Loading Now

Perayaan Hari Besar Etnis Tionghoa di Indonesia: Akulturasi Budaya, dan Kontribusi terhadap Pluralisme

Perayaan hari besar etnis Tionghoa di Indonesia merupakan salah satu elemen penting dalam mozaik budaya Nusantara. Eksistensi perayaan ini tidak hanya mencerminkan ritual keagamaan dan tradisi leluhur, tetapi juga mengilustrasikan sejarah politik yang berliku, mulai dari pengakuan hingga represi, dan akhirnya kembali menjadi simbol pengakuan identitas di era Reformasi. Perayaan utama seperti Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, dan Ceng Beng telah bertransformasi menjadi ritual yang sarat akulturasi lokal, menjadikannya unik dan berbeda dari perayaan di Tiongkok Daratan.

Konteks Historis dan Kelembagaan Perayaan Tionghoa di Indonesia

Status hukum dan publik perayaan Tionghoa, khususnya Imlek, selalu mencerminkan tingkat toleransi dan integrasi etnis Tionghoa dalam struktur negara. Trajektori kebijakan negara selama lebih dari setengah abad menunjukkan pasang surut yang signifikan terhadap ekspresi identitas etnis ini.

Trajektori Kebijakan Negara: Dari Pengakuan Awal hingga Represi Orde Baru

Perayaan Imlek memiliki sejarah politik yang kompleks, menjadikannya penanda identitas yang sarat makna. Pada masa awal kemerdekaan, terdapat periode pengakuan singkat. Pada tahun 1946, melalui Penetapan Pemerintah Nomor 2/OEM-1946, Imlek sempat diakui sebagai salah satu hari raya keagamaan. Namun, pengakuan ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1953, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1953, peraturan mengenai hari libur dicabut, dan Imlek turut dihapus dari daftar hari libur resmi.

Bahkan sebelum era Orde Baru, upaya pembatasan telah terjadi. Di Jakarta (Batavia) pada tahun 1958, Wali Kota Sudiro sempat mengeluarkan surat keputusan yang melarang pesta perayaan Imlek karena dianggap dapat merusak moral masyarakat. Keputusan ini sangat ironis karena data historis menunjukkan bahwa sebelum pelarangan tersebut, komunitas Tionghoa dan Betawi di Pasar Baru Tangerang merayakan Imlek secara harmonis, bahkan melibatkan masyarakat Betawi dalam pertunjukan jalanan. Pelarangan tersebut justru merusak keharmonisan lokal yang telah terjalin dan memicu eksodus sebagian warga Tionghoa non-WNI.

Masa sulit yang paling signifikan terjadi selama era Orde Baru. Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, perayaan Imlek dan kegiatan budaya Tionghoa lainnya dibatasi secara ketat, hanya diperbolehkan dirayakan di lingkungan keluarga secara tertutup. Kebijakan ini, yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade, bukan hanya membatasi ritual, tetapi juga didukung oleh regulasi lain, seperti Ketetapan MPRS Nomor 32 Tahun 1966 yang melarang penggunaan aksara dan bahasa Tionghoa untuk media massa dan nama toko/perusahaan. Represi yang meluas ini telah menjadikan kebijakan negara terhadap Imlek sebagai ujian (litmus test) terhadap toleransi negara. Perlakuan pemerintah terhadap Imlek secara langsung mencerminkan sejauh mana etnis Tionghoa diakui dan diintegrasikan sebagai bagian integral dari identitas nasional. Represi Orde Baru merupakan penolakan formal terhadap identitas Tionghoa di ruang publik.

Era Reformasi: Revitalisasi Identitas dan Pengakuan Penuh

Era Reformasi membawa perubahan kebijakan yang radikal. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memulai proses pengembalian hak-hak budaya Tionghoa dengan mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000. Langkah ini segera membuka kembali ruang bagi masyarakat Tionghoa untuk merayakan Imlek secara terbuka.

Puncak pengakuan Imlek sebagai hari libur nasional tercapai pada 9 April 2002, ketika Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002. Pengakuan ini memiliki bobot politik yang melampaui sekadar hari libur; ia menjadi penanda kebangsaan dan pengakuan identitas, menegaskan bahwa komunitas Tionghoa diakui sepenuhnya di Indonesia. Selain itu, pemulihan istilah juga terjadi ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keppres Nomor 12 Tahun 2014 mencabut larangan penggunaan istilah “Tionghoa”.

