Lebih dari Sekadar ‘Twinkle Twinkle’: Sisi Gelap dan Jenaka Wolfgang Amadeus Mozart
Tulisan ini menyajikan analisis mendalam mengenai dualitas kepribadian dan karya Wolfgang Amadeus Mozart (1756–1791), melampaui citra populer jenius cilik yang cemerlang. Penelitian ini berfokus pada kontradiksi antara ekspresi jenaka dan vulgar sang komposer, serta kedalaman emosional dan kegelapan yang mewarnai karya-karya utamanya dan tahun-tahun terakhir kehidupannya.
Introduksi dan Dekonstruksi Citra Klasik
Mozart dalam Imajinasi Publik: Mitos Jenius Naif
Wolfgang Amadeus Mozart seringkali diidentifikasi dalam imajinasi publik sebagai perwujudan kejeniusan Klasik yang murni dan ringan, sering disamakan dengan kesempurnaan melodi seperti yang ditemukan dalam variasi piano terkenalnya, K. 265 (“Twinkle Twinkle Little Star”). Citra ini, meskipun mencerminkan kualitas luar biasa dari output musiknya, mengaburkan sisi yang jauh lebih kompleks dan seringkali bermasalah dari dirinya. Namun, film dan adaptasi budaya lainnya mulai menyoroti aspek pribadinya yang lebih kasar, menggambarkannya sebagai sosok yang “rambunctious, bordering on degenerate” di usia 20-an.
Untuk memahami sepenuhnya kejeniusan Mozart, kita harus menerima ambiguitas dan kontradiksi yang melekat pada karakternya—kemampuan unik untuk menempatkan yang vulgar dan yang sublime dalam satu nafas artistik. Dekonstruksi citra ini membutuhkan pemeriksaan ulang terhadap kehidupan pribadinya, terutama status keuangannya dan sikapnya yang memberontak terhadap otoritas pada era Klasik.
Membongkar Mitos: Status Keuangan dan Konflik dengan Otoritas
Narasi yang umum, dipopulerkan di abad ke-19, menggambarkan Mozart sebagai seniman yang miskin dan mati dalam keadaan pailit, lalu dikubur di kuburan tak bertanda. Namun, bukti historis dan ekonomi yang dikumpulkan pada pameran tahun 2006 telah secara signifikan mengubah perspektif ini.
Mozart, selama masa puncaknya sebagai musisi independen di Wina pada tahun 1780-an, menghasilkan pendapatan tahunan yang mencapai hingga 10.000 florin. Jumlah ini menempatkannya secara konsisten dalam 5% teratas pencari nafkah di Wina. Sebagai perbandingan, hidup nyaman saat itu hanya membutuhkan sekitar 500 florin per tahun. Status keuangannya memungkinkan dia untuk hidup mewah, ditunjukkan dengan kepemilikan apartemen tujuh kamar, meja biliar, dan bahkan tempat parkir untuk kereta.
Masalah utama Mozart bukanlah kurangnya pendapatan, melainkan manajemen keuangan yang buruk dan kebiasaan pengeluaran yang melampaui batas. Meskipun ia sering harus memohon pinjaman dari teman dan pelindung (kemungkinan karena gaya hidup mewah atau dugaan perjudian), utang-utang ini segera dilunasi setiap kali ada komisi baru yang masuk. Ketidakstabilan finansial ini, yang merupakan konsekuensi langsung dari keputusannya menjadi freelancer , menciptakan tekanan psikologis yang intens di tahun-tahun terakhirnya.
Tindakan Mozart yang berjuang untuk menjadi seniman independen di Wina merupakan langkah “revolusioner” yang secara signifikan mengubah jalan hidupnya. Keputusannya pada tahun 1781 untuk melepaskan diri dari Uskup Agung Colloredo dari Salzburg—sebuah posisi stabil yang didambakan ayahnya—adalah tindakan pemberontakan yang berani. Konflik ini memuncak dengan pemecatan kasar dari kamar Uskup Agung, di mana ia disebut “badut” dan “penipu” dan dilempar keluar “dengan tendangan di pantat”. Selain melawan Colloredo, Mozart juga secara tegas menolak tuntutan keras ayahnya, Leopold, untuk kembali ke Salzburg. Penolakan terhadap kontrol institusional dan patriarki ini menegaskan citranya sebagai komposer paling pemberontak di Eropa.
