Loading Now

Wisata Budaya di Tanah Sunda

Tanah Sunda, yang meliputi wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten, mewakili kekayaan warisan budaya yang diyakini sebagai salah satu budaya tertua di Nusantara. Dalam perkembangan ekonomi modern, pariwisata budaya telah diidentifikasi sebagai motor pertumbuhan regional. Namun, akselerasi sektor ini secara inheren menciptakan dilema yang substansial: bagaimana mencapai keberlanjutan finansial melalui komersialisasi tanpa mengorbankan integritas dan nilai-nilai luhur budaya? Laporan ini menganalisis spektrum respons yang diterapkan oleh destinasi budaya Sunda dalam upaya menjaga tradisi (preserving heritage) di tengah gelombang modernitas (adapting to modernity).

Kerangka analisis utama dalam laporan ini didasarkan pada dua nilai filosofis inti budaya Sunda: kecerdasan adaptif (Pinter), yang berarti kemampuan untuk menjalani kehidupan sosial dengan mudah, dan kebajikan (Bageur), yang mencakup sifat baik, menolong, ikhlas, dan tidak pelit. Berdasarkan etos ini, pelestarian budaya dinilai tidak hanya secara struktural (fisik cagar budaya) tetapi juga secara etikal. Manajemen pariwisata yang berhasil adalah yang secara strategis menerapkan nilai Pinter (adaptasi cerdas terhadap teknologi dan pasar) dan Bageur (pengelolaan etis yang memastikan kesejahteraan komunal dan integritas spiritual). Kegagalan untuk menyeimbangkan nilai Bageur dapat menyebabkan pariwisata hanya berorientasi pada keuntungan, sementara kegagalan dalam aspek Pinter dapat menyebabkan isolasi yang tidak berkelanjutan.

Tulisan ini mengkategorikan destinasi budaya di Tanah Sunda ke dalam tiga model respons utama terhadap modernitas: Konservasi Murni (misalnya, Kampung Naga), Konservasi Adaptif (misalnya, Kasepuhan Ciptagelar dan Keraton), dan Adaptasi Kreatif/Komodifikasi (misalnya, Saung Angklung Udjo).

Model Konservasi Adat: Otentisitas yang Terjaga (The Preservationist Stance)

Bagian ini menelaah komunitas dan institusi adat yang memprioritaskan kearifan lokal yang ketat sebagai mekanisme utama pengelolaan pariwisata.

Kampung Adat: Tata Kelola Komunitas dan Keseimbangan Alam

Kampung Naga: Konservasi Murni Melalui Larangan (Pamali)

Kampung Naga, yang terletak di Tasikmalaya, merupakan studi kasus konservasi murni di mana kehidupan masyarakatnya berlandaskan pada wasiat, amanat, akibat, dan larangan (pamali). Aturan-aturan yang diajarkan turun-temurun ini berfungsi sebagai pedoman kehidupan sosial-budaya yang menarik minat wisatawan karena tingkat otentisitasnya yang tinggi.

Tata kelola di Kampung Naga diatur oleh sistem ganda: kepemimpinan formal (RT, RW) dan kepemimpinan informal, termasuk Kuncen, Lebe, dan Punduh. Kuncen memegang otoritas adat utama dalam pelestarian. Sebagai contoh, larangan yang mengatur kelestarian lingkungan sangat ketat: warga dilarang keras mengambil kayu, bahkan ranting yang jatuh, dari hutan terlarang di sebelah timur kampung. Larangan ini menunjukkan mekanisme adat yang efektif dalam menjaga ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan, sejalan dengan temuan pada sistem pertanian berkelanjutan yang berbasis nilai budaya.

Uniknya, sistem pamali juga mengatur interaksi dengan dunia luar, khususnya terkait informasi budaya. Pada hari-hari tertentu (Selasa, Rabu, dan Sabtu), masyarakat Naga dilarang menceritakan adat istiadat atau asal-usul kampung kepada pihak luar. Kontrol informasi yang selektif ini merupakan mekanisme cerdas untuk membatasi komodifikasi informasi, melindungi narasi budaya internal dari eksploitasi pasar, dan memastikan bahwa otentisitas ritual tidak tereduksi menjadi konten digital yang mudah dikonsumsi.

Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar: Konservasi Adaptif dan Teknologi

Berbeda dengan konservasi restriktif di Kampung Naga, Kasepuhan Ciptagelar, yang dikenal hidup selaras dengan alam dan budaya , menerapkan model konservasi adaptif. Masyarakat Ciptagelar dikenal mempertahankan sistem pertanian berkelanjutan yang berpedoman pada kelestarian lingkungan dan kesejahteraan komunal.

Model ini menunjukkan penerapan nilai Pinter (kecerdasan adaptif) karena Kasepuhan Ciptagelar diketahui memanfaatkan teknologi, termasuk teknologi digital, dalam upaya melestarikan budaya mereka. Integrasi teknologi ini menunjukkan strategi manajemen warisan budaya yang adaptif, di mana teknologi disaring dan digunakan untuk memperkuat sistem adat, bukan menggantikannya. Model Ciptagelar memberikan pelajaran bahwa konservasi dan modernitas dapat hidup berdampingan, asalkan adaptasi dilakukan secara strategis dan terkontrol.

Warisan Sejarah dan Keagamaan sebagai Pusat Pelestarian Institusional

Keraton Kasepuhan Cirebon berperan sentral sebagai pusat pemeliharaan dan pembangunan budaya. Selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka, Keraton ini juga merupakan destinasi wisata edukasi yang memungkinkan masyarakat luas mempelajari makna filosofis dari benda dan bangunan warisan luhur yang terjaga dengan baik.

Di sisi lain, Situs Banten Lama, yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya , merupakan monumen bersejarah penyebaran Islam dan bekas pusat Kesultanan Islam serta pelabuhan besar Nusantara. Meskipun memiliki Museum Kepurbakalaan dan potensi besar untuk menarik wisatawan , Situs Banten Lama masih menghadapi tantangan dalam pengelolaan optimalisasi potensi ekonominya. Kontras ini menunjukkan disparitas pengelolaan antara institusi sejarah yang berbasis kajian (Keraton Cirebon) dan situs yang menghadapi tantangan struktural dan regulasi (Banten Lama), sebuah isu yang relevan dengan kebijakan Pemda Banten.

Tabel I: Perbandingan Model Pengelolaan Destinasi Budaya Sunda

Destinasi Model Konservasi Pendekatan terhadap Modernitas/Komersialisasi Mekanisme Pelestarian Kunci
Kampung Adat Naga Konservasi Murni/Adat Sangat Restriktif (Melalui Pamali) Wasiat Leluhur, Kontrol Informasi , Kepemimpinan Kuncen
Kampung Adat Ciptagelar Konservasi Adaptif Memanfaatkan Teknologi untuk Dukungan Adat Sistem Kasepuhan, Pertanian Berkelanjutan
Keraton Kasepuhan Cirebon Sejarah/Institusional Pusat Penelitian dan Daya Tarik Wisata Sejarah/Edukasi Perlindungan Bangunan dan Benda Pusaka
Saung Angklung Udjo (SAU) Adaptasi Institusional/Seni Komersialisasi sebagai Alat Finansialisasi Pelestarian Pertunjukan Berkelanjutan, Pengembangan Industri Kreatif

Adaptasi Kreatif dan Komodifikasi Budaya (The Modernity Interface)

Adaptasi seni tradisi Sunda terhadap tuntutan pasar sering kali menghasilkan model keberlanjutan baru, namun pada saat yang sama menghadapi risiko erosi otentisitas.

Seni Pertunjukan sebagai Atraksi Budaya Adaptif

Saung Angklung Udjo (SAU) Bandung: Komersialisasi Terlembaga

Saung Angklung Udjo (SAU) adalah lembaga budaya yang berhasil mengintegrasikan pertunjukan seni Angklung yang memukau dengan fasilitas pariwisata, termasuk restoran khas Sunda. SAU merupakan studi kasus yang representatif di mana komersialisasi telah diposisikan bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai instrumen negosiasi antara pasar dan budaya.

