Loading Now

Kota Ramah Pejalan Kaki dan Transformasi Perkotaan Menuju Masa Depan Kota 15 Menit

Konteks Krisis Perkotaan dan Kebutuhan Transformasi

Kota-kota di seluruh dunia saat ini menghadapi tantangan besar yang berasal dari model perencanaan yang dominan selama abad terakhir. Sebagian besar pusat aktivitas manusia masih didorong oleh paradigma era minyak, yang memiliki dampak signifikan terhadap jalan dan tata ruang perkotaan secara umum. Model ini cenderung memisahkan area residensial dari pusat bisnis, ritel, industri, dan hiburan , memicu sentralisasi fungsi dan ketergantungan masif pada kendaraan pribadi. Akibatnya, kota-kota menderita polusi tinggi, kemacetan, dan ketidaksetaraan dalam akses.

Krisis perkotaan ini, yang diperparah oleh pengalaman brutal dampak sosial-ekonomi selama pandemi COVID-19, telah memicu kebutuhan mendesak untuk memikirkan kembali secara radikal (radical re-think) mengenai struktur kota. Pergeseran filosofis ini mendorong transisi dari model kota berbasis mobil menuju kota berbasis manusia (human-scale city). Transformasi ini selaras dengan tujuan pembangunan global, khususnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 11 Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyerukan penciptaan kota-kota yang lebih tangguh, berkelanjutan, dan inklusif.

Walkability sebagai Fondasi Aksesibilitas Perkotaan

Konsep Walkability (Kota Ramah Pejalan Kaki) adalah pilar fundamental dalam setiap upaya untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan. Secara fungsional, tujuan paling utama dari walkability adalah untuk memastikan terciptanya area yang ramah, nyaman, dan aman bagi masyarakat saat mereka melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, baik dalam jarak pendek maupun jarak yang cukup jauh.

Manfaat dari walkability bersifat multi-aspek dan saling berhubungan. Dari perspektif kesehatan, pengembangan konsep Walkable City secara langsung memudahkan masyarakat untuk hidup sehat dengan berjalan kaki, yang meningkatkan kebugaran fisik dan kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Dari segi lingkungan, pengurangan penggunaan kendaraan bermotor yang dihasilkan dari perjalanan kaki dan sepeda yang ditingkatkan akan menghasilkan kualitas udara yang lebih baik dan mengurangi polusi udara. Selain itu, walkability juga terbukti meningkatkan interaksi sosial, menstimulasi koneksi komunitas yang lebih inklusif, dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal. Nilai pengaruh indeks walkability bahkan terbukti sangat tinggi pada aspek ekonomi, sosial, dan budaya, terutama dalam pengembangan kawasan heritage.

Peran Pandemi COVID-19 sebagai Akselerator Kebijakan

Meskipun konsep 15-Minute City (15MC) pertama kali diusulkan pada tahun 2016 oleh Carlos Moreno, adopsinya pada tingkat kebijakan meningkat tajam setelah pandemi COVID-19. Krisis ini, yang mencakup lockdown dan dampaknya yang brutal terhadap ketidaksetaraan dan kebutuhan akan ketahanan lokal, memberikan legitimasi bagi kebijakan yang secara inheren mengganggu status quo dominasi mobil.

Banyak kota merespons dengan menerapkan inisiatif ramah pejalan kaki dan ruang bebas mobil secara cepat dan berani. Perubahan tersebut mencakup pengenalan jalan khusus pejalan kaki, penambahan jalur sepeda, dan konversi tempat parkir menjadi ruang pop-up publik (misalnya, restoran luar ruang). Pengalaman lockdown menunjukkan bahwa kebutuhan untuk mempertahankan tingkat kesehatan yang layak menyoroti urgensi untuk mengevaluasi ulang prioritas mobilitas. Meskipun beberapa inisiatif sementara dibatalkan setelah kehidupan kembali normal, beberapa kota tetap teguh dalam perbaikan fasilitas dan mempertahankan kawasan bebas mobil, membuktikan bahwa krisis berfungsi sebagai jendela kebijakan (policy window) yang memungkinkan perubahan struktural diterapkan.