Kisah kemiskinan Mozart yang populer di abad ke-19 berfungsi sebagai lensa Romantik yang mengagungkan seniman jenius yang tertindas oleh masyarakat, mengaburkan fakta bahwa ketidakstabilan keuangannya lebih merupakan hasil dari pilihan gaya hidup dan akuntansi yang buruk daripada kegagalan artistik. Namun, tekanan yang diciptakan oleh instabilitas ini secara langsung berkontribusi pada tone gelap dan cemas yang muncul dalam karya-karya puncaknya di akhir dekade tersebut.
Anatomi Sisi Jenaka: Skatologi dan Konteks Budaya
The Bawdy Composer: Analisis Surat-Surat Bäsle
Sisi jenaka Mozart termanifestasi paling jelas dalam korespondensi pribadinya dan komposisi rekreasi tertentu. Surat-surat yang ditulisnya kepada sepupunya, Maria Anna Thekla Mozart—dikenal sebagai Bäsle Briefe—menjadi bukti utama kegemarannya pada humor kasar. Surat-surat ini, yang ditulis sekitar usia 20 tahun, ditandai dengan sebutan intensif istilah skatologi (bahasa yang berkaitan dengan ekskresi) dan topik-topik erotis.
Materi ini telah menjadi teka-teki bagi para sarjana, mendorong beberapa upaya untuk menafsirkannya melalui lensa psikiatri, dengan klaim bahwa Mozart mungkin menderita Sindrom Tourette—di mana coprolalia (keinginan untuk mengucapkan kata-kata kotor) adalah salah satu gejalanya. Namun, analisis medis-historis yang lebih bernuansa menunjukkan bahwa bukti ini tidak meyakinkan. Ciri-ciri skatologi ini tidak secara jelas menunjukkan diagnosis Tourette, melainkan mungkin terkait erat dengan aspek psiko-sosial dan budaya pada masa itu.
Budaya Vulgar dan Ekspresi Anti-Kemapanan
Humor skatologi yang dipertontonkan oleh Mozart harus dipahami dalam konteks peran sosialnya. Ungkapan kasar, seperti frasa dalam bahasa Jerman Leck du mich im Arsch (“jilat pantatku”), adalah ungkapan yang umum digunakan dalam lingkaran keluarga Mozart sendiri. Jauh dari sekadar keanehan pribadi, humor skatologi berfungsi sebagai bentuk komunikasi yang, meskipun kasar, menyediakan katup pelepas tegangan dari formalitas kaku masyarakat istana abad ke-18.
Kecenderungan ini juga diabadikan dalam karya musik rekreasi Mozart. Komposisinya yang paling terkenal dalam genre ini adalah kanon K. 231 (K. 382c), yang berjudul Leck mir den Arsch. Karya semacam itu merupakan manifestasi dari sifatnya yang rambunctious. Dengan memasukkan bahasa vulgar ke dalam kerangka musik, Mozart secara efektif menjadi ‘pengepos sampah’ musik Klasik—menggunakan musik sebagai sarana untuk satire atau trolling, menunjukkan sisi anti-kemapanan yang mendalam.
Penggunaan bahasa yang sangat vulgar ini dapat dipandang sebagai bentuk penolakan subliminal terhadap etiket elit yang ia layani. Sebagai seniman yang secara revolusioner menolak otoritas (Colloredo) dan kontrol (Leopold) , humor ini mendukung citranya sebagai komposer yang tidak hanya jenius dalam struktur, tetapi juga pemberontak budaya, yang menolak untuk tunduk pada norma-norma kesopanan aristokratis yang kaku.
