Loading Now

Pasar Terapung dan Kehidupan Masyarakat Sungai Banjar: Manifestasi Peradaban Akuatik, Tantangan Ekologis, dan Strategi Pelestarian Berkelanjutan

Kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan secara ikonik dikenal sebagai “Kota Seribu Sungai,” sebuah julukan yang lahir dari jaringan sungai dan rawa yang kompleks dan luas yang mengelilingi wilayah tersebut. Dalam konteks geokultural Banjar, sungai melampaui sekadar fungsi geografis atau jalur transportasi. Jaringan sungai ini berfungsi sebagai penghubung vital antar daerah dan merupakan urat nadi kehidupan yang menopang peradaban akuatik masyarakat.

Sungai telah bertransformasi menjadi pusat kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Keterlekatan yang mendalam ini menjadikan kehidupan masyarakat Banjar, terutama mereka yang tinggal di bantaran sungai, sangat bergantung pada kondisi dan fungsi ekosistem perairan. Sungai adalah ruang tempat masyarakat membangun permukiman sekaligus menjalankan roda perekonomian.

Sejarah Awal dan Evolusi Pasar Terapung

Pasar terapung adalah salah satu manifestasi paling jelas dari peradaban sungai Banjar. Aktivitas perdagangan di atas air ini memiliki akar sejarah yang panjang, telah bertahan selama ratusan tahun, dan didorong oleh perkembangan ekonomi-politik Kerajaan Banjar di masa lalu. Hingga kini, setidaknya dua pasar terapung utama masih aktif di Kalimantan Selatan, yaitu Pasar Terapung Muara Kuin di Banjarmasin dan Pasar Terapung Lok Baintan di Martapura (Kabupaten Banjar). Kedua pasar ini bukan hanya ruang transaksi ekonomi, tetapi juga merupakan jejak sejarah hidup peradaban sungai.

Siklus Operasional Tradisional dan Sistem Barter

Kegiatan perdagangan di pasar terapung berlangsung dalam siklus waktu yang sangat khas, dimulai sejak pagi buta. Operasi pasar tradisional ini dikenal singkat, dan akan terhenti dengan sendirinya setelah matahari bersinar, umumnya sekitar pukul 08.00 hingga 09.00 pagi. Waktu operasional yang terbatas ini membatasi kapasitas pasar terapung untuk bersaing secara langsung dengan pasar darat modern yang beroperasi sepanjang hari. Namun, durasi singkat ini secara paradoks turut menjaga otentisitasnya sebagai pusat distribusi tradisional pagi hari bagi komunitas sungai.

Pasar terapung menjadi tempat bertemunya ratusan jukung (perahu kecil) yang menjajakan kebutuhan sehari-hari, mulai dari buah, sayur, hingga aneka kudapan khas daerah. Nilai historis pasar ini diperkuat oleh fakta bahwa di Pasar Terapung Lok Baintan, sistem barter tradisional masih hidup dan dipraktikkan. Keberlangsungan sistem barter ini menandakan resistensi kultural pasar terhadap monetisasi penuh dan menekankan identitasnya sebagai artefak budaya yang masih memiliki fungsi ekonomi nyata.

Studi Komparatif: Identitas Pasar Terapung Banjar dalam Konteks Asia Tenggara

Fenomena pasar terapung tidak eksklusif milik Indonesia; struktur perdagangan serupa juga ditemukan di beberapa negara Asia Tenggara dan Asia Selatan, seperti di Thailand (Pasar Terapung Amphawa, Khlong Hae) dan Bangladesh (Pasar terapung jambu batu di Kuriana).

Perbandingan regional menunjukkan adanya perbedaan fungsi utama. Banyak pasar terapung di Thailand, misalnya, kini difungsikan secara primer sebagai daya tarik turis untuk memungkinkan pengunjung domestik dan internasional merasakan budaya belanja di tepi sungai. Pasar Banjar, di sisi lain, masih mempertahankan identitas ganda yang kuat. Meskipun telah menjadi destinasi wisata unggulan , pasar Banjar, terutama Lok Baintan, tetap berfungsi sebagai hub ekonomi regional yang penting bagi produk pertanian pedalaman, dibuktikan dengan sistem barter yang masih berjalan. Perpaduan antara fungsi ekonomi tradisional yang masih aktif dan fungsi pariwisata inilah yang menjadi keunggulan komparatif utama dan keunikan Pasar Terapung Banjar.

