Ekowisata di Taman Nasional Tanjung Puting dan Jalur Sungai Sekonyer
Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki signifikansi global, terutama dalam upaya perlindungan orangutan Kalimantan. Secara historis, kawasan ini pertama kali ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa Sampit oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1937. Seiring berjalannya waktu dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya konservasi ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah, status kawasan ini diperluas dan ditingkatkan menjadi Taman Nasional pada tahun 1982.
Penetapan awal TNTP mencakup luas sekitar 415.040 hektar. Namun, melalui dinamika pengukuhan kawasan, luas resmi yang diakui saat ini telah terkukuh menjadi 412.240,53 hektar, yang dikelola melalui sistem zonasi tertentu. Berdasarkan mandat Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, TNTP mengemban tiga fungsi utama yang bersifat fundamental: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pelestarian keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan lestari sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya.2
Pengakuan Internasional dan Peran Ekosistem Kunci
Signifikansi TNTP diperkuat oleh pengakuan ganda dari lembaga konservasi internasional. Pada tahun 1977, kawasan ini diakui UNESCO sebagai Cagar Biosfer (World Network of Biosphere Reserves) di bawah program Man and the Biosphere (MAB). Status MAB ini mempromosikan fungsi konservasi yang terintegrasi dengan penelitian ilmiah dan pembangunan berkelanjutan, terutama dalam konteks perlindungan satwa liar dan pengembangan ekowisata yang melibatkan masyarakat lokal.
Pengakuan internasional kedua yang tidak kalah penting adalah penetapannya sebagai Situs Ramsar pada tahun 2013. Penetapan sebagai Situs Ramsar menekankan peran vital TNTP sebagai kawasan lahan basah terbesar di Kalimantan Tengah. Lahan basah, yang didominasi oleh hutan bakau dan rawa gambut, sangat penting sebagai reservoir air dan penunjang proses hidrologi, biologi, dan ekologi regional. Status Ramsar ini meningkatkan kredibilitas Indonesia dalam pengelolaan kawasan konservasi lahan basah dan menyoroti peran kawasan ini sebagai penyangga ekologi penting.
TNTP menyajikan lanskap ekosistem yang beragam, meliputi ekosistem pesisir, rawa gambut, hutan kerangas, hutan tropis dataran rendah, dan hutan mangrove. Kombinasi pengakuan global ini—yakni pelestarian primata (MAB) dan perlindungan ekosistem hidrologi (Ramsar)—menunjukkan bahwa manajemen TNTP menghadapi tantangan konservasi yang sangat kompleks. Perlindungan harus mencakup tidak hanya spesies darat ikonik, tetapi juga integritas hidrologi skala besar di lahan gambut. Keterkaitan ini sangat penting, sebab lahan gambut yang sensitif terhadap kekeringan dapat memicu Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla), suatu ancaman nyata di Kalimantan. Bencana Karhutla akan menghancurkan habitat orangutan dan menyebabkan polusi asap regional, menegaskan bahwa strategi pengelolaan TNTP harus mengintegrasikan perlindungan lahan basah Ramsar sebagai inti dari pencegahan bencana dan perlindungan populasi orangutan.
Tanjung Puting: Kronologi Penetapan Status Konservasi Internasional
| Tahun Penetapan | Organisasi/Program | Status/Pengakuan | Fungsi Utama yang Dipromosikan |
| 1977 | UNESCO (Program MAB) | Cagar Biosfer | Konservasi, Penelitian, dan Pembangunan Berkelanjutan |
| 2013 | Konvensi Ramsar | Situs Lahan Basah Internasional | Perlindungan Lahan Basah, Reservoir Air, Fungsi Hidrologi/Ekologi Gambut |
Pilar Konservasi: Orangutan Kalimantan dan Fungsi Camp Leakey
Konservasi Primata Utama: Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus)
Daya tarik utama dan alasan signifikan bagi perlindungan TNTP adalah perannya sebagai benteng pertahanan bagi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Spesies ini merupakan primata endemik Pulau Borneo. Populasi orangutan di TNTP diperkirakan mencapai lebih dari 6.000 individu, menjadikannya salah satu habitat orangutan terbesar di dunia.