Kerangka Konseptual Kota 15 Menit (15MC) dan Krono-Urbanisme

Definisi dan Filosofi Krono-Urbanisme

Konsep 15MC adalah sebuah visi yang menawarkan perspektif baru yang dikenal sebagai “Krono-Urbanisme”. Konsep ini didasarkan pada pengelolaan waktu di dalam kota, dengan tujuan utama untuk memungkinkan setiap individu di lingkungan mana pun dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan harian mereka—mulai dari berbelanja, sekolah, hingga layanan kesehatan—dalam perjalanan singkat, yaitu 15 menit berjalan kaki atau bersepeda dari rumah mereka. Krono-Urbanisme berupaya menanamkan ritme baru dalam kehidupan kota, yang merupakan antitesis dari model komuter panjang yang menghabiskan waktu dan energi. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip pengembangan kota yang berpusat pada manusia (people-centred urban development), 15MC menambahkan narasi ini ke tema yang sudah ada, seperti Smart Cities dan kebutuhan akan lingkungan perkotaan yang lebih manusiawi, sebagaimana diuraikan oleh Christopher Alexander.

Pilar Desain 15MC (The C4 Approach) dan Integrasinya

Konsep 15MC yang dipromosikan oleh Carlos Moreno tidak hanya berfokus pada jarak fisik, tetapi mengintegrasikan serangkaian prinsip inti yang memungkinkan lingkungan yang layak huni. Model ini menciptakan kota yang terdiri dari lingkungan yang “lengkap” (complete neighbourhoods), bersemangat, dan ramah manusia, yang dihubungkan oleh transportasi publik yang berkualitas dan infrastruktur bersepeda untuk perjalanan yang lebih jauh. Pilar-pilar utama desain ini meliputi:

  1. Kedekatan (Proximity): Fasilitas harus tersedia di tingkat lokal untuk mencakup enam fungsi sosial utama: Hidup (tempat tinggal), Bekerja, Berbelanja/Ritel, Kesehatan/Perawatan, Pendidikan, dan Rekreasi.
  2. Kepadatan (Density): Kepadatan yang memadai adalah komponen krusial. Analisis ini mempertimbangkan kepadatan penduduk (jumlah orang per kilometer persegi) dan kepadatan bangunan. Kepadatan yang cukup diperlukan untuk memastikan bahwa keberagaman fasilitas dapat didukung secara ekonomi dalam radius akses 15 menit.
  3. Keberagaman (Diversity): Ini merujuk pada percampuran tata guna lahan (multi-fungsi) yang mendorong fungsi-fungsi tersebut ada berdekatan, serta keberagaman sosial. Ini secara langsung menentang praktik zonasi terpisah yang mendominasi perencanaan kota abad ke-20.

Pengukuran Aksesibilitas Spasial

Untuk mengimplementasikan 15MC, perencanaan harus didukung oleh pengukuran spasial yang presisi. Penggunaan Peta Isochrome adalah alat penting dalam hal ini, karena secara visual dan kuantitatif mengukur area yang dapat dijangkau dalam batas waktu 15 menit, baik dengan berjalan kaki maupun bersepeda.

Analisis empiris, seperti studi kasus implementasi konsep di Kota Bukittinggi, menunjukkan bahwa peta isochrome dapat digunakan untuk menilai potensi pengurangan polusi. Dalam studi tersebut, mayoritas fasilitas utama, termasuk rumah sakit dan puskesmas, sudah dapat dijangkau dalam waktu 15 menit bersepeda. Temuan semacam ini secara spasial memvalidasi potensi kota tersebut untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan, sebagai konsekuensinya, mengurangi polusi lingkungan. Penerapan konsep ini, yang menekankan pengukuran presisi dan indikator kesehatan lingkungan, memungkinkan perencana kota untuk secara cepat mengidentifikasi lingkungan mana yang paling diuntungkan dari intervensi, serta jenis intervensi yang paling efektif.

