Loading Now

Kompleks Warisan Keraton Kasepuhan dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon

Keraton Kasepuhan dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa (MASCR) di Cirebon, Jawa Barat, mewakili salah satu simpul terpenting peradaban Islam Nusantara, khususnya dalam konteks penyebaran agama oleh Wali Sanga di tanah Jawa. Kompleks ini bukan hanya monumen sejarah, melainkan sistem kosmologis yang memadukan dimensi politik, spiritual, dan budaya yang unik.

Latar Belakang dan Konteks Historis Pendirian Kesultanan Cirebon

Pendirian Kesultanan Cirebon diawali oleh Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran. Setelah menyelesaikan ibadah haji, Pangeran Walangsungsang dikenal sebagai Haji Abdullah Iman dan tampil sebagai raja Cirebon pertama, yang memulai pemerintahannya dari Keraton Pakungwati. Sejak awal, fondasi kesultanan ini memiliki hubungan erat dengan kekuatan Islam lain di wilayah tersebut, khususnya Kesultanan Demak.

Puncak konsolidasi spiritual dan politik terjadi di bawah kepemimpinan Syach Syarif Hidayatullah, atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, yang merupakan keponakan Pangeran Walangsungsang. Sunan Gunung Jati dinobatkan sebagai pemimpin negara Cirebon dan bersemayam di Keraton Pakungwati. Di bawah kepemimpinannya, Cirebon menjadi pusat pengembangan Agama Islam yang fundamental di Jawa, dengan beliau menjadi pemimpin Wali Sanga.

Struktur genealogi ini menghasilkan otoritas ganda di Cirebon. Pangeran Walangsungsang memberikan legitimasi politik awal dan darah bangsawan sebagai pendiri Kesultanan. Sementara itu, Sunan Gunung Jati mengkonsolidasikan legitimasi spiritual dan otoritas da’wah. Institusi Keraton Kasepuhan saat ini mewarisi kedua jalur otoritas ini, yang menjelaskan mengapa isu-isu politik internal Keraton seringkali tumpang tindih dan memperebutkan kontrol atas situs-situs sakral yang terkait dengan Wali Sanga, seperti kompleks makam Sunan Gunung Jati.

Konsep Kosmologi Jawa Pesisir: Konfigurasi Mancapat Lima Pancer

Tata ruang Keraton Kasepuhan dirancang berdasarkan konsep kosmologi Jawa Pesisir, yang mengintegrasikan pusat kekuasaan duniawi dan spiritual dalam konfigurasi yang harmonis. Model tata letak ini dikenal sebagai pola Mancapat Lima Pancer, ditandai dengan penempatan Keraton, Masjid, Alun-alun, dan Pasar dalam satu sumbu.

Keraton Kasepuhan berdiri di sisi selatan, menghadap ke alun-alun kota. Di sebelah barat alun-alun, dibangunlah Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Dahulu, di sebelah timur alun-alun terdapat pusat perekonomian yaitu pasar. Orientasi Keraton yang menghadap utara, dengan Masjid di sisi barat, menciptakan keseimbangan filosofis. Penempatan Masjid Agung Sang Cipta Rasa tepat di samping pusat pemerintahan memastikan bahwa kekuasaan politik Kesultanan senantiasa tunduk dan berdampingan dengan otoritas spiritualitas Islam. Konfigurasi ini berfungsi sebagai strategi da’wah dan pemerintahan yang efektif, menjadikan Cirebon model tata kota yang mengintegrasikan agama dan negara, bahkan dicontoh oleh kabupaten/kota di seluruh Jawa hingga era modern.

Keraton Kasepuhan: Arsitektur Sinkretik dan Filosofi Kekuasaan

Keraton Kasepuhan adalah representasi fisik dari proses akulturasi budaya yang mendalam, di mana Islam tidak menghapus, melainkan menafsirkan ulang warisan pra-Islam. Analisis arsitektur menunjukkan Keraton berfungsi sebagai jembatan transisi budaya dan politik.

Situs Inggil (Siti Inggil): Jembatan Transisi Budaya

Salah satu daya tarik arsitektural utama Keraton Kasepuhan adalah kompleks Siti Inggil (Situs Inggil), yang terletak di depan bangunan utama. Meskipun kompleks ini kini memiliki nilai keislaman yang kuat, gaya bangunannya dipertahankan ala Kerajaan Majapahit, desain yang populer pada masa tersebut.