Tabel berikut mengkontekstualisasikan dualitas humor skatologi Mozart:
Kontekstualisasi Humor Skatologi Mozart
| Elemen Skatologi | Contoh (Karya/Surat) | Interpretasi Konvensional (Mitos) | Analisis Historis (Fakta) |
| Bahasa Vulgar dalam Korespondensi | Bäsle Briefe | Gejala Sindrom Tourette (Coprolalia) | Ekspresi budaya sosial/keluarga yang umum; bukti psikologis tidak meyakinkan |
| Kanon Musik | Leck mir den Arsch (K. 231) | Kenakalan pribadi atau degenerasi | Bagian dari tradisi musikal populer dan satire Eropa; menunjukkan sifat anti-kemapanan |
Sisi Gelap I: Intensitas Emosional dan Manifestasi Sturm und Drang
Simfoni G Minor, K. 550: Puncak Ekspresi Gelap
Jika sisi jenaka Mozart tercermin dalam bahasa kotor, sisi gelapnya ditemukan dalam evolusi musikalnya menuju kedalaman emosional dan disonansi yang mendalam. Periode musim panas 1788 ditandai oleh produktivitas yang luar biasa, di mana Mozart menyelesaikan tiga simfoni terakhirnya (No. 39, No. 40, dan No. 41). Simfoni No. 40 dalam G minor, K. 550, adalah karya yang paling mencolok secara emosional, dan hanya satu dari dua simfoni bernomor yang ia tulis dalam kunci minor.
Tahun 1788 merupakan tahun yang “gelap” bagi Mozart. Ia menghadapi tekanan finansial yang parah—audiens Wina semakin tidak antusias dengan konsernya, dan tagihan menumpuk. Selain kesulitan ekonomi ini, kematian putri bayinya, Theresia, terjadi tak lama setelah ia menyelesaikan Simfoni No. 39. Korespondensi dari periode ini mengungkapkan bahwa Mozart kesulitan “untuk melihat melampaui bayangan,” sebuah kondisi yang banyak dikaitkan dengan sifat cemas dan melankolis yang luar biasa dalam K. 550.
Pilihan kunci G minor dan sifatnya yang gelisah mencerminkan ketertarikannya pada gerakan artistik Sturm und Drang (Storm and Stress). Gerakan ini, yang memengaruhi penulis seperti Goethe dan Schiller, menarik komposer Austria dan Jerman untuk menghasilkan karya yang merupakan “ekspresi yang terdengar dari kecemasan”. Meskipun penggunaan G minor untuk karya yang cemas adalah pilihan konvensional dalam konteks Sturm und Drang (dipakai oleh Haydn dan J.C. Bach) , pemilihan kunci dan intensitas K. 550 sangat beresonansi dengan kesulitan pribadi Mozart. Ia menggunakan kerangka estetika ini sebagai wadah untuk menuangkan kecemasan dan kesedihan pribadinya, menjadikan K. 550 sebagai bukti bahwa kejeniusannya mampu mengartikulasikan penderitaan subjektif manusia.
Katalog Melankolis: Disonansi dan Kesedihan
Ekspresi emosional yang mendalam dan gelap bukanlah fenomena yang terisolasi pada K. 550, tetapi merupakan fitur yang semakin menonjol di tahun-tahun dewasa Mozart, sering kali terkait dengan peristiwa tragis pribadinya. Misalnya, Sonata Piano No. 8 dalam A minor, K. 310, ditulis tak lama setelah kematian ibunya dan memiliki gerakan kedua yang sangat sedih.
Karya-karya lain menunjukkan peningkatan disonansi dan konten yang mendalam, melampaui formalitas Klasik:
- Adagio dan Fugue dalam C minor, K. 546: Karya ini digambarkan sebagai “fantasia gelap,” ditandai oleh figur melodi yang gelisah dan ketegangan harmonik yang signifikan. Meskipun menggunakan kontrapung yang rigorus, karya ini menyampaikan “rasa krisis emosional yang jelas”.
