Musik Sebagai Logos Kultural: Peran Musik sebagai Bahasa Sosial dan Spiritual
Musik dalam peradaban manusia tidak pernah hanya berfungsi sebagai sarana estetika atau hiburan semata. Analisis etnomusikologi secara konsisten menunjukkan bahwa musik adalah mekanisme interaksi, transmisi makna, dan fondasi kohesi yang fundamental bagi kelangsungan budaya. Untuk memahami peran ganda musik sebagai bahasa sosial dan spiritual, penting untuk beranjak dari pandangan musik tradisional Barat dan merangkul perspektif yang lebih luas, yang mengakui musik sebagai produk perilaku manusia.
Salah satu kerangka teoretis yang paling seminal dalam disiplin etnomusikologi diajukan oleh Alan Merriam dalam karyanya The Anthropology of Music. Merriam berpendapat bahwa musik harus dipandang sebagai perilaku sosial (social behavior), suatu fenomena yang sepenuhnya layak dan tersedia untuk dipelajari melalui metode antropologi. Model penelitian yang diajukan Merriam adalah model tiga bagian yang menegaskan interkoneksi antara kognisi, aksi, dan hasil bunyi: ideas about music mengarah ke behavior related to music, yang pada gilirannya menghasilkan musical sound. Implikasi mendalam dari model ini adalah bahwa analisis struktur bunyi musik tidak dapat dipisahkan dari konteks kultural, yaitu orang yang berpikir, bertindak, dan menciptakannya.
Musik sebagai Humanly Organized Sound (John Blacking)
Etnomusikolog terkemuka lain, John Blacking, menawarkan definisi fungsional yang lebih sederhana namun berwawasan luas dalam bukunya How Musical Is Man? Blacking mendefinisikan musik sebagai “bunyi yang diorganisasi secara manusiawi” (humanly organized sound). Meskipun definisi ini luas, ia secara tegas menempatkan musik dalam ranah produksi dan interaksi manusia.
Blacking menekankan bahwa inti dari musik adalah sifat kolektifnya. Musik “tidak dapat ditransmisikan atau memiliki makna tanpa asosiasi antarmanusia”. Makna musik—terlepas dari apakah itu musik “seni” atau musik “rakyat”—muncul dari upaya kolektif dan keterlibatan sosial. Struktur musik, bahkan pada level yang paling kompleks, mencerminkan sistem interaksi yang lebih besar, pembagian kerja yang lebih luas, dan tradisi teknologi yang terakumulasi dalam masyarakat. Artinya, bentuk musikal adalah manifestasi akustik dari struktur sosial dan kultural yang mendasarinya. Dengan demikian, musik menjadi bahasa yang menyuarakan dinamika sosial suatu populasi.
Landasan Teoritis: Struktur, Makna, dan Debat Universalitas
Semiotika Musik: Gramatika Bunyi sebagai Tanda Sosial
Dalam ranah komunikasi, musik berfungsi sebagai sistem simbolik yang kompleks, menyampaikan makna melalui unsur-unsur non-verbal seperti bunyi, irama, melodi, dan, jika ada, lirik. Musik, sebagai sistem simbolik, mencerminkan nilai-nilai dan struktur sosial masyarakat, melampaui sekadar ekspresi individu.
Gramatika musik dibentuk oleh unsur-unsur pokok seperti irama (ritme), melodi, harmoni, dan bentuk struktur lagu, serta unsur ekspresi seperti tempo, dinamika, dan warna nada (timbre). Melalui kerangka semiotika Ferdinand de Saussure, unsur-unsur ini berfungsi sebagai signifier (penanda) —bentuk fisik yang dapat ditangkap indera—yang merujuk pada signified (makna atau konsep) yang terbentuk secara kultural. Misalnya, penggunaan harmoni dan dinamika dalam sebuah karya dapat menonjolkan ekspresi tertentu (seperti komedi dalam opera Mozart, Le Nozze di Figarro). Ini menunjukkan bahwa struktur musik bertindak sebagai kode sintaksis yang dikendalikan oleh maksud ekspresif sosial atau kultural. Musik adalah bahasa yang maknanya terkonstruksi berdasarkan sistem tanda yang disepakati secara kolektif.