Kronologi Kebijakan Negara Terhadap Hari Raya Tionghoa (1946-2002)

Periode/Tahun Kebijakan/Regulasi Deskripsi Singkat Dampak Terhadap Perayaan
1946 Penetapan Pemerintah No. 2/OEM-1946 Imlek diakui sebagai hari raya keagamaan. Pengakuan resmi; Perayaan publik diperbolehkan.
1953 Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1953 Mencabut peraturan hari libur. Pencabutan status libur nasional.
1967 Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 Melarang perayaan Imlek dan ekspresi budaya Tionghoa di ruang publik. Budaya dibatasi hanya di lingkup keluarga tertutup; Era represi.
2000 Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000 Mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 (oleh Gus Dur). Budaya Tionghoa dan Imlek boleh dirayakan secara terbuka.
2002 Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2002 Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional (oleh Megawati). Pengakuan penuh dan integrasi dalam kalender nasional.

Hari Raya Utama dan Manifestasi Filosofisnya

Hari besar etnis Tionghoa kaya akan makna filosofis mendalam yang diwariskan secara turun temurun, di mana setiap ritual dan hidangan melambangkan harapan akan keberuntungan, kebersamaan, dan pembaharuan hidup.

Tahun Baru Imlek (Sincia/Gong Xi Fa Cai)

Imlek, yang jatuh pada hari pertama bulan pertama kalender lunar, merupakan perayaan inti pembaharuan dan penghormatan leluhur.

Secara simbolis, terdapat beberapa elemen kunci dalam perayaan Imlek. Warna merah adalah warna yang paling identik, mencerminkan kegembiraan. Masyarakat Tionghoa meyakini bahwa memulai sesuatu yang baru dengan perasaan gembira akan menghasilkan sesuatu yang positif. Mengenakan baju baru merupakan kebiasaan yang melambangkan keinginan untuk meninggalkan hal-hal yang telah lalu. Selain itu, pemberian angpao (amplop merah berisi uang) dimaknai sebagai simbol perhatian dari yang tua kepada yang muda, disertai harapan agar generasi muda dapat mencapai kemajuan, terutama dalam bidang ekonomi, melebihi generasi sebelumnya. Ritual sembahyang kepada leluhur juga penting, khususnya bagi penganut Konghucu. Ritual ini bertujuan untuk menghormati dan mendoakan arwah nenek moyang dan dapat dilakukan di klenteng atau di rumah dengan menyalakan dupa serta menyajikan persembahan khusus.

Aspek gastronomi Imlek di Indonesia menampilkan akulturasi yang unik, di mana makanan berfungsi sebagai doa yang diwujudkan. Kue keranjang (Nian Gao) adalah simbol utama Imlek di Tiongkok dan Indonesia, melambangkan keberuntungan. Selain itu, kue Siu Mie (mie panjang umur) disajikan sebagai harapan untuk umur panjang.

Yang menarik, Lapis Legit sering diidentikkan dengan perayaan Imlek di Indonesia. Kue ini adalah simbol kuliner multikultural yang merupakan hasil akulturasi antara budaya Belanda/Eropa, Tionghoa, dan lokal. Lapisan-lapisan kue tersebut memiliki makna filosofis yang mendalam: melambangkan kehidupan yang maju dan meninggi, di mana semakin tinggi kemajuan yang ingin dicapai, semakin banyak pula nasib baik yang diharapkan. Lapis legit menjadi contoh sempurna bagaimana tradisi Tionghoa Peranakan di Nusantara tidak hanya menyerap unsur pribumi, tetapi juga warisan kolonial, menghasilkan tradisi yang spesifik Indonesia. Dalam hal penyajian, terdapat tradisi unik di Indonesia mengenai ikan utuh: ikan yang disajikan sebagai hidangan tidak boleh dibalik saat dimakan, dan bagian bawahnya harus disisakan untuk dimakan pada hari berikutnya. Hal ini dipercaya dapat mendatangkan keuntungan di tahun mendatang.

