Konservasi Penyu dan Terumbu Karang di Indonesia: Tantangan, Inovasi, dan Jalan Menuju Ekologi Biru Berkelanjutan
Indonesia, yang terletak di pusat Segitiga Karang (Coral Triangle), memegang peran krusial dalam konservasi keanekaragaman hayati laut global. Laporan ini mengulas status ekologis penyu laut dan terumbu karang, menyoroti tantangan multidimensi dari tekanan antropogenik lokal hingga krisis iklim global, serta mengevaluasi strategi nasional di bawah kerangka Ekonomi Biru.
Secara ekologis, kondisi terumbu karang berada pada titik kritis, dengan data LIPI 2017 menunjukkan bahwa hingga 35,1 persen karang berada dalam status jelek di beberapa wilayah. Penyu laut menghadapi ancaman ganda berupa perburuan dan krisis rasio jenis kelamin yang didorong oleh kenaikan suhu pasir pantai peneluran, menghasilkan hingga 90% betina dalam beberapa kasus.
Pemerintah Indonesia telah merespons melalui Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan strategi ambisius 30×45 (30% perlindungan wilayah laut pada 2045). Inovasi teknis rehabilitasi karang telah menunjukkan keberhasilan signifikan, seperti tingkat kelangsungan hidup transplantasi 97% di Pulau Pieh , memvalidasi efektivitas intervensi.
Namun, keberlanjutan upaya ini terhambat oleh kelemahan implementasi hukum terhadap Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing dan koordinasi antar-lembaga. Selain itu, ekspansi KKP berisiko menjadi Paper Parks jika tidak didukung penguatan kapasitas pengawasan dan pelibatan masyarakat yang adil. Rekomendasi utama meliputi integrasi KKP yang ketat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), investasi adaptasi iklim proaktif (mitigasi suhu pasir penyu), dan harmonisasi penegakan hukum maritim sebagai respons terhadap kejahatan lingkungan transnasional.
Pendahuluan dan Kerangka Kontekstual
Indonesia: Pusat Keanekaragaman Hayati Laut Global
Indonesia diakui secara internasional sebagai negara kunci dalam konservasi laut, berkat lokasinya yang strategis di jantung Segitiga Karang (Coral Triangle). Kawasan ini merupakan ekosistem esensial yang menopang keanekaragaman hayati laut terkaya di planet ini. Kontribusi Indonesia terhadap konservasi jenis ikan dan perlindungan habitatnya tidak hanya memiliki dimensi ekologis, tetapi juga integral terhadap stabilitas ekonomi nasional dan regional. Konservasi telah menjadi kebutuhan mendasar yang merefleksikan harmonisasi antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk melestarikan sumber daya laut demi kepentingan generasi mendatang.8
Kerangka Kebijakan Ekonomi Biru KKP
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengarahkan upaya pengelolaan laut melalui Strategi Ekonomi Biru (Blue Economy). Filosofi inti kebijakan ini menempatkan ekologi sebagai panglima (Ekologi adalah Panglima), memastikan bahwa kesehatan dan produktivitas laut tetap terjaga. Strategi ini menekankan perlunya kolaborasi lintas sektor yang kuat dalam menjaga kesehatan laut, memperkuat perlindungan ekosistem, serta mewujudkan keberlanjutan ekonomi. Agenda strategis ini merupakan respons langsung terhadap tantangan lingkungan yang meningkat dan berfungsi sebagai landasan untuk mencapai target konservasi nasional dan global.
Tujuan dan Struktur Ulasan
Ulasan komprehensif ini dirancang untuk menganalisis secara mendalam ancaman ganda yang dihadapi penyu dan terumbu karang di Indonesia, mengevaluasi kerangka regulasi dan capaian program konservasi yang ada, serta mengidentifikasi tantangan implementasi, terutama dalam penegakan hukum dan mitigasi dampak perubahan iklim. Analisis ini akan berpuncak pada perumusan peta jalan strategis untuk mengoptimalkan upaya konservasi dalam konteks Ekonomi Biru yang berkelanjutan.