Kontradiksi Epistemologis: Universalitas vs. Relativitas
Diskusi mengenai musik sebagai bahasa selalu dihadapkan pada ketegangan epistemologis antara gagasan universalitas musik dan relativisme budaya. Ketegangan ini diwujudkan dalam konflik antara Etnomusikologi dan Musikologi Evolusi (yang berakar dari Musikologi Komparatif).
Para ahli Musikologi Evolusi sering kali berfokus pada perkembangan kapasitas manusia dalam bermusik secara linier dan ambisius mencari aspek musik yang dapat diatribusikan pada struktur biologis atau tekanan lingkungan. Pendekatan ini berpegangan pada keyakinan bahwa universalitas musik didasarkan pada hukum alam, seperti fitur struktural fundamental (nada dan skala) yang diyakini ada di semua budaya.
Sebaliknya, Etnomusikologi berakar pada asumsi relativisme budaya, menekankan bahwa praktik dan kepercayaan suatu budaya hanya dapat dipahami secara akurat dalam konteksnya sendiri. Etnomusikolog terkemuka, Bruno Nettl, berpendapat bahwa setiap upaya untuk membuat generalisasi universal tentang musik berisiko mengecualikan banyak musik di dunia, menjadikannya kurang valid. Sebagai contoh, nyanyian orang Papua yang nadanya mungkin tidak dapat diidentifikasi berdasarkan fitur universal berisiko diabaikan, padahal hal tersebut jelas adalah praktik musik.
Titik konflik utama dalam perdebatan ini terletak pada perbedaan fokus analisis: bentuk versus fungsi. Etnomusikologi mendasarkan analisis pada fungsi musik—tujuan akhir analisis adalah ide abstrak yang dapat diterapkan pada ekspresi manusia, terlepas dari bentuk musik itu sendiri. Sementara Musikologi Komparatif menekankan analisis bentuk musik—studi musik sebagai sistem bunyi dengan fokus pada struktur aransemen.
Untuk menyelesaikan ambiguitas ini, penting untuk memisahkan pertimbangan yang digunakan. Universalitas musik lebih tepat diterapkan pada fungsi musik (misalnya: untuk ritual, kohesi, atau komunikasi emosi) yang dapat ditemukan di berbagai budaya. Namun, aspek struktural (bentuk) berfungsi sebagai dialek partikular yang maknanya terikat secara kultural. Selain itu, kebenaran etnomusikologi bukanlah entitas tunggal yang tetap (absolute correctness), melainkan rentang entitas yang diakui dan disanksi dalam budaya tertentu (the limits of the variation). Dengan demikian, upaya untuk mencari kebenaran tunggal struktural yang absolut dalam musik cenderung mengabaikan variasi yang diizinkan dan dimaknai secara kultural, yang justru menjadi esensi komunikasi sosial. Musikologi evolusi yang mencari struktur absolut berisiko mengabaikan dinamika variasi yang merupakan inti dari bahasa sosial.
Tabel 1: Perbandingan Paradigma dalam Menilai Universalitas Musik
| Aspek Analisis | Etnomusikologi (Fungsi) | Musikologi Evolusi/Komparatif (Bentuk) |
| Asumsi Dasar | Relativisme Budaya; Makna terikat konteks. | Universalitas; Nada dan skala berdasarkan hukum alam/biologi. |
| Fokus Utama | Perilaku, Fungsi Sosial, dan Makna Kultural. | Struktur Musik, Bentuk Aransemen, dan Kapasitas Biologis Manusia. |
| Metode Penelitian Kunci | Kerja Lapangan (Fieldwork) dan Etnografi Mendalam. | Analisis Komparatif Struktur Bunyi dan Data Evolusi. |
| Pandangan terhadap Universalitas | Skeptis; Definisi universal berisiko mengabaikan musik yang berbeda (Nettl). | Titik awal untuk mengidentifikasi aspek musik yang didorong oleh faktor biologis. |
Musik sebagai Bahasa Sosial: Kohesi, Identitas, dan Wacana Kultural
Musik memainkan peran sentral dalam mengkonstruksi dan memelihara tatanan sosial, berfungsi sebagai medium transmisi nilai dan pembentukan identitas kolektif.