Variasi Konseptual Global dan Adaptasi Konteks

Meskipun istilah “15-Minute City” menjadi yang paling umum digunakan secara internasional setelah dipopulerkan oleh Paris, banyak kota lain mengadopsi prinsip yang sama dengan penamaan yang disesuaikan dengan konteks lokal. Adaptasi kebijakan ini mencerminkan perbedaan dalam pola perkotaan, demografi, dan geografis.

Nama Konsep Alternatif Lokasi Keterangan Adaptasi
20-Minute Neighbourhoods Melbourne, Australia Konsep ini merupakan landasan dari Plan Melbourne 2017–2050 untuk mengatasi pertumbuhan dan penyebaran kota (sprawl). Waktu yang lebih panjang (20 menit) mungkin mencerminkan struktur perkotaan yang lebih menyebar.
Superblocks (Superilles) Barcelona, Spanyol Model struktural radikal yang berfokus pada reorganisasi jaringan jalan untuk membatasi lalu lintas terusan.
Complete Neighbourhoods Portland, Oregon, AS Diukur secara kuantitatif berdasarkan kedekatan lingkungan terhadap minimal lima dari tujuh indikator kelengkapan (misalnya, sekolah, toko kelontong, fasilitas rekreasi, transit).
Ciudad a escala humana Buenos Aires Istilah yang menekankan filosofi kota berskala manusia.
Barrios Vitales Bogotá Istilah yang berarti lingkungan vital.

Adaptasi ini menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi memerlukan fleksibilitas dan penyesuaian struktural dalam birokrasi perencanaan, bergerak dari fokus zonasi statis ke pemantauan dinamis berbasis data aksesibilitas dan mobilitas lokal.

Paris: Visi Politik dan Mekanisme Popularisasi 15MC

Kepemimpinan Walikota Anne Hidalgo

Paris, di bawah kepemimpinan Walikota Sosialis Anne Hidalgo, adalah percontohan utama dalam mempopulerkan konsep 15MC di panggung global. Visi yang didorong bersama oleh Profesor Carlos Moreno ini bertujuan utama untuk mengganti ketergantungan pada mobil dalam kehidupan sehari-hari warga Paris dengan mempromosikan lingkungan yang lebih layak huni. Dukungan politik ini begitu sentral, di mana terpilihnya kembali Hidalgo pada tahun 2020 didasarkan sebagian besar pada dukungannya terhadap konsep 15MC.

Penggunaan Tactical Urbanism dan Transformasi Permanen

Paris telah lama memulai inisiatif ramah pejalan kaki yang signifikan. Upaya-upaya ini menunjukkan bagaimana perubahan struktural yang cepat dan kadang-kadang kontroversial dapat menjadi permanen:

  1. Pedestrianisasi Tepi Sungai Seine: Sebagai bagian dari upaya mengurangi jumlah mobil di seluruh kota, dermaga bawah yang membentang di sepanjang sungai Seine diubah sepenuhnya menjadi jalur pejalan kaki pada akhir tahun 2016. Langkah ini kemudian dibuat permanen pada tahun 2018.
  2. Program ‘Jalan Sekolah’ (Rues aux Écoles): Inisiatif berbasis tactical urbanism ini bertujuan untuk meningkatkan keselamatan anak-anak dan mendorong mobilitas non-motoris. Program ini melibatkan penutupan jalan-jalan di sekitar sekolah pada jam sibuk, menciptakan ruang publik yang aman dan bebas mobil. Paris telah sukses menerapkan lebih dari 300 rues aux écoles dan bahkan telah melampaui target yang ditetapkan untuk mandat 2026. Penyediaan ruang aman semacam ini secara langsung memberi insentif pada perjalanan berkelanjutan, seperti yang ditunjukkan oleh keberhasilan kampanye National Cycle Network di Sustrans.

Disinsentif Fiskal Radikal: Tarif Parkir SUV

Untuk mencapai tujuan kota yang ramah lingkungan dan mengurangi ketergantungan mobil, Paris di bawah Hidalgo telah berani menggunakan instrumen fiskal yang radikal. Walikota memimpin pemungutan suara yang berhasil melipatgandakan biaya parkir untuk mobil besar dan bergaya SUV (kendaraan dengan bobot 1.6 ton atau lebih) di distrik pusat kota. Biaya parkir untuk pengemudi tanpa izin khusus dapat meningkat hingga 18 euro per jam.