Status Ekologis dan Analisis Ancaman Multifaktorial
- Status Terumbu Karang Nasional: Degradasi dan Titik Krisis
- Kondisi Tutupan Karang dan Degradasi yang Mendesak
Data ilmiah menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di perairan Indonesia berada dalam situasi yang mengkhawatirkan dan memerlukan intervensi konservasi yang masif dan mendesak. Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2017, status karang di Indonesia bagian barat menunjukkan bahwa 33,33 persen karang berada dalam kondisi jelek, sementara yang berstatus sangat baik hanya mencapai 8,97 persen. Di Indonesia bagian timur, persentase karang dalam kondisi jelek mencapai 35,1 persen. Tingkat degradasi ini memperjelas bahwa tekanan terhadap ekosistem terumbu karang jauh melebihi laju pemulihan alaminya.
Ancaman Antropogenik Primer (Tekanan Lokal)
Ancaman utama bagi terumbu karang berasal dari aktivitas manusia yang merusak. Praktik penangkapan ikan destruktif (termasuk Unregulated Fishing) masih sering terjadi, di mana penggunaan bom ikan, racun sianida, dan potassium menghancurkan struktur karang secara permanen.13 Kerusakan ini tidak hanya menghilangkan habitat terumbu karang, tetapi juga mengganggu rantai makanan laut dan mengurangi stok ikan karang yang penting bagi masyarakat pesisir.15
Selain itu, pembangunan pesisir yang tidak bertanggung jawab, eksploitasi pasir pantai untuk konstruksi, serta pembuangan limbah domestik dan industri, menyebabkan polusi dan sedimentasi parah di laut. Sedimen ini menutupi karang, menghalangi akses mereka terhadap cahaya yang esensial untuk fotosintesis alga simbion (zooxanthellae).
Ancaman Perubahan Iklim Global (Krisis Eksistensial)
Tantangan terbesar bagi terumbu karang saat ini adalah dampak perubahan iklim. Kenaikan suhu laut secara global memicu fenomena pemutihan karang (coral bleaching) massal. Proyeksi iklim menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi risiko kehilangan besar, dengan perkiraan bahwa 80% terumbu karang akan mengalami bleaching pada tahun 2030 jika tren pemanasan laut yang signifikan terus berlanjut.
Selain pemutihan, ancaman lain adalah pengasaman laut (ocean acidification), yang disebabkan oleh peningkatan penyerapan karbon dioksida ($CO_2$) dari atmosfer oleh perairan laut. Penurunan pH ini membatasi kemampuan organisme laut, termasuk karang keras (Acropora sp.) dan beberapa fitoplankton, untuk membentuk struktur eksokeleton kalsium karbonat. Studi yang dilakukan di perairan Indonesia menemukan bahwa 67% hasil penelitian menunjukkan dampak negatif penurunan pH terhadap pertumbuhan biota kritis. Meskipun Arus Lintas Indonesia (Arlindo) diketahui mampu mengurangi suhu panas air laut di Indonesia bagian Timur dan melindungi beberapa terumbu karang dari bleaching massal , ancaman iklim secara keseluruhan tetap bersifat eksistensial.
- Status Penyu Laut Indonesia: Spesies Terancam Punah
- Identifikasi dan Status Perlindungan
Indonesia adalah salah satu negara terpenting dalam siklus hidup penyu laut, menjadi rumah bagi enam dari tujuh spesies penyu dunia: Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate), Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Tempayan (Caretta caretta), Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), dan Penyu Pipih (Natator depressus).20
Semua jenis penyu ini dilindungi secara ketat oleh hukum nasional (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990) dan internasional. Semua jenis penyu laut terdaftar dalam Apendiks I CITES (Convention International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), yang melarang perdagangan internasional untuk tujuan komersil.20 Penyu Lekang, Belimbing, dan Tempayan secara spesifik diklasifikasikan sebagai Vulnerable (Rentan Punah) oleh IUCN.20
Tragisnya, populasi Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), spesies raksasa yang vital bagi ekosistem laut, menunjukkan tren penurunan yang mengkhawatirkan, dengan perkiraan populasi menurun dari 10.000 individu pada tahun 1990 menjadi hanya 4.000 pada tahun 2020.21
Ancaman Kritis Spesifik
Penyu menghadapi tekanan berat dari aktivitas antropogenik. Ancaman langsung yang paling umum adalah pencurian telur dari sarang untuk dikonsumsi dan diperdagangkan. Selain telur, penyu dewasa juga diburu untuk dijadikan bahan makanan, obat tradisional, produk fesyen, dan perhiasan.