- Konserto Piano dan Musik Kamar: Konserto Piano No. 20 dalam D minor dan gerakan kedua dari Konserto Piano No. 23 dalam A major (K. 488) juga sering disorot karena sifatnya yang melankolis dan introspektif.
- Idomeneo (1781): Kedalaman emosional ini berakar pada periode ketika Mozart pertama kali memperjuangkan kemerdekaan artistik di Wina. Opera Idomeneo menandai integrasi kekuatan dramatis, kedalaman emosional, dan inovasi yang penuh gairah. Karya ini sangat personal, bahkan mampu membuatnya menangis karena ingatan dan musiknya bertahun-tahun kemudian. Idomeneo menjadi kawah peleburan bagi rasa diri Mozart sebagai seniman yang kompleks dan dramatis.
Sisi Gelap II: Moralitas Ambiguitas dalam Don Giovanni
Il Dissoluto Punito: Antara Komedi dan Moralitas
Opera Don Giovanni (1787), digambarkan sebagai dramma giocoso (drama jenaka/main-main), adalah salah satu karya Mozart yang paling mengganggu secara moral. Judul aslinya, Il Dissoluto Punito ossia Don Giovanni (Si Bejat yang Dihukum, atau Don Giovanni), secara eksplisit menekankan bahwa pengutukan kecabulan dan hukuman kekal adalah pilar narasi. Librettis Lorenzo Da Ponte bermaksud tegas untuk menghukum protagonis.
Namun, penerimaan opera ini telah lama diselimuti ambiguitas moral. Musiknya yang memikat (enthralling) telah membingungkan sentimen pendengar. Para penafsir Romantik abad ke-19, dimulai oleh filsuf Denmark Søren Kierkegaard, melihat Don Giovanni sebagai pahlawan, lambang energi erotis dan daya hidup, yang kejatuhannya membuat dunia terasa “abu-abu dan miskin”.
Analisis karakter yang lebih kritis menekankan sisi gelap Don Giovanni: ia adalah predator seksual yang mengerikan, narsisis antisosial, dan pembunuh. Kejeniusan musik Mozart justru menyoroti kehampaan moral Don. Berbeda dengan karakter utama lainnya, Don Giovanni tidak memiliki aria reflektif berskala penuh. Keputusan musikal ini menekankan ketidakmampuannya untuk merasakan kedalaman emosi atau kesedihan, memperkuat penggambarannya sebagai “kosong”.
Kontradiksi Musik: Penolakan Mozart terhadap Balas Dendam
Meskipun secara naratif Don Giovanni pantas dihukum, moralitas opera menjadi arena kontradiksi. Mozart secara konsisten terobsesi dengan penolakan terhadap moralitas yang didasarkan pada balas dendam (repudiation of a morality based upon revenge). Dalam karya-karya Klasik lainnya (Idomeneo, The Marriage of Figaro, The Magic Flute, dan La clemenza di Tito), belas kasihan dan kelembutan selalu menang atas kedengkian.
Musik pada adegan akhir tak salah lagi memberikan hukuman yang “mengerikan dan menakutkan” , yang menegaskan kecaman moral. Namun, ketidaknyamanan Mozart dalam sepenuhnya mendukung pembalasan dendam terlihat ketika para karakter lain merayakan hukuman Don Giovanni dalam ensemble terakhir. Adegan ini sering terasa “tidak meyakinkan dan hambar,” bahkan sering dipotong dalam pertunjukan (misalnya, oleh Gustav Mahler). Ketidaknyamanan musikal ini menunjukkan bahwa libretto Da Ponte yang menuntut pembalasan, dalam beberapa hal, adalah “kecocokan yang buruk” (bad fit) dengan perhatian humanis Mozart.
Resolusi Humanis: Pertumbuhan Karakter Wanita
Mozart memecahkan dilema moral ini dengan mengalihkan fokus emosional opera dari hukuman Don Giovanni ke perjalanan karakter wanita yang ditinggalkannya. Mereka menjadi pusat emosional, melalui kesusahan dan pertumbuhan, menemukan konsepsi cinta yang lebih kaya dan menolak pembalasan:
- Donna Elvira: Awalnya didorong oleh balas dendam, ia akhirnya menjadi pusat emosional opera, beralih dari pembalasan ke kasih sayang (compassion atau pietà), meskipun sia-sia, terhadap Don.