Kebijakan anti-mobil yang berhasil ini menunjukkan bahwa perubahan paradigma memerlukan kepemimpinan politik yang kuat dan bersedia menghadapi kritik langsung. Kebijakan ini menghadapi penentangan keras dari kelompok pengemudi, seperti komunitas “40 millions d’automobilistes,” yang menganggapnya sebagai “serangan terhadap kebebasan yang dilakukan dengan dalih ramah lingkungan”. Namun, keberanian politik Hidalgo untuk menggunakan pajak SUV dan pelarangan fisik (pedestrianisasi Seine) berhasil karena didukung oleh hasil pemilu dan janji peningkatan kualitas hidup. Bagi kota-kota yang mengadopsi konsep ini, resistensi politik dan sosial harus diantisipasi, dan konflik antara kepentingan mobil individu dan kepentingan lingkungan/publik perlu dikelola melalui dialog yang berkelanjutan.

Studi Kasus Global dalam Adopsi 15MC

Barcelona: Revolusi Ruang Publik melalui Superblocks (Superilles)

Barcelona menawarkan studi kasus yang menonjol tentang restrukturisasi ruang kota yang radikal melalui program Superblocks (Superilles). Konsep Superblocks adalah unit perkotaan baru—lebih besar dari satu blok, tetapi lebih kecil dari lingkungan—yang dibentuk melalui modifikasi holistik dan terstruktur pada area yang sudah dibangun.

Mekanisme Inti dan Tujuan:

Program ini bekerja dengan mengelompokkan blok-blok tradisional dan kemudian mendistribusikan ulang area publik antara kendaraan dan manusia melalui spesialisasi jalan. Struktur mobilitas yang baru ini secara drastis membatasi lalu lintas terusan (through traffic) hanya pada jalan-jalan perimeter, membebaskan jalan-jalan di dalam Superblocks untuk fungsi-fungsi non-mobilitas seperti rekreasi, ruang komunitas, permainan, penghijauan, dan perpanjangan kehidupan lokal lingkungan. Kriteria utama yang mendasari Superblocks adalah: menekankan ruang publik sebagai aset bersama, melindungi lingkungan dari lalu lintas terusan, mengurangi polusi dan kecelakaan, serta memperkuat hak-hak pejalan kaki dan kohesi sosial.

Dampak dan Implementasi:

Proyek ini menggunakan urbanisme taktis (tactical urbanism)—langkah-langkah soft measures yang berbiaya rendah dan mudah disesuaikan—dengan penggunaan elemen tanaman dan permukaan lunak (soft/permeable surfaces) untuk mengatasi masalah impermeabilitas perkotaan dan membantu renaturalisasi ruang. Program ini diharapkan dapat memperluas ruang bebas mobil lebih dari 23 hektar dan berkontribusi pada target peningkatan area hijau perkotaan sebesar 1,6 km² atau 1 m² per penduduk. Secara mobilitas, program yang terkait dengan Urban Mobility Plan (UMP) ini diprediksi akan mengurangi penggunaan mobil pribadi sebesar 21% dan mencapai pengurangan emisi CO2 sebesar 22,6%, setara dengan penurunan 177 ton.

Saat ini, Superblocks telah diimplementasikan di lingkungan seperti Sants, Les Corts, dan Poblenou, dan direncanakan akan diperluas menjadi 503 Superblocks di seluruh kota pada masa depan.

Melbourne: Pendekatan Berbasis Komunitas (20-Minute Neighbourhoods)

Melbourne, Australia, mengadopsi prinsip 15MC melalui konsep 20-Minute Neighbourhoods, yang merupakan landasan dari Plan Melbourne 2017–2050. Prinsip ini bertujuan untuk menciptakan pusat lokal (local hubs) yang memungkinkan warga mengakses layanan penting, termasuk fasilitas kesehatan, taman, dan toko, dalam waktu 20 menit berjalan kaki dari rumah mereka.