Di sisi laut dan pesisir, pencemaran plastik menjadi ancaman serius, sementara pembangunan pesisir yang masif, eksploitasi pasir pantai, dan pariwisata yang terlalu padat mengganggu habitat peneluran dan mencari makan.
Ancaman Dampak Iklim: Krisis Rasio Jenis Kelamin (TSD)
Dampak perubahan iklim pada penyu laut merupakan ancaman biologis yang memerlukan perhatian mendesak. Suhu pasir yang lebih tinggi di pantai peneluran akibat pemanasan global telah menyebabkan ketidakseimbangan rasio jenis kelamin (Temperature-Dependent Sex Determination/TSD).
Analisis menunjukkan bahwa peningkatan suhu selama dekade terakhir telah menyebabkan hingga 90% telur penyu menghasilkan penyu betina di beberapa pantai bertelur di Indonesia. Jika kecenderungan ini terus berlanjut, populasi penyu akan mengalami krisis viabilitas genetik jangka panjang. Populasi yang didominasi betina pada akhirnya akan menghadapi hambatan reproduksi yang serius karena kurangnya individu jantan yang dibutuhkan untuk pembuahan telur di masa depan. Upaya konservasi karenanya harus melampaui pengamanan telur semata dan melibatkan investasi dalam penelitian untuk modifikasi lingkungan sarang (misalnya, peneduhan buatan) atau relokasi ke pantai yang lebih dingin untuk menyeimbangkan rasio jenis kelamin.
Integrasi Ancaman Ekologis dan Tata Ruang
Kondisi ekologis terumbu karang dan penyu memiliki keterkaitan erat dengan tata ruang wilayah pesisir. Kerusakan terumbu karang akibat sedimentasi dari pembangunan pesisir  menghilangkan fungsi penyangga alami kawasan tersebut. Kerusakan habitat peneluran penyu juga disebabkan oleh eksploitasi pasir pantai dan pembangunan di kawasan pesisir. Analisis ini menunjukkan adanya lingkaran umpan balik negatif yang serius: tata ruang yang buruk merusak habitat karang dan penyu, yang pada gilirannya mengurangi ketahanan pesisir terhadap cuaca ekstrem dan erosi, memperparah tekanan pada wilayah pesisir secara keseluruhan. Keberlanjutan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) oleh karena itu harus diintegrasikan secara ketat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pesisir untuk menghentikan tekanan yang berasal dari darat (land-based stressors).
Strategi Konservasi Nasional: Kerangka Regulasi dan Kawasan Konservasi Perairan (KKP)
Landasan Hukum dan Kerangka Kebijakan
Indonesia memiliki fondasi hukum yang komprehensif untuk mendukung konservasi laut. Kerangka hukum tersebut mencakup Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, sebagaimana direvisi oleh UU No. 1 Tahun 2014, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selain itu, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan memberikan kewenangan untuk pencegahan praktik perikanan ilegal. Perlindungan spesies, seperti penyu, diperkuat oleh UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang didukung oleh peraturan KKP mengenai perlindungan penyu dan produk turunannya. Kerangka hukum yang memadai ini adalah prasyarat penting untuk memastikan perlindungan satwa liar dan pelestarian habitatnya.
