Loading Now

Analisis Komparatif Keunikan dan Kesamaan Musik Etnis Dunia melalui Lensa Etnomusikologi

Musik etnis global menyajikan sebuah paradoks sentral bagi kajian humaniora: manifestasi bunyi terorganisasi yang secara struktural (ritme, skala, instrumen) menampilkan keragaman yang hampir tak terbatas (partikularitas), namun secara mendasar diangkat dari kebutuhan manusia universal (universalitas). Keunikan dan kesamaan ini—dialektika antara yang emic (sudut pandang internal budaya) dan yang etic (sudut pandang komparatif eksternal)—merupakan inti dari etnomusikologi.

Di tengah gelombang modernisasi dan globalisasi yang menantang batas-batas identitas budaya, terdapat urgensi untuk mengkaji fenomena musik etnis ini secara mendalam. Musik tradisional, sebagai warisan yang mencerminkan nilai-nilai dan kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi, berfungsi memperkuat solidaritas sosial dan membentuk identitas budaya yang unik. Oleh karena itu, kajian komparatif ini penting untuk tidak hanya mendokumentasikan keunikan, tetapi juga untuk menyediakan inspirasi serta meneguhkan identitas budaya di mata dunia, memastikan musik tersebut tetap hidup dan relevan bagi generasi mendatang. Laporan ini menggunakan kerangka etnomusikologi untuk membedah partikularitas dan universalitas, menelusuri bagaimana struktur musikal yang berbeda dapat melayani fungsi kemanusiaan yang serupa.

Definisi Kerja: Etnomusikologi sebagai Pilar Analisis

Etnomusikologi didefinisikan secara luas sebagai ilmu yang mempelajari mengapa dan bagaimana manusia itu musikal. Disiplin ilmu ini berada pada titik persimpangan kritis antara ilmu sosial, humaniora, dan bahkan ilmu biologi, dengan tujuan utama memahami sifat alami spesies manusia secara menyeluruh—biologi, sosial, budaya, dan keberagaman seni.

Klaim fundamental dari etnomusikologi adalah bahwa musikalitas, dalam pengertian kapasitas manusia untuk mencipta, menampilkan, mengatur secara kognitif, bereaksi fisik dan emosional, dan menafsirkan makna bunyi yang terorganisasi, merupakan sifat yang mendefinisikan kemanusiaan kita. Musikalitas bukan sekadar bakat atau kemampuan bermusik, melainkan kapasitas inheren yang dimiliki oleh semua manusia, tidak hanya mereka yang dianggap musisi. Pemikiran dan aktivitas musik memiliki kedudukan yang sama pentingnya dengan kemampuan berbicara dan memahami pembicaraan, menegaskan bahwa manusia membutuhkan musik untuk menjadi manusia seutuhnya.

Oleh karena itu, etnomusikolog harus meyakini bahwa, untuk memahami kemanusiaan kita, kita harus memahami musikalitas kita, dan ini memerlukan studi atas musik dengan semua keberagamannya, di semua wilayah dan konteks sejarah. Pendekatan ini menuntut analisis yang melampaui notasi atau instrumen semata, dengan fokus pada konteks sosial, fungsi, dan konsepsi estetika budaya terkait. Etnomusikolog tidak boleh memulai penelitian dengan penilaian subjektif mengenai apa yang dianggap good music atau musik yang layak dipelajari, karena diasumsikan bahwa kapan pun dan di mana pun manusia membuat dan mendengarkan musik, aktivitas tersebut harus diperlakukan sebagai refleksi penting yang layak mendapat perhatian dan studi berkelanjutan.

Kerangka Teoretis: Universalitas Musikalitas Manusia

Musikalitas sebagai Kapasitas Universal

Asumsi bahwa etnomusikologi mencakup ilmu biologi  memberikan dasar yang kuat untuk memahami kesamaan fundamental musik etnis global. Hal ini menunjukkan bahwa hardware (kapasitas otak manusia untuk memproses dan mengatur bunyi terstruktur) adalah universal. Kapasitas musikalitas, yang memungkinkan manusia untuk mengatur bunyi secara kognitif dan mengalami reaksi fisik dan emosional terhadapnya, adalah sifat spesies.

