Mengurai Kekuatan Media Sosial dan Pembentukan Psikologi Massa Digital Global
Tulisan ini menyajikan analisis mendalam mengenai bagaimana media sosial telah merevolusi psikologi massa, menciptakan entitas transnasional yang dikenal sebagai “Massa Digital.” Tulisan ini fokus pada mekanisme penyebaran disinformasi dan kampanye politik, membandingkan dinamika respons emosional dan kerangka regulasi di Amerika Utara (NA), Eropa (EU), dan Asia Tenggara (SEA).
Kerangka Konseptual dan Arsitektur Emosional Massa Digital
Definisi Ulang Massa Digital: Dari Alun-Alun ke Algoritma
Perkembangan teknologi digital telah memicu pergeseran fundamental dalam cara mobilisasi politik dan sosial terjadi. Secara historis, mobilisasi massa membutuhkan pemimpin karismatik yang menyampaikan orasi di ruang publik fisik—seperti alun-alun—untuk membangun dukungan yang kuat. Namun, media baru telah mentransformasi gerakan sosial, menjadikannya tidak hanya berupa aksi fisik, tetapi juga mengambil bentuk-bentuk gerakan yang lebih variatif melalui platform digital.
Kekuatan yang dulunya terletak pada orasi yang persuasif kini telah berpindah ke simbolisme viral yang instan. Pergeseran ini menunjukkan bahwa kekuatan komunikatif telah bertransisi dari Rasionalitas Komunikasi, yang menuntut perhatian, retorika, dan waktu untuk berargumentasi, menuju Efisiensi Emosional Simbolis. Dalam lanskap ini, sebuah meme yang viral sudah cukup untuk menyatukan atau memecah belah jutaan orang dalam hitungan jam.
Keberhasilan meme atau konten viral yang sederhana ini dapat dijelaskan melalui masalah struktural lingkungan informasi modern, yaitu cognitive overload. Dalam kondisi kelebihan informasi ini, masyarakat kesulitan menyaring dan menerima semua data yang masuk. Pesan yang kompleks (seperti pidato politik) memerlukan perhatian yang tinggi, sementara simbol visual yang ringkas, sederhana, dan sangat emosional memiliki daya serap dan viralisasi yang jauh lebih tinggi. Konsekuensinya, tindakan pasif seperti mengeklik tombol “share” memiliki efek kausal yang lebih dominan dalam mobilisasi massa dibandingkan dengan aksi pendengar yang secara fisik menghadiri orasi politik.
Mesin Emosional Viralisasi: Analisis Kognitif dan Peran Emosi sebagai Akselerator Disinformasi
Penyebaran misinformasi dan disinformasi didorong oleh interaksi yang rumit antara desain algoritmik platform dan faktor psikologis pengguna. Model perilaku menunjukkan bahwa paparan misinformasi meningkatkan kemungkinan orang untuk memercayainya, yang pada gilirannya meningkatkan kemungkinan mereka menyebarkannya. Namun, faktor psikologis menunjukkan bahwa orang tidak harus memercayai misinformasi untuk menyebarkannya; mereka mungkin membagikannya untuk memberi sinyal afiliasi politik, menyerang lawan, atau mendapatkan imbalan sosial. Informasi yang selaras dengan identitas pribadi, norma sosial, bersifat baru (novel), dan yang terpenting, memicu emosi yang kuat, memiliki peluang penyebaran yang jauh lebih tinggi.
Amplifikasi Algoritmik dan Polarisasi
Dunia digital secara inheren mendorong polarisasi melalui algoritma rekomendasi. Personalisasi konten ini menciptakan fenomena filter bubble bagi pengguna. Perilaku pengguna yang secara selektif memilih narasi atau konten yang sudah sesuai dengan pandangan mereka sendiri kemudian menciptakan echo chamber. Kombinasi filter bubble dan echo chamber ini menjadi lahan subur bagi propaganda yang memperkuat polarisasi antar pendukung, sebuah fenomena yang jelas terlihat dalam kontestasi Pemilihan Presiden di Indonesia.
Karena disinformasi sering kali didorong oleh kebutuhan identitas (yaitu, menunjukkan kesetiaan kelompok) daripada kebutuhan kognitif (yaitu, memverifikasi fakta), upaya penangkalan murni yang berbasis fakta (debunking) seringkali gagal. Ini menunjukkan bahwa disinformasi telah bertransformasi dari masalah faktual menjadi masalah sosial-emosional.
Diferensiasi Emosional Lintas Platform
Analisis menunjukkan bahwa strategi emosional yang digunakan dalam disinformasi disesuaikan dengan arsitektur dan audiens spesifik setiap platform, yang terlihat pada studi kasus di Eropa (Spanyol).
