Loading Now

Keberadaan Minoritas Keturunan Belanda di Indonesia Pasca-Kolonial

Hubungan sejarah antara Belanda dan Indonesia selama lebih dari tiga setengah abad kolonialisme telah melahirkan sebuah komunitas yang kompleks dan seringkali terpinggirkan, yang dikenal secara luas sebagai komunitas Indo-Eropa atau Indo. Komunitas ini, yang merupakan keturunan campuran Eropa (terutama Belanda) dan pribumi Indonesia, menduduki posisi yang unik dalam strata sosial Hindia Belanda akhir.

Konteks sejarah komunitas Indo didominasi oleh narasi eksodus besar-besaran. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, diperkirakan sekitar 200.000 Eurasia (Indos) meninggalkan Indonesia, mayoritas bermigrasi ke Belanda, Amerika Serikat, dan Australia, di mana mereka membentuk komunitas diaspora yang berbeda. Laporan ini berfokus pada kelompok yang sering kali kurang dipelajari, yaitu mereka yang memilih untuk tinggal atau berasimilasi di Indonesia. Sumber sejarah menunjukkan bahwa setidaknya sepuluh ribu Indo memilih kewarganegaraan Indonesia atau tidak dapat meninggalkan wilayah tersebut. Kelompok yang bertahan inilah yang menjadi inti analisis mengenai “keturunan Belanda yang masih tinggal di Indonesia”.

Penting untuk membedakan terminologi yang digunakan. Istilah Indo (kependekan dari Indo-Eropa) secara historis merujuk pada kategori sosiologis dan rasial kolonial yang kompleks, yang mencakup populasi yang secara hukum terkadang dianggap ‘Eropa’ tetapi secara budaya sangat terikat pada lingkungan Hindia. Dalam konteks kontemporer, “Keturunan Belanda” juga dapat merujuk pada generasi baru anak-anak hasil perkawinan campur pasca-kemerdekaan atau keturunan ekspatriat. Laporan ini bertujuan untuk menganalisis dinamika asimilasi, kerangka hukum, dan warisan budaya yang bertahan dari komunitas bersejarah (pasca-1949) maupun yang kontemporer.

Metodologi dan Struktur Laporan

Analisis mengenai minoritas Indo di Indonesia menghadapi tantangan metodologis yang signifikan, terutama dalam aspek kuantitatif. Data sensus nasional Indonesia, seperti Sensus Penduduk 2020 yang mencatat total populasi 270,20 juta jiwa, cenderung fokus pada kelompok etnis mayoritas dan minoritas yang diakui secara tradisional. Sebagai contoh, etnis Jawa mencapai 40,22% dan etnis Tionghoa mencapai 1,20% dari populasi. Namun, tidak adanya kategori statistik resmi untuk keturunan Indo-Eropa/Belanda di Indonesia menyiratkan bahwa asimilasi, setidaknya pada tingkat statistik negara, telah berhasil.

Fakta bahwa nasib komunitas Indo yang tersisa di Indonesia “sebagian besar tidak dipelajari” oleh akademisi juga diakui. Ketidakmampuan untuk mengukur populasi ini secara kuantitatif menunjukkan bahwa penekanan asimilasi yang terjadi, terutama selama Orde Baru, telah secara efektif menghapus pengakuan identitas etnis mereka dalam catatan resmi. Oleh karena itu, laporan ini menggunakan analisis kualitatif yang mendalam—meliputi dimensi hukum, sejarah, dan budaya—untuk mengisi kekosongan data kuantitatif, membandingkan pengalaman mereka dengan kelompok minoritas lain yang mengalami tekanan asimilasi serupa, seperti Tionghoa-Indonesia.

Konteks Historis, Pilihan Kedaulatan, dan Trauma

Formasi Identitas Indo di Hindia Belanda Akhir

Dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda, Indos bukan merupakan kelompok yang monolitik. Mereka merupakan komponen signifikan dari komunitas Eropa, namun pada saat yang sama, banyak Indos juga memegang status ‘pribumi’ atau memiliki ikatan keluarga yang mendalam dengan masyarakat lokal. Status sosial mereka seringkali bersifat cair, berada di antara kelas penguasa Eropa dan kelas pribumi yang dikuasai. Mereka berfungsi sebagai aparatur sipil, militer, dan profesional kelas menengah di koloni tersebut. Strata sosial yang kompleks dan ikatan dengan tanah air ini menjadi faktor kunci yang menjelaskan mengapa banyak di antara mereka memiliki keterikatan yang lebih kuat terhadap nusantara dibandingkan dengan orang Belanda totok (asli).

