Loading Now

Jebakan Foto ‘Instagrammable’: Garis Batas antara Promosi Digital dan Komodifikasi Hiper-Realitas Budaya Lokal dalam Pariwisata Global

Fenomena yang mendorong kebutuhan akan foto ‘Instagrammable’ menandai pergeseran substansial dalam motivasi pariwisata kontemporer. Tujuan perjalanan tidak lagi semata-mata mengabadikan pengalaman, tetapi lebih kepada menciptakan citra yang disempurnakan demi validasi sosial dan ketenaran di media digital. Kualitas visual telah lama diakui sebagai daya tarik penting dalam pengembangan destinasi (misalnya, penilaian kualitas visual di Kertalangu Cultural Village). Namun, platform media sosial telah menyaring kriteria visual tersebut, mengarahkan fokus ke potensi viral atau kemampuan destinasi untuk menciptakan hype yang memicu kunjungan.

Pergeseran ini melahirkan karakteristik wisatawan yang didorong oleh kebutuhan untuk mereplikasi atau menciptakan foto ikonik. Wisatawan kini secara spesifik mencari latar belakang yang “sempurna” untuk selfie atau konten video, yang secara langsung memicu kepadatan wisatawan (terutama di situs-situs ikonik) dan menempatkan tekanan infrastruktur yang signifikan. Produk yang dikonsumsi wisatawan bukan lagi otentisitas tempat, melainkan citra digital dari tempat tersebut.

Pemisahan antara citra dan realitas ini menjelaskan mengapa sering terjadi manipulasi visual oleh para kreator konten. Apabila motivasi utama adalah membuktikan kehadiran melalui citra yang disempurnakan (sebagai lawan dari pengalaman yang mendalam), nilai intrinsik atau spiritual budaya lokal cenderung berkurang. Destinasi kemudian didorong untuk berinvestasi lebih pada fasad visual daripada pada pelestarian makna dan konteks. Apabila citra yang disebarkan tidak sesuai dengan realitas fisik destinasi, hal ini dapat menyebabkan kekecewaan signifikan bagi wisatawan, termasuk kerugian finansial dan waktu yang terbuang.

Manfaat Ekonomi dan Sosial dari Promosi Digital yang Etis

Meskipun terdapat risiko komersialisasi, pemanfaatan media sosial juga membawa manfaat ekonomi dan sosial yang tidak terbantahkan. Media digital memberikan peluang untuk mempromosikan potensi pariwisata daerah, termasuk destinasi yang sebelumnya kurang dikenal (hidden gems), meningkatkan visibilitas secara global. Pemanfaatan promosi yang terkelola dengan baik melalui platform digital dapat memacu pendapatan masyarakat lokal dan memperkuat perekonomian daerah, terutama jika diterapkan dalam kerangka Wisata Berbasis Komunitas (CBT).

Model pengelolaan komunitas menunjukkan dampak finansial yang besar. Sebagai contoh, Umbul Ponggok berhasil menjadi destinasi berpenghasilan tinggi (mencapai Rp4 miliar/tahun) karena dikelola langsung oleh masyarakat lokal. Selain keuntungan ekonomi, wisata budaya yang dipromosikan juga dapat menjadi jembatan penting untuk memperkenalkan tradisi ke dunia. Dalam konteks sosial-budaya, pariwisata yang etis mendorong generasi muda untuk terlibat dalam pelestarian warisan budaya, baik melalui pembelajaran tarian tradisional maupun pembukaan usaha kriya yang mengangkat identitas lokal.

Namun, dualitas ini membawa dilema etika representasi. Media digital memberikan ruang bagi komunitas lokal untuk mempromosikan warisan mereka secara mandiri. Di sisi lain, paparan global yang cepat juga menyebarkan tren visual global yang berpotensi menenggelamkan praktik budaya lokal, khususnya di kalangan generasi muda. Garis batas antara promosi yang memberdayakan dan komersialisasi yang mengeksploitasi terletak pada pengendalian narasi visual. Komunitas harus memiliki strategi manajemen narasi yang kuat untuk memastikan representasi yang disajikan adalah akurat, berkonteks, dan bukan sekadar estetika permukaan.