Di dalam kompleks Siti Inggil, terdapat lima bangunan tanpa dinding. Salah satu bangunan ini masih digunakan secara ritual, yaitu untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), yang hanya dilakukan dua kali dalam setahun, yakni pada saat perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Selain itu, terdapat tugu batu bernama Lingga Yoni, sebuah simbol kesuburan (laki-laki dan perempuan) yang jelas berasal dari budaya Hindu. Di atas tembok yang mengelilingi kompleks Siti Inggil, terdapat Candi Laras yang berfungsi sebagai penyelaras.

Keunikan ini memperlihatkan strategi politik dan spiritual yang cerdas oleh pendiri Kesultanan. Alih-alih menghancurkan simbol-simbol kekuasaan dan kepercayaan lama, Keraton Kasepuhan mengadopsi dan menafsirkan ulang simbol tersebut. Contoh paling mencolok adalah Gapura bergaya Majapahit yang dimaknai ulang menjadi Al Ghafur, yang berarti Maha Pengampun. Siti Inggil, dengan demikian, berfungsi sebagai zona transisi kultural, di mana elemen Majapahit/Hindu diakui, diberi makna Islami yang baru, dan disublimasikan di bawah kekuasaan Kesultanan Islam, memfasilitasi konversi agama tanpa gejolak sosial yang besar.

Kompleks Kedhaton dan Material Filosofis

Arsitektur Keraton juga mengandung filosofi yang mendalam mengenai integritas dan kejujuran kepemimpinan. Konstruksi Kedhaton didominasi oleh penggunaan material utama kayu jati, yang mudah didapatkan di wilayah tersebut.

Sebagian besar bangunan Keraton Kasepuhan, termasuk beberapa rumah adat, dibangun menggunakan metode konstruksi knockdown yang tidak membutuhkan paku atau baut, melainkan menggunakan kayu berkualitas terbaik sebagai penghubungnya. Filosofi konstruksi alami ini menekankan kekuatan fisik yang berasal dari kualitas material (jati) dan teknik sambungan yang murni. Selain itu, keunikan lain terlihat pada pintu utama rumah utama Keraton yang selalu dibuat lurus dari depan hingga ke bagian belakang. Konsep pintu yang lurus ini melambangkan makna kejujuran yang harus dimiliki oleh pemilik rumah, yaitu Sultan.

Penggunaan material pendukung juga mencerminkan sifat kosmopolitan Cirebon. Selain batu bata merah dan genteng tanah liat , keramik digunakan sebagai penutup lantai pada bangunan-bangunan penting seperti Panca Ratna, Panca Niti, dan Pengada. Yang menarik, dinding Keraton juga dihiasi oleh porselen Tiongkok, yang merupakan bukti konkret pengaruh perdagangan dan budaya Tionghoa yang kuat di wilayah pesisir.

Warisan Seni dan Koleksi Pusaka

Keraton Kasepuhan berperan sebagai pusat pemeliharaan dan pengembangan budaya. Salah satu warisan budaya non-bendawi yang paling khas adalah Seni Tari Topeng Cirebon. Seni tari ini memiliki lima karakter pokok (termasuk Topeng Panji yang melambangkan kesucian manusia yang baru lahir, dan Topeng Samba) dan digunakan sebagai media da’wah serta hiburan di lingkungan Keraton.

Museum Keraton Kasepuhan menyimpan koleksi pusaka penting, kereta kencana, dan arsitektur klasik. Koleksi pusaka ini berfungsi sebagai catatan material peradaban Cirebon. Beberapa benda pusaka ini, seperti yang tercatat, memiliki ukiran yang menampilkan motif Kama Sutra.

Keberadaan artefak dengan motif non-Islami atau yang memiliki konotasi erotis di pusat Kesultanan Islam mengindikasikan bahwa Keraton Kasepuhan berfungsi sebagai arsip peradaban yang menyeluruh, bukan hanya pusat da’wah. Keraton bertindak sebagai pelindung sejarah budaya lokal yang luas—meliputi warisan Hindu, Jawa Kuno, Tiongkok, dan Islam—menekankan toleransi Kesultanan dalam mengarsipkan seluruh spektrum warisan leluhur.

Tabel 1: Analisis Simbolisme Arsitektur Keraton Kasepuhan

Komponen Arsitektur Lokasi/Situs Asal Budaya yang Mempengaruhi Makna Filosofis Utama
Gerbang Utama Keraton Kasepuhan (Siti Inggil) Majapahit/Hindu Al Ghafur (Maha Pengampun)
Lingga Yoni Keraton Kasepuhan (Siti Inggil) Hindu Kuno Simbol Kesuburan dan Dualisme Penciptaan
Konstruksi Non-Paku Keraton Lokal Jawa/Islam Integritas, Kekuatan Alami, Kejujuran

Masjid Agung Sang Cipta Rasa: Simbol Spiritual dan Sinkretisme Islam

Masjid Agung Sang Cipta Rasa (MASCR) adalah pasangan esensial Keraton Kasepuhan, berfungsi sebagai pusat spiritual yang memperkuat fondasi keagamaan Kesultanan. Didirikan pada 1480 di bawah pengawasan Sunan Gunung Jati, masjid ini adalah salah satu bangunan tertua dan tersakral di Cirebon.