Anatomi Sosio-Ekonomi Pasar Terapung

Struktur dan Ekosistem Perdagangan

Aktivitas perdagangan di pasar terapung bergantung pada infrastruktur perahu tradisional. Pedagang menggunakan jukung (perahu dayung kecil) untuk mendekat, sementara pengunjung yang ingin menyusuri sungai di tengah keramaian pasar dapat menyewa klotok (perahu bermotor). Setiap pagi, ratusan jukung berkumpul di permukaan sungai, menciptakan repetisi visual yang menarik bagi dokumentasi dan fotografi human interest.

Demografi dan Dukungan Kelembagaan

Pasar terapung berfungsi sebagai titik temu regional. Data survei menunjukkan bahwa komposisi demografi pasar memiliki karakteristik unik: mayoritas pedagang (67%) berasal dari luar Banjarmasin, sementara 33% berasal dari Banjarmasin. Sebaliknya, pengunjung cenderung didominasi oleh masyarakat lokal (60% dari Banjarmasin), dan sisanya (40%) berasal dari luar Banjarmasin. Proporsi pedagang dari luar ini menunjukkan peran vital pasar terapung sebagai hub distribusi regional, menghubungkan hasil pertanian pedalaman atau daerah Martapura ke pusat kota.

Untuk memperlancar usaha pedagang dan memperkuat ketahanan ekonomi mereka, dukungan kelembagaan telah dibentuk. Sejak 1 April 2013, telah dibentuk sebuah perkumpulan koperasi bagi pedagang Pasar Terapung Lok Baintan, yang kini beranggotakan 60 pedagang. Selain itu, pelaku pariwisata di Lok Baintan dapat memanfaatkan program pendanaan formal, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Pemerintah Pusat, untuk mendanai usaha mereka.

Peran Sentral Perempuan dalam Roda Ekonomi

Dalam ekosistem Pasar Terapung Lok Baintan, aktivitas ekonomi dan pariwisata didominasi oleh peran perempuan. Perempuan pedagang ini seringkali memegang peran ganda (multiple roles) yang sangat krusial bagi ketahanan ekonomi rumah tangga sungai. Mereka berperan sebagai pedagang utama, sekaligus bertindak sebagai petani atau pengumpul ikan, dan tetap menjalankan peran sebagai ibu dalam keluarganya.

Keterlibatan dominan perempuan dalam sistem perdagangan ini merupakan indikasi bahwa kelangsungan budaya pasar terapung sangat bergantung pada matriarki ekonomi Banjar. Peran ganda ini menciptakan ketahanan ekonomi yang berpusat pada rumah tangga, namun pada saat yang sama, membuat para perempuan ini rentan terhadap beban ganda (double burden). Oleh karena itu, kebijakan revitalisasi ekonomi dan subsidi (seperti KUR atau koperasi) harus secara eksplisit menargetkan dan memberdayakan para pelaku usaha perempuan ini, karena mereka adalah penyangga utama kelangsungan tradisi dan ekonomi sungai.

Pasar Terapung sebagai Destinasi Pariwisata Budaya

Pasar terapung menawarkan pengalaman unik yang sulit dilupakan: berbelanja sambil menyusuri sungai di tengah keramaian. Daya tarik wisatanya sangat kuat. Pasar ini menarik wisatawan lokal maupun mancanegara yang ingin menyaksikan langsung dinamika pasar di atas air. Selain nilai budaya dan ekonomi, pasar terapung juga diakui sebagai spot fotografi yang kuat, menyajikan aktivitas human interest yang khas dan estetika visual dari repetisi jukung yang berkumpul.

