Jenius yang Terluka: Menjelajahi Tragedi, Transformasi, dan Artistik Ludwig van Beethoven
Latar Belakang Biografis dan Konteks Transisi Klasik-Romantik
Ludwig van Beethoven (1770–1827) adalah figur monumental dalam sejarah musik Barat, yang secara kritis menjembatani era Klasisisme dengan Romantisisme. Seperti Monteverdi, Bach, dan Mozart yang menentukan era mereka, Beethoven mengukir jalannya sendiri, memastikan bahwa gaya musik yang ia warisi dari pendahulunya, seperti Joseph Haydn dan Wolfgang Amadeus Mozart, akan bertransformasi secara radikal di bawah tangannya.
Periodisasi karya Beethoven secara tradisional dibagi menjadi tiga fase berbeda: Periode Awal, yang berlangsung hingga sekitar tahun 1802, di mana ia mengasah keahliannya sambil menunjukkan kilatan orisinalitas yang kurang ajar.2 Periode Menengah, atau yang dikenal sebagai Periode Heroik (sekitar 1802 hingga 1812), menunjukkan perkembangan individu yang berani dan sering dicirikan oleh energi heroik. Akhirnya, Periode Akhir (1812–1827) melihatnya memperluas inovasinya dalam bentuk dan ekspresi musikal, ditandai dengan kedalaman yang tak tertandingi.2 Transformasi dari gaya Heroik yang ‘publik’ menjadi gaya Akhir yang ‘pribadi’ ini secara tak terpisahkan terkait dengan kondisi fisiknya yang memburuk.
Thesis Sentral: Ketulian sebagai Pembebasan Kreatif
Di antara berbagai kesulitan pribadi yang dihadapi Beethoven, penyakit yang paling terdokumentasi dan paling menghancurkan adalah ketuliannya yang progresif. Kehilangan pendengaran ini dimulai pada usia pertengahan 20-an (sekitar 1796–1798) dan memburuk menjadi tingkat yang parah seiring berjalannya waktu, memaksa sang komposer untuk berhenti tampil di depan umum sekitar tahun 1815.
Meskipun logika umum mungkin menyarankan bahwa tragedi fisik semacam itu akan mengakhiri karier seorang musisi, studi musikologis yang mendalam justru mengungkapkan hal yang sebaliknya. Ketulian yang meningkat secara paradoksal bertindak sebagai katalisator untuk pergeseran estetika yang revolusioner. Argumentasi sentral dalam laporan ini adalah bahwa tragedi fisik ini tidak menghancurkannya, melainkan memurnikan fokusnya, mendorong isolasi yang diperlukan untuk membebaskan jeniusnya dari keharusan mematuhi konvensi Klasik kontemporer. Dengan kehilangan koneksi auditori eksternalnya, Beethoven terdorong untuk mendengarkan dan mengartikulasikan “harmoni batinnya” (inner harmonies), menghasilkan musik yang lebih personal, visioner, dan jauh melampaui zamannya.
Linimasa Progresi Ketulian dan Korelasi Gaya
Progresi ketulian Beethoven adalah proses bertahap yang berdampak langsung pada fase komposisinya. Pada awalnya, ia berusaha keras untuk menyembunyikan kondisinya karena kekhawatiran yang beralasan bahwa hal itu akan menghancurkan kariernya. Periode penyangkalan yang panjang ini, yang berlangsung dari sekitar tahun 1798 hingga 1812, menciptakan tekanan psikologis yang intens, yang harus menemukan katup pelepasannya. Pelepasan ini, yang pertama kali diungkapkan dalam dokumen pribadinya, Heiligenstadt Testament, secara langsung melahirkan gaya yang kuat dan berani yang mendominasi Periode Heroiknya.
Meskipun beberapa penelitian telah mencoba mengaitkan frekuensi penggunaan nada tinggi dengan progres ketuliannya, hubungan kausal yang paling signifikan terletak pada aspek psikologis dan estetika: ketulian mendorong isolasi sosial, dan isolasi memicu introspeksi, yang kemudian memanifestasikan dirinya dalam eksperimen bentuk dan harmoni dalam karya-karya Akhirnya.