Kerangka Teoritis: Dari Otentisitas ke Hiper-Komodifikasi Budaya

Untuk menganalisis secara kritis pergeseran nilai yang didorong oleh kebutuhan estetika ‘Instagrammable’, kerangka teori kritis sosiologi budaya sangat relevan, khususnya melalui lensa Dean MacCannell dan Jean Baudrillard.

Kritik Otentisitas Dean MacCannell dan Staged Authenticity

Menurut teori Dean MacCannell, pariwisata dipahami sebagai pencarian otentisitas oleh leisure class modern. Sayangnya, pencarian ini hampir selalu berujung pada komodifikasi budaya itu sendiri. Dalam konteks pariwisata yang didorong oleh kebutuhan visual, permintaan akan pengalaman “otentik” yang dapat diabadikan secara visual mendorong destinasi untuk menciptakan staged authenticity.

Staged authenticity terjadi ketika ritual atau pertunjukan budaya disesuaikan secara fundamental, baik dari segi waktu maupun format, agar sesuai dengan jadwal dan ekspektasi visual wisatawan. Contoh paling nyata adalah di Bali, di mana upacara adat diubah menjadi paket tur atau pertunjukan tari disesuaikan waktunya agar pas dengan jadwal turis. Praktik semacam ini—seperti dalam kasus parade warisan sejarah yang dianggap sebagai tontonan (spectacle)—dapat mengurangi makna dan konteks asli dari peninggalan budaya.

Paradoks neotradisionalisme muncul di sini. Kalangan pesimistik melihat pariwisata sebagai ancaman yang menghancurkan tradisi. Namun, pandangan optimistik mengakui bahwa pariwisata justru dapat merangsang kebudayaan tradisional atau bahkan melahirkan bentuk tradisional yang baru. Ini berarti bahwa perjuangan utama terletak pada jenis komodifikasi yang terjadi: apakah itu komodifikasi eksploitatif yang keuntungan dan kontrolnya diserap pihak luar, atau komodifikasi yang memberdayakan (empowering commodification) di mana adaptasi ekspresi budaya dikelola dan didanai oleh komunitas lokal untuk tujuan pelestarian. Adaptasi yang etis menggunakan estetika visual sebagai sarana, bukan tujuan akhir.

Teori Simulakra dan Spektakel Jean Baudrillard

Fenomena Instagrammable mencapai puncaknya dalam kerangka teori Jean Baudrillard, di mana budaya dalam masyarakat kontemporer direduksi menjadi simulacra (citra tanpa referensi pada realitas) dan spectacle (tontonan yang menguasai makna). Dalam konteks pariwisata, citra digital yang sempurna menggantikan pengalaman nyata. Makna asli dari sebuah situs sakral atau kearifan lokal terhapus, dan tempat tersebut direproduksi ulang secara visual semata-mata demi kepentingan profit.

Kondisi ini menciptakan hiper-realitas pariwisata. Ketika sebuah gunung yang dulunya sakral atau kearifan lokal yang mendalam direduksi menjadi objek visual yang dikomodifikasi, wisatawan dan bahkan masyarakat lokal mulai kehilangan kemampuan untuk membedakan antara realitas semu (simulacra) dengan realitas sebenarnya. Situs tersebut menjadi lebih dikenal karena representasinya di Instagram daripada karena nilai spiritual atau historisnya. Studi kasus terasering sawah Jatiluwih menunjukkan pergeseran nilai dramatis akibat dijadikan daya tarik visual, di mana nilai estetis, ekonomi, dan nilai hiburan mengambil alih nilai religiusnya, meskipun fungsi irigasi sebagai subak secara fisik masih dipertahankan.