Dengan demikian, kebutuhan untuk menjadi musikal adalah sifat bawaan. Semua budaya di dunia mengembangkan musik karena adanya kapasitas biologis ini. Perbedaan yang diamati di seluruh dunia—keunikan struktural—hanyalah cara budaya mengisi dan mengekspresikan ruang lingkup variasi yang disetujui secara sosial. Oleh karena itu, meskipun tangga nada gamelan berbeda dengan poliritme Afrika, kedua manifestasi tersebut sama-sama memenuhi fungsi dasar manusia yang timbul dari kebutuhan biologis-kognitif universal untuk berinteraksi dengan bunyi yang terorganisasi.

Relativitas Estetika dan Konteks Kultural

Meskipun kapasitas musikalitas bersifat universal, manifestasi dan interpretasi maknanya bersifat partikular dan bergantung pada budaya. Analisis semiotika menunjukkan bahwa musik adalah bidang yang kompleks, dan setiap tradisi musik di dunia memiliki asas dan konsepsi estetika yang berlainan.

Kebenaran dalam etnomusikologi tidaklah tetap, melainkan bersifat relatif. Menurut Alan Merriam, kebenaran etnografi bukanlah entitas tunggal yang mutlak, melainkan rentang entitas dalam distribusi variasi yang diakui dan disanksi oleh suatu budaya. Dengan kata lain, fokus kajian bukanlah mencari versi “benar” mutlak dari sebuah lagu (yang mungkin tidak ada), tetapi pada batas-batas variasi yang diizinkan dalam perilaku musikal tertentu oleh masyarakat tersebut. Contohnya, seperti yang akan dibahas, dua ansambel gamelan Jawa yang idealnya menggunakan laras slendro yang sama mungkin memiliki sedikit perbedaan laras (mikrotonalitas alamiah), tetapi selama perbedaan tersebut berada dalam batas toleransi estetika budaya, kedua versi tersebut dianggap valid. Inilah yang membedakan kajian musik etnis dari musikologi Barat yang seringkali terfokus pada notasi absolut.

Kesamaan Fungsional: Irama sebagai Perekat Sosial dan Spiritual

Terlepas dari perbedaan struktural yang menakjubkan, musik etnis di seluruh dunia menunjukkan kesamaan yang kuat dalam fungsi sosiokulturalnya, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari kain kehidupan masyarakat.

Fungsi Ritual dan Spiritual (Menghubungkan Dua Dunia)

Fungsi paling sakral dan mendasar dari musik tradisional adalah sebagai sarana upacara adat atau ritual keagamaan. Di berbagai daerah, musik merupakan bagian integral dari prosesi upacara seperti pernikahan, kelahiran, kematian, panen, dan ritual keagamaan, melampaui sekadar hiburan.

Bunyi-bunyian yang dihasilkan diyakini memiliki kekuatan magis atau spiritual untuk berkomunikasi dengan alam gaib atau leluhur. Misalnya, di Indonesia, Gamelan Sekaten di Yogyakarta dimainkan saat perayaan Maulid Nabi, sementara Musik Gondang Batak mengiringi upacara adat pernikahan. Di Manggarai (Flores), gong dan gendang digunakan untuk mengusir roh jahat, dan musik vokal Kagombe di Sulawesi Utara digunakan untuk ritual penyembuhan. Secara komunal, nyanyian seperti Ma’badong dari Toraja, yang dipentaskan dalam upacara Rambu Solo’ oleh banyak orang dalam lingkaran, secara eksplisit menghubungkan antara dunia orang hidup dengan dunia nenek moyang.

Kehadiran musik dalam konteks ini bersifat sakral dan seringkali tidak dapat digantikan. Masyarakat meyakini bahwa tanpa iringan musik yang tepat, upacara tidak dapat berlangsung sempurna, sehingga para pemain musik memegang kedudukan penting dalam struktur adat.