Sejarah Pendirian dan Keagungan Mistik

Masjid ini awalnya dikenal sebagai Masjid Pakungwati, dan perubahan namanya menjadi Sang Cipta Rasa mencerminkan nilai spiritual dan rasa kebersamaan yang kuat selama pembangunannya.

Sebuah narasi historis yang kuat menyatakan bahwa MASCR dibangun dalam waktu satu malam. Dalam pembangunan super-cepat ini, Sunan Gunung Jati dibantu oleh 500 pekerja yang didatangkan dari Demak dan Majapahit. Mitos pembangunan dalam “satu malam” ini memiliki fungsi krusial dalam konteks spiritual. Legenda tersebut mengesahkan Masjid sebagai situs yang diberkati oleh kekuatan Walisongo dan ilahi, bukan sekadar konstruksi manusia. Hal ini secara signifikan meningkatkan otoritas spiritual masjid, menjadikannya pusat syiar Islam yang tak tertandingi dan memperkuat identitas Cirebon sebagai Kota Wali.

Arsitektur Inti: Filosofi Struktur dan Simbolisme Angka

Arsitektur MASCR, layaknya Keraton, adalah cerminan identitas hibrida Cirebon. Unsur struktural utama, Soko Guru (tiang utama), terbuat dari kayu jati dan menopang langit-langit atap yang tinggi. Sebagaimana Keraton, tiang-tiang ini dipasang menggunakan metode knockdown (tanpa paku), menekankan prinsip integritas struktural yang alami.

Di antara elemen arsitektural yang paling kaya simbolisme adalah:

  1. Sembilan Pintu Pendek: Masjid ini memiliki sembilan pintu masuk dengan ketinggian yang sangat pendek. Angka sembilan melambangkan Wali Songo, dan ketinggian pintu yang rendah secara filosofis mendorong jamaah untuk membungkuk saat masuk, menumbuhkan kerendahan hati (tawadhu).
  2. Ornamen Padma (Teratai): Hiasan Padma (bunga teratai) pada dekorasi Soko Guru berfungsi untuk menambah keindahan dan, secara filosofis, melambangkan kemurnian (purity). Kemurnian ini disamakan dengan makna kekokohan dan kekuatan tiang, menunjukkan adaptasi simbol Hindu/Buddha (teratai) menjadi konteks keagamaan Islam.
  3. Ragam Hias Sinkretik: Ragam hias pada masjid bersifat konstruksional, menyatu dengan bangunan. Ornamen-ornamen ini mencakup motif bunga teratai, sulur-suluran, dan dedaunan, dipadukan dengan motif meander (ornamen geometris yang biasanya ditemukan dalam seni Yunani Kuno atau Tiongkok). Keanekaragaman ragam hias ini melambangkan penyebaran umat Islam yang tersebar di mana-mana namun tetap satu kesatuan.

Selain itu, Masjid ini menyimpan peninggalan bersejarah berupa Bedug Sang Guru Mangir, yang dibuat oleh Sunan Kalijaga dan masih digunakan hingga kini. Kayu badan bedug tersebut tetap asli meskipun kulit penutupnya sudah berulang kali diganti.

Secara keseluruhan, arsitektur MASCR adalah cetak biru hybrid culture identity Cirebon , membuktikan bahwa Cirebon pada abad ke-15 adalah pusat kosmopolitan yang mahir mengadopsi elemen visual dari berbagai peradaban global (Jawa, India, Tiongkok, Timur Tengah) dan menyintesisnya ke dalam identitas Islam yang unik.

Tradisi Hidup: Manifestasi Spiritual dan Sosiokultural

Baik Keraton maupun Masjid Agung Sang Cipta Rasa memelihara serangkaian tradisi ritual yang menjamin kesinambungan spiritual dan sosiokultural di Cirebon.

Tradisi Sakral Masjid: Adzan Pitu

Salah satu keunikan utama MASCR yang masih dipertahankan adalah Tradisi Adzan Pitu (Azan Tujuh). Tradisi ini dilaksanakan setiap salat Jumat, di mana tujuh muadzin mengumandangkan azan secara bersamaan.