Komitmen dan Target Perluasan KKP
Target Ambisius 30×45
Indonesia telah mempertegas komitmennya dalam menjaga kekayaan keanekaragaman hayati laut sejalan dengan target global. KKP secara aktif mengejar target perluasan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) hingga mencapai 30% dari total wilayah perairan Indonesia pada tahun 2045 (disebut sebagai target 30×45). Komitmen ini selaras dengan target global, termasuk Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework yang menargetkan 30% wilayah laut global terlindungi pada 2030.12
Pendekatan Inklusif MPA dan OECM
Untuk mencapai target 30×45, KKP menerapkan strategi ganda, yaitu melalui Kawasan Konservasi Perairan (Marine Protected Area/MPA) dan Pendekatan Konservasi Berbasis Area Efektif Lainnya (Other Effective Area-Based Conservation Measures/OECM). Pendekatan OECM sangat penting karena mengakui dan mengintegrasikan kawasan yang dikelola berdasarkan nilai adat-budaya dan ekologis tinggi. Contoh nyata adalah Kawasan Suci Laut di Bali, yang diakui memiliki landasan hukum yang kuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi.
Fungsi Ekologis dan Ekonomi KKP
KKP dirancang untuk menjadi benteng ekologis dan pada saat yang sama, menjadi mesin ekonomi berkelanjutan. KKP secara fundamental berfungsi melindungi habitat krusial, termasuk area peneluran dan mencari makan bagi penyu laut (misalnya di Raja Ampat dan Waigeo Barat) Â serta ekosistem terumbu karang.
Secara ekonomi, kawasan konservasi memberikan nilai nyata dalam bentuk kelebihan (spill over) sumber daya ikan, yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh nelayan di luar batas konservasi. Perlindungan jenis ikan terancam punah, terutama top predator di dalam KKP, memainkan peran vital dalam menjaga keseimbangan populasi jenis ikan konsumsi yang memiliki nilai ekonomis penting.
Implementasi Zonasi Terintegrasi
Pengelolaan KKP diimplementasikan melalui sistem zonasi yang terperinci untuk memastikan keseimbangan antara konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, dan pelestarian sosial budaya.
Pada kawasan konservasi seperti Raja Ampat (misalnya di KKP Kepulauan Kofiau Boo dan Asia/Ayau), zonasi mengatur dengan ketat berbagai aktivitas laut. Kegiatan non-ekstraktif seperti Scuba Diving, Snorkeling, dan Kayak diizinkan di zona tertentu, sementara aktivitas ekstraktif, termasuk memancing, sangat dibatasi atau dilarang total di zona inti. Secara spesifik, larangan keras diberlakukan untuk mengambil terumbu karang dan menggunakan bahan peledak atau bahan beracun di kawasan konservasi. Di Raja Ampat, implementasi ini diperkuat melalui kerja sama strategis antara Balai KKP Nasional (BKKPN) Kupang dengan Yayasan Penyu Papua (YPP) untuk memantau populasi dan melindungi habitat penyu.
Risiko Kesenjangan Kebijakan dan Kapasitas
Meskipun target 30×45 menunjukkan ambisi global yang kuat, perluasan KKP menghadapi tantangan substansial dalam implementasi. Salah satu masalah mendasar adalah kurangnya sumber daya pemantauan dan kepatuhan yang rendah dari pemangku kepentingan terhadap batas-batas KKP. Ekspansi area konservasi tanpa peningkatan substansial pada kapasitas pengawasan dan penegakan hukum yang efektif berpotensi besar untuk menghasilkan “Kawasan Konservasi Kertas” (Paper Parks) yang tidak mampu menghasilkan spill-over ekonomi dan ekologis yang diinginkan.