Pembentukan dan Penguatan Identitas Kolektif
Musik terbukti sangat efektif dalam memperkuat solidaritas sosial. Sebuah karya musik mencerminkan nilai-nilai dan struktur sosial masyarakat penghasilnya, menjadikannya alat transmisi budaya dan penguatan identitas kolektif yang esensial.
Dalam konteks lokal, studi terhadap lagu daerah sering menunjukkan bagaimana identitas kolektif dibangun melalui narasi musikal. Misalnya, lagu Yok Miak dari Bangka membangun identitas masyarakatnya melalui narasi kerja bersama, gotong royong, dan perayaan hasil kerja. Lagu ini menggunakan pola organisasi wacana berbasis ajakan dan kerjasama, serta menggunakan repetisi sebagai strategi retoris. Penggunaan repetisi ini melampaui sekadar teknik musikal; ia berfungsi sebagai alat persuasi sosial dan penguatan ingatan kolektif. Repetisi secara konsisten menanamkan nilai-nilai budaya dan membangun rasa keakraban, mendukung pembangunan komunitas linguistik musikal yang kuat, yang pada akhirnya memperkokoh identitas kolektif.
Pembentukan identitas, baik individu maupun kolektif, adalah proses yang sistematis dan interaksional. Musik, seperti yang diwujudkan dalam komunitas Raggae Longharjo, menjadi faktor pembentuk identitas sosial yang kuat melalui proses interaksional, di mana identifikasi internal (perasaan diri unik) dan eksternal (pengakuan orang lain) saling terkait.
Transmisi Budaya dan Analisis Wacana Lirik
Jika musik non-vokal berfungsi sebagai kerangka emosional, maka lirik menyediakan makna eksplisit. Dalam konteks lagu, terutama musik populer, lirik menjadi wadah simbolik yang memuat pesan personal dan kolektif, merefleksikan nilai dan struktur sosial secara implisit maupun eksplisit.
Analisis wacana kritis menekankan pentingnya menganalisis teks (lirik) dengan mengaitkannya pada realitas dan peristiwa yang berkembang dalam masyarakat (pendekatan intertekstualitas). Lirik lagu populer, oleh karena itu, dapat berfungsi sebagai cermin dinamika psikologis dan sosial kontemporer. Sebagai contoh, analisis semiotika terhadap lirik lagu Halu oleh Feby Putri mengungkapkan tanda-tanda linguistik yang menggambarkan kondisi psikologis kompleks seperti kerinduan, harapan semu, dan kenyataan yang tak tergapai. Elemen semiotik yang kuat, seperti metafora dan diksi puitis, memperbesar potensi emosional lagu tersebut.
Dalam proses transmisi kultural, terdapat dialektika penting antara elemen vokal dan non-vokal. Lirik (vokal) menyampaikan instruksi dan narasi yang mudah dipahami (misalnya, pesan gotong royong), sementara ritme dan melodi (non-vokal) menyediakan kerangka emosional dan memori kolektif. Musik berfungsi sebagai bahasa sosial yang efektif karena ia tidak hanya menyatakan nilai-nilai (melalui lirik) tetapi juga mempertahankan nilai-nilai tersebut (melalui struktur musik) secara emosional dan kognitif. Popularitas genre musik tertentu (seperti Hip Hop atau Pop) mencerminkan pergeseran ide dan perilaku masyarakat , menegaskan bahwa musik populer adalah barometer yang sah untuk studi etnomusikologi modern.