Periode Bersiap dan Titik Balik Keamanan (1945–1947)

Periode Revolusi Nasional (1945–1949), khususnya masa yang dikenal sebagai Bersiap (1945–1947), merupakan titik balik traumatis dan katalis utama bagi eksodus Indo. Dalam masa ini, pejuang kemerdekaan Indonesia melakukan serangan yang intensif. Penelitian sejarah menyebutkan bahwa keluarga Indo dan lainnya di Jawa dibunuh dan disiksa dalam apa yang digambarkan sebagai “genosida yang terkoordinasi secara longgar”. Trauma keamanan yang mendalam ini, diperburuk oleh ketidakpastian politik dan hilangnya status sosial yang dijamin oleh kolonialisme, memicu gelombang pertama dan terbesar emigrasi. Bagi banyak Indos, periode Bersiap menunjukkan bahwa kesetiaan mereka terhadap tanah air mereka yang baru lahir tidak dijamin oleh para pejuang kemerdekaan, sehingga mendorong mereka untuk mencari perlindungan di Belanda.

Keputusan Kedaulatan (1949): Pilihan yang Menentukan

Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, setiap individu di Hindia Belanda diharuskan memilih antara kewarganegaraan Indonesia atau kewarganegaraan Belanda. Pilihan ini adalah ujian loyalitas yang menentukan. Sebagian besar, sekitar 200.000 Indo, memilih untuk meninggalkan Indonesia.

Namun, fokus utama laporan ini adalah pada mereka yang bertahan: setidaknya sepuluh ribu Indo tinggal di Indonesia setelah penyerahan kedaulatan. Keputusan untuk tetap tinggal merupakan tindakan yang sangat politis dan berani, bertentangan dengan arus balik sejarah yang kuat.

Perbedaan motivasi antara yang pergi dan yang bertahan sangat signifikan. Mereka yang pergi didorong oleh trauma Bersiap, hilangnya hak istimewa kolonial, dan janji kehidupan yang lebih stabil dan terjamin di Belanda. Sebaliknya, 10.000+ Indo yang memilih tinggal kemungkinan didorong oleh ikatan yang jauh lebih mendalam dengan budaya lokal, pernikahan dengan penduduk pribumi yang sudah terjalin, atau hambatan finansial dan logistik yang membuat migrasi tidak mungkin dilakukan. Pilihan ini menegaskan komitmen total terhadap identitas Indonesia yang baru terbentuk dan menjadikan komunitas Indo ini sebagai kelompok yang secara esensial berbeda dari diaspora yang lebih besar. Mereka inilah yang menjadi representasi otentik dari “keturunan Belanda yang tinggal di Indonesia” yang telah memilih untuk sepenuhnya berintegrasi.

Kerangka Hukum Kewarganegaraan dan Isu Legal Kontemporer

Status minoritas Indo di Indonesia tidak dapat dipahami tanpa meninjau perubahan kerangka hukum kewarganegaraan yang kompleks sejak kemerdekaan. Regulasi ini mencerminkan transisi dari kebutuhan negara yang baru merdeka untuk menetapkan loyalitas hingga penanganan realitas demografi global kontemporer.

Fondasi Hukum Awal (1946–1958)

Kerangka hukum pertama pasca-kemerdekaan adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946. UU ini menetapkan Warga Negara Indonesia (WNI) berdasarkan kelahiran dan keturunan atau afiliasi, dan sangat penting karena memberikan mekanisme bagi orang yang tadinya tidak WNI untuk menyatakan kehendak menjadi WNI (Pasal 7). UU 1946 ini bahkan dinyatakan berlaku surut sejak 17 Agustus 1945. Bagi komunitas Indo yang ingin tetap tinggal, UU ini memberikan jalur legalitas awal untuk mengklaim identitas Indonesia.

Titik penentu loyalitas hukum datang dengan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958. UU ini menggantikan regulasi sebelumnya dan berfungsi sebagai dasar hukum yang mengikat keputusan kewarganegaraan yang dipaksakan oleh perjanjian KMB. UU 1958 secara efektif memaksa keturunan Eropa, termasuk Indos, untuk membuat pilihan kewarganegaraan akhir, menghilangkan ambiguitas atau dwikewarganegaraan bagi mereka yang memilih WNI.

