Loading Now

Prospek Hidrogen Hijau dalam Transisi Energi Global

Transisi energi global menuju masa depan yang netral karbon menuntut inovasi dan adopsi sumber energi baru yang tidak hanya bersih tetapi juga serbaguna. Dalam konteks ini, hidrogen hijau muncul sebagai pembawa energi strategis yang menjanjikan, dengan potensi transformatif untuk mendekarbondisasi sektor-sektor yang sulit dialiri listrik secara langsung, seperti industri berat dan transportasi. Berbeda dengan hidrogen konvensional yang diproduksi dari bahan bakar fosil dan memiliki jejak karbon yang tinggi, hidrogen hijau dihasilkan melalui proses elektrolisis air yang ditenagai oleh listrik dari sumber energi terbarukan.

Laporan ini mengkaji hidrogen hijau secara mendalam, meliputi definisi teknis, perbandingan dengan jenis hidrogen lain, teknologi produksi, tantangan ekonomi, dan prospek pasarnya. Analisis menunjukkan bahwa meskipun biaya produksi hidrogen hijau saat ini masih tinggi dan tantangan infrastruktur masih besar, kemajuan teknologi dan dukungan kebijakan yang kuat mendorong pertumbuhan pasar yang substansial. Secara global, pasar hidrogen hijau diproyeksikan tumbuh pesat, dipimpin oleh kawasan Asia-Pasifik. Indonesia, dengan kekayaan potensi energi terbarukannya, berada di posisi yang unik untuk tidak hanya memenuhi permintaan domestik yang terus meningkat tetapi juga menjadi pemain utama dan eksportir hidrogen hijau di masa depan. Namun, realisasi potensi ini memerlukan komitmen berkelanjutan dari pemerintah, industri, dan akademisi untuk mengatasi hambatan finansial, teknologi, dan infrastruktur.

Definisi, Konteks Global, dan Keunggulan Strategis

Apa Itu Hidrogen Hijau? Sebuah Definisi Presisi

Hidrogen hijau didefinisikan secara fundamental sebagai hidrogen (H2​) yang diproduksi melalui proses elektrolisis air (H2​O) menggunakan energi listrik yang sepenuhnya berasal dari sumber energi terbarukan. Proses ini memisahkan molekul air menjadi hidrogen dan oksigen (O2​), dan karena sumber energinya—seperti matahari, angin, atau air—tidak menghasilkan emisi karbon, proses produksi hidrogen hijau menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat rendah atau bahkan nol. Definisi ini membedakan hidrogen hijau dari jenis hidrogen lain yang masih bergantung pada bahan bakar fosil. Standar global yang ketat, seperti yang ditetapkan oleh Global Green Hydrogen Standard, mempertegas definisi ini dengan mensyaratkan penggunaan 100% atau mendekati 100% energi terbarukan untuk mencapai emisi mendekati nol. Tujuan utama dari hidrogen hijau adalah untuk membantu membatasi pemanasan global, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan menyediakan solusi energi bersih untuk sektor-sektor yang sulit didekarbonisasi.

Kode Warna Hidrogen: Analisis Perbandingan Menyeluruh

Untuk membedakan proses produksi dan dampak lingkungannya, hidrogen dikategorikan berdasarkan skema “kode warna”. Kategorisasi ini sangat penting untuk memahami posisi hidrogen hijau dalam lanskap energi global.