Pasca-Reformasi, pertunjukan Barongsai dan Liong, yang dipercaya dapat mendatangkan keberuntungan dan mengusir roh jahat, telah menjadi visualisasi publik dari kebebasan berekspresi budaya yang terintegrasi secara nasional.

Cap Go Meh (Yuanxiao Jie)

Cap Go Meh, yang dirayakan 15 hari setelah Imlek, menandai puncak dan penutupan seluruh rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek. Di Indonesia, perayaan Cap Go Meh telah berkembang menjadi wujud nyata dari keberagaman dan toleransi budaya, sering melibatkan keterlibatan berbagai pihak non-Tionghoa. Cara perayaan regional sangat bervariasi. Misalnya, di Semarang, muara perayaan Imlek sering digelar di Klenteng Tay Kak Sie, di mana diselenggarakan bazar kuliner, pertunjukan wushu, Wayang Potehi, bela diri Wing Chun, dan Barongsai, menyemarakkan kawasan Pecinan.

Ceng Beng (Qingming Jie) dan Tiong Ciu (Festival Kue Bulan)

Di samping Imlek dan Cap Go Meh, dua perayaan penting lainnya adalah Ceng Beng dan Tiong Ciu.

Ceng Beng (dikenal juga sebagai Festival Qingming) adalah ritual tahunan yang berfokus pada penghormatan leluhur. Ritual ini adalah kegiatan ziarah kubur dan sembahyang yang dilakukan sesuai ajaran Khonghucu. Tradisi yang jatuh sekitar 5 April ini menunjukkan bakti (Xiao) mendalam kepada nenek moyang.

Sementara itu, Tiong Ciu (Festival Kue Bulan) dirayakan dengan menyajikan kue bulan (mooncake). Kue bulan adalah simbolik untuk perayaan yang meriah, melambangkan keutuhan keluarga dan menyatukan tradisi.

Manifestasi Akulturasi Lokal: Studi Kasus Regional

Keunikan perayaan Tionghoa di Indonesia terletak pada tingkat akulturasi mendalam yang terjadi di berbagai daerah, yang memadukan warisan leluhur Tiongkok dengan budaya pribumi, menciptakan praktik yang unik di kawasan Asia Tenggara.

Singkawang (Kalimantan Barat): Sinkretisme Dayak-Tionghoa dan Tatung

Kota Singkawang, yang dikenal sebagai “Kota Seribu Kelenteng” dan memiliki persentase etnis Tionghoa tertinggi di Indonesia, merayakan Imlek dan Cap Go Meh dengan intensitas tinggi. Inti dari perayaan di Singkawang adalah Festival Cap Go Meh yang menampilkan parade Tatung.

Ritual Tatung adalah atraksi kekebalan tubuh di mana pesertanya diarak mengelilingi jalan utama kota. Istilah Tatung berasal dari bahasa Hakka, merujuk pada individu yang diyakini dirasuki oleh dewa atau roh supernatural yang disebut Lauya. Keyakinan ini memberikan Tatung kekuatan khusus, dan orang-orang sering meminta petunjuk tentang masa depan, rezeki, atau karier.

Tradisi Tatung adalah wujud nyata sinkretisme Tionghoa dan Dayak yang telah berlangsung selama lebih dari 250 tahun. Kisahnya bermula ketika imigran Tiongkok yang datang untuk menambang emas di Borneo berinteraksi dan menikah dengan masyarakat Dayak lokal. Ritual ini awalnya dilakukan untuk mengundang roh baik guna memerangi roh jahat yang menyebabkan wabah demam. Pada parade Tatung, para peserta menampilkan keragaman budaya Kalimantan Barat; mereka mengenakan kostum cerah yang menyerupai dewa Tiongkok, sementara masyarakat Dayak pribumi turut serta dengan kostum tradisional mereka. Festival Tatung yang masif bahkan pernah memecahkan rekor MURI pada tahun 2013 dengan melibatkan 777 peserta. Keterlibatan Dayak dalam Tatung menunjukkan bahwa tradisi Tionghoa di Singkawang secara fundamental terikat erat dalam struktur sosial dan spiritual pribumi, menjadikan perayaan ini sebuah mekanisme kohesi sosial regional yang sangat kuat.