Ringkasan linimasa dan evolusi gaya ini disajikan dalam tabel berikut:
Linimasa Progresi Ketulian dan Evolusi Gaya
| Periode Komposisi | Perkiraan Waktu | Status Pendengaran | Fokus Biografis Kunci | Karakteristik Gaya Utama |
| Awal | 1792–1802 | Penurunan Awal/Penyangkalan | Mengukir kerajinan, berakar pada Klasik (Haydn/Mozart). | Formalitas Klasik dengan petunjuk orisinalitas. |
| Titik Balik | 1802 | Krisis Eksistensial | Heiligenstadt Testament ditulis; resolusi untuk “Jalan Baru”.9 | Pergeseran dari pribadi ke narasi perjuangan heroik. |
| Menengah (Heroik) | 1802–1812 | Ketulian Meningkat (Dapat Mendengar Normal hingga ~1812) | Periode “publik,” aura pahlawan. | Ekspansi dramatis bentuk sonata, tema perjuangan/kemenangan |
| Akhir (Introspektif) | 1812–1827 | Isolasi Penuh/Hampir Total (Buku Percakapan) | Krisis pribadi dan eksternal, isolasi sosial. | Introspeksi, kontrapung tinggi, eksperimen harmonik radikal. |
Krisis di Heiligenstadt: Titik Balik Psikologis (1802)
Onset Ketulian dan Peningkatan Keputusasaan
Pada awal abad ke-19, Beethoven berada di puncak kesuksesan sebagai virtuoso piano dan komposer. Namun, kondisi pendengarannya memburuk, dimulai sekitar tahun 1796–1798. Meskipun penyebabnya masih menjadi misteri (beberapa teori mencakup keracunan timbal dan penyakit lainnya), dampaknya terhadap kehidupan sosial dan profesionalnya sangat besar.
Seiring berjalannya waktu, ia mulai menarik diri dari publik karena rasa malu yang mendalam atas ketidakmampuannya berinteraksi secara normal. Ketidakmampuan untuk mendengar suara-suara sederhana, seperti seruling dari kejauhan atau nyanyian gembala, menyebabkan keputusasaan yang mendalam bagi seorang musisi. Pengurangan komunikasi ini membuat orang lain salah paham, menganggapnya sebagai sosok yang jahat, keras kepala, atau misantropis (pembenci manusia), padahal mereka tidak mengetahui penyebab rahasia di balik penampilannya itu.
Analisis Heiligenstadt Testament
Krisis pribadi ini mencapai puncaknya pada Oktober 1802 di desa Heiligenstadt, dekat Wina. Di sana, Beethoven menulis sebuah surat panjang yang ditujukan kepada saudara-saudaranya, Carl dan Johann, yang dikenal sebagai Heiligenstadt Testament.
Dokumen ini merupakan pengakuan yang mengerikan atas kondisi psikologisnya. Di dalamnya, Beethoven mencatat dengan jelas frustrasinya terhadap masalah pendengaran yang semakin parah, mengaitkan isolasi dirinya dengan penyakit ini, dan secara terbuka merenungkan gagasan bunuh diri. Ia menulis dengan kesedihan yang mendalam, mengakui bahwa harapan yang ia bawa untuk sembuh kini harus ditinggalkan sepenuhnya, membandingkan hilangnya harapan ini dengan “daun musim gugur yang gugur dan layu”. Meskipun ditulis pada 6 Oktober 1802, dan disimpulkan pada 10 Oktober, surat itu tidak pernah dipublikasikan atau dikirim; ia menyimpannya di antara dokumen pribadinya, dan baru ditemukan setelah kematiannya pada tahun 1827.
Resolusi Artistik: Proklamasi Takdir dan “Jalan Baru”
Meskipun berisi keputusasaan, Testament bukanlah sekadar catatan perpisahan. Sebaliknya, dokumen ini berfungsi sebagai proklamasi raison d’être yang baru dan lebih tinggi, mentransformasikan tragedi fisik menjadi sumber kekuatan ideologis.
Inti dari Testament adalah resolusi Beethoven untuk mengatasi penderitaannya demi menyelesaikan “takdir artistik”-nya. Ia menyatakan bahwa hanya senilah yang menyelamatkannya dari bunuh diri; ia merasa memiliki kewajiban untuk menghasilkan semua yang ada di dalam dirinya sebelum mengakhiri hidup. Oleh karena itu, Testament menandai titik balik yang dramatis: itu adalah pengakuan formal bahwa kehidupan pribadinya—sebagai virtuoso yang dapat mendengar dan sebagai anggota masyarakat—telah berakhir, dan kini hanya ada kehidupan yang didedikasikan sepenuhnya untuk seni.