Pendapatan yang dihasilkan dari pertunjukan komersial memungkinkan SAU mendanai pelestarian, regenerasi pemain, dan pemeliharaan alat musik. Model finansialisasi pelestarian ini menjamin keberlanjutan finansial. SAU menunjukkan bagaimana organisasi dapat menerapkan nilai Pinter (kecerdasan adaptif) untuk menjaga warisan budaya di tengah persaingan ekonomi modern.

Inovasi dalam Musik dan Tari Tradisional

Kesenian khas Sunda mencakup berbagai bentuk seperti Sisingaan, Wayang Golek, Tari Tradisional, dan Angklung/Suling. Salah satu bukti adaptasi yang sukses adalah genre Pop Sunda. Tidak seperti bentuk musik pop Indonesia lainnya yang didominasi harmoni Barat, gitar listrik, atau keyboard, genre seperti Jaipongan dan Degung Kawih dalam Pop Sunda tetap mempertahankan ciri khas Sundanya, relatif dekat dengan gaya musik tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa fusi budaya tidak selalu berarti erosi; elemen inti budaya Sunda (keunikan)  dapat dipertahankan di tengah modernitas musik.

Tantangan Kritis: Komersialisasi, Komodifikasi, dan Erosi Makna

Interaksi intensif dengan pasar menimbulkan tantangan serius terhadap otentisitas, yang merupakan nilai inti dalam pariwisata budaya. Ketika tingkat komersialisasi menjadi terlalu tinggi, persepsi otentisitas—baik otentisitas objektif (integritas artefak) maupun otentisitas eksistensial (kedalaman pengalaman wisatawan)—dapat melemah, yang berujung pada menurunnya loyalitas wisatawan.

Komersialisasi memiliki risiko reduksi makna yang signifikan. Pertunjukan atau video komersial yang diadaptasi untuk konsumsi massal sering kali hanya fokus pada keperistiwaan (peristiwa atau hajatan) tanpa menyampaikan isi pesan dan makna sesungguhnya dari seni pertunjukan tradisi tersebut. Tanpa etika komersialisasi yang kuat, nilai Bageur terancam. Oleh karena itu, bagi destinasi yang beradaptasi secara komersial, sangat penting untuk memiliki standardisasi etika yang memastikan bahwa narasi edukasi budaya yang mencerahkan tetap tersampaikan kepada audiens, sehingga otentisitas eksistensial tidak hilang.

Revitalisasi Budaya Melalui Inovasi Digital

Inovasi digital di Tanah Sunda menjadi arena penting bagi pelestarian, terutama dalam mengatasi tantangan geografis dan mendorong regenerasi budaya di kalangan generasi muda.

Pemanfaatan Teknologi Digital untuk Awareness dan Pelestarian

Di era digital, media sosial adalah saluran komunikasi dan promosi yang efektif. Analisis menunjukkan bahwa minimnya pemanfaatan teknologi digital telah menjadi salah satu faktor penghambat utama dalam mempromosikan kekayaan budaya Sunda secara luas.

Pemanfaatan teknologi tidak hanya terbatas pada promosi, tetapi juga pada revitalisasi bahasa dan sastra. Program revitalisasi didorong melalui media digital, seperti learningsundanese.com, yang berfungsi sebagai media pelestarian kearifan lokal. Pemerintah, melalui Kemendikbudristek, juga secara aktif mendorong revitalisasi bahasa daerah di Jawa Barat.

Digitalisasi ini membantu mengatasi tantangan regenerasi karena membuat bahasa dan sastra Sunda lebih mudah diakses oleh generasi muda yang terbiasa dengan teknologi. Inisiatif seperti learningsundanese.com  memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada pelestarian budaya Sunda dan dapat menjadi referensi bagi pemerintah daerah dalam merancang kebijakan pelestarian lokal. Ini adalah implementasi nilai Pinter dalam skala yang relevan dengan zaman.