Kebutuhan akan citra yang ‘Instagrammable’ juga menghasilkan apa yang dapat disebut sebagai Architecture of the Gaze. Ruang publik secara efektif diprivatisasi dan dimodifikasi, bukan untuk kepentingan komunal, melainkan untuk melayani sebagai latar belakang studio fotografi. Hal ini terlihat dari “penguasaan” (privatisasi) ruang publik di area seperti Simpang Lima  dan desain struktur komersial (restoran/kafe) yang dirancang untuk menawarkan pandangan eksklusif, padahal secara spasial hal tersebut menghalangi akses atau pandangan publik lainnya. Jebakan foto tidak hanya merusak nilai budaya tetapi juga merusak tatanan sosial-spasial, mengubah ruang yang seharusnya demokratis menjadi ruang komersial yang eksklusif bagi pandangan dan fotografi tertentu.

Puncak dari komodifikasi simbolik terjadi ketika ritual suci seperti Melasti (ritual penyucian diri menjelang Nyepi di Bali) hanya dipandang sebagai “momen estetik yang wajib diabadikan” oleh wisatawan, tanpa pemahaman terhadap makna spiritualnya. Representasi visual dalam kasus ini sepenuhnya menghilangkan kebenaran kontekstual dan spiritual, membuat wisatawan mengonsumsi tanda kosong. Inilah titik krusial di mana promosi melintasi batas menjadi komersialisasi yang bersifat eksploitatif.

Table 1: Dinamika Pergeseran Nilai Budaya dalam Lensa Estetika Pariwisata

Aspek Nilai Budaya Fungsi Asli (Promosi Etis) Pergeseran Nilai (Komersialisasi Eksploitatif) Studi Kasus
Nilai Spiritual/Religius Ritual sakral (penyucian diri, pelestarian Tri Hita Karana). Tereduksi menjadi nilai hiburan; Simbol suci menjadi motif komersial. Melasti, Bali ; Jatiluwih ; Gunung Pundak (sakral menjadi profit).
Nilai Estetis Ekspresi rasa estetis petani/masyarakat; Nilai visual alami. Disesuaikan dengan tuntutan tren visual global; Mengutamakan hype dan viralitas. Jatiluwih (pergeseran bentuk akibat bahan luar) ; Kertalangu (fokus pada kualitas visual).
Nilai Ekonomi Pemberdayaan berbasis komunitas; Pendapatan yang kembali ke pelestarian budaya. Keuntungan ditarik ke pihak eksternal/elite; Komunitas hanya menjadi pekerja industri. Teori Ketergantungan ; Relasi Kekuasaan Banten Lama.
Fungsi Spasial Ruang komunal dan demokratis; Kenyamanan dan relaksasi masyarakat. Privatisasi ruang pandang (viewing spots); Penguasaan ruang publik untuk foto komersial. Simpang Lima ; Taman Tabanas (restoran menghalangi pandangan publik).

Dilema Garis Tipis: Analisis Dampak Berlapis Komersialisasi

Degradasi Kultural dan Spiritual

Ketika budaya lokal hanya dilihat melalui aspek kecantikan dan eksotiknya, ia menghadapi risiko degradasi. Ritual yang berfungsi sebagai pembersihan diri dan pemeliharaan keseimbangan, seperti upacara Melasti di Bali, diubah fungsinya menjadi atraksi wisata, bahkan disesuaikan waktunya agar sesuai dengan jadwal turis. Transformasi ritual menjadi atraksi ini mendesak aspek sakralnya, mengubahnya menjadi sekadar tontonan yang dapat dikonsumsi secara visual.

Selain itu, simbol-simbol yang semula sakral dan memiliki makna mendalam direduksi fungsinya menjadi komoditas pasar, seperti motif kaos, gantungan kunci, atau latar belakang foto. Pelemahan makna ini diperburuk oleh pengaruh tren global yang disebarkan melalui platform digital, yang kerap kali menenggelamkan praktik dan identitas budaya lokal. Dalam situasi di mana masyarakat lokal hanya diposisikan sebagai “pekerja” dalam industri pariwisata yang dikendalikan oleh pihak eksternal, bukan sebagai pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan, ketahanan budaya menjadi rentan terhadap pelemahan nilai dan makna.