Tradisi ini dipercaya merupakan warisan langsung dari Sunan Gunung Jati, bertujuan untuk memperkuat syiar Islam di Cirebon. Filosofi di balik angka “pitu” (tujuh) mencerminkan nilai kebersamaan, kesatuan, dan kesempurnaan, serta dikaitkan dengan simbolisme kesucian dalam budaya Jawa dan Islam. Adzan Pitu adalah adaptasi ritual lokal yang sangat spesifik, menunjukkan upaya konsolidasi komunitas (ukhuwah) melalui ritual keagamaan yang unik, yang berperan penting dalam menguatkan keimanan masyarakat.

Tradisi Ritual Keraton

Di Keraton Kasepuhan, siklus ritual tahunan masih terjaga. Beberapa tradisi penting yang masih dipertahankan meliputi Gamelan Sekaten, yang dibunyikan di Siti Inggil saat Idul Fitri dan Idul Adha , serta ritual-ritual kerajaan seperti Tradisi Caos  dan Tradisi Panjang Jimat. Tradisi Panjang Jimat khususnya, menunjukkan bagaimana Keraton mengelola ritual sakral yang berorientasi pada siklus hidup dan kerajaan.

Sinkronisasi kalender ritual terlihat jelas. Gamelan Sekaten Keraton menandai hari besar Islam, sementara Adzan Pitu di Masjid menguatkan ritual mingguan. Hal ini menunjukkan bahwa Kesultanan Cirebon memelihara dua dimensi ritual yang saling melengkapi: Keraton mengelola legitimasi budaya dan politik, sementara Masjid mengelola legitimasi spiritual komunal, keduanya bekerja untuk menguatkan identitas budaya dan agama Cirebon.

Tabel 2: Perbandingan Fungsi Sosial dan Ritual (Keraton vs. Masjid)

Fungsi/Peran Keraton Kasepuhan Masjid Agung Sang Cipta Rasa Tradisi Kunci
Pusat Pemerintahan/Politik Pusat kekuasaan Kesultanan; Menjaga pusaka/arsip Fungsi Spiritual Murni Ziarah, Caos, Pelestarian Naskah
Media Da’wah Asimilasi budaya dan spiritual Konsolidasi syiar Islam dan komunalitas Tari Topeng, Gamelan Sekaten
Pusat Ritual Keagamaan Ritual siklus hidup dan kerajaan Ritual ibadah harian dan mingguan Adzan Pitu (Jumat), Shalat Jamaah
Manifestasi Konflik Pusat perselisihan suksesi internal (2024) Lokasi dampak konflik (pemblokiran akses Ziarah) Konflik Suksesi, Pemblokiran Makam

Tantangan Kontemporer: Konservasi, Pariwisata, dan Stabilitas Internal

Sebagai Warisan Budaya Nasional, Keraton Kasepuhan dan MASCR menghadapi tantangan kontemporer yang kompleks, mulai dari isu pelestarian fisik hingga krisis suksesi internal.

Upaya Konservasi dan Pelestarian Warisan

Pelestarian warisan Keraton saat ini berfokus pada dua aspek: fisik dan informasional. Dalam aspek fisik, Keraton menghadapi tantangan pemeliharaan infrastruktur bersejarah. Pada April 2024, Keraton Kasepuhan menerima bantuan melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dari pihak swasta untuk perbaikan sarana fisik museum.

Di bidang informasional, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispusip) Kota Cirebon dalam program penyelamatan dan pelestarian arsip/naskah kuno Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman. Upaya konservasi digital ini dilakukan melalui Sistem Informasi Koleksi Naskah Kuno (Singkono), yang memungkinkan masyarakat luas mengakses naskah kuno dalam bentuk digital.

Pergeseran fokus konservasi ini sangat strategis. Ini menunjukkan adanya pengakuan bahwa nilai warisan Keraton tidak hanya terletak pada bangunan fisiknya yang rentan, tetapi juga pada data dan informasi yang terkandung dalam naskah kuno. Program Singkono menjamin kesinambungan informasi budaya dan sejarah Cirebon, bahkan sebagai mitigasi risiko terhadap kerusakan fisik Keraton.

Konflik Suksesi Internal dan Krisis Fungsional

Isu paling krusial yang dihadapi Keraton Kasepuhan saat ini adalah konflik suksesi internal, yang memiliki dampak langsung terhadap fungsi spiritual dan budaya institusi tersebut. Krisis ini memuncak pada insiden yang terjadi pada 19 April 2024, pasca Tradisi Grebeg Syawal.

Pada tanggal tersebut, rombongan keluarga Keraton Kasepuhan, termasuk Pangeran Raja Muhamad Nusantara dan Patih Sepuh Pangeran Raja Goemelar Soeryadiningrat (adik dari mendiang Sultan Sepuh Arief), diblokir dan ditolak aksesnya untuk melakukan ziarah ke kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati. Kericuhan terjadi setelah pintu menuju makam digembok.