Asimilasi dan Status Legal di Era Orde Baru

Selama Era Orde Baru (1966–1998), politik identitas Indonesia cenderung monolitik, menekankan persatuan di bawah identitas WNI yang tunggal. Tekanan asimilasi mendorong Indos yang tersisa untuk membaur secara maksimal, menghilangkan penanda identitas Eurasia mereka. Walaupun mereka menghadapi tekanan untuk beradaptasi, komunitas Indo terkadang diangkat sebagai ‘minoritas model’ untuk integrasi, terutama jika dibandingkan dengan komunitas Tionghoa-Indonesia yang menghadapi diskriminasi yang lebih parah. Fokus utama beralih dari status rasial kolonial ke status kewarganegaraan yang setara. Hal ini sejalan dengan prinsip resmi yang menyatakan bahwa “Tidak Ada Perbedaan Warga Negara Indonesia dan Keturunan”, meskipun realitas sosial mungkin lebih bernuansa.

Fleksibilitas Hukum Pasca-Reformasi dan Kasus Anak Berkewarganegaraan Ganda (ABG)

Di era Reformasi, kerangka hukum telah menjadi lebih fleksibel, terutama di bawah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang mengatur kewarganegaraan saat ini. Namun, perubahan hukum yang paling signifikan dan relevan bagi “keturunan Belanda” modern adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2022.

PP 21/2022 menggantikan PP sebelumnya (PP No. 2 Tahun 2007) dan dirancang khusus untuk memberikan ‘amnestri’ bagi Anak Berkewarganegaraan Ganda (ABG), yang umumnya merupakan anak hasil perkawinan campur dengan orang asing (termasuk Belanda). Aturan ini mengakomodasi mereka yang tidak atau terlambat memilih kewarganegaraannya (Pasal 3A). Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menunjukkan skala masalah ini: terdapat 3.793 anak yang tercatat terlambat memilih dan 507 anak yang tidak mendaftar sebagai ABG, yang semuanya diberikan kesempatan kembali untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui mekanisme permohonan kepada Presiden.

Kasus Felicia Liana Adema, seorang keturunan Belanda, yang menjadi anak pertama yang diambil sumpah dan janjinya sebagai WNI di bawah PP 21/2022, menjadi simbol dari pergeseran paradigma ini.

Peraturan baru ini menunjukkan pergeseran kebijakan yang mendasar. Keberadaan PP 21/2022 menggarisbawahi bahwa “keturunan Belanda” tidak lagi dipandang semata-mata sebagai masalah warisan kolonial yang harus diselesaikan melalui pilihan tunggal pasca-1949, tetapi sebagai realitas demografi modern yang dihasilkan oleh globalisasi dan perkawinan campur. Pemerintah secara de facto memfasilitasi rekonsiliasi identitas bagi generasi Indo baru, memungkinkan mereka untuk mengakui warisan ganda tanpa harus melepaskan status WNI. Hal ini sangat kontras dengan tekanan asimilasi yang ketat dan persyaratan pilihan kaku pada pertengahan abad ke-20.

Hukum Kewarganegaraan Terkait Keturunan di Indonesia
Tahun Regulasi Utama
1946 UU No. 3 Tahun 1946
1958 UU No. 62 Tahun 1958
2022 PP No. 21 Tahun 2022

Sebaran Geografis dan Komunitas yang Bertahan (Sebaran)Konsentrasi Historis dan Pusat Komunitas

Secara historis, komunitas Indo terkonsentrasi di pusat-pusat administrasi dan perkotaan yang padat selama era kolonial. Meskipun Indo yang tersisa telah menyebar luas dan berasimilasi, Jawa tetap menjadi lokasi utama mereka. Jawa, tidak termasuk Madura, merupakan rumah bagi sekitar 54,4% dari total populasi nasional, yang mencapai 270,20 juta jiwa pada sensus 2020. Tingginya kepadatan dan peran sentral Jawa sebagai pusat pemerintahan kolonial (Batavia/Jakarta) memastikan bahwa Indo memiliki jejak signifikan di sana.