Dampak Fisik, Lingkungan, dan Fenomena Overtourism

Fenomena yang didorong oleh citra visual di media sosial memiliki dampak fisik dan lingkungan yang nyata. UNESCO telah secara eksplisit memperingatkan bahwa tren selfie dan produksi konten di situs bersejarah dapat menyebabkan kerusakan serius. Peningkatan jumlah pengunjung yang tidak terkontrol, yang didorong oleh daya tarik visual digital, menyebabkan tekanan pada infrastruktur, peningkatan limbah, dan kerusakan fisik pada bangunan bersejarah.

Fenomena overtourism, yang dipicu dan diperparah oleh penyebaran citra di Instagram , menciptakan tekanan ekologis dan sosial-budaya yang besar. Studi kasus di Bali, termasuk overtourism di Desa Canggu , menunjukkan adanya gangguan keseimbangan antara alam, budaya, dan masyarakat, yang secara langsung mengancam filosofi inti pariwisata budaya Bali, yaitu Tri Hita Karana. Kasus-kasus seperti desakan kawasan suci atau gangguan ekosistem alam menjadi cerminan masa depan pariwisata yang mengkhawatirkan.

Upaya untuk mendapatkan foto yang “ideal” juga mendorong perilaku yang tidak sopan, pelanggaran aturan, vandalisme, dan bahkan kecelakaan, yang semakin memperburuk kerusakan pada situs. Ketika sebuah destinasi didominasi oleh motif visual-for-profit (Jebakan Foto), penduduk lokal merasa bahwa ruang mereka diambil, dan makna hidup mereka dijadikan objek tontonan. Erosi sense of place ini menandakan bahwa keberlanjutan tidak hanya mencakup pelestarian fisik, tetapi juga pelestarian makna sosial dan psikologis ruang bagi penghuninya.

Etika Representasi Digital dan Krisis Kepercayaan

Krisis etika dalam representasi digital berpusat pada akurasi dan integritas. Ketika influencer pariwisata memanipulasi citra atau menyajikan pengalaman yang dilebih-lebihkan, konsekuensinya adalah kerugian bagi wisatawan (ketidakpuasan, kerugian pengeluaran transportasi/akomodasi). Jangka panjangnya, praktik ini mengikis kredibilitas influencer dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap promosi pariwisata digital secara keseluruhan.

Untuk mengatasi ini, sangat penting untuk meningkatkan kesadaran akan keaslian. Para kreator digital, terutama yang beroperasi di kancah global, harus memahami konteks budaya dan menerapkan prinsip etis dalam proses produksi konten. Etika digital harus ditegakkan untuk membangun budaya respek dalam interaksi di dunia maya. Prinsip dasar netiket, termasuk menghormati privasi dan larangan memotret di area sensitif, harus dipatuhi untuk menghindari kerusakan dan ketidaknyamanan orang lain.

Table 2: Tabel Keseimbangan: Dampak Promosi vs. Dampak Komersialisasi Berlebihan

Dimensi Indikator Promosi yang Sehat (Garis Batas Etis) Indikator Komersialisasi Berlebihan (Jebakan Foto)
Ekonomi Peningkatan pendapatan bagi masyarakat lokal (CBT model). Keuntungan yang kembali ke modal asing/elite; Komunitas hanya menjadi objek turistik.
Sosial-Budaya Pelestarian budaya melalui revitalisasi (neotradisionalisme); Kebanggaan generasi muda terhadap tradisi. Ritual sakral menjadi atraksi yang dijadwalkan; Hilangnya konteks spiritual.
Lingkungan/Fisik Kontrol daya dukung lingkungan; Pemeliharaan warisan berdasarkan nilai intrinsik. Overtourism dan kepadatan wisatawan; Kerusakan fisik dan vandalisme.
Representasi Pemasaran naratif mendalam (storytelling) dan akurat; Peningkatan literasi budaya. Manipulasi citra (hiper-realitas); Citra tanpa referensi makna asli (simulacra).