Hal ini menuntut agar strategi KKP didukung oleh komitmen kolektif, khususnya kolaborasi dengan sektor swasta, untuk mengatasi keterbatasan sumber daya pemantauan secara sistematis. Selain itu, keberhasilan konservasi membutuhkan pergeseran fokus kebijakan dari sektor tunggal ke pendekatan multi-sektor yang ambisius. Bukti ini terlihat dalam rencana aksi nasional yang melibatkan 374 kegiatan multi-sektor yang dijalankan oleh 40 kementerian/lembaga. Keberhasilan akan sangat bergantung pada harmonisasi kebijakan, terutama dalam pengelolaan sampah laut  dan pencegahan polusi darat yang diakibatkan oleh pembangunan.2
Inovasi Teknis dan Evaluasi Keberhasilan Program Rehabilitasi
Evaluasi Program Rehabilitasi Terumbu Karang Skala Besar
Upaya konservasi terumbu karang di Indonesia memiliki sejarah panjang, dimulai dengan Program Manajemen dan Rehabilitasi Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation and Management Program/COREMAP).
Capaian Program COREMAP
COREMAP-CTI adalah program 15 tahun yang dibentuk sebagai respons terhadap keprihatinan global atas degradasi terumbu karang. Program ini berfokus pada manajemen berbasis masyarakat dan pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL).
Evaluasi kinerja COREMAP II, yang didukung oleh Bank Dunia dan LIPI, menunjukkan capaian biofisik yang signifikan. Terjadi peningkatan tutupan karang hidup sebesar 71%, sementara di DPL peningkatan mencapai 57%. Populasi ikan karang juga meningkat rata-rata 3% di lokasi program. Dari sisi sosial, program ini berhasil meningkatkan public awareness hingga 75%, melebihi target 70%. Namun, pelaksanaan proyek COREMAP fase ketiga dihentikan pada tahun 2017, menunjukkan tantangan dalam menjaga pendanaan jangka panjang untuk program skala nasional yang terpusat.
Teknologi Rehabilitasi Terkini dan Keberhasilan Replikasi
KKP melanjutkan upaya rehabilitasi dengan menggandeng multistakeholder di berbagai lokasi kritis seperti Kepulauan Riau, NTT, Sulawesi Selatan, dan Maluku.
Teknologi transplantasi karang telah mencapai tingkat efektivitas yang sangat tinggi. Di Kawasan Konservasi Nasional Pulau Pieh, Sumatera Barat, program rehabilitasi kolaboratif KKP berhasil mencapai tingkat kelangsungan hidup terumbu karang hasil transplantasi hingga 97 persen. Keberhasilan teknis ini memberikan model yang diharapkan dapat direplikasi di kawasan konservasi lainnya, didukung oleh sinergi antara pemerintah, dunia usaha (misalnya, PLN Indonesia Power), dan masyarakat lokal.
Selain itu, teknologi akresi mineral seperti Biorock, yang menggunakan arus listrik bertegangan rendah, telah terbukti meningkatkan laju pertumbuhan karang hingga enam kali lebih cepat daripada pemulihan alami.36 Metode ini menawarkan inovasi penting untuk percepatan pemulihan di lokasi yang mengalami kerusakan parah akibat bom ikan atau bencana alam.
Konservasi Karang sebagai Strategi Adaptasi Iklim
Analisis keberhasilan rehabilitasi teknis (97% survival rate di Pulau Pieh) menunjukkan bahwa intervensi lokal memiliki potensi besar untuk menjadi quick win ekologis. Keberhasilan rehabilitasi di Pulau Pieh secara eksplisit diakui sebagai langkah penting dalam melindungi ekosistem yang rentan terhadap perubahan iklim, terutama fenomena coral bleaching.
Investasi pada rehabilitasi karang dapat dipandang sebagai strategi adaptasi iklim berbasis ekosistem (EbA). Area karang yang dipulihkan menjadi lebih tangguh terhadap tekanan lingkungan, memastikan keberadaan habitat ikan, dan menjaga manfaat ekonomi bagi masyarakat pesisir melalui pariwisata berbasis konservasi. Ini memperkuat narasi Ekonomi Biru, di mana perlindungan ekologis menjadi sumber nilai ekonomi. Oleh karena itu, tantangan utama saat ini bukan lagi pada kurangnya metode yang efektif, melainkan pada kurangnya pendanaan berkelanjutan dan standarisasi metodologi serta kerangka berbagi pengetahuan di tingkat nasional untuk mengoptimalkan manajemen proyek.