Insiden tersebut disertai pemasangan spanduk yang secara eksplisit menyatakan penolakan terhadap legitimasi Sultan Sepuh XV Lukman Zulkaedin: “Kami keluarga besar keluarga Kesultanan Cirebon tidak mengakui Luqman Zulkaedin sebagai Sultan Kasepuhan!!!”. Akibatnya, rombongan terpaksa melakukan ritual doa di depan pintu yang digembok.

Konflik ini bukan sekadar masalah internal keluarga kerajaan, tetapi telah menjadi krisis fungsional warisan budaya. Ketika ritual adat penting—seperti ziarah pasca-Syawal—diblokir, hal itu secara langsung merusak peran Keraton sebagai pusat pemeliharaan budaya dan spiritual masyarakat. Stabilitas dan otoritas manajemen Keraton yang terpecah menghambat kemampuan institusi untuk menjalankan fungsi pelestarian budaya dan pariwisata berkelanjutan secara efektif.

Aspek Pariwisata

Keraton Kasepuhan adalah destinasi wisata sejarah yang penting. Lokasinya terintegrasi di pusat kota lama dan beroperasi setiap hari Senin hingga Sabtu, pukul 08.00–17.00 WIB. Harga tiket masuk yang relatif terjangkau (Rp 15.000–Rp 25.000) menunjukkan komitmen untuk menunjang pariwisata edukatif. Ketersediaan pemandu wisata juga penting untuk menerjemahkan narasi sejarah dan filosofis yang kompleks kepada pengunjung.

Namun, pariwisata berkelanjutan menghadapi tantangan manajemen sumber daya dan pemeliharaan infrastruktur. Strategi yang diusulkan meliputi pengembangan program edukasi budaya yang lebih mendalam, promosi digital, dan kolaborasi dengan pihak swasta untuk peningkatan fasilitas tanpa mengorbankan nilai historis.

Kesimpulan

Keraton Kasepuhan dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa adalah dwitunggal yang merupakan manifestasi peradaban Islam di Cirebon, didirikan di atas prinsip tata ruang yang mengintegrasikan secara sinergis kekuasaan duniawi dan spiritualitas. Kedua situs ini berfungsi sebagai laboratorium sinkretisme budaya. Arsitektur Keraton Kasepuhan, dengan elemen Majapahit yang diserap dan diberi makna Islam baru, dan arsitektur MASCR, dengan Soko Guru, Sembilan Pintu, dan ragam hias hibrida, membuktikan kemampuan luar biasa para Walisongo dalam menyintesis berbagai tradisi budaya—lokal, Hindu-Buddha, dan Tiongkok—menjadi identitas Islam Nusantara yang unik.

Kontribusi Cirebon terhadap sejarah Indonesia terletak pada model kohesi peradaban ini, yang juga tercermin dalam tradisi hidupnya, seperti Adzan Pitu yang menguatkan persatuan komunal.

Berdasarkan analisis kondisi historis, arsitektural, dan kontemporer, diperlukan langkah-langkah strategis untuk menjamin kelestarian warisan ini:

  1. Penguatan Konservasi Digital dan Infrastruktur Data: Pemerintah dan badan pelestarian harus memastikan kesinambungan dan pendanaan program seperti Singkono untuk digitalisasi arsip. Melindungi naskah dan informasi Keraton adalah bentuk mitigasi risiko yang paling vital dalam menghadapi ketidakpastian fisik.
  2. Mediasi Krisis Fungsional Keraton: Instansi terkait harus secara proaktif memediasi konflik suksesi internal Keraton Kasepuhan. Prioritas utama adalah menjamin bahwa fungsi Keraton sebagai pusat budaya dan spiritual, termasuk akses ke situs sakral dan pelaksanaan ritual adat (seperti ziarah), dapat berjalan tanpa hambatan dari pihak-pihak yang bertikai. Stabilitas manajemen Keraton adalah prasyarat mutlak bagi pelestarian warisan fisik dan non-fisik.
  3. Pengembangan Pariwisata Edukatif Berkelanjutan: Strategi pariwisata harus difokuskan pada nilai edukasi budaya. Hal ini mencakup peningkatan kualitas pemandu wisata dalam menyampaikan narasi sinkretisme yang kompleks (misalnya, menjelaskan filosofi Lingga Yoni dan Al Ghafur secara berimbang), serta memprioritaskan pemeliharaan infrastruktur dibandingkan eksploitasi komersial murni.