Strategi Implementasi Pilot:

Pemerintah Victoria melalui Program Revitalisasi Suburban memilih Pusat Aktivitas Lingkungan (Neighbourhood Activity Centres/NACs) sebagai lokasi percontohan. Implementasi pilot di lokasi seperti Sunshine West dan Croydon South berfokus pada tactical urbanism dan revitalisasi lokal:

  1. Peningkatan Infrastruktur Mikro: Pekerjaan di Strathmore, Sunshine West, dan Croydon South melibatkan penciptaan parklets, penghijauan dengan pohon dan semak baru, serta dukungan kepada pedagang.
  2. Penenang Lalu Lintas: Penggunaan mural traffic-calming yang berwarna-warni di jalan, seperti di Glengala Road, bertujuan untuk memperlambat lalu lintas dan secara visual memprioritaskan pejalan kaki.

Model Melbourne ini menunjukkan bahwa kota-kota yang ingin memulai transisi dapat menggunakan tactical urbanism dan model NAC sebagai pilot proyek yang berbiaya relatif rendah dan mudah diadaptasi, memberikan “dorongan” (behavioural nudge) untuk perubahan perilaku mobilitas dan merevitalisasi ekonomi lokal.

Portland, Oregon: Healthy Connected Neighbourhood Strategy

Portland, Oregon, mengadopsi prinsip yang sama di bawah payung Complete Neighbourhoods. Strategi ini, yang diintegrasikan ke dalam Portland Plan (rencana strategis komprehensif untuk mencapai kesetaraan dan keberlanjutan perkotaan), bertujuan untuk membawa lingkungan yang lengkap ke 80% populasi kota pada tahun 2035

Pengukuran Kelengkapan:

Di Portland, “kelengkapan” didefinisikan secara kuantitatif melalui overlay spasial yang mengukur tingkat kedekatan lingkungan dengan berbagai fasilitas. Suatu area dianggap “lengkap” jika berdekatan dengan minimal lima dari tujuh indikator total, termasuk toko kelontong, fasilitas rekreasi dan taman, layanan komersial, sekolah dasar, serta infrastruktur pejalan kaki, bersepeda, dan transit. Pendekatan berbasis data ini memungkinkan identifikasi area yang memerlukan intervensi spesifik untuk mencapai inklusivitas dan aksesibilitas yang seimbang.

Strategi Mengurangi Ketergantungan Mobil (Car Dependency Reduction)

Pengurangan ketergantungan pada mobil adalah prasyarat keberhasilan 15MC. Hal ini memerlukan pendekatan Manajemen Permintaan Perjalanan (Transportation Demand Management/TDM) yang komprehensif, menggabungkan strategi push (disinsentif) dan pull (insentif).

Manajemen Permintaan Perjalanan (TDM)

Strategi TDM yang komprehensif terbukti menjadi alat yang efektif dalam mengatasi kemacetan lalu lintas. Konsep 15MC adalah bentuk TDM yang beroperasi pada tingkat tata ruang—daripada hanya mengelola perjalanan—konsep ini mengurangi kebutuhan perjalanan bermotor sebelum perjalanan tersebut dimulai. Dengan memastikan fasilitas tersedia secara lokal, perjalanan jarak jauh yang mengandalkan mobil dapat dihindari.

Kebijakan Pembatasan Akses yang Radikal

Kota-kota yang paling maju dalam transisi ini tidak hanya mengandalkan insentif, tetapi juga pembatasan yang tegas. Pelarangan kendaraan bermotor di pusat kota merupakan alat TDM yang kuat:

  • Pelarangan Mutlak: Oslo, Norwegia, telah menerapkan pelarangan kendaraan mobil di pusat kota secara permanen.
  • Pembatasan Lalu Lintas Terusan: Madrid, Spanyol, melarang mobil pendatang di pusat kota. Kota kecil seperti Pontevedra, Spanyol, menerapkan pelarangan yang sangat ketat.

Pembatasan ini, terutama yang diterapkan secara fisik (seperti dalam model Superblocks yang membatasi lalu lintas terusan), secara struktural memaksa warga untuk mempertimbangkan moda transportasi non-motoris atau publik.