Tantangan Dekopling Fungsi dan Struktur

Tantangan pelestarian modern muncul ketika musik ritual dialihkan dari konteks sakral ke panggung hiburan publik (sekularisasi). Meskipun struktur musikalnya (keunikan) dapat dipertahankan, fungsi spiritual dan kekuatan magisnya mungkin tereduksi. Meskipun musik tradisional juga memiliki fungsi penting sebagai sarana hiburan dan sosialisasi , pergeseran ini menuntut etnomusikologi modern menganalisis bagaimana musik mempertahankan makna kulturalnya (termasuk pesan-pesan yang terkandung dalam teks atau syair nyanyian ) saat fungsi sosiokulturalnya bergeser.

Musik tradisional membutuhkan dukungan masyarakat dan pemerintah agar tetap hidup dan relevan, yang memerlukan keseimbangan yang hati-hati antara menjaga nilai ritual dan kebutuhan akan inovasi.

Fungsi Sosial, Solidaritas, dan Ekspresi

Selain fungsi spiritual, musik etnis adalah alat kohesi sosial yang universal. Musik tradisional mencerminkan nilai-nilai dan kebijaksanaan yang diwariskan, memperkuat solidaritas sosial, dan membentuk identitas budaya yang unik.

Dalam konteks komunal, musik menjadi media untuk bersosialisasi dan melepas penat. Contoh manifestasi solidaritas ini terlihat pada nyanyian bersama seperti Ma’badong, yang ditandai dengan kepadatan harmoni yang kuat (sihaU-bali) dan dilakukan dalam format lingkaran.

Lebih lanjut, musik tradisional berfungsi sebagai sarana ekspresi diri bagi seniman dan penikmatnya, di mana perasaan, pemikiran, dan pengalaman hidup dapat diungkapkan. Fungsi ekspresif ini terwujud melalui penciptaan lagu atau komposisi musik baru, improvisasi dalam permainan, dan interpretasi ulang terhadap lagu-lagu tradisional. Nilai estetika juga dinampakkan melalui teks atau syair yang memiliki nilai dramatik.

Ringkasan fungsi universal musik etnis disajikan dalam tabel berikut:

Table III.1 Fungsi Universal Musik Etnis dan Manifestasi Kulturalnya

Fungsi Universal Tujuan Kultural Inti Contoh Manifestasi (Kontekstual)
Ritual/Spiritual (Magis) Menghubungkan dunia hidup dan nenek moyang/alam gaib. Gamelan Sekaten (Maulid Nabi), Ma’badong (Rambu Solo’), Musik Gondang Batak (Pernikahan), Gong Manggarai (Mengusir roh jahat)
Sosial & Solidaritas Memperkuat kohesi kelompok, identitas, dan media pewarisan nilai. Ma’badong (nyanyian komunal), Pertunjukan tari daerah, Acara hajatan
Ekspresi & Estetika Mengungkapkan realitas emosional dan pemahaman nilai estetika. Penciptaan komposisi baru, Interpretasi ulang, Nilai dramatik teks nyanyian

Keunikan Struktural I: Dominasi Pitch, Skala, dan Mikrotonalitas (Fokus Asia dan Timur Tengah)

Ketika kita bergerak dari fungsi (kesamaan) ke struktur, kita menemukan keunikan yang mendalam, terutama dalam organisasi nada dan skala. Keunikan ini sering kali bertentangan dengan sistem equal temperament yang mendominasi musik Barat.

Sistem Skala Non-Tempered dan Fenomena Mikrotonal

Musik Barat, berbasis pada tangga nada tempered, menetapkan interval sebesar 100 sent untuk setiap setengah langkah. Sebaliknya, hasil perbandingan (komparasi) antara musik Barat dengan musik tradisional bangsa lain seperti Asia, Afrika, dan Timur Tengah menunjukkan adanya penggunaan frekuensi dan interval yang berbeda.

Perbedaan utama terletak pada fenomena mikrotonalitas. Mikrotonal mengacu pada interval (jarak antara nada) yang digunakan musik tradisional yang lebih kecil daripada interval pada musik Barat. Nada-nada yang terletak di antara semitone (setengah nada) ini umum terjadi, misalnya dalam tangga nada India dan tangga nada Timur. Instrumen yang dapat menghasilkan jangkauan nada mikrotonal secara teknis adalah instrumen fretless (tanpa fret) atau yang memungkinkan pembengkokan nada (bending), seperti sitar, biola tradisi, atau instrumen tiup tertentu.