Risiko Digitalisasi dan Kebutuhan Kontrol Etika

Meskipun media digital berperan penting dalam meningkatkan awareness wisata budaya , digitalisasi juga membawa risiko komodifikasi yang cepat. Sebagai contoh, meskipun program seperti Gerakan Sapta Pesona di Banten mendorong pembuatan mini vlog , proses pembuatan konten yang cepat dan berorientasi pasar dapat mengabaikan konteks makna mendalam dari sebuah ritual.

Oleh karena itu, penggunaan teknologi harus diiringi dengan kontrol etika yang ketat, sejalan dengan prinsip Bageur. Hal ini penting untuk melindungi destinasi konservatif, seperti Kampung Naga, dari pelanggaran pamali yang sensitif. Teknologi menyediakan sarana Pinter untuk jangkauan global, namun etika dibutuhkan untuk menjaga batasan-batasan adat.

Kerangka Kebijakan dan Tata Kelola Pariwisata Berkelanjutan

Keberlanjutan wisata budaya di Tanah Sunda didukung oleh kerangka kebijakan regional yang berbeda di Jawa Barat dan Banten.

Visi Pembangunan Regional Jawa Barat

Pemerintah Provinsi Jawa Barat berfokus pada peningkatan daya saing daerah. Visi jangka panjang (RPJPD 2025–2045) adalah menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi “Termaju, Berdaya Saing Dunia, dan Berkelanjutan,” didukung oleh transformasi ekonomi berbasis inovasi dan digitalisasi.

Integrasi budaya dalam pembangunan terlihat dari program unggulan yang melintasi sektor: Jabar Masagi, program pendidikan karakter berbasis budaya , dan Desa Digital, yang memanfaatkan digitalisasi untuk kesejahteraan dan maksimalisasi potensi desa. Kebijakan Jabar menunjukkan integrasi lintas sektor yang kuat, menggunakan budaya sebagai pondasi karakter dan memadukan pariwisata dengan infrastruktur digital, mencerminkan nilai Pinter dalam kebijakan publik.

Visi Pembangunan Regional Banten

Provinsi Banten memiliki visi Pembangunan Kepariwisataan Daerah yang Maju, Berdaya Saing, dan Berkelanjutan. Misi utamanya adalah mengembangkan pariwisata berbasis kebudayaan dan berwawasan lingkungan, serta menjadikan Industri Pariwisata sebagai pengungkit peningkatan kesejahteraan rakyat dan penghasil PAD. Strategi implementasi didorong melalui Gerakan Sapta Pesona, sebuah upaya kolektif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk menciptakan suasana wisata yang nyaman dan memberikan dampak positif pada pertumbuhan ekonomi daerah secara berkelanjutan.

Analisis Kesenjangan dan Tantangan Implementasi Kebijakan (Banten)

Meskipun Banten memiliki visi yang kuat, tantangan implementasi menghambat optimalisasi aset budaya, terutama terkait infrastruktur jalan menuju objek wisata yang masih belum maksimal.

Lebih krusial, terdapat hambatan struktural terkait pendanaan wisata religi, seperti Situs Banten Lama. Peraturan daerah menargetkan PAD dari sub-sektor Wisata Religi, namun ketiadaan payung hukum provinsi yang secara langsung menaungi sektor ini menyebabkan pendapatan hanya dikelola di tingkat kabupaten/kota. Kesenjangan regulasi ini menyebabkan kebocoran PAD potensial dan menunjukkan kurangnya dukungan kelembagaan spesifik untuk mengoptimalkan aset sejarah  Banten, menghambat pencapaian misi Bageur dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Tabel II: Analisis Kebijakan Pariwisata Budaya Regional (Jawa Barat vs. Banten)