Menyeimbangkan Promosi dan Komersialisasi: Pendekatan Berkelanjutan dan Etika Digital

Mengatasi jebakan foto ‘Instagrammable’ membutuhkan kerangka kerja kebijakan yang holistik yang mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dengan etika digital.

Prinsip Pariwisata Berkelanjutan dan Tata Kelola Lokal

Perencanaan pariwisata harus secara tegas didasarkan pada konsep keseimbangan. Di Bali, konsep Tri Hita Karana (keseimbangan antara budaya, alam, dan masyarakat) harus ditegakkan sebagai landasan etis dan operasional untuk mencegah gangguan lingkungan dan budaya. Secara nasional, pengembangan pariwisata wajib mengikuti Undang-Undang Kepariwisataan Nomor 10 Tahun 2009 yang mengamanatkan kelestarian sumber daya alam dan budaya serta pemberian manfaat yang adil bagi masyarakat lokal. Kerangka kerja ini diperkuat oleh Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan (DSP).

Namun, implementasi kebijakan pariwisata seringkali menghadapi kesenjangan regulasi (regulatory gap) antara domain fisik dan digital. Peraturan saat ini banyak berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik (seperti menara pandang, jalur pejalan kaki, atau rambu petunjuk)  dan pengelolaan lingkungan. Sementara itu, pemicu utama kerusakan—konten visual yang cepat menyebar—berasal dari domain digital. Oleh karena itu, diperlukan integrasi kebijakan yang memasukkan audit konten digital.

Tujuan tata kelola lokal harus diarahkan pada model komodifikasi pemberdayaan. Dalam model ini, komodifikasi diterima sebagai alat untuk penguatan ketahanan budaya, bukan penolakan mutlak. Studi kasus tradisi Tumpeng Sewu menunjukkan bahwa adaptasi tradisi untuk pariwisata, yang dikelola oleh komunitas, mampu memberikan dampak positif pada ketahanan budaya dan peningkatan perekonomian desa. Kuncinya adalah memastikan kontrol narasi, pengembalian pendapatan, dan pengambilan keputusan tetap berada di tangan komunitas.

Otoritas pariwisata juga harus secara aktif mengelola sisi permintaan. Strategi pemasaran naratif perlu dilakukan untuk mengubah perilaku wisatawan, mengarahkan mereka dari sekadar konsumsi citra ke apresiasi narasi mendalam. Kampanye global seperti “99% of Italy”  yang mendorong wisatawan menjauhi hotspots yang ramai dan mencari pengalaman yang lebih tersebar dan autentik dapat dijadikan model untuk melawan Checklist Era pariwisata.

Kerangka Etika Digital dan Akuntabilitas Kreator Konten

Kerangka kerja etika digital yang komprehensif sangat mendesak. Hal ini harus mencakup pembentukan pedoman etik internasional bagi kreator digital global yang mengambil inspirasi dari budaya lokal, dengan menitikberatkan pada pemahaman konteks budaya dan penghormatan terhadap identitas setempat. Edukasi kepada influencer dan wisatawan adalah elemen kunci untuk pelestarian.

Secara operasional, etika komunikasi visual dan etika digital harus menjamin bahwa interaksi di dunia maya dilakukan dengan respek dan beradab. Ini berarti mengedukasi wisatawan mengenai netiket dan etika fotografi, termasuk larangan memotret di area sensitif atau melanggar privasi orang lain.

Isu relasi kekuasaan dalam representasi harus diatasi. Penting untuk mengkaji secara kritis apakah masyarakat lokal hanya menjadi objek eksploitasi ataukah mereka diberdayakan secara substantif dalam proses pengambilan keputusan mengenai bagaimana budaya mereka dikemas dan diwakilkan. Hanya melalui partisipasi komunitas lokal yang penuh dan penerapan prinsip etis yang ketat, praktik produksi konten dapat menghormati keragaman budaya tanpa mereduksinya menjadi objek komersial semata.