Jakarta (Batavia) dan Jawa Barat, khususnya Bandung, menunjukkan retensi komunitas yang lebih terstruktur. Bandung, yang dikenal sebagai Parijs van Java, memiliki komunitas historis seperti Bandoeng Vooruit dan Komunitas Baheula. Jakarta, sebagai pusat administrasi, juga menunjukkan pengaruh Indo yang kuat, terutama dalam masyarakat Betawi dan Jakarta pada tahun 1950-an, yang merupakan masa transisi pasca-kolonial. Selain Jawa, secara historis Indos juga tersebar di pusat-pusat komersial penting seperti Surabaya, Medan, dan di wilayah dengan kantong populasi Eropa/Kristen yang signifikan, seperti Sulawesi Utara (Manado).

Dinamika Demografi dan Asimilasi

Tidak adanya data sensus spesifik untuk kelompok etnis Indo-Eropa di Indonesia, berbeda dengan minoritas Tionghoa yang terdaftar (1,20% dari populasi), adalah indikasi kuat dari keberhasilan kebijakan asimilasi pasca-kemerdekaan. Jika populasi Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 285,7 juta jiwa, maka ketidakjelasan jumlah keturunan Belanda di Indonesia tidak disebabkan oleh jumlah mereka yang tidak signifikan, tetapi karena mereka kini terdaftar dalam sensus berdasarkan kelompok etnis lokal mereka (misalnya, Jawa, Sunda, Betawi) atau hanya sebagai WNI non-pribumi tanpa klasifikasi rasial spesifik.

Proses ini menyiratkan bahwa Indos yang memilih untuk tinggal telah melebur sepenuhnya ke dalam masyarakat arus utama, mengadopsi bahasa, dan seringkali afiliasi agama dari kelompok etnis di mana mereka berada. Asimilasi demografi ini merupakan konsekuensi langsung dari tekanan sosiologis dan hukum Orde Baru untuk menghilangkan kategori rasial lama dan menjamin kesatuan WNI.

Komunitas Modern dan Jaringan Transnasional

Meskipun secara statistik tidak terlihat, identitas Indo telah menemukan cara baru untuk bertahan di era modern. Munculnya jaringan identitas, seperti komunitas Socalindo (singkatan dari Social Community of Indo-Belanda), menunjukkan adanya upaya kolektif untuk mempertahankan memori dan budaya historis. Komunitas ini, yang dilaporkan memiliki sekitar 6.000 anggota di seluruh dunia, menjembatani kesenjangan antara keturunan Indo-Belanda di Indonesia dengan diaspora global.

Perkembangan teknologi dan media sosial memungkinkan komunitas ini untuk mempertahankan warisan sejarah dan budaya mereka di luar tekanan asimilasi yang diterapkan oleh negara. Mereka menciptakan ruang di mana memori kolektif tentang masa kolonial, Revolusi, dan pilihan kedaulatan dapat dipertahankan dan diturunkan, memfasilitasi rekonsiliasi identitas transnasional.

Warisan Kultural Indo-Belanda (Warisan)

Warisan budaya Indo-Belanda di Indonesia telah terasimilasi secara mendalam, menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur nasional Indonesia, mencakup tata bahasa, gastronomi, dan arsitektur.

Warisan Linguistik: Penyerapan Struktural

Pengaruh bahasa Belanda terhadap bahasa Indonesia adalah signifikan, terutama melalui penyerapan kosakata yang berhubungan dengan birokrasi, institusi modern, dan kehidupan urban. Bahasa Indonesia, yang berakar dari Bahasa Melayu, mendapat pengaruh dari berbagai bahasa, termasuk Belanda.

Daftar kata serapan yang terintegrasi sepenuhnya dalam Bahasa Indonesia menunjukkan sejauh mana struktur modernitas negara ini dipengaruhi oleh Belanda. Contohnya termasuk kata-kata sehari-hari dan teknis seperti cokelat  (dari chocolade),  halte (dari halte),  ide (dari idee),  faktur (dari factuur), ekonom (dari econoom), dan jangkar (dari het anker).

Pengaruh ini bahkan lebih kuat terasa pada dialek lokal di pusat-pusat administrasi. Sebuah studi mengenai kata serapan di Jakarta/Betawi, pusat pemerintahan kolonial, menemukan bahwa pengaruh bahasa Belanda cukup kuat di masyarakat Betawi, terutama pada tahun 1950-an. Kata-kata seperti kantor (office) dan bioskop (cinema) masih sering digunakan hingga kini, sementara beberapa kata seperti trem (tram) digunakan dalam bidang tertentu, yang menunjukkan bahwa bahasa Belanda membentuk struktur dasar cara kerja birokrasi dan kehidupan perkotaan Indonesia.