Resolusi ini memunculkan era baru yang ia sebut “Jalan Baru” (New Path) Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1806, ia bahkan mencatat pada salah satu sketsa musiknya: “Biarkan ketulian Anda tidak lagi menjadi rahasia—bahkan dalam seni”. Pengakuan ini membebaskannya untuk tidak hanya membuat musiknya lebih personal tetapi juga untuk menanamkan perjuangan pribadinya ke dalam narasi publik yang heroik, sehingga membenarkan setiap perjuangan dan isolasi yang akan datang.
Era Heroik: Manifestasi Publik dari Perjuangan Batin (1802–1812)
Respon Pertama terhadap Tragedi
Periode yang segera menyusul Heiligenstadt Testament dikenal sebagai Periode Heroik, sebuah fase yang ditandai oleh karya-karya berskala besar, energi yang meledak-ledak, dan tema yang konsisten mengenai konflik, perjuangan, dan kemenangan. Musik dari era ini, yang mencakup simfoni No. 3 hingga No. 8, serta konser-konser besar, adalah yang paling diasosiasikan oleh imajinasi populer dengan citra Beethoven sebagai pahlawan yang gigih.
Peristiwa ini menunjukkan proses yang mendalam: Beethoven mengambil penderitaan dan isolasi pribadinya dan mengubahnya menjadi narasi perjuangan yang sublime dan universal.
Estetika Romantik yang baru muncul pada pergantian abad ke-19 sangat mengagungkan ide ini. Kritikus pada saat itu mulai mengasosiasikan peristiwa kehidupan komposer dengan karya mereka, khususnya ketika komposer tersebut mengatasi kesulitan signifikan seperti ketulian dan isolasi sosial. Dengan demikian, karya-karya Heroik Beethoven secara aktif memprogramkan penderitaannya ke dalam tema sublime (kekaguman yang bercampur dengan teror atau keagungan), sehingga menempatkan karya-karya musiknya setara dengan bentuk seni tinggi lainnya yang mampu menyampaikan emosi tak terbatas seperti ketakutan, kengerian, dan kerinduan yang tak ada habisnya.
Simfoni No. 3, ‘Eroica’ (Pahlawan Ideal)
Simfoni No. 3 dalam E-mol Mayor, ‘Eroica’, adalah karya yang paling awal dan paling revolusioner dari Periode Heroik. Ditulis segera setelah Testament, simfoni ini secara dramatis memperluas struktur simfoni Klasik yang ditetapkan oleh Haydn dan Mozart. Dengan durasi sekitar 50 menit, Eroica hampir dua kali lebih panjang dari simfoni Klasik standar.
Meskipun terkenal karena dedikasi awalnya kepada Napoleon Bonaparte (yang kemudian dihapus dengan keras oleh Beethoven setelah Napoleon memproklamirkan diri sebagai Kaisar), simfoni ini tetap mempertahankan judul “Heroik.” Hal ini karena karya tersebut bukan merupakan penggambaran programatik Napoleon secara spesifik, tetapi dedikasi terhadap ide pahlawan—seorang individu yang mewujudkan cita-cita Pencerahan seperti kebahagiaan manusia, masyarakat yang harmonis, dan kebebasan. Ini adalah pahlawan yang menghadapi perjuangan dan menciptakan tatanan dunia yang baru.
Inovasi struktural dalam Eroica sangat mencolok. Simfoni ini dibuka dengan dua akor E-flat yang meledak-ledak. Gerakan pertama, yang merupakan bagian terbesar dari karya simfoni pada saat itu, memperkenalkan tema “pahlawan” dan bahkan menyertakan tema baru di tengah bagian pengembangan, suatu penyimpangan signifikan dari konvensi Klasik. Selanjutnya, penempatan Marcia funèbre (Mars Pemakaman) sebagai gerakan kedua dalam simfoni ‘heroik’ menyiratkan bahwa kemenangan hanya dapat dicapai melalui pengorbanan dan penguburan yang mati setelah pertempuran. Dengan Eroica, Beethoven mengambil jalan yang berani dan baru, mengubah konvensi menjadi wadah untuk ekspresi emosional yang meluap-luap—kemarahan, keputusasaan, kegembiraan, dan ekstasi.