Studi Kasus Asia Tenggara: Ekuidistan dan Pelarasan Gamelan

Asia Tenggara menyajikan contoh kompleks dari sistem pitch non-tempered. Sistem tangga nada tonal yang paling terkenal di kawasan ini adalah ekuadistan tujuh nada, di mana (secara teoritis) jarak antara masing-masing dari ketujuh nada tersebut adalah 171,4 sent. Namun, penerapannya dalam alat-alat musik dapat berubah.

Gamelan, baik Jawa maupun Bali, merupakan manifestasi pelarasan yang sangat khas. Pelarasan gamelan (terutama laras pelog dan slendro) tidak berbasis equal temperament dan secara alami memiliki karakteristik mikrotonal. Keunikan gamelan juga terlihat dari fakta bahwa instrumen pembawa melodi yang terpisah dililit (dilaras) pada larasnya masing-masing untuk melengkapi satu ansambel. Perbedaan ini menguatkan prinsip relativitas estetika: standar pelarasan dapat bervariasi antar ansambel (heterofoni pelarasan).

Fakta bahwa pelarasan gamelan secara alamiah mikrotonal  mendukung konsep bahwa kebenaran musikalitas adalah rentang variasi yang disetujui budaya. Jika setiap gamelan memiliki laras yang sedikit berbeda, itu berarti praktik pelarasan itu sendiri menolak standarisasi total, dan masyarakat mengakui batas-batas variasi suara yang masih dapat diterima secara kultural. Potensi mikrotonalitas gamelan ini kini dieksplorasi lebih lanjut oleh para komponis kontemporer, misalnya dengan memanfaatkan overtone series, memadukan laras pelog dan slendro, atau bahkan merombak pelarasan pada gamelan baru untuk inovasi musikal.

Keunikan Struktural II: Poliritme, Tekstur, dan Ostinato (Fokus Afrika Sub-Sahara)

Sementara musik Asia Tenggara sering didefinisikan oleh keunikan pelarasan pitch-nya, musik Sub-Sahara Afrika dicirikan oleh kompleksitas ritmisnya yang mendalam dan hampir homogen di seluruh wilayah yang luas.

Kompleksitas Ritmis sebagai Definisi Utama

Musik Sub-Sahara Afrika dicirikan oleh “minat ritmis yang kuat”. Dalam banyak bahasa di kawasan ini, sering kali tidak ada kata terpisah untuk ritme atau bahkan musik, karena ritme dipahami merepresentasikan struktur kehidupan itu sendiri dan mewujudkan saling ketergantungan antarmanusia.

Keunikan struktural yang paling menonjol adalah praktik poliritme atau cross-rhythm. Ini adalah praktik di mana dua atau lebih kejadian ritmis yang berbeda terjadi secara simultan. Contoh klasik adalah perasaaan memainkan tiga ketukan melawan dua, yang merupakan pengalaman sehari-hari yang membantu mengembangkan “sikap dua dimensi terhadap ritme”. Cross-beats ini bahkan dapat melambangkan momen menantang atau tekanan emosional dalam kehidupan, dan praktik memainkannya, sambil tetap berpegangan pada ketukan utama, mempersiapkan seseorang untuk mempertahankan tujuan hidup sambil menghadapi tantangan. Oleh karena itu, keunikan struktural poliritme berfungsi sebagai cerminan langsung dari filosofi sosial dan kebutuhan komunal.

Tekstur dan Harmoni Khas Afrika

Musik Afrika secara khas kompleks karena kecenderungan dua atau lebih kejadian terjadi secara serentak. Polifoni (variasi kontrapuntal dan ostinato) dan heterofoni (suara bergerak pada waktu yang berbeda) adalah praktik umum.