Musik sebagai Bahasa Spiritual: Ritual, Transe, dan Mediasi Transenden
Musik sebagai bahasa spiritual berhubungan dengan kemampuan bunyi terorganisir untuk memediasi komunikasi antara manusia dan dunia spiritual atau transenden, serta untuk mengubah keadaan kesadaran.
Musik dalam Ritual Penyembuhan dan Shamanisme
Di banyak budaya, musik dan alat musik memegang peran krusial sebagai perantara. Mereka diantropomorfisasi sebagai entitas hidup yang mampu berkomunikasi dengan roh. Fungsi mediasi ini terlihat jelas dalam ritual penyembuhan shamanistik, di mana musik dan ritme digunakan sebagai katalis utama.
Studi Kasus Ritual Kodi (Indonesia): Dalam ritual penyembuhan Kodi, drum dan tombak digunakan sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan roh penyebab penyakit. Drum, yang kisahnya diidentifikasi dengan pasien yang menderita, melakukan perjalanan shamanistik ke dunia atas untuk mencari berkat. Mitos tentang asal-usul drum menyediakan struktur naratif bagi seluruh ritual, memberikan dasar bagi efikasi penyembuhannya. Bunyi perkusi yang terstruktur (ordered sound) dalam ritual ini tidak hanya memiliki efek psikologis (“membuat pasien merasa lebih baik”), tetapi juga memenuhi fungsi sosial yang mendalam. Ritual ini mampu membubarkan ketegangan sosial dan mencapai konsensus implisit di antara para peserta. Misalnya, seorang pria tua yang sakit memicu rasa bersalah pada kerabatnya yang lebih muda (dianggap penyebab penyakit). Ritual tersebut menciptakan konteks bagi mereka untuk mengekspresikan penyesalan tanpa harus membuat pengakuan verbal. Musik, dikombinasikan dengan ucapan dan tindakan, menciptakan ilusi artistik yang memungkinkan tanda (simbol penyesalan/penyembuhan) untuk mengatasi substansi (konflik yang belum terselesaikan), memulihkan konsensus sosial tanpa kehilangan muka. Ini membuktikan musik adalah bahasa strategis yang lebih efektif daripada ujaran langsung dalam konteks sosial yang sensitif.
Ritual Ngoma/Zebola (Afrika): Upacara Ngoma (termasuk Zebola dari Kongo) menggunakan ritme yang kuat dan tarian untuk membantu orang menghadapi “masalah sulit” atau penyakit kronis. Musik, terutama irama, berperan sebagai elemen kunci dalam memengaruhi keadaan trance atau ekstase, yang umum dalam praktik shamanistik dan mistisisme religius. Ritme tinggi, yang mampu mempengaruhi gelombang otak dan memediasi keadaan mental secara fisik, berfungsi sebagai substrat komunikasi spiritual universal, terlepas dari dialek melodi dan harmoni. Partisipan dalam upacara Zebola yang dimodifikasi (menjadi netral agama) melaporkan manfaat spiritual, reduksi stres, dan peningkatan dukungan kelompok, menunjukkan bahwa fungsi musik untuk transendensi bersifat universal.
Studi Kasus Bahasa Drum Yorùbá (Èdè Àyàn)
Salah satu contoh paling jelas dari musik yang berfungsi sebagai bahasa adalah sistem komunikasi non-verbal drum bicara Yorùbá, yang dikenal sebagai Èdè Àyàn. Drum (ìlù), khususnya drum jam pasir berkepala tunggal atau ganda (gángan), dianggap sebagai pengganti ujaran (speech surrogate) yang mampu meniru nada suara manusia. Orang Yorùbá percaya bahwa drum yang dimainkan oleh àyàn atau onílù (penabuh drum) yang terampil dapat mengucapkan kata-kata (òrò) secara efektif.