Meskipun status populasinya signifikan, konservasi orangutan menghadapi ancaman eksistensial. Orangutan Kalimantan saat ini diklasifikasikan sebagai Critically Endangered (Kritis/Sangat Terancam Punah) oleh IUCN 3.1. Ancaman serius terhadap kelangsungan hidupnya meliputi perusakan habitat yang masif, konversi hutan menjadi lahan pertanian—terutama perkebunan sawit—serta perburuan dan perdagangan satwa liar ilegal.
Camp Leakey: Sejarah, Penelitian, dan Rehabilitasi
Pusat penelitian Camp Leakey adalah jantung dari upaya konservasi dan penelitian di TNTP. Camp Leakey didirikan pada tahun 1971 oleh Dr. Biruté Galdikas bersama mantan suaminya, Rod Brindamour, dan dinamai untuk menghormati mentor Galdikas, paleo-antropolog legendaris Louis Leakey. Dr. Galdikas merupakan anggota ketiga dari kelompok ilmuwan yang dijuluki “The Trimates” oleh Leakey, yang mencakup Jane Goodall (mempelajari simpanse) dan Dian Fossey (mempelajari gorila). Melalui penelitiannya yang didanai oleh National Geographic Society, Dr. Galdikas berhasil memperluas pengetahuan ilmiah mengenai perilaku, habitat, dan diet orangutan, yang sebelumnya merupakan kera besar yang paling sedikit dipahami.
Camp Leakey tidak hanya berfungsi sebagai basis penelitian yang aktif bagi ilmuwan dan mahasiswa (termasuk dari Universitas Nasional dan Universitas Gadjah Mada), tetapi juga merupakan pusat rehabilitasi orangutan pertama di Indonesia. Kamp ini terdiri dari bangunan kayu permanen dan berlokasi di hutan primer, menjadi rumah bagi sejumlah orangutan pasca-rehabilitasi yang menunjukkan perilaku semi-liar hingga liar. Untuk menjaga integritas penelitian dan meminimalisasi gangguan, kebijakan taman menetapkan bahwa pengunjung hanya diperbolehkan untuk kunjungan harian dengan panduan lokal dan tidak diizinkan untuk menginap di Camp Leakey. Pembatasan ini merupakan langkah manajemen risiko yang penting untuk menjamin kelangsungan studi jangka panjang.
Jaringan Situs Feeding Ground dan Keanekaragaman Hayati Lain
Ekowisata di TNTP berpusat pada pengamatan primata, terutama orangutan. Kunjungan wisatawan diarahkan ke tiga situs feeding ground (tempat pemberian makan) utama yang berfungsi sebagai lokasi re-release bagi orangutan ex-captive semi-liar: Tanjung Harapan, Pondok Tanggui, dan Camp Leakey.
Praktik pemberian makan ini menjadi titik temu unik antara konservasi dan ekowisata. Wisatawan mendapatkan kesempatan berharga untuk mengamati orangutan dari jarak aman. Orangutan semi-liar akan datang ke platform pakan ini setiap hari, kecuali saat musim buah (fruiting) di hutan sedang berlimpah. Meskipun praktik ini mendukung pendanaan konservasi melalui pariwisata, ia juga menimbulkan dilema manajemen. Pemberian makanan tambahan adalah intervensi antropogenik yang berpotensi menghambat perilaku alami mencari makan (foraging) dan meningkatkan risiko penularan penyakit dari manusia atau satwa semi-liar ke populasi orangutan liar. Oleh karena itu, Balai TNTP harus secara transparan mengedukasi wisatawan bahwa situs ini adalah bagian dari program rehabilitasi dan bukan representasi murni kehidupan liar.
