimalkan peran edukasi museum, dibutuhkan sinergi yang erat antara pengelola museum sebagai penyedia konten dan institusi pendidikan formal sebagai pengguna sumber belajar.
Interpretasi Artefak Kuno vs. Seni Kontemporer
Perbedaan dalam jenis aset memerlukan teknik interpretasi yang berbeda. Untuk artefak kuno (Model Deep Heritage), tantangannya adalah memulihkan konteks. Artefak arkeologi seringkali mengalami akumulasi makna seiring waktu, tetapi ketika dipajang, pemaknaannya menjadi rumit karena keterpisahannya dari konteks aslinya. Pemandu dan museum harus menyajikan narasi yang kuat, misalnya dengan menonjolkan nilai perjuangan dan nasionalisme, seperti yang dilakukan oleh Museum 10 November Surabaya.
Sebaliknya, interpretasi seni kontemporer (Model Creative Culture, seperti yang terlihat di Berlin) jauh lebih fleksibel. Kurikulum seni dan desain modern tidak memiliki “teks yang ditetapkan” (set texts) atau periode waktu yang kaku. Hal ini memberikan keleluasaan bagi pemandu untuk mendukung pengunjung terlibat secara kritis dengan karya seni, memungkinkan mereka untuk membuka ide-ide baru yang mungkin berkaitan dengan ekspresi budaya saat ini atau proyeksi masa depan.
Integrasi Teknologi Imersif: Jembatan Pengalaman
Teknologi imersif, seperti Realitas Virtual (VR) dan Augmented Reality (AR), telah menjadi semakin relevan, mengubah cara interaksi manusia dengan dunia digital. Peran teknologi imersif sangat penting untuk warisan kuno. Mengingat reruntuhan arkeologi bersifat terfragmentasi, teknologi dapat memberikan rekonstruksi kontekstual yang diperlukan, meningkatkan minat dan pemahaman pengunjung terhadap objek.
Penggunaan teknologi imersif merupakan bentuk komodifikasi interpretasi—suatu upaya untuk menjual narasi sejarah dengan cara yang lebih mudah dicerna dan memorable. Pameran ImersifA di Museum Nasional Jakarta menunjukkan bagaimana teknologi dapat menciptakan pengalaman yang seru dan edukatif, menarik keluarga, dan menjadikan museum destinasi yang kompetitif pasca-pandemi. Dengan demikian, teknologi imersif berfungsi menjembatani kesenjangan antara tuntutan ilmiah konservasi dan tuntutan pasar akan pengalaman, memastikan bahwa museum tetap relevan dan informatif, sambil tetap mematuhi otentisitas obyektif warisan.
Keberlanjutan dan Tantangan Masa Depan: Merumuskan Tata Kelola Budaya Global
Tantangan terbesar yang dihadapi kedua model pariwisata—baik yang berbasis warisan kuno maupun kreasi modern—adalah memastikan keberlanjutan jangka panjang.
Dampak dan Ancaman Overtourism
Overtourism merupakan tantangan multidimensi. Ini tidak hanya menciptakan kemacetan dan kerusakan lingkungan, tetapi juga secara fundamental menurunkan kualitas hidup masyarakat lokal. Di Bali, pertumbuhan pariwisata yang pesat (mencapai lebih dari satu juta wisatawan per bulan pada 2024) telah menciptakan tekanan signifikan pada daya dukung lingkungan, yang dimanifestasikan melalui masalah lalu lintas, volume sampah yang tinggi, penurunan kualitas air, dan pengalihan fungsi lahan. Selain itu, overtourism memperburuk risiko komodifikasi budaya lokal, di mana tradisi diadaptasi secara radikal demi pariwisata massal.
Model Tata Kelola Berbasis Daya Dukung dan Kearifan Lokal
Untuk menghadapi ancaman ini, strategi tata kelola harus bergeser dari maksimalisasi volume ke optimalisasi pelestarian.
Pendekatan Kyoto dengan menaikkan pajak wisata asing menunjukkan mekanisme kebijakan harga yang efektif untuk mengendalikan volume dan menyeimbangkan kepentingan wisatawan dengan kesejahteraan lokal.