Berikut disajikan perbandingan keberhasilan program konservasi terumbu karang di Indonesia:
Tabel 1: Komparasi Program Konservasi Karang KKP (Historis vs. Terkini)
| Program | Periode Fokus | Metode Kunci | Metrik Keberhasilan Kuantitatif | Implikasi Kebijakan |
| COREMAP II | Pra-2017 | Manajemen berbasis masyarakat, DPL (Daerah Perlindungan Laut). | Peningkatan tutupan karang hidup 71%; Public Awareness 75%. | Menunjukkan keberhasilan intervensi terstruktur dan berbasis komunitas. Tantangan pendanaan jangka panjang menyebabkan proyek terhenti (2017). |
| Rehabilitasi Pulau Pieh | Terkini | Transplantasi, Kolaborasi Multistakeholder (KKP, Swasta). | Tingkat Kelangsungan Hidup 97%. | Keberhasilan teknis yang menunjukkan model sinergi KKP dengan swasta (Ekonomi Biru) sebagai mekanisme pendanaan alternatif pasca-program besar terpusat. |
| Biorock/Akresi Mineral | Berbagai Proyek | Akresi mineral menggunakan arus listrik. | Laju pertumbuhan karang 6x lebih cepat dari pemulihan alami. | Inovasi teknis penting untuk percepatan pemulihan di lokasi yang sangat rusak. |
Pilar Sosial-Budaya, Governance, dan Pendanaan Berkelanjutan
Integrasi Kearifan Lokal (Indigenous Knowledge)
Pengelolaan sumber daya pesisir di Indonesia memerlukan pengakuan terhadap peran dan pelembagaan masyarakat lokal. Kerangka regulasi nasional, khususnya UU No. 1 Tahun 2014, secara eksplisit menempatkan hak ulayat dan nilai kearifan lokal sebagai landasan utama implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir.
Model kearifan lokal seperti Sasi (Maluku) dan Awig-Awig (Lombok Utara/Bali) berfungsi sebagai sistem manajemen sumber daya yang efektif dan berbasis komunitas. Sasi laut, misalnya, mengatur pemanfaatan sumber daya dan secara positif meningkatkan kesadaran masyarakat Desa Taar serta wisatawan akan pentingnya menjaga lingkungan laut. Penerapan tradisi ini, seperti Awig-Awig yang telah bertahan sejak masa Kerajaan Hindu Karang Asem, membuktikan bahwa sistem pengelolaan tradisional menawarkan solusi konservasi yang tangguh secara sosial dan budaya.
Ekowisata Berkelanjutan sebagai Katalis Konservasi
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) memainkan peran sentral sebagai destinasi pariwisata yang menarik, menciptakan lapangan kerja berkelanjutan, dan mempromosikan pariwisata berbasis konservasi. Raja Ampat, yang diakui memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, dijadikan model, dengan penekanan bahwa “investasi terbaik adalah investasi pada konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat lokal”.
Pengembangan ekowisata juga diarahkan untuk konservasi spesies terancam, seperti ekowisata penyu di Pantai Sukamade, yang merupakan bagian dari Taman Nasional Meru Betiri. Kawasan konservasi penyu di Sukamade tidak hanya berfungsi untuk mengamankan telur dari pencurian, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan dan secara langsung membantu perekonomian warga desa terdekat yang menghadapi tingkat pengangguran yang signifikan.
Namun, keberhasilan model ekowisata konservasi ini berkelanjutan hanya jika manfaat ekonomi didistribusikan secara efektif dan adil. Studi menunjukkan bahwa beberapa daerah yang menerapkan sistem adat konservasi (seperti Bayan di Lombok Utara) masih memiliki jumlah penduduk yang rawan sosial ekonomi. Jika kesenjangan sosial tinggi, akan muncul tekanan internal yang lebih besar pada sumber daya alam, seperti meningkatnya perburuan telur penyu untuk kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu, penguatan kolaborasi dengan masyarakat lokal dianggap penting untuk menjaga keberlanjutan dan meningkatkan kenyamanan pengunjung (misalnya, melalui penyediaan akses listrik dan komunikasi darurat yang lebih baik di Sukamade).