Meskipun Belanda tidak berhasil menjadikan bahasanya sebagai bahasa komunikasi massa yang dominan, warisan linguistik yang ditinggalkan adalah warisan institusional dan modernitas. Adopsi kosakata yang berkaitan dengan administrasi dan teknologi menunjukkan bahwa bahasa Belanda telah membentuk struktur dasar operasional pemerintahan dan kehidupan urban Indonesia.

Warisan Kuliner (Indische Keuken): Asimilasi Rasa

Warisan kuliner Indo-Belanda, atau Indische Keuken, mewakili bentuk integrasi kultural yang paling sukses dan universal. Masakan Indische Keuken merupakan persilangan antara teknik memasak Eropa (seperti penggorengan, pemanggangan, penggunaan tepung, dan produk susu) dengan bahan-bahan, rempah-rempah, dan cita rasa tropis lokal.

Banyak hidangan yang kini dianggap sebagai bagian integral dari kuliner Indonesia sehari-hari, ternyata merupakan adaptasi dari masakan Belanda/Eropa. Contohnya meliputi:

  1. Kroket: Adaptasi dari kroketten Belanda, berupa olahan kentang tumbuk atau ragout yang dibalut tepung panir dan digoreng.
  2. Risoles: Kuliner populer di Eropa (termasuk Prancis dan Belanda), diadaptasi di Indonesia menjadi risol di mana dadar tipis membungkus isian sebelum digoreng.
  3. Spiku/Lapis Surabaya: Kue lapis yang menggunakan kuning telur, tepung terigu, dan margarin, serta bumbu spekuk, menyerupai kue lapis Eropa.
  4. Perkedel: Berasal dari frikadel (bola daging atau kentang).
  5. Dadar Gulung: Kue basah yang juga dilaporkan berasal dari Belanda.
  6. Klappertaart dan Selat Solo juga diidentifikasi sebagai warisan kuliner Belanda di Indonesia.

Keberhasilan masakan Indische Keuken terletak pada kemampuannya menjadi jembatan budaya. Sementara isu rasial dan hukum dapat menciptakan pemisahan sosial, makanan melayani sebagai medium integrasi yang efektif. Proses ‘Indianisasi’—penyesuaian bahan dan cita rasa dengan selera lokal—memastikan bahwa hidangan-hidangan ini dapat diterima secara universal oleh masyarakat Indonesia.

Warisan Arsitektur dan Tata Kota

Warisan arsitektur kolonial Belanda, yang dikenal sebagai Arsitektur Hindia Belanda, terus membentuk lanskap perkotaan Indonesia. Arsitektur ini dicirikan oleh adaptasi desain Eropa terhadap iklim tropis, menghasilkan gaya Indisch yang unik—dengan plafon tinggi, beranda luas, dan ventilasi silang yang maksimal.

Pelestarian bangunan-bangunan kolonial di kawasan Kota Tua Jakarta, Bandung, dan kota-kota lama lainnya menunjukkan bahwa warisan ini tidak hanya bernilai historis tetapi juga identitas kota. Struktur-struktur ini menjadi pengingat fisik akan masa lalu dan telah diintegrasikan sebagai bagian dari identitas kultural dan daya tarik wisata Indonesia.

Representasi Sosial dan Status Kontemporer (Masa Kini)

Status Sosial-Ekonomi dan Tekanan Asimilasi

Pada periode Orde Baru (1966–1998), komunitas Indo yang tersisa di Indonesia mengalami tekanan sosial yang signifikan untuk beradaptasi dengan narasi identitas WNI yang monolitik. Asimilasi dianggap sebagai jalan terbaik untuk stabilitas.

Menariknya, dalam konteks sosial yang penuh ketegangan, Indos terkadang dianggap sebagai ‘minoritas model’ di Indonesia, dibandingkan dengan Tionghoa-Indonesia . Posisi ini, sebagai minoritas yang dianggap apolitis dan telah memilih loyalitas penuh, memfasilitasi asimilasi mereka ke dalam masyarakat arus utama, meskipun konsekuensinya adalah penghapusan identitas mereka yang unik dalam catatan publik dan statistik. Status sosial-ekonomi mereka setelah 1949 bervariasi; banyak yang kehilangan aset dan status, tetapi mereka yang bertahan berhasil membangun kembali kehidupan mereka di tengah-tengah perjuangan ekonomi pasca-revolusi.