Pengelolaan yang berkelanjutan membutuhkan kolaborasi dan kesadaran masyarakat. Peningkatan fasilitas seperti dermaga dan warung diperlukan untuk mempermudah akses pengunjung, baik dari jalur darat maupun sungai. Aspek penting dari keberlanjutan pariwisata adalah pemberdayaan masyarakat lokal (Community Empowerment) agar mereka memiliki rasa memiliki terhadap objek wisata, yang pada akhirnya akan menimbulkan keramahtamahan bagi wisatawan yang berkunjung.

Arsitektur, Budaya, dan Nilai-Nilai Masyarakat Sungai

Arsitektur Vernakular dan Identitas Komunal

Kehidupan masyarakat sungai melahirkan arsitektur vernakular yang beradaptasi secara cerdas dengan lingkungan perairan: Rumah Lanting. Rumah tradisional suku Banjar ini dibangun di atas pondasi rakit yang mengapung, ditopang oleh tiga balok kayu sebagai pelampung, dan umumnya menggunakan atap pelana. Munculnya Rumah Lanting dikaitkan dengan kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang perahu yang hidup nomaden di Sungai Martapura.

Rumah Lanting, mulai dari pemilihan material, konstruksi, hingga perilaku penghuni sehari-hari, menunjukkan adaptasi ekologis Banjar yang luar biasa. Arsitektur ini membuktikan bahwa masyarakat sungai memandang sungai bukan sebagai batas yang memisahkan, tetapi sebagai dasar tempat tinggal dan identitas komunal.

Mata Pencaharian Selain Perdagangan

Meskipun perdagangan di pasar terapung adalah kegiatan yang paling terkenal, masyarakat sungai memiliki diversifikasi mata pencaharian yang kuat, sebagian besar masih terikat pada ekosistem perairan.

Sektor Perikanan dan Pengolahan Produk

Menjala ikan masih menjadi mata pencaharian utama masyarakat yang tinggal di pesisir dan bantaran sungai. Selain itu, masyarakat juga memanfaatkan hasil perikanan sungai untuk diolah menjadi produk makanan lokal, seperti lauk-pauk, atau produk olahan seperti kelempang panggang atau kelempang goreng. Ketergantungan pada menjala dan pengolahan ikan ini menempatkan masyarakat pada risiko tinggi ketika terjadi degradasi ekosistem sungai.

Industri Kreatif Sasirangan

Kain Sasirangan merupakan warisan budaya material penting dari masyarakat Banjar. Kain tradisional ini dibuat dengan teknik ikat celup yang unik dan sering menampilkan motif alam seperti bunga dan daun, yang mencerminkan keharmonisan masyarakat dengan alam dan kesuburan hidup. Sasirangan digunakan baik untuk acara formal maupun dalam kehidupan sehari-hari, menunjukkan kekayaan budaya material yang berakar dari komunitas sungai.

Nilai-Nilai Sosial dan Kohesi Komunal

Budaya sungai Banjarmasin berfungsi sebagai ruang pendidikan nilai yang melahirkan nilai-nilai sosial inti yang mengikat komunitas. Interaksi intensif di atas air menuntut adanya kohesi sosial yang kuat.

Nilai-nilai inti yang diidentifikasi meliputi tanggung jawabgotong royong, dan kesadaran ekologis. Gotong royong dan solidaritas komunal, misalnya, tercermin dalam praktik mencari ikan yang membutuhkan kerja kelompok, seperti penggunaan alat serkap, yang idealnya dilakukan oleh sekelompok orang atau keluarga untuk menghemat biaya operasional. Nilai-nilai ini menjadi landasan kolektif dalam menjaga sungai sebagai aset komunal.