Cina Benteng (Tangerang): Warisan Budaya Peranakan Jawa-Betawi

Komunitas Tionghoa Peranakan di Tangerang, dikenal sebagai Cina Benteng, memiliki warisan budaya yang memadukan elemen Tiongkok dengan budaya Betawi dan Sunda.

Salah satu tradisi khas mereka adalah Ritual Maybong, yang merupakan tradisi ziarah kubur yang dilakukan saat Imlek, seringnya sehari setelah Tahun Baru. Ritual ini melibatkan ziarah dan makan bersama di makam leluhur.

Identitas Cina Benteng juga tercermin melalui seni pertunjukan yang sangat terlokalisasi. Musik Gambang Kromong merupakan warisan budaya yang populer dan menjadi penanda identitas mereka. Selain itu, upacara pernikahan tradisional Cio Tao, yang diwarnai alunan Gambang Kromong, masih diupayakan pelestariannya sebagai cara untuk menjaga tradisi di era modern.

Di wilayah Jawa lainnya, seperti Semarang, terjadi adaptasi signifikan pada seni panggung Wayang Potehi. Potehi, yang menceritakan legenda Tiongkok seperti Sam Kok, awalnya menggunakan dialek Hokkien. Namun, seiring waktu, pertunjukan ini mulai menggunakan Bahasa Indonesia agar dapat dinikmati oleh audiens non-Tionghoa yang lebih luas. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Potehi dan integrasi Gambang Kromong menunjukkan bahwa akulturasi di Indonesia berfungsi sebagai strategi komunikasi dan pelestarian seni, memastikan relevansi budaya Peranakan bagi generasi baru dan audiens lokal.

Berikut adalah ringkasan perbandingan tradisi utama dan wujud akulturasi spesifik di Indonesia:

Perayaan Tionghoa Utama dan Wujud Akulturasi Khas Indonesia

Hari Raya Fokus Ritual Studi Kasus Regional Khas Wujud Akulturasi Menonjol
Imlek (Tahun Baru) Pembaharuan, Keberuntungan Nasional (Umum) Lapis Legit (Mengintegrasikan warisan kolonial Belanda).
Cap Go Meh Penutup Perayaan Singkawang, Kalbar Festival Tatung (Sinkretisme Tionghoa-Dayak).
Ceng Beng (Qingming) Ziarah Kubur, Bakti (Xiao) Cina Benteng, Tangerang Ritual Maybong (Ziarah kolektif saat Imlek).
Seni Pertunjukan Lintas Perayaan Semarang, Jakarta Wayang Potehi dalam Bahasa Indonesia; Musik Gambang Kromong.

Dimensi Sosial, Politik, dan Ekonomi Kontemporer

Pengakuan dan perayaan hari besar Tionghoa di era Reformasi telah menghasilkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan, menggeser peran perayaan dari kegiatan tertutup menjadi aset budaya nasional yang inklusif.

Kontribusi terhadap Harmoni Sosial dan Identitas Kebangsaan

Setelah dibebaskan dari pembatasan Orde Baru, perayaan Tionghoa kini memainkan peran penting dalam memperkuat keharmonisan sosial. Bagi etnis Tionghoa di Indonesia, Imlek telah menjadi penanda identitas dan kebangsaan, memberikan pengakuan formal terhadap keberadaan mereka dan agama Konghucu sebagai agama yang setara di antara agama-agama resmi lainnya.

Perayaan ini bertindak sebagai jembatan sosial yang efektif. Puncak perayaan yang diwarnai acara terbuka, festival budaya, dan pertunjukan Barongsai, sering melibatkan masyarakat dari berbagai latar belakang etnis dan agama. Interaksi ini memfasilitasi saling pemahaman budaya dan memperkuat kohesi sosial di tengah masyarakat multikultural. Imlek telah bertransformasi dari ritual keluarga yang eksklusif menjadi festival kebangsaan yang inklusif, memungkinkan pemerintah dan masyarakat luas untuk menggunakan perayaan ini sebagai platform visualisasi Bhinneka Tunggal Ika.

Meskipun terjadi peningkatan inklusivitas budaya, terdapat tantangan politik yang berkelanjutan. Analisis menunjukkan bahwa etnis Tionghoa masih cenderung berada di pinggiran kekuasaan, dengan kontribusi politik yang dianggap kurang dalam posisi kepala daerah atau wakil rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa pengakuan budaya (simbolik) belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi representasi politik yang setara (struktural).