Isolasi dan Introspeksi: Gerbang Menuju Periode Akhir (1812–1827)
Peningkatan Isolasi dan Pergeseran Fokus
Sekitar tahun 1812, Beethoven memasuki fase akhir komposisinya. Periode ini diawali dengan serangkaian krisis pribadi dan eksternal, termasuk masalah keluarga dan episode Immortal Beloved, yang membuatnya berjuang untuk menyusun karya selama beberapa tahun. Bersamaan dengan itu, ketuliannya meningkat secara signifikan. Meskipun ia tidak pernah menjadi tuli total (ia masih dapat membedakan nada rendah dan suara keras yang tiba-tiba), pendengarannya yang memburuk memaksanya untuk sepenuhnya meninggalkan penampilan publik dan membatasi komunikasi hanya kepada teman-teman terpilih melalui buku percakapan tertulis.
Jika Periode Heroik adalah tentang narasi ‘publik’ dan kegagahan, maka Periode Akhir adalah tentang introspeksi yang ‘pribadi’. Isolasi ini memaksa Beethoven menjadi sosok yang semakin insular, namun justru membuka pintu menuju dunia musikal internal yang jauh lebih kaya. Ia beralih dari simfoni dan konser, yang merupakan format ‘publik’, menuju musik yang lebih intim untuk kekuatan yang lebih kecil, terutama Kuartet Gesek dan Sonata Piano Solo. Karya-karya terakhir ini, terutama 32 sonata pianonya, dianggap sebagai batu ujian bagi setiap pianis, mencerminkan kedalaman emosional dan spiritual yang sangat dalam.
Inovasi Formal dan Harmonik yang Radikal
Karya-karya akhir Beethoven dicirikan oleh eksperimen formal, harmonik, dan struktural pada tingkat tertinggi. Musik dari periode ini dipenuhi dengan kualitas yang hangat, bersemangat, dan keindahan yang menakjubkan. Namun, ia bukan sekadar perpisahan total dari gaya sebelumnya, melainkan intensifikasi dari kualitas yang sudah melekat, didorong ke batas-batasnya.
- Kebebasan dari Konvensi Auditori:
Salah satu argumen musikologis yang paling menarik adalah bahwa ketidakmampuan Beethoven untuk mendengar komposisinya secara eksternal mungkin telah memberinya kebebasan untuk mengabaikan konvensi musikal sezamannya, memungkinkannya menemukan cara ekspresi yang benar-benar personal dan inovatif. Richard Wagner, misalnya, kemudian mengembangkan tesis bahwa ketulian justru mempertajam jenius musik Beethoven, memungkinkan sang komposer untuk “tidak terganggu oleh hiruk pikuk kehidupan, tetapi mendengarkan harmoni batinnya”.
- Subversi Formal dan Kontinuitas:
Dalam Kuartet Gesek Akhirnya (misalnya Op. 127, 130, 131, 132, 135), Beethoven merevolusi genre tersebut. Karya-karya ini adalah refleksi musikal tentang perjuangan batinnya, konfrontasinya dengan kefanaan, dan pengejaran transendensi. Kuartet-kuartet tersebut secara sengaja menyimpang dari konvensi formal Klasik yang ketat. Gerakan-gerakan seringkali tampak mengalir, kurang demarkasi yang jelas, atau bahkan menyatu satu sama lain, menciptakan konsep kontinuitas kompositif yang baru. Struktur terbuka dan fluiditas ini memaksa pendengar untuk terlibat dalam musik secara lebih kontemplatif.
- Eksperimen Harmonik dan Disonansi:
Gaya akhir menunjukkan kecenderungan kontrapuntal yang intensif, penggunaan tekstur mikroskopis, dan harmoni yang radikal. Dalam karya-karya seperti Kuartet Gesek Op. 131, Beethoven mengeksplorasi penggunaan akor diminished seventh yang ekstensif dan disonansi berkelanjutan yang dibiarkan berdiri sendiri tanpa resolusi segera ke akor konsonan.