Tabel 1 meringkas nilai-nilai sosial inti yang terkandung dalam budaya sungai Banjar:

Nilai-Nilai Sosial Inti yang Terkandung dalam Budaya Sungai Banjar

Nilai Sosial Manifestasi dalam Kehidupan Komunitas Implikasi bagi Keberlanjutan
Gotong Royong/Solidaritas Kerjasama intensif dalam aktivitas air (e.g., Serkap), Interaksi harian di pasar Memperkuat kohesi sosial dan kesadaran kolektif dalam menjaga aset komunal (sungai)
Tanggung Jawab Penghargaan terhadap sungai sebagai sumber penghidupan, perawatan rumah Lanting Mendorong pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan dan memitigasi risiko alam
Kesadaran Ekologis Pengakuan bahwa sungai adalah ruang pendidikan nilai dan identitas Menjadi dasar bagi upaya edukasi dan perlindungan lingkungan formal (IPS)

Tradisi Adat dan Kepercayaan Lokal

Di samping aspek ekonomi dan sosial, kehidupan masyarakat sungai Banjar juga diwarnai oleh tradisi adat yang menunjukkan keterikatan spiritual dengan siklus kehidupan. Salah satu tradisi penting adalah Bapalas Bidan.

Bapalas Bidan adalah bentuk ungkapan syukur dan penghormatan keluarga kepada bidan atau dukun beranak yang telah membantu proses persalinan. Tradisi ini merupakan simbol ikatan batin antara keluarga, bayi yang baru lahir, dan penolong kelahiran. Praktik ini menunjukkan bahwa komunitas Banjar terus mempertahankan kearifan lokal dengan pendekatan religius. Namun, tradisi ini menghadapi dilema profesionalisme bagi bidan modern yang harus menjunjung tinggi standar pelayanan kesehatan klinis sambil tetap peka terhadap nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat. Memahami tradisi seperti Bapalas Bidan sangat penting untuk memastikan pelayanan sosial dan kesehatan yang utuh, yang merawat tidak hanya tubuh fisik, tetapi juga jiwa dan budaya masyarakat sungai.

Krisis Ekologis dan Erosi Budaya Sungai

Meskipun Pasar Terapung dan kehidupan sungai Banjar merupakan manifestasi peradaban yang unik, keberadaannya menghadapi ancaman eksistensial akibat degradasi lingkungan yang parah.

Sumber Utama Degradasi Lingkungan

Degradasi sungai disebabkan oleh kombinasi faktor perilaku antroposentris dan tekanan industri. Salah satu masalah utama adalah perilaku masyarakat bantaran sungai yang masih kurang peduli dan membuang sampah langsung ke badan air. Perilaku ini mencerminkan keretakan dalam interaksi manusia-sungai, di mana masyarakat mulai menganggap sungai sebagai tempat pembuangan, bukan sebagai pusat kehidupan.

Secara struktural, kegiatan penambangan batubara memberikan kontribusi tertinggi dalam menurunkan kualitas air sungai, menyebabkan air menjadi keruh dan meningkatkan risiko serta frekuensi terjadinya banjir. Selain itu, ancaman polusi modern yang lebih senyap juga terdeteksi, seperti kontaminasi mikroplastik, yang bahkan dikonsumsi oleh biota sungai, termasuk keong sawah dan keong emas.

Dampak Ganda Kerusakan Ekosistem terhadap Masyarakat

Kerusakan ekosistem sungai menimbulkan dampak ganda yang merusak basis ekonomi dan sosial masyarakat. Hilangnya sumber daya perairan, seperti ikan, secara langsung menghilangkan mata pencaharian tradisional masyarakat yang bergantung pada menjala ikan.

Degradasi lingkungan yang terus-menerus memicu fenomena yang disebut sebagai “eksploitasi balik oleh sungai”. Semakin tergerusnya eksistensi sungai, sungai berbalik mengeksploitasi manusia sebagai manifestasi hukum timbal balik hubungan alam-manusia. Bentuk eksploitasi ini terlihat jelas melalui bencana banjir yang semakin mudah dan sering terjadi, yang merusak bangunan rumah lanting dan menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat.

Situasi ini merupakan diagnosis kritis terhadap masalah keadilan ekologis dan sosial. Ketika komunitas lokal bergantung pada sungai untuk hidup, tetapi tekanan dari industri besar (seperti penambangan batubara) merusak ekosistem, ditambah kontribusi polusi dari masyarakat sendiri, hasilnya adalah hukuman kolektif berupa kerentanan ekonomi dan bencana alam yang berulang.