Integrasi Infrastruktur Non-Motoris dan Transportasi Publik

Infrastruktur aman bagi pejalan kaki dan pesepeda adalah sine qua non dari kota yang layak huni. Walikota Paris Anne Hidalgo secara eksplisit mempromosikan lingkungan yang layak huni di mana penduduk dapat mencapai segala sesuatu yang penting dengan berjalan kaki atau bersepeda dalam 15 menit.

Sebagai contoh, Barcelona berkomitmen pada investasi infrastruktur besar melalui UMP, termasuk menyelesaikan 233 km jalur sepeda dan mengimplementasikan jaringan bus ‘ortogonal’ baru. Jaringan bus yang terintegrasi ini sangat penting untuk perjalanan yang lebih jauh yang mungkin perlu dilakukan oleh penduduk.18 Pemerintah Indonesia juga mendorong penggunaan transportasi ramah lingkungan untuk penghematan energi.

Disinsentif Pasar dan Fiskal

Strategi yang efektif menggabungkan larangan fisik dengan larangan finansial. Pajak SUV yang diterapkan di Paris adalah contoh kuat bagaimana mekanisme pasar (biaya parkir yang sangat tinggi) dapat digunakan untuk secara spesifik mendisinsentif kendaraan yang boros ruang dan polusi. Kombinasi antara pembatasan fisik lalu lintas terusan dan disinsentif finansial pada kendaraan besar memaksa warga untuk membuat pilihan mobilitas yang lebih bertanggung jawab dan sesuai dengan visi kota yang berkelanjutan.

Analisis Dampak Multidimensi 15MC dan Walkability

Manfaat yang dihasilkan dari peningkatan walkability dan penerapan konsep 15MC melampaui sekadar mengurangi kemacetan, menciptakan nilai ekonomi, sosial, dan kesehatan yang terintegrasi.

Dampak Kesehatan Publik dan Kebugaran

Konsep Walkable City secara langsung berkontribusi pada peningkatan kesehatan masyarakat. Dengan menyediakan ruang aman untuk berjalan kaki atau bersepeda, seperti yang didorong oleh Rues aux Écoles Paris  atau kampanye bike to work, aktivitas fisik harian masyarakat meningkat secara signifikan. Peningkatan kebugaran fisik ini mengurangi beban penyakit kronis. Selain itu, aspek kesehatan publik menjadi lebih tangguh, terutama selama krisis, karena penelitian menunjukkan bahwa virus tidak cepat menyebar di kawasan yang ramah pejalan kaki, memperkuat aspek kesehatan dan ketahanan kota.

Manfaat Lingkungan dan Pengurangan Emisi

Komitmen utama 15MC adalah mendukung keberlanjutan lingkungan dan mengurangi emisi karbon. Pengurangan penggunaan kendaraan bermotor, yang dikombinasikan dengan penggunaan lahan yang efisien dan berkelanjutan, menghasilkan peningkatan kualitas udara yang substansial.

Di luar pengurangan emisi, desain yang berpusat pada pejalan kaki juga meningkatkan ketahanan lingkungan. Program Superblocks Barcelona, misalnya, memasukkan renaturalisasi ruang publik baru dengan elemen tanaman dan permukaan lunak (permeable surfaces). Inisiatif ini tidak hanya menambah ruang hijau, tetapi juga membantu mengatasi masalah impermeabilitas perkotaan yang berlebihan, yang penting untuk manajemen air hujan.

Implikasi Sosial: Kohesi dan Keamanan

Model kota berbasis manusia ini menjadi antitesis dari keterasingan sosial (social isolation) yang sering terjadi di kota-kota berbasis mobil. Konsep 15MC mendorong interaksi sosial di ruang publik. Bersepeda atau berjalan kaki sehari-hari meningkatkan “pertemuan” antar warga dari berbagai latar belakang, menjembatani kesenjangan kelas sosial.