Sistem kode vokal Yorùbá sangat canggih. Àyàn mengkodekan bahasa alamiah (Yorùbá) melalui tabuhan yang mereplikasi nada dan intonasi ujaran manusia. Dalam ritual Egúngún (ritual topeng), drum bicara mengkodekan ujaran yang berfungsi untuk mengarahkan penari, menyampaikan pepatah, atau bahkan memanggil roh tertentu. Misalnya, ansambel drum bàtá dapat mengkodekan ujaran yang ditujukan kepada Egúngún untuk menggerakkan hiasan kepala topengnya ke samping secara terus-menerus, seperti alat yang bekerja tanpa henti.
Drum bicara tidak hanya menyampaikan perintah, tetapi juga menyimpan filosofi, nilai, dan sejarah Yorùbá secara non-tekstual. Hal ini menjadikan drum sebagai instrumen yang hidup dan integral dalam praktik keagamaan, bertindak sebagai perantara yang menyampaikan pesan transenden kepada peserta ritual.
Tabel 2: Mekanisme Musik sebagai Speech Surrogate (Studi Kasus Yorùbá)
| Elemen Komunikasi | Drum Bicara (Ìlù) | Fungsi Bahasa Sosial/Spiritual |
| Identitas Drum | Òkú-ewúré tíí fo’̣ hùn bí ènìyàn (Kambing tanpa nyawa yang berbicara seperti manusia) | Menegaskan peran drum sebagai entitas hidup/berkomunikasi dalam ritual. |
| Pengkodean Vokal | Variasi tekanan dan ketukan (menggunakan kuku jari àyàn) meniru nada ujaran Yorùbá. | Menyampaikan kata-kata/ujaran (òrò) secara langsung yang dapat didekode oleh pendengar yang terlatih. |
| Transmisi Kultural | Tabuhan mengkodekan narasi sejarah dan pepatah Yorùbá. | Menyimpan dan menyebarkan filosofi dan nilai budaya secara non-tekstual. |
| Peran Ritual | Ìlù sebagai perantara antara penari (Egúngún) dan dunia spiritual. | Mengarahkan tarian ritual dan memandu penyampaian pesan spiritual. |
Studi Kasus dan Sintesis: Keterkaitan Bentuk Musikal dengan Konteks Emosi
Kritik Terhadap Pemisahan Bunyi dari Konteks (Kasus Gisalo Kaluli)
Analisis etnomusikologi menunjukkan bahwa pemahaman tentang bentuk musik (bunyi) hanya mungkin jika ditempatkan dalam kerangka konteks kulturalnya. Steven Feld, dalam studinya tentang orang Kaluli di Papua Nugini, mengilustrasikan hal ini melalui ritual nyanyian gisalo. Untuk memahami gisalo dengan benar, seseorang harus memahami mitos dasar “anak lelaki yang berubah menjadi burung muni” dan aspek mendasar dari kehidupan sosial Kaluli.
Dalam gisalo, melodi tertentu menirukan panggilan burung Muni, yang dikaitkan dengan narasi tragis “anak kelaparan yang memanggil ibunya”. Fungsi utama ritual tersebut adalah menyebarkan kesedihan ke seluruh pendengar. Dengan demikian, musik digunakan sebagai sarana utama untuk mengkomunikasikan emosi yang diinternalisasi secara kolektif.
Kasus Kaluli ini memperkuat pandangan John Blacking bahwa ekspresi hubungan tonal dalam pola bunyi mungkin bersifat sekunder terhadap hubungan ekstra-musikal yang diwakili oleh nada-nada tersebut. Musik bukanlah thing in itself; ia adalah manifestasi dari sistem kultural yang lebih luas.
Musik sebagai Refleksi Sistem Interaksi Manusia
Alan Merriam telah menunjukkan bahwa ide-ide tentang musik, perilaku terkait musik, dan hasil bunyi adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam bahasa sosial, musik berfungsi sebagai refleksi sistem interaksi manusia.