Media, Stereotip, dan Fenomena “Indo Look”

Di era kontemporer, identitas Indo telah dikomodifikasi dan mengalami transformasi signifikan di ranah media massa. Pada tahun 1990-an, fenomena “Indo Look” menjadi populer, di mana individu keturunan Indo-Eropa—seringkali generasi muda, anak-anak ekspatriat, atau hasil perkawinan campur yang lebih baru—mendominasi industri hiburan. Ciri fisik campuran mereka diidentikkan dengan glamor, ketenaran, dan stardom.

Namun, setelah era Reformasi (pasca-2000an), terjadi pergeseran stereotip. Penelitian menunjukkan bahwa Indos kini “lebih cenderung hanya dicasting sebagai karakter kaya dalam sinetron“. Pergeseran ini menunjukkan bahwa identitas fisik Indo telah terpisah dari akar sejarahnya yang kompleks, yang mencakup trauma dan kesulitan ekonomi pasca-1949.

Karakterisasi Indos sebagai ‘kaya’ mencerminkan pandangan masyarakat yang menganggap keturunan Eropa secara inheren lebih sejahtera atau beruntung. Komodifikasi identitas ini secara efektif mengaburkan sejarah perjuangan dan asimilasi Indos yang memilih WNI pada tahun 1949. Identitas Indo di media telah dikomodifikasi, menciptakan tekanan ganda: mereka harus berasimilasi secara politik untuk menjadi WNI penuh, tetapi pada saat yang sama harus mempertahankan penampilan fisik yang berbeda untuk mencapai keberhasilan komersial.

Kesimpulan

Minoritas Indo yang memilih untuk tinggal di Indonesia pasca-1949, meskipun jumlahnya relatif kecil (setidaknya 10.000 jiwa) dan secara statistik tidak terakui, telah memberikan kontribusi struktural yang fundamental bagi budaya dan birokrasi Indonesia. Warisan mereka tidak hanya bersifat historis, tetapi terintegrasi total ke dalam kehidupan sehari-hari melalui bahasa (kosakata administrasi), kuliner (Indische Keuken), dan arsitektur kota.

Secara hukum, isu kewarganegaraan bagi keturunan Belanda telah bertransisi dari penentuan loyalitas politik yang kaku (1949–1958) menjadi fleksibilitas administratif bagi generasi baru. PP 21/2022 merupakan langkah rekonsiliasi yang signifikan, mengakui realitas hybriditas yang muncul dari perkawinan campur modern.

Di ranah sosial, meskipun terjadi asimilasi total, identitas fisik keturunan Belanda telah dikomodifikasi oleh media, menciptakan stereotip glamor dan kekayaan yang sering kali tidak mencerminkan keragaman sejarah komunitas yang memilih untuk tinggal pada masa-masa sulit pasca-revolusi.

Identitas Indo di Indonesia diperkirakan akan terus berintegrasi dan menjadi fitur yang diterima dalam mozaik etnis Indonesia, didorong oleh kelonggaran hukum bagi Anak Berkewarganegaraan Ganda dan penerimaan yang luas terhadap warisan budaya mereka (terutama dalam kuliner). Komunitas Indo modern, yang didukung oleh jaringan transnasional seperti Socalindo, akan semakin mengandalkan platform digital untuk mempertahankan dan merayakan memori sejarah mereka, melestarikan identitas kolektif di luar pengakuan statistik formal.

Mengingat signifikansi historis keputusan yang dibuat oleh setidaknya 10.000 Indo untuk tetap tinggal di Indonesia, direkomendasikan agar pemerintah Indonesia dan institusi akademis mempertimbangkan untuk mendukung penelitian historis lebih lanjut mengenai nasib dan kontribusi mereka. Studi ini akan sangat penting untuk melengkapi narasi sejarah nasional yang seringkali berfokus pada diaspora yang pergi, mengabaikan kisah mereka yang memilih komitmen total terhadap Republik.

Lebih lanjut, pengakuan non-statistik terhadap warisan budaya Indo-Belanda yang terasimilasi (khususnya Indische Keuken dan arsitektur) sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas nasional dapat diperkuat melalui program pelestarian budaya dan diplomasi, yang mengakui minoritas ini sebagai jembatan penting dalam hubungan transnasional antara Indonesia dan Belanda.