Ruang publik yang didefinisikan ulang sebagai ruang komunitas, rekreasi, dan permainan (seperti yang dilakukan di Superblocks) mendorong hubungan antar-generasi—memberdayakan anak-anak dan lansia yang sering terhambat oleh lalu lintas. Aktivitas-aktivitas sederhana ini memperkuat ikatan emosional masyarakat dengan lingkungan mereka dan meningkatkan keselamatan publik melalui vitalitas jalanan yang lebih tinggi.

Stimulasi Ekonomi Lokal (UMKM)

Peningkatan aksesibilitas melalui Walkable City dan 15MC memiliki nilai ekonomi yang tinggi, terutama dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal. Ketika kawasan menjadi lebih mudah diakses oleh pejalan kaki dan pesepeda, hal itu menstimulasi koneksi sosial komunitas di sekitarnya menjadi lebih interaktif dan inklusif, sehingga meningkatkan ekonomi lokal.

Contoh nyata adalah kegiatan bebas kendaraan bermotor seperti Car-Free Day (CFD) dan revitalisasi pusat aktivitas lingkungan (NACs) di Melbourne. Aktivitas-aktivitas ini menciptakan wadah strategis bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk memasarkan produk mereka dan meningkatkan pendapatan, membuktikan bahwa mobilitas berkelanjutan memberikan imbal hasil (Return on Investment/ROI) pada vitalitas ekonomi jangka panjang.

Tantangan, Kontroversi, dan Isu Keadilan Spasial (Equity)

Resistensi Politik dan Sosial

Implementasi 15MC sering menghadapi perlawanan yang kuat, yang merupakan tantangan universal dalam setiap perubahan paradigma struktural. Penentangan terhadap kebijakan anti-mobil di Paris, di mana kelompok pengemudi menuduh pemerintah menyerang kebebasan individu, menyoroti sifat kontroversial dari transisi ini.

Bahkan dalam proyek yang dirancang untuk kepentingan publik, seperti Superblocks di Barcelona, Dewan Kota harus memastikan tingkat dialog publik dan pembangunan konsensus sipil yang maksimal di semua fase diagnosis, proposal, dan implementasi proyek untuk mengatasi skeptisisme dan perlawanan.Keberhasilan proyek yang mengganggu status quo sangat bergantung pada kemampuan pemimpin kota untuk mempertahankan urgensi re-think ini meskipun krisis telah mereda, seperti yang ditunjukkan oleh Paris.

Keadilan Akses (Spatial Equity) dan Risiko Gentrifikasi

Meskipun 15MC bertujuan menciptakan kawasan yang inklusif untuk seluruh lapisan masyarakat, terdapat risiko inheren terkait keadilan spasial. Dalam kota-kota dengan tata ruang yang timpang, penerapan konsep ini dapat memperburuk ketidaksetaraan, di mana hanya mereka yang kaya yang mampu menikmati berbagai fasilitas perkotaan dalam radius 15 menit.

Peningkatan kualitas hidup dan aksesibilitas yang dihasilkan oleh walkability yang sukses secara signifikan dapat memicu kenaikan harga lahan, yang secara tidak sengaja dapat menyebabkan perpindahan masyarakat berpenghasilan rendah (gentrifikasi). Oleh karena itu, hasil akhirnya harus berupa kawasan yang inklusif, efisien, dan nyaman—bukan hanya untuk sebagian, tetapi untuk seluruh lapisan masyarakat. Ini hanya dapat dicapai jika perencanaan 15MC diiringi oleh kebijakan perumahan yang ketat dan integrasi perencanaan transportasi publik dengan pola permukiman yang adil.

Kebutuhan Data dan Pemantauan Non-Fisik

Evaluasi dan pemantauan proyek 15MC tidak dapat dibatasi pada infrastruktur fisik semata. Pemahaman mendalam tentang kendala non-fisik sangat penting untuk adopsi yang berkelanjutan. Studi di Pulau Neira menyoroti bahwa kendala budaya, kebiasaan masyarakat setempat, dan persepsi keamanan perlu dipertimbangkan secara cermat karena faktor-faktor ini memengaruhi mobilitas dan interaksi sosial.