  • Hidrogen Abu-abu (Grey Hydrogen): Merupakan bentuk hidrogen yang paling umum dan termurah saat ini, dengan pangsa pasar sekitar 99% pada tahun 2020. Produksinya berasal dari bahan bakar fosil, terutama melalui proses Steam Methane Reforming (SMR) dari gas alam atau gasifikasi batu bara. Proses ini melepaskan sejumlah besar karbon dioksida (CO2​) ke atmosfer, dengan emisi sekitar 10 kg CO2​ per kg hidrogen yang dihasilkan.
  • Hidrogen Biru (Blue Hydrogen): Diproduksi dari gas alam menggunakan proses SMR, tetapi dengan tambahan teknologi Carbon Capture and Storage/Utilization (CCS/CCUS) untuk menangkap dan menyimpan emisi CO2​ yang dihasilkan. Meskipun tidak sepenuhnya bebas karbon—karena efisiensi penangkapan hanya sekitar 60-65%—hidrogen biru menawarkan jejak karbon yang lebih rendah dibandingkan hidrogen abu-abu. Emisi dari hidrogen biru diperkirakan sekitar 3.5-4 kg CO2​ per kg hidrogen.
  • Hidrogen Hijau (Green Hydrogen): Seperti yang didefinisikan di atas, hidrogen hijau diproduksi melalui elektrolisis air dengan energi terbarukan, sehingga menghasilkan emisi nol kg CO2​ per kg hidrogen.

Tabel 1: Perbandingan Hidrogen Berdasarkan Kode Warna

Kriteria Hidrogen Abu-abu Hidrogen Biru Hidrogen Hijau
Sumber Bahan Baku Gas alam, batu bara Gas alam Air (H2​O)
Proses Produksi Steam Methane Reforming (SMR), gasifikasi SMR + Penangkapan Karbon (CCS) Elektrolisis air
Dampak Lingkungan Emisi CO2​ tinggi (sekitar 10 kg CO2​/kg H2​) Emisi CO2​ berkurang (sekitar 3.5-4 kg CO2​/kg H2​) Emisi CO2​ nol atau mendekati nol
Aspek Ekonomi Paling murah, biaya produksi rendah Lebih mahal dari abu-abu, tetapi lebih murah dari hijau saat ini Biaya produksi awal tertinggi
Kemandirian Energi Ketergantungan pada negara penghasil gas alam/batu bara Ketergantungan pada negara penghasil gas alam Meningkatkan swasembada dengan memanfaatkan sumber daya alam terbarukan

Perbandingan ini menunjukkan keunggulan strategis hidrogen hijau dalam jangka panjang. Meskipun biaya produksinya saat ini masih lebih tinggi, hidrogen hijau sepenuhnya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan berkontribusi secara langsung pada tujuan netralitas karbon, tidak seperti hidrogen biru yang masih memiliki jejak karbon.

Peran Strategis dalam Dekarbonisasi Global

Hidrogen hijau dipandang sebagai pendorong penting dalam transisi menuju ekonomi nol emisi bersih. Potensinya sangat besar, terutama dalam mendekarbondisasi sektor-sektor yang sulit untuk dialiri listrik secara langsung, seperti industri baja, kimia, kilang minyak, dan transportasi berat. Dengan menggantikan hidrogen konvensional, hidrogen hijau berpotensi menghemat 830 juta ton CO2​ yang saat ini dihasilkan setiap tahun dari produksi hidrogen dengan bahan bakar fosil.

Pertumbuhan hidrogen hijau didorong oleh beberapa faktor pendorong utama, termasuk penurunan biaya energi terbarukan, kemajuan pesat dalam teknologi elektrolisis, dan dukungan kebijakan pemerintah yang semakin kuat di banyak negara. Namun, peran utamanya tidak hanya terbatas pada penggantian hidrogen abu-abu yang ada, tetapi juga pada penyediaan solusi energi untuk aplikasi baru di sektor-sektor yang menantang.

Teknologi Produksi, Inovasi, dan Kebutuhan Sumber Daya

Teknologi Elektrolisis: Prinsip, Karakteristik, dan Perbandingan

Proses inti dari produksi hidrogen hijau adalah elektrolisis air, yaitu proses elektrokimia yang menggunakan arus listrik untuk memisahkan molekul air (H2​O) menjadi gas hidrogen (H2​) dan oksigen (O2​). Proses ini terjadi di dalam sebuah sel elektrolisis yang terdiri dari dua elektroda, anoda dan katoda, serta larutan atau membran elektrolit. Ketika arus listrik dialirkan, air mengalami reaksi reduksi di katoda dan reaksi oksidasi di anoda, melepaskan gas hidrogen dan oksigen secara terpisah.