Keretakan Interaksi Manusia-Sungai

Telah terjadi perubahan paradigma dalam interaksi antara masyarakat dan sungai. Interaksi bergeser dari keterlekatan emosional dan pemanfaatan yang bijaksana, yang melahirkan nilai-nilai sosial luhur, menuju penguasaan alam secara berlebihan (eksploitasi) untuk kepentingan jangka pendek.

Keretakan interaksi ini memiliki implikasi budaya yang serius. Jika sungai tidak lagi menjadi sumber kehidupan yang layak karena polusi dan bencana, nilai-nilai sosial yang berakar pada budaya air—seperti gotong royong dan kesadaran ekologis—akan kehilangan basis empirisnya dan mempercepat erosi budaya Banjar secara keseluruhan. Oleh karena itu, pelestarian pasar terapung harus dimulai dengan restorasi ekosistem sungai.

Strategi Komprehensif Menuju Keberlanjutan dan Revitalisasi

Kerangka Kebijakan dan Regulasi Lingkungan

Upaya pelestarian sungai memerlukan penegakan hukum yang tegas. Kota Banjarmasin telah memiliki kerangka regulasi melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 31 Tahun 2012 mengenai Penetapan, Pengaturan, dan Pemanfaatan Sempadan Sungai dan Bekas Sungai. Tujuan utama Perda ini adalah untuk melindungi dan melestarikan fungsi sungai dari segala kegiatan daratan yang mengganggu. Implementasi Perda secara ketat, disertai sanksi yang jelas, sangat krusial untuk melawan perilaku antroposentrisme dan mengendalikan tekanan polusi industri.

Selain penegakan hukum, strategi pelestarian lingkungan juga harus mencakup penguatan sistem pengelolaan limbah terpadu, termasuk pemilahan sampah dan daur ulang, serta mendukung praktik pertanian dan industri yang berkelanjutan. Edukasi dan peran partisipatif masyarakat, seperti program bersih-bersih dan bank sampah, juga penting untuk meningkatkan kesadaran kolektif terhadap dampak pencemaran sungai.

Revitalisasi Ekonomi Berbasis Pariwisata Berkelanjutan

Revitalisasi Pasar Terapung sebagai destinasi pariwisata harus dijalankan dengan prinsip berkelanjutan, berfokus pada pemberdayaan komunitas. Masyarakat lokal perlu diberdayakan (Community Empowerment) melalui organisasi seperti Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan kelompok pedagang. Keterlibatan komunitas memastikan rasa kepemilikan dan mempromosikan keramahtamahan bagi wisatawan.

Pemerintah daerah diharapkan terlibat aktif dalam menyusun pengelolaan daya tarik yang berkualitas untuk meningkatkan kepuasan wisatawan, yang diukur melalui lama tinggal dan daya beli. Aspek infrastruktur juga penting; hasil analisis revitalisasi menunjukkan perlunya investasi dalam pengadaan dermaga yang memudahkan akses (darat dan sungai). Namun, revitalisasi ini berpotensi meningkatkan biaya operasional. Analisis menunjukkan bahwa diperlukan subsidi dari pemerintah untuk menutupi kenaikan biaya, misalnya subsidi sebesar Rp135,357,456 per tahun, agar biaya pengiriman tidak membebani pedagang tradisional.

Tabel 2: Komparasi Pasar Terapung Kunci di Kalimantan Selatan

Kriteria Perbandingan Pasar Terapung Lok Baintan Pasar Terapung Muara Kuin
Lokasi Administratif Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar (Martapura) Banjarmasin
Fungsi Utama Perdagangan Tradisional dan Destinasi Wisata Jejak Sejarah dan Destinasi Wisata
Sistem Ekonomi Khas Masih Menjalankan Sistem Barter Transaksi Jual-Beli Tradisional
Waktu Operasi Khas Pagi buta (berakhir sekitar 08:00-09:00) Pagi buta (berakhir sekitar 08:00-09:00)
Dukungan Kelembagaan Memiliki Koperasi Pedagang (sejak 2013) Fokus pada Revitalisasi Destinasi (Pokdarwis)

Integrasi Budaya Sungai dalam Pendidikan dan Kesadaran Publik

Untuk memastikan pelestarian jangka panjang, kesadaran ekologis dan budaya harus ditanamkan sejak dini. Nilai-nilai sosial yang lahir dari budaya sungai memiliki potensi besar sebagai materi pendidikan formal, khususnya dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di sekolah dasar. Melalui integrasi ini, generasi muda dapat memahami bahwa sungai adalah identitas lokal dan ruang pendidikan nilai yang mengajarkan tanggung jawab dan solidaritas. Memanfaatkan nilai-nilai ini dalam kurikulum merupakan upaya strategis untuk melestarikan pasar terapung dan budaya air Banjar melalui jalur pendidikan.