Solusi harmonik yang luar biasa modern dan tidak konvensional ini sering disalahpahami oleh kritikus kontemporer. Mereka berpendapat bahwa disonansi tersebut pastilah kesalahan, yang tidak akan dilakukan oleh komposer jenius jika ia mampu mendengar karyanya sendiri. Misalnya, ulasan kontemporer tentang final fugal Kuartet Gesek Op. 130 menyebutnya “tidak dapat dipahami, seperti bahasa Cina,” dan secara eksplisit menyarankan bahwa “mungkin tidak akan banyak yang ditulis jika sang maestro juga dapat mendengar ciptaannya sendiri”. Kritikus Klasik seperti Fétis bahkan menyatakan bahwa Beethoven pasti tidak mengetahui aturan dasar harmoni untuk menulis bagian-bagian tertentu dalam Op. 131. Namun, analisis musikologi modern melihat ambiguitas dan paradoks dalam gaya akhir ini sebagai modernistis—dorongan batas-batas Klasik yang mendahului abstraksi abad ke-20.
Perbandingan karakteristik estetika ini menyoroti pergeseran dramatis yang dipicu oleh isolasi dan ketuliannya:
Kontras Estetika: Gaya Heroik vs. Gaya Akhir
| Dimensi Estetika | Periode Heroik (1802–1812) | Periode Akhir (1812–1827) |
| Fokus Ekspresif | Triumf publik, perjuangan universal, kegagahan. | Introspeksi pribadi, meditasi filosofis, transendensi. |
| Bentuk dan Skala | Simfoni besar, konser piano; memperluas bentuk Klasik. | Karya intim (kuartet, sonata), struktur disatukan, subversi formal. |
| Teknik Kunci | Perkembangan tematik dramatis, kontras dinamis kuat. | Kontrapung dan fugue yang intensif, tekstur mikroskopis, naivety yang baru. |
| Harmoni Kunci | Disonansi digunakan untuk konflik dan resolusi dramatis. | Harmoni radikal, disonansi yang tidak terselesaikan (berdiri sendiri), kontras dramatis. |
| Respon Sezaman | Dikagumi sebagai Heroic. | Sering disalahpahami, dianggap membingungkan atau “kacau”. |
Simfoni No. 9 (Op. 125): Kemenangan dan Visi Utopis
Simfoni sebagai Puncak Perjalanan
Setelah satu dekade berfokus pada bentuk-bentuk introspektif (kuartet dan sonata), Beethoven kembali ke genre simfoni. Simfoni No. 9 dalam D minor, Op. 125, diselesaikan antara tahun 1822 dan 1824, dan merupakan simfoni lengkap terakhirnya. Karya ini dianggap sebagai mahakarya tertinggi dan salah satu pencapaian terbesar dalam sejarah musik.
Simfoni No. 9 mewakili puncak upaya Beethoven untuk menghasilkan genre simfoni yang mendalam dan dramatis yang dapat menarik perhatian khalayak terluas dengan koherensi yang jelas. Dalam banyak hal, karya ini adalah kulminasi dari seluruh perjalanan estetik dan psikologisnya.
Struktur Perjuangan dan Takdir
Seluruh narasi Simfoni No. 9 dapat diinterpretasikan sebagai kisah perjuangan dan kebangkitan mengatasi kesulitan. Gerakan pertama, Allegro ma non troppo, un poco maestoso, seringkali digambarkan sebagai representasi “takdir yang gelap” atau kematian, muncul dari interval-interval yang tidak jelas kuncinya, digambarkan sebagai “kabut primordial”.
Perjuangan ini berlanjut melalui gerakan-gerakan awal. Analisis struktural menyarankan bahwa tiga gerakan pertama (yang menampilkan Scherzo yang penuh energi dan Adagio yang indah) menyajikan “masalah” (seringkali dalam kunci minor) yang menuntut solusi “kemenangan” (kunci mayor) yang akan dicapai di finale.
Finale yang Revolusioner: Integrasi Suara Manusia (Ode to Joy)
Revolusi sejati terjadi pada gerakan keempat, yang biasa dikenal sebagai Ode to Joy. Beethoven secara radikal menyimpang dari paradigma Klasik dengan memasukkan bagian vokal—empat solois vokal dan paduan suara—ke dalam bentuk simfoni. Ini adalah pertama kalinya seorang komposer besar memasukkan bagian vokal dalam skala seperti itu di dalam sebuah simfoni.