Selain daya tarik orangutan, TNTP menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Kawasan ini merupakan habitat bagi 9 spesies primata, di antaranya yang paling terkenal adalah Bekantan (Nasalis larvatus), Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), Kera Ekor Panjang, dan Lutung Perak. Fauna penting lainnya mencakup Macan Dahan (Neofelis diardi), Beruang Madu (Helarctos malayanus), serta lebih dari 200 jenis burung, termasuk Bangau Badai (Storm Stork) yang berstatus terancam punah.
Susur Sungai Sekonyer: Jantung Ekowisata TNTP
Akses, Logistik, dan Nilai Sungai Sekonyer
Ekowisata ke TNTP sepenuhnya bergantung pada jalur air, menjadikan Susur Sungai Sekonyer sebagai pengalaman inti dari kunjungan ke kawasan ini. Akses dimulai setelah wisatawan tiba di Bandara Iskandar Pangkalan Bun (PKN), dilanjutkan dengan transfer ke Kumai, di mana perjalanan ke taman nasional hanya dapat diakses melalui sungai menggunakan perahu atau speedboat.
Sungai Sekonyer, yang dikenal sebagai sungai air hitam (black water river) karena kandungan taninnya, tidak hanya penting sebagai jalur transportasi. Sungai ini secara ekologis berfungsi sebagai urat nadi kehidupan bagi masyarakat lokal dan ekosistem di sekitarnya. Â Keanekaragaman flora di sepanjang tepian sungai memainkan peran vital, berfungsi sebagai penghasil oksigen, penyedia makanan bagi satwa, dan pengatur siklus air. Secara historis, sungai ini juga memiliki nilai mendalam, pernah menjadi jalur heroik perjuangan gerilyawan Indonesia melawan Belanda.
Operasional Kapal Klotok sebagai Akomodasi Ekowisata
Pengalaman Susur Sungai Sekonyer dilakukan dengan menggunakan perahu kayu tradisional yang dikenal sebagai Klotok. Klotok dirancang khusus untuk berfungsi sebagai rumah perahu terapung (houseboat), memungkinkan wisatawan untuk berlayar selama beberapa hari dan bermalam di tengah hutan. Konsep ini membedakan TNTP dari destinasi primata lain, menjadikannya produk ekowisata yang imersif.
Paket wisata yang umum ditawarkan biasanya berdurasi 3 hari 2 malam, mencakup kunjungan ke ketiga feeding site (Tanjung Harapan, Pondok Tanggui, Camp Leakey). Fasilitas yang disediakan di atas klotok umumnya memiliki standar yang baik, meliputi akomodasi perahu yang bersih dan layak, pemandu ekowisata yang terampil (seringkali mampu berbahasa Inggris), juru masak yang terampil menyajikan makanan lengkap (BLD – breakfast, lunch, dinner, snack, dan minuman, termasuk air mineral kemasan isi ulang). Pengalaman menginap di klotok memungkinkan pengamatan satwa liar yang unik, termasuk pemandangan kunang-kunang di malam hari saat perahu berlabuh di titik yang tenang. Bagi wisatawan yang mencari fasilitas yang lebih mewah, tersedia akomodasi seperti Rimba Lodge yang menawarkan kamar ber-AC dan fasilitas air panas/dingin.
Pengalaman Satwa Liar Sepanjang Sungai
Perjalanan di Sungai Sekonyer menawarkan safari satwa liar yang kaya dan menawan. Pagi dan sore hari adalah waktu terbaik untuk mengamati primata di tepian sungai. Satwa yang paling sering ditemui adalah Bekantan, yang mudah dikenali dari hidung panjangnya yang khas (terutama pada jantan).
Selain Bekantan, wisatawan dapat mengamati spesies primata lain seperti Kera Ekor Panjang, Lutung Perak, dan Monyet Daun Merah. Kehidupan burung juga sangat beragam, dengan lebih dari 200 spesies terdaftar, termasuk Burung Rangkong, Burung Pekakak (Kingfisher), dan Bangau Badai yang terancam punah.