Jika masyarakat mengakui dan menyanksi rentang variasi tertentu dalam mode perilaku (musik), variabilitas ini justru merupakan kunci untuk memahami fenomena tersebut, bukan mencari kebeningan absolut. Variasi kinerja dan interpretasi yang diizinkan oleh budaya memastikan bahwa musik mencerminkan kekhasan dan dinamika sosial spesifik dari komunitas penghasilnya. Misalnya, struktur musik yang kompleks dalam “musik seni” (klasik Barat) mencerminkan sistem interaksi yang lebih besar dan pembagian kerja yang lebih luas dibandingkan dengan musik Venda. Musik, oleh karena itu, adalah peta dinamis dari organisasi kemanusiaan.
Sintesis Analitis: Dualitas Musik sebagai Bahasa
Analisis komprehensif mengarah pada kesimpulan bahwa musik beroperasi dalam dualitas sebagai bahasa. Musik adalah universal dalam fungsinya—kapasitas manusia untuk menggunakan bunyi terstruktur guna memediasi interaksi sosial, emosi, dan transendensi—yang mencakup kohesi kelompok, transmisi budaya, dan ritual penyembuhan. Namun, musik bersifat partikular dalam gramatika dan dialeknya—seperti yang terlihat dalam struktur nada, melodi, dan semiotika spesifik gisalo Kaluli atau drum bicara Yorùbá.
Dualitas ini juga merangkai peran sosial dan spiritual. Dalam konteks ritual (spiritual), musik hampir selalu secara otomatis memenuhi fungsi sosial mendasar (seperti penyelesaian konflik implisit dalam ritual Kodi atau pembangunan dukungan kelompok dalam Zebola). Sebaliknya, dalam konteks sosial murni (seperti lagu identitas kolektif), musik sering kali menyentuh dimensi transenden atau emosional yang mendalam. Musik menjadi logos kultural yang menghubungkan dimensi horizontal (sosial) dan vertikal (spiritual/emosional) kehidupan manusia.
Kesimpulan
Tulisan ini menegaskan bahwa musik harus dipahami sebagai bahasa perilaku yang terstruktur. Dalam kerangka Merriam, perilaku dan ide-ide tentang musik mendahului dan menentukan bunyi yang dihasilkan. Makna musik—baik sosial yang berfungsi untuk membangun solidaritas dan identitas, maupun spiritual yang memediasi ritual dan ekstase—dihasilkan dari asosiasi antarmanusia (Blacking) dan fungsi budayanya, bukan semata-mata dari strukturnya yang terisolasi. Musik adalah bahasa yang maknanya terikat pada konteks tempat ia diciptakan dan dipahami.
Implikasi untuk Penelitian Interdisipliner Masa Depan
Implikasi dari temuan ini bagi penelitian masa depan adalah pentingnya pendekatan interdisipliner yang terintegrasi. Untuk mengungkap sepenuhnya musik sebagai bahasa, peneliti harus menggabungkan metode analisis bentuk (semiotika musik, analisis linguistik untuk lirik dan kode vokal) dengan metode analisis fungsi (kerja lapangan etnografi mendalam yang berakar pada relativisme budaya).
Selain itu, studi lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi bagaimana aspek struktural musik (bentuk) dapat dimodifikasi secara sengaja untuk mencapai tujuan fungsional spesifik (sosial/spiritual). Mempelajari bagaimana ritme tertentu secara biologis memicu keadaan mental (trance) dalam ritual penyembuhan, dan bagaimana budaya yang berbeda memvariasikan dialek ritme tersebut, akan memberikan wawasan yang lebih kaya tentang tautan antara kapasitas manusia universal dan ekspresi kultural partikular.
Catatan Penutup: Menghargai Partikularitas
Pada akhirnya, untuk memahami musik sebagai bahasa, kita harus menghargai keragaman dan kompleksitas setiap “dialek” musikal di dunia. Upaya untuk mencari kebenaran absolut tanpa mempertimbangkan variasi yang disanksi secara kultural berisiko mengaburkan realitas bahwa musik adalah salah satu produk organisasi kemanusiaan yang paling mendalam dan paling beragam, sebuah manifestasi bunyi yang terstruktur oleh kehidupan sosial dan spiritual.