Kesimpulan

Pasar Terapung dan kehidupan masyarakat sungai Banjar mewakili peradaban akuatik yang unik dan bersejarah, yang ditopang oleh arsitektur vernakular adaptif (Rumah Lanting) dan didorong oleh matriarki ekonomi yang dominan. Meskipun pasar ini berfungsi sebagai daya tarik wisata utama dan hub ekonomi tradisional (ditandai dengan praktik barter yang masih hidup), keberadaannya berada di ambang krisis ekologis. Degradasi kualitas air akibat polusi industri (batubara) dan perilaku masyarakat yang antroposentris mengancam basis mata pencaharian utama (perikanan) dan memicu bencana alam (banjir) yang merusak, sebuah fenomena yang diinterpretasikan sebagai “eksploitasi balik” oleh sungai. Pelestarian yang efektif harus melampaui fokus pada pariwisata semata dan harus berpusat pada pemulihan ekosistem sungai sebagai prasyarat utama keberlanjutan budaya.

Proyeksi Tantangan Masa Depan

  1. Erosi Kultural Akibat Urbanisasi: Peningkatan pembangunan infrastruktur darat dan tren urbanisasi cenderung mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sungai sebagai jalur transportasi dan pusat kehidupan sehari-hari, yang pada gilirannya dapat mengikis urgensi pelestarian ekologis dan budaya air.
  2. Ancaman Kualitas Air yang Kronis: Jika intervensi kebijakan gagal mengendalikan polusi industri dan mengatasi masalah mikroplastik, eksploitasi balik sungai (hilangnya stok ikan dan bencana banjir) akan semakin parah. Hal ini berisiko mengubah Pasar Terapung dari komunitas perdagangan yang hidup menjadi sekadar atraksi buatan tanpa basis ekonomi riil yang menopang kehidupan masyarakat tradisional.

Berdasarkan analisis ancaman dan potensi, direkomendasikan strategi kebijakan terkoordinasi sebagai berikut:

  1. Penegakan Perda Sempadan Sungai yang Tegas: Pemerintah harus menerapkan Perda No. 31 Tahun 2012 secara agresif, memberikan sanksi berat terhadap perilaku buang sampah sembarangan dan, yang lebih penting, mengendalikan pembuangan limbah industri di bantaran sungai untuk memulihkan kualitas air.
  2. Dukungan Ekonomi Bertarget Gender: Memberikan subsidi berkelanjutan untuk koperasi pedagang dan revitalisasi infrastruktur (dermaga), sambil memastikan biaya infrastruktur tidak membebani para pedagang tradisional, yang mayoritas adalah perempuan. Subsidi harus dikaitkan dengan pelatihan dan pendanaan untuk memperkuat peran ganda ekonomi perempuan pelaku usaha.
  3. Penguatan Ekonomi Hijau dan Diversifikasi: Mendorong diversifikasi mata pencaharian ke sektor-sektor yang ramah lingkungan, seperti industri kreatif Sasirangan yang berkelanjutan , sekaligus melakukan restorasi ekosistem sungai untuk memulihkan stok ikan, sehingga sektor perikanan tradisional tetap viable.
  4. Integrasi Kurikulum Kebudayaan Air: Mewajibkan pendidikan nilai-nilai sosial budaya sungai (tanggung jawab, gotong royong, dan ekologi) dalam kurikulum pendidikan formal (terutama IPS) di Kalimantan Selatan untuk membangun kesadaran ekologis jangka panjang dan mempertahankan identitas peradaban akuatik Banjar.