Dampak Ekonomi Mikro dan Makro

Perayaan hari besar Tionghoa, terutama Imlek, menciptakan gelombang ekonomi musiman yang substansial, memberikan dorongan signifikan bagi perekonomian lokal dan nasional.

Imlek menjadi momentum yang sangat berharga bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), khususnya di sektor kuliner, seperti produsen kue keranjang, dan sektor kerajinan tangan, seperti produsen lampion. Peningkatan omzet yang signifikan terlihat di kawasan Pecinan. Sebagai contoh, pedagang pernak-pernik di Glodok, Jakarta Barat, dilaporkan mampu meraup omzet antara Rp5 juta hingga Rp10 juta per hari menjelang Imlek.

Secara makro, kebijakan pemerintah tentang Cuti Bersama (Collective Leave atau Hari Kejepit Nasional) memainkan peran penting. Kebijakan ini, yang bertujuan untuk mempromosikan pariwisata domestik, secara tidak langsung mengubah hari raya keagamaan menjadi mesin ekonomi. Dengan memasukkan Imlek dalam skema cuti bersama, masyarakat didorong untuk melakukan perjalanan untuk merayakan dengan keluarga atau berlibur, meningkatkan konsumsi domestik. Festival regional besar seperti Cap Go Meh di Singkawang dan perayaan di klenteng-klenteng tua (misalnya di Semarang dan Medan) juga bertindak sebagai daya tarik pariwisata budaya yang signifikan, menarik pengunjung dari berbagai latar belakang.

Kesimpulan

Perayaan hari besar etnis Tionghoa di Indonesia mewakili kisah ketahanan budaya dan adaptasi historis. Trajektori perayaan Imlek mencerminkan sejarah politik bangsa, dari pengakuan awal yang singkat hingga pembatasan keras oleh Orde Baru, hingga pengakuan penuh sebagai hari libur nasional pasca-Reformasi 2002. Perubahan status ini memberikan beban makna yang mendalam, menjadikan Imlek sebagai penanda identitas dan kebangsaan.

Fenomena akulturasi, yang terlihat jelas dalam masakan (Lapis Legit), ritual lokal (Maybong Cina Benteng), dan seni pertunjukan (Tatung Singkawang dan Wayang Potehi berbahasa Indonesia), menunjukkan bahwa budaya Tionghoa di Indonesia adalah budaya Peranakan yang unik, terikat erat dengan lanskap lokal dan berfungsi sebagai katalisator kohesi sosial antar-etnis. Perayaan ini juga memberikan kontribusi ekonomi yang tidak terabaikan melalui dukungan terhadap UMKM dan sektor pariwisata domestik.

Untuk memastikan keberlanjutan dan peran positif perayaan Tionghoa dalam konteks pluralisme Indonesia, direkomendasikan beberapa langkah kebijakan:

  1. Pelestarian Warisan Budaya Tersinkretisasi: Pemerintah perlu meningkatkan dukungan pendanaan dan perlindungan warisan tak benda bagi tradisi-tradisi yang menunjukkan sinkretisme unik (misalnya, Tatung Singkawang dan Wayang Potehi Bahasa Indonesia). Hal ini memastikan bahwa bentuk-bentuk akulturasi yang spesifik Indonesia ini tetap lestari dan diakui sebagai kekayaan budaya nasional.
  2. Optimalisasi Dampak Ekonomi: Kebijakan Cuti Bersama terkait Imlek harus dipertahankan dan dioptimalkan, dengan fokus pada promosi UMKM lokal yang terkait perayaan, seperti produsen kue keranjang dan kerajinan Tionghoa, untuk memaksimalkan dorongan ekonomi musiman.
  3. Integrasi Narasi Historis dalam Pendidikan: Kisah mengenai perjuangan pengakuan Imlek (terutama periode 1967-2002) harus diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Langkah ini akan memperkuat pemahaman publik tentang dinamika Bhinneka Tunggal Ika dan menunjukkan bagaimana pengakuan terhadap identitas Tionghoa adalah bagian krusial dari pematangan bangsa menuju masyarakat yang adil dan harmonis.