Perencanaan 15MC harus mengadopsi metode kualitatif, seperti observasi dan wawancara semi-terstruktur, untuk mendapatkan pemahaman mendalam tentang realitas lokal secara menyeluruh. Selain itu, alat pemantauan kuantitatif seperti Healthy Neighbourhood Explorer diperlukan untuk secara berkelanjutan mengukur dan memetakan dampak kesehatan, ekonomi, dan iklim dari berjalan kaki dan bersepeda, memungkinkan perencana untuk mengevaluasi efektivitas intervensi secara dinamis.

Kesimpulan

Konsep 15-Minute City (Krono-Urbanisme) merepresentasikan cetak biru yang penting untuk masa depan kota. Ini adalah langkah evolusioner yang menawarkan solusi untuk mendesentralisasi kehidupan kota, menyuntikkan vitalitas kembali ke area lokal, dan mengakhiri paradigma dominasi mobil yang telah memicu polusi dan isolasi sosial. Konsep ini adalah strategi untuk mencapai ketahanan, keberlanjutan, dan identitas tempat yang lebih kuat, sebagaimana ditegaskan dalam SDG 11.

Rekomendasi Strategis untuk Kota-Kota yang Berusaha Mengurangi Ketergantungan Mobil

Berdasarkan analisis studi kasus global dan kerangka teoretis 15MC, disajikan rekomendasi kebijakan berikut untuk para pengambil kebijakan dan perencana:

  1. Prioritaskan TDM Holistik dengan Pendekatan Push and Pull: Strategi pengurangan ketergantungan mobil harus bersifat terpadu. Kota harus mengimplementasikan push factors yang kuat—seperti disinsentif fiskal yang menargetkan kendaraan besar (misalnya, pajak SUV seperti di Paris)  dan pembatasan akses lalu lintas terusan (seperti di Oslo atau Pontevedra) —yang dikombinasikan dengan pull factors berupa investasi masif dalam infrastruktur non-motoris dan sistem transportasi publik yang terintegrasi.
  2. Mengadopsi Desain Blok Skala Besar untuk Restrukturisasi Spasial: Kota-kota dengan kepadatan tinggi harus mempertimbangkan model struktural mendalam seperti Superblocks Barcelona. Model ini bukan hanya tentang kosmetik infrastruktur, tetapi tentang restrukturisasi jaringan jalan yang radikal untuk membatasi lalu lintas terusan dan secara permanen mengamankan ruang publik untuk rekreasi dan interaksi sosial.
  3. Memastikan Keadilan Akses dan Mitigasi Gentrifikasi: Transformasi 15MC harus secara eksplisit mengintegrasikan kebijakan perumahan yang melindungi masyarakat berpenghasilan rendah. Keberhasilan perencanaan harus diukur tidak hanya dari ketersediaan fasilitas, tetapi dari kesetaraan akses yang dijamin untuk seluruh lapisan masyarakat, memastikan bahwa keuntungan kualitas hidup tidak secara eksklusif dinikmati oleh kelompok kaya.
  4. Memanfaatkan Tactical Urbanism sebagai Alat Konsensus: Gunakan langkah-langkah soft measures yang cepat, berbiaya rendah, dan mudah diadaptasi (seperti program Rues aux Écoles Paris  atau mural penenang lalu lintas di Melbourne) sebagai pilot proyek untuk membangun konsensus publik. Pendekatan ini memungkinkan kota untuk menguji perubahan perilaku dan mendapatkan dukungan publik sebelum mengalokasikan modal untuk implementasi struktural permanen.

Transformasi perkotaan menuju model 15MC adalah tantangan jangka panjang yang membutuhkan keberanian politik dan inovasi desain. Masa depan mobilitas perkotaan tidak lagi ditentukan oleh kecepatan pergerakan kendaraan bermotor, melainkan oleh efisiensi waktu yang dihabiskan warga, kualitas hidup yang meningkat, dan ketahanan sosial-ekonomi lingkungan lokal. Dengan memprioritaskan pejalan kaki dan mengutamakan chrono-urbanism, kota-kota dapat menciptakan masa depan yang lebih manusiawi, berkelanjutan, dan inklusif.