- Donna Anna: Meskipun awalnya menuntut pembalasan demi kehormatan aristokrat (Or sai chi l’onore), di akhir opera, ia menyanyikan Non mi dir, mengekspresikan kelembutan dan harapan yang bersemangat untuk masa depan cinta, menunjukkan transisi dari mentalitas balas dendam.
- Zerlina: Ia mudah mengakses kelembutan karena posisinya di luar ikatan kehormatan aristokrat yang kaku. Ia mengajukan cinta seksual sebagai penyembuh luka yang diciptakan oleh persaingan sia-sia antar pria.
Sisi gelap Don Giovanni adalah pengakuan Mozart bahwa hasrat yang tak terbatas dan nihilisme harus dihukum, tetapi sisi humanisnya tidak dapat menahan diri untuk tidak memberikan simpati melalui mereka yang ditinggalkan. Opera ini berfungsi sebagai kritik sosial terhadap maskulinitas dominan yang kasar, yang selalu digambarkan Mozart secara negatif, seperti yang juga terlihat dalam karakter Count dalam The Marriage of Figaro.
Bayangan Kematian: Requiem dan Warisan yang Belum Selesai
Misteri Patron Phantom dan Narasi Tragedi
Sisi gelap Mozart yang paling abadi terukir dalam karyanya yang belum selesai: Requiem dalam D minor, K. 626. Karya ini dikerjakan pada akhir 1791, tahun kematiannya. Komisi datang dari seorang utusan misterius, yang belakangan diketahui adalah Count Franz von Walsegg, seorang bangsawan yang dikenal karena memesan karya secara anonim dengan niat untuk mengklaimnya sebagai karyanya sendiri.
Kisah sensasional seputar Requiem sebagian besar diciptakan oleh janda Mozart, Constanze. Menghadapi tumpukan utang dan karya yang belum selesai, Constanze menciptakan narasi utusan bertopeng untuk melindungi komisi dan menjamin pembayaran. Meskipun demikian, narasi tersebut diperkuat oleh kenyataan bahwa Mozart sendiri, dengan kesehatan yang menurun drastis, menjadi terobsesi, percaya bahwa ia sedang menulis misa untuk pemakamannya sendiri—sebuah detail yang mengerikan.
Kematian Prematur dan Spekulasi Medis
Mozart jatuh sakit parah pada Oktober 1791 dan meninggal pada 5 Desember, pada usia 35 tahun. Selama hidupnya, ia menderita serangan tonsilitis berulang, demam rematik, dan penyakit ginjal. Penyebab pasti kematiannya tetap menjadi misteri, memicu teori yang beragam, termasuk pembunuhan oleh rival (Salieri) dan keracunan. Teori medis yang paling kredibel saat ini menunjukkan bahwa penyebab kematiannya adalah komplikasi Schönlein-Henoch syndrome, yang menyebabkan nefritis glomerular dan gagal ginjal kronis. Bahkan praktik medis kontemporer, seperti penarikan darah (venesection), mungkin telah memperburuk kondisinya.
Kematiannya yang mendadak, misteri komisioning, dan karya terakhirnya yang belum selesai memberikan panggung yang sempurna bagi tafsiran Romantik abad ke-19, yang membutuhkan citra jenius yang menderita.
Intensitas K. 626: Testamen Personal dan Universal
Terlepas dari misteri dan kontroversi penyelesaiannya (oleh Franz Xaver Süssmayr), Requiem tetap menjadi testamen musikal yang luar biasa dalam intensitas perasaannya. Kualitas emosional karya ini beralih antara ekstrem—bagian Dies iræ yang “marah dan menakutkan,” hingga Lacrimosa (yang ia hanya selesaikan delapan bar) yang “sangat indah dan lembut,” mencerminkan spektrum emosi manusia yang mendalam.