Meskipun menarik, ekosistem sungai juga menampilkan predator yang memerlukan kehati-hatian. Satwa seperti Buaya Air Tawar dan Buaya Moncong Panjang kadang-kadang terlihat berjemur di tepian sungai saat cuaca cerah. Peringatan untuk “Awasi Buaya!” Â dalam materi wisata menekankan perlunya panduan yang kompeten dan manajemen risiko yang ketat, terutama mengingat peningkatan volume kunjungan dan potensi konflik manusia-buaya.
Analisis Keberlanjutan dan Mitigasi Risiko di Kawasan Sekonyer
Ancaman Deforestasi dan Konflik Satwa-Manusia
Tantangan terbesar bagi keberlanjutan TNTP adalah tekanan eksternal dari perubahan penggunaan lahan. Alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) di sekitar zona penyangga (buffer zone) TNTP adalah pemicu utama konflik antara satwa liar dan manusia. Ketika habitat alami terfragmentasi, orangutan terpaksa memasuki area perkebunan, yang sering kali berujung pada tindak kekerasan.
Kasus-kasus konflik yang tragis sering terjadi. Sebagai contoh, insiden pembantaian orangutan bernama Baen yang ditemukan tewas mengambang di kanal perkebunan kelapa sawit dengan tujuh peluru di tubuhnya pada tahun 2018, menunjukkan tingginya tingkat kekerasan terhadap primata yang dilindungi. Laporan lain menyebutkan kasus serupa di mana orangutan dibunuh secara sadis dengan belasan peluru. Insiden ini merupakan indikasi nyata kegagalan dalam kebijakan pencegahan konflik di tingkat tapak dan menunjukkan bahwa kebijakan ‘zero tolerance’ yang dicanangkan oleh beberapa perusahaan belum diterapkan secara merata di seluruh lanskap Kalimantan.
Meskipun demikian, ada upaya mitigasi melalui kemitraan. Organisasi konservasi seperti Orangutan Foundation International (OFI) yang didirikan oleh Dr. Galdikas, telah bekerja sama dengan perusahaan sawit besar tertentu (misalnya PT Sinar Mas Agro Resources and Technology/Smart Tbk) yang berkomitmen pada kebijakan ‘zero tolerance’ terhadap perusakan hutan dan satwa. Kemitraan ini dilihat sebagai strategi pragmatis untuk mengurangi dampak negatif industri yang secara inheren mengancam habitat orangutan.
Ancaman Pencemaran Air Sungai Sekonyer
Integritas ekosistem perairan Sungai Sekonyer, yang merupakan basis bagi ekowisata, terancam oleh pencemaran berat. Hasil analisis kualitas air menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan. Di muara Sungai Sekonyer, indeks pencemaran mencapai “cemar berat” dengan nilai 16,35, dan kondisi serupa tercatat di Sungai Kumai (indeks 17,42).
Ancaman ini merupakan paradoks: pencemaran berasal dari sumber eksternal (penambangan ilegal yang melepaskan Merkuri dan Seng) tetapi diperparah oleh mekanisme internal ekowisata. Penelitian menunjukkan adanya kandungan logam berat tinggi, termasuk Merkuri (Hg) sebesar 0,1168 ppm, di lokasi penambangan. Selain itu, aktivitas klotok wisata secara langsung berkontribusi terhadap peningkatan kadar Merkuri dalam air di Sungai Sekonyer. Hal ini terjadi karena klotok yang hilir mudik mengaduk sedimen di dasar sungai, melepaskan Merkuri yang konsentrasinya jauh lebih tinggi di sedimen dibandingkan di air. Oleh karena itu, dilema kebijakan yang dihadapi adalah bagaimana mempromosikan ekowisata sebagai solusi ekonomi tanpa merusak kualitas air yang menjadi basis ekologis kawasan.
Tantangan Pengelolaan Hutan dan Bencana
Mengingat dominasi ekosistem rawa gambut di TNTP, kawasan ini sangat rentan terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla). Karhutla mengancam tidak hanya orangutan tetapi juga integritas lahan basah yang dilindungi oleh status Ramsar. Sebagai respons, Balai TNTP secara berkala melaksanakan inisiatif seperti pelatihan pengendalian Karhutla (Dalkarhutla) untuk mitigasi bencana.