Pada platform berbasis teks dan berita cepat seperti X (Twitter), disinformasi cenderung terkait dengan peningkatan kesedihan (sadness) dan ketakutan (fear). Emosi ini adalah pendorong untuk kewaspadaan dan kepanikan sosial. Sebaliknya, pada platform multimodal seperti TikTok, disinformasi berkorelasi dengan level kemarahan (anger) dan rasa jijik (disgust) yang lebih tinggi. Kemarahan dan rasa jijik adalah emosi high-arousal yang secara maksimal mendorong shareability instan.
Perbedaan ini diperkuat oleh analisis linguistik dan audio. Konten disinformasi cenderung menggunakan negasi, kata-kata yang memicu persepsi, dan anekdot pribadi untuk tampak kredibel. Lebih lanjut, pada TikTok, audio yang manipulatif—memanfaatkan variasi tonal, kedalaman emosi, dan elemen musik—digunakan untuk mengamplifikasi keterlibatan, sementara konten tepercaya cenderung menampilkan nada yang lebih cerah atau narasi robotik/monoton.
Tabel 1 meringkas diferensiasi ini, menyoroti bahwa disinformasi adalah senjata yang dikalibrasi sesuai medium.
Tabel 1: Matriks Pemicu Emosi Disinformasi Berdasarkan Platform dan Konteks (Contoh Spanyol/Eropa)
| Platform | Konteks Kunci Disinformasi | Emosi Pendorong Utama (Amplifikasi) | Karakteristik Linguistik/Audio |
| X (Twitter) | Krisis/Bencana (Banjir DANA) | Sadness, Fear (Ketakutan, Kesedihan) | Menggunakan Negasi, Kata Perseptual, Nada Partisan |
| TikTok | Krisis/Bencana (Banjir DANA) | Anger, Disgust (Kemarahan, Jijik) | Kedalaman Emosi Audio, Musik Manipulatif (Multimodal) |
| Media Sosial (Umum) | Politik AS (Pemilu 2020) | High on all emotions (“Hot” Users) | Selaras dengan Afiliasi Politik, Memicu Signal Social |
Geografi Polaritas: Perbandingan Dinamika Disinformasi Regional
Meskipun media sosial bersifat global, respons massa dan dinamika disinformasi menunjukkan pola yang berbeda secara regional, dipengaruhi oleh struktur politik, budaya, dan tingkat kerentanan domestik.
3.0 dan Partisan Signalling
Di Amerika Utara, disinformasi sering kali dibingkai dalam konteks keamanan nasional. Disinformasi diakui secara luas sebagai ancaman keamanan utama terhadap masyarakat demokratis dan institusi, terutama setelah munculnya tuduhan intervensi asing yang bermusuhan dalam beberapa tahun terakhir.
Komunitas Intelijen AS (IC) secara berkala menilai bahwa jaringan pengaruh online yang berafiliasi dengan negara asing, termasuk dari China, Iran, dan Rusia, terus memanfaatkan platform media sosial untuk memengaruhi wacana publik dan isu-isu sosiopolitik AS. Taktik yang paling umum digunakan oleh aktor asing adalah penggunaan akun media sosial inautentik untuk memperkuat konten propaganda, perpecahan, dan kepalsuan.
Aktor-aktor ini, khususnya Rusia, menyebarkan narasi yang bertujuan merusak kepercayaan terhadap pemilu dan demokrasi. Namun, kekuatan utama operasi pengaruh ini terletak pada eksploitasi kerentanan domestik. Aktor asing tidak menciptakan perpecahan; mereka mengamplifikasi narasi yang sudah ada. Mereka berupaya mengembangkan dan menyebarkan jaringan aktor pengaruh yang memperkenalkan variasi narasi yang sama, sering kali dengan penolakan yang masuk akal (plausible deniability). Orang-orang AS yang tidak sadar (unwitting U.S. persons) kemudian menyebarkan narasi ini dengan membagikan atau menyukai konten tersebut, melipatgandakan jangkauan keseluruhannya. Fokus yang kuat pada intervensi asing di NA berisiko mengabaikan kebutuhan untuk mengatasi polarisasi domestik yang menciptakan permintaan aktif bagi disinformasi partisan ini.
Lingkungan Informasi Eropa (EU): Tantangan Kedaulatan Internal dan Respon Regulasi Proaktif
Di Eropa, dinamika disinformasi bersifat dwitunggal, melibatkan ancaman hibrida eksternal dan perpecahan internal yang signifikan. Disinformasi diakui sebagai bagian dari aktivitas ancaman hibrida. Namun, studi menunjukkan bahwa disinformasi sering kali merupakan gejala, bukan penyebab, dari kerusakan kohesi sosial yang lebih dalam dan tata kelola demokratis.