Di Bali, telah diusulkan reformasi kebijakan pariwisata berkelanjutan yang sangat penting, yaitu pengintegrasian kajian daya dukung lingkungan (carrying capacity) sebagai dasar penetapan kuota wisatawan. Penggunaan daya dukung lingkungan sebagai basis regulasi secara formal mengakui bahwa aset budaya dan lingkungan berada di bawah batasan fisik dan sosial yang tak terhindarkan. Hal ini menempatkan pariwisata pada posisi yang bertanggung jawab terhadap konservasi. Lebih lanjut, keberlanjutan di Bali sangat bergantung pada harmonisasi sosial budaya, arsitektur tradisional, dan kearifan lokal dalam penataan ruang. Kebijakan ini juga mencakup penerapan retribusi wisata adaptif untuk membiayai program konservasi budaya.
Pariwisata berkelanjutan harus memprioritaskan pelestarian potensi (geografis, sosial budaya, historis) dan memandang pariwisata sebagai bonus dari upaya pelestarian tersebut, dan bukan sebaliknya. Strategi global harus berfokus pada tiga pilar utama: Resilience (ketahanan pariwisata yang berdaulat), Inclusivity (pertumbuhan yang berdampak positif bagi ekonomi lokal), dan Sustainability (kualitas yang berkelanjutan).
Table 2: Perbandingan Respons Tata Kelola terhadap Tantangan Keberlanjutan di Destinasi Budaya
| Destinasi/Model | Tantangan Dominan | Mekanisme Tata Kelola/Kebijakan Kunci | Tujuan Strategis (Keberlanjutan) |
| Kyoto (Warisan Hidup) | Overtourism, Kerusakan Lingkungan Sosial | Kenaikan Pajak Wisata Asing, Regulasi Kapasitas dan Pengelolaan Volume | Perlindungan Kualitas Hidup Lokal dan Mempertahankan Otentisitas In-Situ. |
| Bali (Warisan Hidup) | Daya Dukung Lingkungan Terlampaui, Komodifikasi | Reformasi Regulasi berdasarkan Daya Dukung Lingkungan, Integrasi Kearifan Lokal/Tata Ruang | Menciptakan Ekosistem Pariwisata yang Seimbang; Membangun Partisipasi dan Ekonomi Lokal Inklusif. |
| Dubai (Budaya Kreatif) | Menciptakan Kohesi Sosial dan Otentisitas Jangka Panjang (Melawan Kritik Soullessness) | Pembentukan Distrik Kreatif Strategis (Al Quoz), Investasi dalam Infrastruktur Budaya Publik | Menggunakan Kreativitas dan Keragaman Global sebagai Basis Budaya; Pendorong Progres Sosial dan Ekonomi. |
Kesimpulan
Lanskap pariwisata budaya global ditandai oleh dikotomi yang dinamis antara kota-kota kuno yang berakar pada Deep Heritage (Roma, Kyoto) dan pusat-pusat modern yang membangun Creative Culture (Berlin, Dubai). Model Deep Heritage berjuang untuk menyeimbangkan pelestarian warisan fisik yang terfragmentasi (Roma) atau warisan hidup yang rapuh (Kyoto) dengan ancaman overtourism dan komodifikasi. Sementara itu, model Creative Culture berinovasi dengan mengkomodifikasi sejarah konflik dan regenerasi (Berlin) atau membangun identitas baru melalui strategi ekonomi kreatif (Dubai), namun menghadapi tantangan otentisitas sosiologis dan kohesi budaya.
Peran museum telah berevolusi menjadi institusi sentral dalam meaning-making, menggunakan teknologi imersif untuk mengubah pengalaman wisatawan dari kontemplasi pasif menjadi interaksi aktif dan memorable. Teknologi ini sangat krusial dalam model warisan mendalam untuk merekonstruksi konteks sejarah yang hilang dari artefak yang terfragmentasi.
Masa depan pariwisata budaya yang berkelanjutan memerlukan kerangka tata kelola hibrida yang mengakui kompleksitas ini. Hal ini menuntut penggabungan inovasi interpretasi (teknologi imersif) dengan konservasi yang ketat dan inklusif. Secara strategis, penerapan kebijakan berbasis daya dukung lingkungan dan budaya, seperti yang diusulkan di Bali dan dipraktikkan melalui kontrol volume di Kyoto , adalah esensial. Strategi ini memastikan bahwa otentisitas, terlepas dari apakah ia berasal dari masa kuno yang mendalam atau kreasi kontemporer yang progresif, dapat dipertahankan sebagai fondasi yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan bagi kesejahteraan global.