Penguatan Pendanaan Berkelanjutan
Dalam konteks komitmen global, KKP aktif mendorong penguatan skema pendanaan berkelanjutan untuk mencapai tujuan Regional Plan of Action (RPOA) Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF). Kolaborasi dengan lembaga internasional (seperti WWF dan IUCN) memberikan dukungan teknis dan finansial untuk program konservasi penyu. Selain itu, komitmen kolektif melibatkan sektor swasta. Contoh sinergi pendanaan terlihat dalam program rehabilitasi Pulau Pieh, di mana KKP bekerja sama dengan mitra dari sektor energi, menunjukkan bahwa kolaborasi lintas sektor menjadi kunci dalam mengatasi tantangan sumber daya secara sistematis dan menumbuhkan komitmen kolektif terhadap pengelolaan berkelanjutan.
Tantangan Kritis dan Rekomendasi Penguatan Implementasi
Tantangan Penegakan Hukum (Law Enforcement)
Meskipun Indonesia memiliki kerangka hukum yang kuat, implementasi dan penegakan hukum sering kali menjadi titik lemah yang menghambat efektivitas konservasi.
Perikanan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur (IUU Fishing)
IUU Fishing—meliputi penangkapan ikan tanpa izin (Illegal), tidak melaporkan kegiatan (Unreported), dan menggunakan metode yang merusak lingkungan (Unregulated), seperti bom dan sianida—terus menjadi ancaman fisik terhadap terumbu karang. Kerugian ekonomi negara akibat praktik ini ditaksir mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya, di samping memperparah kerusakan ekosistem laut.
Kelemahan Institusional dan Sanksi
Penegakan hukum menghadapi serangkaian tantangan kelembagaan:
- Koordinasi dan Yurisdiksi: Terdapat kelemahan koordinasi antar lembaga penegak hukum (PPNS Perikanan, TNI AL, Kepolisian) dan tumpang tindih kewenangan, terutama di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
- Efek Jera yang Lemah: Sanksi hukum, bahkan untuk kasus kapal ikan asing, seringkali tidak maksimal. Pelaku asing dalam beberapa kasus dilaporkan telah dipulangkan ke negara asal sebelum denda dibayarkan, yang sangat mengurangi efek jera. Selain itu, praktik korupsi juga dilaporkan menghambat pelaksanaan sanksi dan penindakan.
Konservasi Penyu dan Hukum
Kurangnya sumber daya dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap peraturan menjadi hambatan utama dalam perlindungan penyu, diperburuk oleh lemahnya implementasi kerangka hukum yang sudah ada.2
Strategi Adaptasi dan Mitigasi Iklim
Ancaman perubahan iklim memerlukan respons kebijakan yang adaptif dan proaktif. Peningkatan frekuensi, intensitas, dan durasi cuaca ekstrem memperburuk kerentanan ekosistem pesisir.17 Selain itu, pengelolaan sampah laut yang meningkat merupakan tantangan signifikan dalam implementasi Ekonomi Biru, yang memiliki dampak langsung pada penyu laut yang rentan tersangkut atau memakan plastik.
Strategi respons harus meliputi identifikasi dan perlindungan KKP yang berfungsi sebagai kawasan perlindungan iklim alami (climate refugia), seperti wilayah yang dilindungi oleh Arlindo. KKP harus terus meningkatkan kapasitas rehabilitasi karang sebagai alat adaptasi iklim berbasis ekosistem.
Pergeseran Ancaman Hukum: Kejahatan Lingkungan Transnasional
Ancaman terhadap penyu dan terumbu karang tidak lagi dapat diperlakukan semata-mata sebagai pelanggaran perikanan lokal, melainkan memerlukan penanganan sebagai kejahatan lingkungan transnasional. Perdagangan satwa liar (penyu) dan IUU Fishing seringkali diorganisir secara lintas batas.