Misalnya, di wilayah Balkan Barat, sebagian besar aktor yang memproduksi dan menyebarkan disinformasi adalah aktor internal. Di lingkungan politik yang didominasi oleh satu kelompok (seperti Serbia dan Montenegro), disinformasi melayani garis partai (party line) dan bertujuan melemahkan oposisi. Di tempat lain, pembagian etnis dan sektarian yang mendalam, seperti di Bosnia dan Herzegovina, mendorong disinformasi xenofobik.
Meskipun negara-negara anggota Uni Eropa menunjukkan “pendekatan yang sangat berbeda dalam memahami dan menangani berita palsu” —dengan beberapa negara seperti Polandia mendefinisikan disinformasi sebagai melanggar hukum —respons UE secara keseluruhan bersifat proaktif, berusaha mengendalikan lingkungan informasi domestik yang terfragmentasi. Regulasi DSA/DMA UE dirancang untuk memaksa platform global agar mengambil tanggung jawab atas konten yang dapat memicu disrupsi internal.
Lingkungan Informasi Asia Tenggara (SEA): Amplifikasi Konflik dan Dampak Kekerasan Offline
Asia Tenggara (SEA) menghadirkan skenario yang paling mengkhawatirkan: di sini, disinformasi memiliki konsekuensi fisik yang mematikan dan konsekuensi kekerasan massal.
Kerentanan struktural yang dalam, terutama terkait isu SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) di Indonesia, menjadi konflik yang mudah dimobilisasi melalui media sosial. Kegagalan platform dalam memoderasi ujaran kebencian di wilayah dengan perpecahan etnis yang mendalam telah menghasilkan hasil yang tragis. Misi Pencarian Fakta PBB menemukan bahwa Facebook memainkan peran yang “signifikan,” bahkan “menentukan,” dalam genosida Rohingya di Myanmar, dengan memfasilitasi ujaran kebencian, koordinasi, dan kekerasan offline. Ini menunjukkan bahwa di SEA, disinformasi adalah ancaman eksistensial terhadap keselamatan fisik, bukan hanya ancaman kelembagaan.
Dari segi psikologi massa, Indonesia menghadapi tantangan cognitive overload yang parah di tengah meluasnya narasi tak beretika/amoral, membuat masyarakat kesulitan menyaring dan menerima informasi yang berlebihan. Meskipun studi tentang literasi berita tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara sampel Indonesia dan Malaysia, peserta di Indonesia melaporkan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi pada media online. Kepercayaan tinggi pada media online, dipadukan dengan cognitive overload, menciptakan kerentanan ganda. Meskipun persepsi risiko misinformasi di wilayah yang lebih luas (Asia Selatan) dilaporkan rendah , risiko nyata kekerasan yang dimobilisasi secara digital sangat tinggi. Ruang siber secara eksplisit diakui sebagai medan baru pertahanan nasional di Indonesia.
Tabel 2: Perbandingan Dinamika Disinformasi dan Respons Massa di Tiga Kawasan
| Kawasan | Vektor Disinformasi Dominan | Dampak Utama pada Psikologi Massa | Konsekuensi Kritis (Risiko Tertinggi) | Persepsi Risiko Misinformasi (Rata-rata) |
| Amerika Utara | Intervensi Asing, Polarisasi Partisan | Perpecahan Sosial, Erosi Kepercayaan Pemilu | Kegagalan Institusi Demokrasi | Tinggi (tertinggi di liberal democracies) |
| Eropa | Ancaman Hibrida, Politik Internal Oportunistik [7, 10] | Erosi Kepercayaan Publik, Fragmentasi Etno-politik | Ketidakstabilan Regional, Pelanggaran Hukum Kebencian | Sedang hingga Tinggi (Bervariasi) |
| Asia Tenggara | Konflik Sektarian/Etnis, Domestic Governance | Mobilisasi Emosional Cepat, Cognitive Overload | Kekerasan Nyata dan Genosida Offline | Rendah (di Asia Selatan/Bervariasi di SEA) |
Tata Kelola Lintas Batas dan Mencari Keseimbangan Regulasi
Konflik Yurisdiksi Digital: Ketika Kedaulatan Nasional Bertemu Raksasa Teknologi Global
Tantangan terbesar dalam memerangi disinformasi terletak pada konflik antara yurisdiksi digital platform global dan kedaulatan negara. Yurisdiksi digital yang baru telah berinteraksi buruk dengan institusi politik dan hukum nasional yang sudah ada, menantang kapasitas negara berdaulat untuk melindungi warga mereka, menegakkan hukum, dan menetapkan norma fundamental.