Kesimpulan

Analisis kritis terhadap jebakan foto ‘Instagrammable’ menunjukkan bahwa garis tipis antara promosi dan komersialisasi dilintasi pada tiga titik krusial:

  1. Pergeseran Fungsi: Ketika nilai utama suatu aset budaya beralih dari fungsi sakral, ritual, atau ekologis menjadi fungsi hiburan dan estetika permukaan semata.
  2. Hilangnya Kontrol Narasi dan Ekonomi: Ketika kontrol representasi budaya dan mayoritas keuntungan ekonomi berpindah sepenuhnya dari komunitas lokal yang berhak ke pihak eksternal, kapitalis, atau influencer global.
  3. Degradasi Spasial dan Fisik: Ketika pengejaran kualitas visual merusak, melanggar, atau memprivatisasi ruang fisik dan sosial-demokratis, menimbulkan overtourism dan tekanan lingkungan yang tidak berkelanjutan.

Komersialisasi yang bertanggung jawab harus menjadikan citra visual sebagai pintu gerbang menuju pemahaman konteks, bukan sebagai produk akhir yang menghilangkan makna aslinya.

Untuk memastikan bahwa pariwisata digital berfungsi sebagai alat promosi yang etis dan berkelanjutan, bukan sebagai jebakan komersialisasi, direkomendasikan lima langkah strategis untuk otoritas pariwisata tingkat nasional dan regional:

  1. Mandat Otonomi Lokal (CBT Enforcement): Pemerintah daerah harus mewajibkan model Community-Based Tourism (CBT) yang kuat di semua destinasi warisan budaya berisiko tinggi. Perlu ditetapkan regulasi yang menjamin partisipasi substantif masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan representasi budaya dan menetapkan target minimum persentase pendapatan pariwisata yang wajib dikembalikan langsung kepada komunitas untuk tujuan pelestarian.
  2. Regulasi Visual Carrying Capacity (VCC): Menerapkan batas daya dukung berbasis visual dan etika di situs-situs warisan budaya dan keagamaan. Hal ini mencakup pembatasan penggunaan alat fotografi profesional, drone, dan peralatan komersial tanpa izin khusus di area sakral. Otoritas harus berani menerapkan denda atau sanksi hukum terhadap pelanggaran etika fotografi di lokasi sensitif, merujuk pada praktik mitigasi overtourism global.
  3. Sistem Lisensi Konten Komersial Budaya: Menciptakan sistem perizinan dan sertifikasi etis yang mewajibkan kreator konten, influencer, atau tim produksi komersial yang ingin mempromosikan warisan budaya untuk menjalani pelatihan konteks budaya dan mendapatkan persetujuan tertulis dari komunitas atau otoritas adat sebelum publikasi. Lisensi ini harus mencakup kewajiban untuk menyajikan narasi kontekstual yang akurat, bukan hiper-realitas.
  4. Inovasi Pemasaran Naratif: Mengalihkan fokus komunikasi pemasaran dari promosi estetika visual semata ke storytelling mendalam. Meluncurkan kampanye nasional yang bertujuan mengedukasi wisatawan agar menghargai nilai filosofis dan kontekstual sebuah destinasi, mendorong perjalanan yang lebih mindful dan mengurangi permintaan untuk wisata ‘checklist’ yang didorong Instagram.
  5. Perlindungan Ruang Demokratis: Mengeluarkan kebijakan penegakan hukum yang tegas terhadap privatisasi ruang publik dan ruang pandang alam untuk kepentingan fotografi atau bisnis komersial. Hal ini penting untuk menjaga hak akses dan kenyamanan semua pengunjung serta mencegah ruang komunal diubah menjadi latar belakang studio eksklusif.