Mozart secara sadar menciptakan warna orkestra yang suram untuk karya ini. Ia menghilangkan instrumen yang lebih cerah (flute, oboe, klarinet, horn) dan malah menggunakan basset horn (anggota klarinet yang bersuara rendah) dan tiga trombon, yang saat itu terkait dengan gereja dan teater.
Kompleksitas di akhir hayat Mozart (1788-1791) bukan hanya karena masalah pribadi, tetapi juga karena ia secara artistik merespons perubahan zaman—pergerakan dari Klasisisme formal ke ekspresi emosional yang melankolis dan introspektif. Requiem, digabungkan dengan cerita tragis yang diciptakan oleh Constanze untuk mengamankan pendapatan , menyegel posisinya sebagai pelopor estetika Romantik, seorang genius yang meninggal saat berada di puncak tragedi artistik.
Kesimpulan: Jenius yang Manusiawi dan Ambigu
Tulisan ini menunjukkan bahwa kejeniusan Mozart jauh lebih kompleks daripada citra “Twinkle Twinkle” yang disederhanakan. Kejeniusannya didefinisikan oleh kemampuannya untuk merangkul dan menyeimbangkan kontras ekstrem: vulgaritas skatologi dalam korespondensi dan kanonnya dengan keagungan spiritual dalam misa dan opera besar.
Mozart adalah seorang pemberontak yang memilih jalan karir yang tidak stabil di Wina, dengan berani melepaskan diri dari otoritas kaku Uskup Agung Colloredo. Meskipun ia adalah salah satu pencari nafkah tertinggi di Wina , ia gagal dalam akuntansi, dan tekanan finansialnya berkontribusi pada tone yang sangat cemas dan gelap dalam karya-karya tahun 1788, seperti Simfoni No. 40 dalam G minor.
Dalam karya-karya moralnya, seperti Don Giovanni, ia menunjukkan sisi humanis yang menolak balas dendam, bahkan ketika plot menuntut pembalasan. Ia mengubah hukuman yang kejam menjadi perjalanan emosional bagi para korban, mencerminkan keprihatinan humanis yang mendalam.
Kompleksitas inilah yang menjadi inti daya tarik abadi Mozart di era modern—bahwa seorang jenius yang menciptakan musik yang paling murni dan sempurna secara struktural juga adalah seorang shitposter klasik, seorang individu yang berjuang dengan utang, dan seorang manusia yang merasakan kecemasan dan kesedihan yang mendalam. Kematian prematur dan warisan Requiem yang menghantui memastikan bahwa warisannya tidak hanya cemerlang, tetapi juga tragis.
Berikut ringkasan dekonstruksi mitos keuangan Mozart:
Dekonstruksi Mitos Keuangan Mozart (Wina 1780-an)
| Klaim Populer (Mitos) | Data Historis/Ekonomi | Implikasi (Analisis Historis) |
| Mozart meninggal dalam kemiskinan mutlak (Pauper) | Pendapatan tahunan mencapai 10.000 florin; tergolong 5% top earner di Wina | Pendapatan tinggi tetapi tidak stabil (freelance); masalah terletak pada pengeluaran mewah dan manajemen utang |
| Gagal secara artistik dan ditinggalkan publik | Perubahan selera publik dan perang memangkas komisi | Masalahnya adalah kepribadian yang menolak otoritas dan keengganan mengambil posisi stabil |
| Kematian yang misterius dan tragis | Kemungkinan Schönlein-Henoch syndrome, gagal ginjal kronis | Narasi tragis diperkuat oleh Constanze untuk mengamankan Requiem dan memicu mitos Romantik |
Mozart, sang maestro yang vulgar, memberontak, dan sangat manusiawi, telah menetapkan standar bagi ungkapan emosi pribadi dalam musik, menjadi jembatan artistik tak tertandingi antara keteraturan Klasisisme dan pathos Romantisisme.