Dalam konteks manajemen kawasan konservasi, pemerintah juga mengakui perlunya mengukur nilai ekonomi dari perlindungan ini. Kementerian Keuangan, melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), merencanakan kegiatan penilaian Sumber Daya Alam hayati di TNTP pada tahun 2025. Proyek ini bertujuan untuk memperoleh gambaran nilai ekonomi jasa ekosistem yang disediakan oleh hutan konservasi. Valuasi ini sangat penting untuk membenarkan investasi besar dalam perlindungan kawasan dan untuk mengadvokasi kebijakan tata ruang yang memprioritaskan fungsi ekologis di atas kepentingan industri eksploitatif.
Dampak Sosio-Ekonomi dan Kerangka Pengelolaan
Ekowisata dan Pemberdayaan Komunitas Lokal
Ekowisata di TNTP, khususnya di sekitar Lanskap Sekonyer, telah menghasilkan dampak positif yang signifikan terhadap masyarakat lokal. Studi menunjukkan bahwa melalui partisipasi aktif dalam kegiatan pariwisata, masyarakat diberdayakan dan memperoleh manfaat ekonomi secara langsung. Peluang ekonomi baru muncul dalam bentuk layanan pemandu wisata profesional, pengelolaan homestay, dan produksi kerajinan lokal. Lebih dari sekadar keuntungan finansial, ekowisata telah meningkatkan kapasitas sosial masyarakat. Hal ini terlihat dari peningkatan pengetahuan dan wawasan mereka mengenai manajemen lingkungan dan potensi pariwisata berbasis keberlanjutan. Selain itu, kesadaran masyarakat terhadap kekayaan alam dan budaya lokal meningkat, dan kemampuan berbahasa asing—khususnya Inggris—meningkat sebagai kebutuhan interaksi dengan wisatawan mancanegara. Keberadaan masyarakat lokal dengan kesadaran tinggi dalam menjaga kelestarian hutan menjadi faktor kunci keberlanjutan Lanskap Sekonyer.
Kerangka Kebijakan dan Regulasi Masuk
Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat telah memprioritaskan penataan ruang di kawasan ini melalui penetapan Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) Lanskap Sekonyer. KSK Lanskap Sekonyer adalah pusat ekowisata alam yang diakui secara nasional dan internasional, yang dirancang untuk mendukung kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. Pendekatan perencanaan top-down ini menunjukkan sinergi dengan pemberdayaan masyarakat bottom-up yang telah berhasil dicapai.
Untuk masuk ke kawasan TNTP, semua kegiatan, baik wisata perorangan, rombongan, maupun kegiatan non-wisata (penelitian, pendidikan, dokumentasi), wajib memperoleh Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI). Regulasi biaya masuk, yang dikenal sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), telah mengalami penyesuaian. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2024, tarif PNBP masuk kawasan TNTP disesuaikan per 30 Oktober 2024.
Tabel Struktur Tarif PNBP Masuk TNTP (PP No. 36/2024)
| Kategori Wisatawan | Tarif Hari Kerja (Rupiah) | Catatan/Multiplier Hari Libur |
| Wisatawan Mancanegara (WNA) | 250.000 | Tarif di Hari Libur = 150% x Tarif Normal |
| Wisatawan Nusantara (WNI) | 50.000 | Tarif di Hari Libur = 150% x Tarif Normal |
| Rombongan Pelajar/Mhs (WNI, Min 5 Org) | 25.000 | Tarif di Hari Libur = 150% x Tarif Normal |
| Izin Dokumentasi/Film | 3.000.000 – 20.000.000 (Per paket/lokasi) | Berdasarkan jenis kegiatan (WNI) |
Peningkatan PNBP ini, jika dialokasikan secara transparan dan terarah, dapat memperkuat program konservasi di Camp Leakey, mendukung pemantauan lahan basah Ramsar, dan menutup celah finansial yang seringkali menjadi pemicu konflik di zona penyangga.