Indikator Kebijakan Provinsi Jawa Barat Provinsi Banten Kesenjangan/Tantangan Utama
Fokus Strategis Utama Daya Saing Daerah, Transformasi Digital, Inovasi (RPJPD 2025-2045) Pariwisata Berbasis Kebudayaan dan Lingkungan (Peningkatan PAD) Jabar: Risiko budaya hanya dilihat sebagai alat digitalisasi. Banten: Visi terhambat masalah teknis/regulasi.
Integrasi Budaya (Sektor Lain) Pendidikan Karakter (Jabar Masagi) , Digitalisasi Desa Pemberdayaan SDM Pariwisata, Perlindungan Kebudayaan Jabar menunjukkan integrasi yang lebih matang; Banten fokus pada sektor pariwisata itu sendiri.
Isu Implementasi/Infrastruktur Tantangan Pasca-COVID-19 dan Transformasi Digital Infrastruktur jalan sub-optimal; Ketiadaan Payung Hukum Wisata Religi Banten menghadapi masalah dasar tata kelola yang berdampak pada PAD dan aksesibilitas.
Keterlibatan Masyarakat Jabar Resilience Culture Province Gerakan Sapta Pesona (Kolektif, Berkelanjutan) Kedua provinsi menekankan partisipasi, namun Banten lebih menonjolkan upaya bottom-up (Sapta Pesona).

Kesimpulan

Tanah Sunda berhasil menavigasi modernitas melalui strategi konservasi yang beragam, mulai dari konservasi murni yang dikelola oleh adat (Kampung Naga) hingga adaptasi kreatif yang dikomodifikasi (SAU). Inti dari keberlanjutan ini adalah keseimbangan antara kecerdasan adaptif (Pinter) dan etika komunal (Bageur). Ancaman terbesar adalah komersialisasi tak bertanggung jawab yang mereduksi makna ritual menjadi keperistiwaan belaka , yang secara signifikan mengikis otentisitas eksistensial wisatawan.

Berdasarkan analisis model konservasi dan kerangka kebijakan, direkomendasikan empat langkah strategis untuk memperkuat pariwisata budaya yang berkelanjutan dan otentik di Tanah Sunda:

Pemerintah daerah harus secara resmi mengintegrasikan dan menghormati sistem kepemimpinan ganda (formal dan informal) dalam tata kelola pariwisata budaya di komunitas adat. Kearifan lokal seperti pamali di Kampung Naga harus diakui sebagai regulasi primer untuk pengunjung, yang membutuhkan pendekatan kebijakan yang kontekstual dan sensitif budaya, menghindari aplikasi kebijakan one-size-fits-all yang berasal dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

Untuk destinasi yang mengandalkan pasar, perlu dikembangkan Pedoman Etika Komersialisasi Budaya. Pedoman ini harus mewajibkan bahwa atraksi komersial menyertakan komponen edukasi yang mendalam tentang makna filosofis dan narasi pengetahuan budaya, di samping nilai estetika pertunjukan. Langkah ini sangat penting untuk menjaga integritas spiritual dan otentisitas eksistensial destinasi, serta memenuhi nilai Bageur yang berorientasi pada transfer pengetahuan yang mencerahkan.

Pemerintah Provinsi Banten harus mengambil langkah mendesak untuk mengatasi hambatan struktural. Hal ini mencakup pembuatan payung hukum provinsi yang eksplisit untuk mengelola dan mengumpulkan PAD dari sub-sektor Wisata Religi. Selain itu, perbaikan infrastruktur jalan menuju objek wisata utama, seperti Situs Banten Lama, harus diprioritaskan untuk mengoptimalkan aset sejarah Banten dan meningkatkan kesejahteraan lokal sesuai dengan visinya.

Sinergi Digitalisasi yang Beretika (Prinsip Pinter)

Program revitalisasi digital, seperti inisiatif bahasa daerah , harus didukung secara finansial dan kelembagaan. Sinergi digitalisasi harus mencakup pelatihan etika digital bagi pengelola destinasi, memastikan bahwa pemanfaatan media sosial untuk promosi (Pinter) tidak melanggar batasan-batasan adat yang sensitif dan tidak mengarah pada komodifikasi informasi yang merusak esensi budaya (Bageur).