Prinsip harmoni tradisional Afrika Sub-Sahara didasarkan pada homophonic parallelism (bagian independen bergerak bersamaan), counter-melody (melodi sekunder), dan ostinato-variation (variasi berbasis tema yang berulang). Tekstur vokal utama sering berupa overlapping choral antiphony (antifoni koral tumpang tindih) dan responsorial singing (nyanyian bersahutan atau call and response).

Teknik spesifik yang digunakan untuk menghasilkan harmoni termasuk pedal notes (nada dasar yang ditahan) dan rhythmic harmony. Sebagian besar musik ini juga menggunakan sistem pitch pentatonik yang diperkaya dengan teknik pembengkokan nada.

Dampak Global (Kesamaan Turunan)

Teknik ritmik Afrika Barat yang unik ini memiliki dampak global yang luar biasa. Teknik-teknik ini terbawa melintasi Atlantik dan menjadi bahan fundamental dalam pengembangan gaya musikal di Amerika, termasuk Samba, Forró, Maracatu, dan genre Afro-Amerika seperti Blues, Jazz, Rhythm & Blues, Funk, dan Rock and Roll. Dalam hal ini, keunikan struktural Afrika menjadi sumber kesamaan struktural dalam bentuk-bentuk musik popular yang diturunkan.

Perbandingan ringkas antara keunikan struktural regional dapat diringkas sebagai berikut:

Table V.1 Perbandingan Struktur Musikal Khas Regional

Dimensi Analisis Asia Tenggara (Gamelan) Afrika Sub-Sahara Musik Barat (Sebagai Kontras)
Sistem Pitch/Skala Mikrotonal, Non-Tempered (Pelog, Slendro), Ekuadistan (teoritis) Umumnya Pentatonik, diperkaya teknik bending nada Diatonik/Kromatik, 12-Tone Equal Temperament (100 sen)
Elemen Ritmis Khas Siklus (Gong Cycle), Colotomic Structure, Fokus pada Polimelodi Poliritme Kuat (Cross-Rhythm), Sinkopasi, Ostinato Metrum Teratur, Harmoni dan Struktur Melodi sebagai fokus utama
Tekstur Vokal/Instrumen Heterofoni Pelarasan, Alat Musik Melodi Terpisah Call and Response, Polifoni Koral Tumpang Tindih, Homophonic Parallelism Monofoni, Homofoni (Melodi dengan iringan akord)

Kesamaan Dinamis: Akulturasi, Asimilasi, dan Transformasi Musikal

Musik etnis bukanlah entitas statis; ia adalah produk dinamis dari interaksi antar etnik dan budaya. Dalam proses perubahannya, musik etnis menampilkan kesamaan dalam cara mereka beradaptasi, berfusi, dan terkadang menolak pengaruh asing.

Konsep Akulturasi dan Asimilasi dalam Konteks Musik

Akulturasi dan asimilasi adalah dua konsep kunci untuk memahami relasi antaretnik dan komunikasi antarbudaya. Akulturasi dicirikan oleh perubahan pola kultural kelompok minoritas, seperti bahasa atau nilai, dan sering dianggap sebagai sub-proses dari asimilasi. Dalam konteks musik, hal ini melibatkan pertemuan ide dan materi musikal, sebuah proses yang sudah dapat diduga terjadi sejak Abad Pertengahan (seperti pada folk music) dan berlanjut hingga masa kini.

Asimilasi adalah proses pembauran budaya di mana kelompok minoritas mengadopsi budaya dominan, atau di mana terjadi pencampuran homogen (Melting Pot) yang menghasilkan produk unik baru.

Studi Kasus Musik Akulturatif

Indonesia kaya akan contoh akulturasi musik yang berhasil. Kesenian Gambang Semarang, misalnya, merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa. Contoh lain adalah kesenian teater Cekepung, yang memadukan budaya Jawa, Bali, dan Lombok. Fusi semacam ini difasilitasi oleh kelompok etnik yang diklasifikasikan sebagai Etnik Inklusif, yang memandang dirinya memiliki posisi yang setara dengan kelompok lain. Kelompok inklusif memiliki kecenderungan untuk membuka diri terhadap budaya baru dan menghargai orang asing.