Analisis ini menyimpulkan bahwa Taman Nasional Tanjung Puting merupakan kawasan konservasi global yang unik, memegang status Cagar Biosfer UNESCO (1977) dan Situs Ramsar (2013). TNTP berfungsi sebagai habitat kritis bagi populasi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang berstatus Critically Endangered. Pengalaman inti wisata adalah Susur Sungai Sekonyer menggunakan kapal klotok, yang menyajikan petualangan satwa liar yang kaya dan memberdayakan komunitas lokal.
Namun, keberlanjutan kawasan Sekonyer dihadapkan pada ancaman eksistensial yang kompleks. Pertama, konflik satwa-manusia yang parah dan brutal terjadi akibat ekspansi perkebunan sawit di perbatasan, seperti yang ditunjukkan oleh kasus pembantaian orangutan yang fatal. Kedua, Sungai Sekonyer, meskipun merupakan jalur ekowisata, terancam oleh pencemaran logam berat (Merkuri dan Seng) yang berasal dari luar kawasan, diperburuk oleh operasional klotok wisata yang mengaduk sedimen beracun di dasar sungai.
Berdasarkan temuan krisis lingkungan dan sosial yang teridentifikasi, beberapa rekomendasi strategis perlu dipertimbangkan untuk memastikan keberlanjutan TNTP:
Regulasi Operasional Klotok dan Mitigasi Pencemaran Sungai
Manajemen TNTP harus memandang klotok bukan hanya sebagai sarana transportasi, tetapi sebagai komponen risiko internal yang perlu dikelola. Direkomendasikan untuk segera melakukan penelitian mendalam mengenai desain lambung kapal (low-impact hull design) yang dapat meminimalisasi adukan sedimen, terutama di area sensitif di hulu Sekonyer Kanan dekat Camp Leakey, untuk mengurangi pelepasan Merkuri terlarut. Selain itu, penerapan sistem pemantauan kualitas air secara real-time di titik-titik kritis (hulu, Pondok Tanggui, dan muara Kumai) diperlukan untuk mendeteksi lonjakan logam berat dan mengidentifikasi secara cepat sumber pencemaran ilegal di luar batas taman.
Penguatan Zona Penyangga dan Penegakan Hukum
Tekanan dari alih fungsi lahan menuntut penegakan hukum yang tegas. Patroli gabungan yang melibatkan Balai TNTP, BKSDA, dan aparat penegak hukum harus diintensifkan di perbatasan yang berhadapan dengan konsesi perkebunan sawit. Penegakan hukum yang kuat harus diiringi dengan sanksi pidana dan perdata yang maksimal terhadap pelaku tindak kekerasan atau pembantaian orangutan, seperti yang terjadi dalam kasus Baen. Lebih lanjut, hasil valuasi ekonomi jasa ekosistem (Proyek DJKN 2025) Â harus digunakan sebagai alat advokasi untuk penetapan zonasi lahan yang lebih ketat di KSK Lanskap Sekonyer, guna memprioritaskan ekowisata lestari di atas kepentingan industri non-berkelanjutan.
Peningkatan Keterlibatan dan Kapasitas Masyarakat
Peningkatan tarif PNBP berdasarkan PP No. 36 Tahun 2024 Â harus diimbangi dengan alokasi dana yang jelas untuk memperkuat program pemberdayaan masyarakat. Dana tersebut harus diinvestasikan dalam pelatihan dan sertifikasi pemandu lokal, mencakup kemampuan berbahasa Inggris, manajemen risiko konflik satwa, dan protokol keamanan (terutama terkait Buaya). Dengan meningkatkan kapasitas masyarakat, mereka memiliki insentif ekonomi yang lebih kuat untuk menjadi penjaga hutan yang efektif. Selain itu, diperlukan pengembangan branding ekowisata TNTP yang secara eksplisit menghubungkan pengalaman wisata dengan dukungan langsung terhadap program penelitian Galdikas di Camp Leakey dan pelestarian vital lahan basah gambut.