Oleh karena itu, penguatan penegakan hukum nasional menjadi mutlak melalui harmonisasi regulasi, peningkatan sinergi antar-lembaga, dan investasi dalam teknologi pengawasan maritim berbasis satelit.5 Pendekatan ini diperlukan untuk memastikan perlindungan spesies yang bermigrasi seperti penyu dan untuk memaksimalkan efek jera yang saat ini terhambat oleh kelemahan yurisdiksi dan proses hukum.
Kesimpulan
Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa dalam mendirikan kerangka konservasi yang visioner, diwujudkan melalui Strategi Ekonomi Biru dan komitmen ambisius 30×45. Keberhasilan teknis dalam rehabilitasi terumbu karang (97% survival rate) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kemampuan teknis untuk memulihkan ekosistem yang rusak.
Namun, efektivitas upaya konservasi terhambat oleh dilema ganda yang fundamental: (1) Tekanan Antropogenik Persisten: IUU Fishing, polusi, dan pembangunan pesisir yang dipicu oleh kelemahan penegakan hukum dan governance; dan (2) Krisis Eksistensial Iklim: Kenaikan suhu laut yang memicu bleaching massal (proyeksi 80% kerusakan) dan krisis TSD penyu (90% betina) yang mengancam viabilitas populasi jangka panjang. Untuk mencapai target perlindungan 30% lautan, Indonesia harus secara simultan memperkuat governance maritim dan menerapkan kebijakan adaptasi iklim berbasis ilmiah.
Peta jalan strategis berikut merangkum rekomendasi utama untuk mengamankan konservasi penyu dan terumbu karang di Indonesia dalam jangka panjang:
| Fokus Strategis | Rekomendasi Aksi Detail | Tujuan Keterkaitan |
| Penguatan Governance KKP | Peningkatan drastis alokasi sumber daya untuk pemantauan dan pengawasan KKP, termasuk pemanfaatan teknologi satelit dan drone maritim. Harmonisasi regulasi dan kewenangan antar penegak hukum (TNI AL, PPNS, Kepolisian) untuk mengatasi tumpang tindih yurisdiksi dan IUU Fishing. | Menjamin spill-over effect ekonomi dan ekologis KKP, mengubah Paper Parks menjadi MPA yang efektif. |
| Integrasi Ekologi dan Adaptasi Iklim | Mengidentifikasi dan memprioritaskan KKP yang berfungsi sebagai climate refugia (kawasan terlindungi secara alami, mis. oleh Arlindo) untuk perlindungan maksimal. Investasi dalam teknologi adaptasi TSD penyu (teduhan sarang atau relokasi berbasis ilmiah) dan perluasan rehabilitasi karang berbasis teknologi (Biorock, replantasi). | Mengatasi ancaman 80% bleaching pada 2030 dan krisis rasio jenis kelamin penyu. |
| Kemitraan dan Kearifan Lokal | Formalisasi OECM berbasis kearifan lokal (Sasi, Awig-Awig) secara nasional, memastikan pengakuan hak ulayat dan otonomi adat dalam pengelolaan.3 Mengembangkan skema pendanaan berkelanjutan CTI-CFF dengan melibatkan sektor swasta dan perbankan pembangunan dalam pendanaan konservasi dan rehabilitasi. | Meningkatkan kepatuhan, mengurangi tekanan antropogenik lokal, dan menciptakan model konservasi yang inklusif secara sosial dan finansial |
| Integrasi Tata Ruang dan Pesisir | Mewajibkan integrasi Rencana Pengelolaan KKP ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pesisir pada tingkat provinsi dan kabupaten untuk mengendalikan land-based stressors (pembangunan, polusi, sedimentasi). | Menghentikan lingkaran umpan balik negatif antara pembangunan pesisir dan kerusakan ekosistem. |