Konflik Identitas Musikal dan Model Eksklusif

Namun, proses akulturasi dan asimilasi musik tidak selalu berjalan mulus. Terdapat pula Etnik Eksklusif, yang cenderung menjaga jarak, menilai kelompok inklusif sebagai rival, dan memposisikan kelompoknya sebagai prioritas. Kecenderungan ini menciptakan penghambat akulturasi, seperti sikap masyarakat yang tradisional, menganggap hal-hal baru buruk, dan menjaga adat atau kebiasaan secara ketat.

Resistensi ini merupakan mekanisme pelestarian defensif yang bertujuan mempertahankan keunikan struktural yang dianggap sakral. Jika sebuah tradisi musik (misalnya, yang terkait erat dengan ritual kematian ) berasal dari kelompok eksklusif, maka upaya fusi atau peminjaman elemen struktural akan kecil kemungkinannya terjadi. Sebaliknya, tradisi yang lebih condong ke fungsi hiburan, seperti Gambang Semarang , lebih sering berasal dari kelompok yang lebih inklusif. Mekanisme ini menentukan kecepatan dan arah difusi musikal.

Meskipun demikian, adaptasi sering kali menghasilkan modifikasi kultural yang mempertahankan inti identitas. Sebagai contoh, musik tradisi Batak telah mengadopsi tangga nada pentatonik yang diadopsi dari Barat sejak lama, tetapi mereka tetap memainkan musik tersebut dengan cara dan budaya orang Batak sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa akulturasi jarang menghasilkan One-Way Complete Assimilation (di mana minoritas sepenuhnya menyerupai mayoritas), tetapi lebih sering menghasilkan produk Melting Pot yang unik, yang mana identitas inti tetap dijaga.

Kesimpulan

Ulasan komparatif ini menegaskan bahwa setiap budaya memiliki iramanya yang unik, yang pada saat yang sama berakar pada kesamaan fundamental. Kesamaan musik etnis terletak pada Fungsi Universal (Ritual, Sosial, Ekspresi) yang bersumber dari Kapasitas Biologis Musikalitas manusia. Kapasitas ini—kebutuhan inheren untuk menciptakan bunyi terorganisasi—adalah lingua franca kemanusiaan.

Sementara itu, keunikan terletak pada Struktur Kultural yang sangat spesifik: Pelarasan mikrotonal Asia Tenggara (Gamelan)  dan kompleksitas Poliritme Afrika Sub-Sahara. Keunikan struktural ini bukan sekadar detail teknis, melainkan cerminan dari sistem estetika dan filosofi sosial budaya yang relatif, yang mengatur batas-batas variasi yang dapat diterima.

Secara dinamis, semua musik etnis berbagi Kesamaan Proses Transformasi melalui interaksi, baik melalui resistensi (model Etnik Eksklusif) maupun fusi (model Etnik Inklusif dan Akulturasi), yang menentukan jalur evolusi mereka di masa depan.

Prospek dan Peran Etnomusikologi di Era Industri Kreatif

Di tengah tantangan pelestarian dan komersialisasi, etnomusikologi memainkan peran krusial dalam industri kreatif. Disiplin ini tidak hanya bertugas mendokumentasikan masa lalu, tetapi juga menyediakan kerangka kerja yang kritis dan bertanggung jawab secara budaya bagi inovasi dan pembaruan.

Analisis etnomusikologis dapat membantu memastikan bahwa inovasi—seperti eksplorasi mikrotonal dalam gamelan modern  atau kolaborasi musik tradisional dengan genre lain —dilakukan dengan tetap menghormati konteks dan nilai-nilai yang diwariskan.

Prospek kajian etnomusikologi kontemporer juga harus mencakup analisis terhadap dilema etika dan hak cipta yang dihadapi oleh musisi tradisi ketika warisan budaya mereka dikomersialkan dan dipertaruhkan di arena musik global. Agar musik tradisional dapat terus berkembang dan memberikan inspirasi, diperlukan dukungan dari pemerintah dan masyarakat yang fokus pada pelestarian tidak hanya bentuknya, tetapi juga nilai-nilai kebijaksanaan mendalam yang terkandung di dalamnya.