Penggunaan suara manusia ini bukan hanya trik orkestrasi; itu adalah deklarasi ideologis. Beethoven mengadaptasi puisi “An die Freude (Ode to Joy)” karya Friedrich Schiller, dengan pesan tentang kegembiraan, persaudaraan universal, dan kebebasan. Beethoven merasa bahwa cita-cita revolusioner yang agung—persaudaraan dan kebahagiaan—tidak dapat diungkapkan secara memadai hanya melalui instrumen.
Resolusi Ideologis dari Heiligenstadt Testament
Integrasi vokal di Simfoni No. 9 berfungsi sebagai resolusi puitis dan ideologis yang agung terhadap sumpah yang dibuat Beethoven 22 tahun sebelumnya dalam Heiligenstadt Testament.
Pada tahun 1802, di tengah keputusasaan, ia memutuskan untuk hidup hanya demi seni, mengorbankan kebahagiaan pribadinya untuk memenuhi takdir artistik bagi kemanusiaan. Finale Simfoni No. 9 adalah pemenuhan publik dari sumpah ini.
Ketika tema Ode to Joy diperkenalkan, bariton solo muncul untuk menyanyikan kata-kata yang ditulis oleh Beethoven sendiri: “O Freunde, nicht diese Töne! Sondern laßt uns angenehmere anstimmen, und freudenvollere.” (“Oh teman-teman, bukan nada-nada ini! Marilah kita sebaliknya memainkan nada-nada yang lebih menyenangkan dan lebih gembira!”). Baris ini secara eksplisit menolak “nada-nada” penderitaan, tragedi, dan kekacauan yang mendominasi gerakan sebelumnya.
Simfoni No. 9, dengan demikian, adalah sebuah karya kemenangan (triumph) sejati. Ia berhasil mentransendensikan isolasi fisik dan perjuangan pribadi Beethoven (tragedi) untuk merayakan persaudaraan dan kegembiraan universal, memberikan kepada dunia sebuah warisan kemanusiaan yang abadi.
Warisan Jenius yang Bertransformasi
Ludwig van Beethoven adalah representasi utama dari seniman yang berhasil mengubah tragedi menjadi transendensi artistik. Ketuliannya yang progresif, yang awalnya menghambat dan menyebabkan keputusasaan, akhirnya menjadi mekanisme kebebasan kreatif.
Beethoven sebagai Jembatan Transisi dan Modernis
Ketulian mengubah musik Beethoven dari ekspresi yang terikat oleh lingkungan Klasik (masyarakat, komisi, konvensi auditori) menjadi wahyu yang dimediasi oleh lanskap internalnya. Kehilangan umpan balik auditori eksternal memungkinkan dia untuk melepaskan diri dari batasan yang diterima dan menjelajahi ide-ide harmonik dan struktural yang radikal.
Karya-karya akhir yang sangat introspektif menunjukkan ambiguitas dan paradoks yang, meskipun berakar pada pemikiran Klasik, telah mendorong aturannya hingga titik puncaknya. Hal ini memposisikan Beethoven sebagai pelopor utama era Romantik, dan gaya radikalnya bahkan mendahului abstraksi musikal abad ke-20. Apa yang dilihat oleh kritikus sezaman sebagai “kekacauan Babel” atau “harmoni yang buruk” kini diakui sebagai inovasi visioner.
Kesimpulan Akhir
Ludwig van Beethoven adalah Jenius yang Terluka. Tragedinya, yang tercatat dengan pedih dalam Heiligenstadt Testament, adalah krisis eksistensial yang membawanya ke jurang kehancuran. Namun, melalui resolusi yang tak tergoyahkan untuk memenuhi takdir artistiknya, ia mengubah penderitaan ini menjadi narasi epik.
Transformasi ini bergerak dari fase Heroik yang ‘publik’—di mana ia menjadikan penderitaannya sebagai tema universal melalui ekspansi bentuk simfoni—menuju fase Akhir yang ‘pribadi’—di mana isolasi dan kebebasan auditori memungkinkannya bereksperimen dengan bahasa musik yang paling abstrak dan introspektif. Puncak dari perjalanan ini adalah Simfoni No. 9, sebuah deklarasi publik yang monumental yang menggenapi sumpahnya untuk hidup demi seni, mentransendensikan kegelapan pribadi menjadi perayaan kegembiraan dan persaudaraan universal. Dengan demikian, ketulian tidak menghentikan Beethoven; ketulianlah yang membebaskannya.