Bagi negara-negara seperti Indonesia, isu ini merupakan “perang siber” yang menyentuh aspek kedaulatan informasi bangsa. Meskipun pemerintah menyediakan fasilitas seperti Aduan Konten untuk konten negatif , platform raksasa, yang beroperasi lintas batas, seringkali tidak terikat secara hukum, membatasi efektivitas penegakan nasional.
Jika internet global ingin memiliki masa depan yang stabil, solusinya harus ditemukan dalam kompromi dan koordinasi, menyeimbangkan kedaulatan nasional dengan saling ketergantungan internasional dan interoperabilitas. Upaya untuk mengurangi hambatan perbedaan hukum memerlukan negosiasi terperinci, spesifik sektor, untuk menyepakati aturan yurisdiksi eksklusif atau harmonisasi aturan, sambil tetap mengakui pentingnya otonomi regulasi nasional.
Model Regulatori Komparatif: Kontras antara Pendekatan AS dan Uni Eropa
Dua paradigma regulasi mendominasi perdebatan global mengenai tanggung jawab platform: pendekatan laissez-faire Amerika Serikat dan model intervensi agresif Uni Eropa.
Paradigma Amerika Serikat (Imunitas)
Amerika Serikat mengandalkan aturan lama, khususnya Section 230 dari Communications Decency Act, yang memberikan platform kekebalan luas dari tanggung jawab hukum atas konten yang dibuat oleh pengguna. Aturan ini, yang dirancang untuk mendorong pertumbuhan sektor internet, kini berfungsi sebagai perisai liabilitas yang memungkinkan perusahaan teknologi menentukan sendiri aturan tentang konten apa yang diizinkan atau dilarang. Karena tidak adanya peraturan federal untuk melarang iklan politik palsu atau konten menyesatkan lainnya, pemerintah AS memiliki sedikit tindakan hukum yang dapat diambil. Permintaan dari pemerintah federal untuk menghapus konten, meskipun sering terjadi, dapat rutin ditolak oleh platform karena tidak ada persyaratan hukum untuk memenuhinya.
Paradigma Uni Eropa (Kewajiban)
Uni Eropa telah menangani regulasi internet dengan cara yang jauh lebih agresif. Melalui inisiatif seperti Digital Services Act (DSA), UE berupaya memperkuat kapasitas regulasi pemerintahnya. DSA menetapkan kewajiban baru bagi platform digital, terutama yang besar (dengan lebih dari 45 juta pengguna), untuk transparan tentang praktik moderasi konten mereka dan memiliki sistem yang tepat untuk menangani konten ilegal setelah pemberitahuan.
Kontras utama terletak pada sanksi dan tanggung jawab. EU telah mulai mengikis perlindungan hukum platform. Jika platform gagal mematuhi DSA, mereka dapat dikenai denda besar hingga 6% dari total omset global perusahaan pada tahun fiskal sebelumnya. Pendekatan UE ini didasarkan pada prinsip bahwa gangguan serius terhadap kebebasan berekspresi harus didasarkan pada hukum dan keputusan parlemen, bukan pada aturan yang ditetapkan oleh manajer teknologi di Silicon Valley.
Model regulasi UE, yang dikenal sebagai “Brussels Effect,” secara tidak langsung mengekspor standarnya ke seluruh dunia. Karena platform besar global tidak dapat dengan mudah memisahkan operasi mereka di EU dari operasi global lainnya, mereka cenderung mengadopsi standar kepatuhan DSA secara universal untuk memitigasi risiko finansial yang signifikan.
Tabel 3: Kontras Model Regulasi Platform Digital: AS vs. EU
| Aspek Regulasi | Amerika Serikat (AS) | Uni Eropa (EU) | Implikasi Lintas Batas |
| Dasar Hukum Utama | Section 230 CDA (Imunitas Luas) | Digital Services Act (DSA), DMA (Kewajiban Ketat) | Konflik Yurisdiksi, Standar Ganda Operasional. |
| Sikap Terhadap Konten | Minim regulasi konten/iklan politik palsu | Kewajiban menghapus konten ilegal (Hate Speech, Disinformasi) | EU mendorong platform untuk memiliki sistem kepatuhan yang lebih baik di seluruh dunia. |
| Sanksi Kepatuhan | Permintaan yang dapat ditolak | Denda finansial besar (hingga 6% omset global) | DSA/DMA menjadi standar emas (atau beban biaya) bagi perusahaan teknologi global. |
Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis
Ringkasan Pergeseran Kekuatan Digital dan Risiko Psikologi Massa Global
Analisis ini menegaskan bahwa kekuatan dalam mobilisasi dan fragmentasi sosial telah bergeser dari orasi karismatik ke simbolisme viral, didorong oleh algoritma yang secara sistematis mengamplifikasi emosi yang memecah belah. Massa Digital yang terbentuk secara lintas batas sangat rentan terhadap mobilisasi cepat berdasarkan emosi tinggi seperti Kemarahan, Ketakutan, dan Rasa Jijik, yang dimanfaatkan melalui filter bubbles dan echo chambers.
Ancaman disinformasi sangat bervariasi secara regional. Di Amerika Utara dan Eropa, tantangan utama berpusat pada keamanan institusional dan intervensi asing yang mengeksploitasi polarisasi domestik. Namun, di Asia Tenggara, disinformasi menimbulkan risiko keselamatan fisik dan dapat berkontribusi secara signifikan terhadap kekerasan massal, seperti yang terlihat dalam kasus genosida Rohingya.
Lanskap tata kelola global didominasi oleh ketegangan antara model imunitas AS dan model kewajiban agresif UE. Negara-negara di Asia Tenggara dan Global South menghadapi tantangan terbesar, yaitu mempertahankan kedaulatan informasi nasional dari platform global tanpa kekuatan yurisdiksi yang memadai.
Rekomendasi Lintas Sektor untuk Ketahanan Digital Global
Untuk membangun ketahanan terhadap disrupsi lintas batas ini, diperlukan tindakan terkoordinasi dari tiga aktor utama: Platform, Pemerintah, dan Masyarakat.
Rekomendasi untuk Platform: Transparansi dan Moderasi Kontekstual
- Moderasi Berbasis Risiko Geopolitik: Platform harus mengadopsi risk multiplier di wilayah yang rentan terhadap konflik etnis dan sektarian (khususnya SEA). Hal ini memerlukan pengakuan bahwa konten yang secara budaya tidak berbahaya di satu wilayah dapat memicu kekerasan dan genosida di wilayah lain.
- Transparansi Algoritma:Â Platform wajib mengungkapkan bagaimana algoritma mereka memprioritaskan konten berdasarkan pemicu emosi (seperti Kemarahan dan Ketakutan) untuk memungkinkan pemantauan independen terhadap bias polarisasi yang disengaja atau tidak disengaja.
- Kepatuhan Global:Â Menerima bahwa model DSA Uni Eropa menetapkan standar minimum global untuk tanggung jawab operasional, dan menerapkan praktik terbaik tersebut secara universal, alih-alih hanya di yurisdiksi yang mengenakan denda besar.
Rekomendasi untuk Pemerintah: Memperkuat Kedaulatan Informasi dan Diplomasi Digital
- Harmonisasi Yurisdiksi Lintas Batas:Â Mendorong diplomasi digital untuk negosiasi sektor-spesifik yang bertujuan menyepakati aturan yurisdiksi, menyeimbangkan kedaulatan informasi nasional dengan kebutuhan komunikasi global.
- Pertahanan Siber Nasional yang Fokus: Mengakui ruang siber sebagai medan baru pertahanan nasional. Regulasi harus secara spesifik menargetkan penyebaran hoax yang menimbulkan keresahan  dan mobilisasi konflik SARA , sambil juga berfokus pada mitigasi hybrid threats domestik dan asing.
- Intervensi terhadap Cognitive Overload: Kebijakan harus berupaya mengurangi cognitive overload yang dialami masyarakat , yang merupakan kerentanan utama bagi penyebaran disinformasi.
Rekomendasi untuk Masyarakat: Strategi Inokulasi dan Peningkatan Literasi Digital
- Literasi Emosional:Â Program literasi digital harus diperluas melampaui verifikasi fakta kognitif sederhana. Program tersebut harus mencakup edukasi tentang bagaimana emosi dimanipulasi untuk memicu berbagi, mempersenjatai pengguna dengan pemahaman tentang mekanisme psikologis yang dimanfaatkan oleh disinformasi.
- Strategi Inokulasi (Prebunking): Menggunakan teknik inoculation yang mempersiapkan masyarakat secara proaktif untuk mengenali taktik disinformasi dan narasi manipulatif sebelum mereka terpapar secara penuh.
- Etika Berbagi: Mendorong dan memperkuat prinsip etika digital dasar, seperti Saring sebelum Sharing, sebagai norma sosial universal untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap informasi yang dibagikan.