Beberapa teknologi elektroliser utama saat ini sedang dikembangkan dan digunakan, masing-masing dengan karakteristik unik:

  • Elektroliser Alkali (AEL): Teknologi ini sudah matang dan hemat biaya, ideal untuk produksi hidrogen skala besar dan stabil. Elektroliser AEL beroperasi pada suhu 70–90°C menggunakan larutan elektrolit basa (KOH) dan elektroda berbahan nikel yang terjangkau. Namun, AEL kurang responsif terhadap fluktuasi pasokan listrik, menjadikannya kurang optimal untuk integrasi langsung dengan sumber energi terbarukan intermiten seperti surya atau angin.
  • Proton Exchange Membrane (PEM): Elektroliser PEM memiliki desain yang ringkas, responsif, dan mampu menghasilkan hidrogen dengan kemurnian tinggi. Sistem ini beroperasi pada suhu 50–80°C dan menggunakan membran polimer sebagai elektrolit. Kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan cepat terhadap fluktuasi daya listrik menjadikannya pilihan ideal untuk dipasangkan dengan pembangkit listrik tenaga angin atau surya. Namun, biaya modalnya lebih tinggi karena ketergantungan pada logam mulia seperti platinum dan iridium sebagai katalis.
  • Solid Oxide Electrolyzer (SOEC): SOEC adalah teknologi yang bekerja pada suhu sangat tinggi, antara 500–1000°C, menggunakan elektrolit keramik. Efisiensi konversinya sangat tinggi, karena SOEC tidak hanya menggunakan energi listrik tetapi juga energi panas. Hal ini membuatnya cocok untuk diintegrasikan dengan sumber panas limbah industri atau untuk co-elektrolisis uap dan CO2​ guna menghasilkan syngas. Tantangan utama SOEC adalah tekanan material yang tinggi akibat suhu operasionalnya dan respons dinamis yang lambat.

Inovasi dan Penelitian Lanjutan

Selain teknologi elektrolisis yang sudah ada, inovasi terus berkembang untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya produksi hidrogen hijau. Salah satu area penelitian yang menjanjikan adalah penggunaan nanoteknologi untuk mengembangkan katalis nano yang dapat meningkatkan kinerja sel bahan bakar dan efisiensi produksi hidrogen.

Berbagai metode produksi alternatif juga sedang dieksplorasi, meskipun belum mencapai skala produksi komersial :

  • Pemisahan Air Fotokimia (PEC): Teknologi ini meniru fotosintesis dengan menggabungkan penangkapan cahaya dan elektrolisis menggunakan sel berbasis semikonduktor.
  • Produksi Hidrogen Biologis: Memanfaatkan alga dan bakteri melalui proses biophotolysis atau fermentasi gelap.
  • Pemisahan Air Termokimia: Menggunakan panas tinggi dari sumber nuklir atau surya untuk memicu reaksi kimia pemisahan air.

Selain itu, ada juga penelitian menarik tentang penggunaan bahan limbah sebagai sumber hidrogen, seperti reaksi air dengan besi atau aluminium bekas dalam proses eksotermik. Inovasi ini dapat memberikan nilai tambah dari limbah sambil menghasilkan produk sampingan yang berharga.

Wawasan Mendalam: Tantangan Ketersediaan Sumber Daya (Lahan dan Air)

Meskipun hidrogen hijau dipuji karena kebersihannya, analisis rantai nilainya menunjukkan tantangan signifikan terkait ketersediaan sumber daya. Produksi hidrogen hijau sepenuhnya bergantung pada pasokan listrik dari energi terbarukan yang melimpah. Hal ini secara langsung mengaitkan tantangan hidrogen hijau dengan kendala yang dihadapi oleh energi terbarukan itu sendiri, terutama kebutuhan lahan dan air yang masif.

Secara stoikiometri, produksi satu kilogram hidrogen membutuhkan sekitar 9 liter air. Meskipun jumlah ini mungkin tampak kecil, ketika produksi ditingkatkan ke skala gigawatt untuk memenuhi permintaan global yang diproyeksikan, kebutuhan air bersih akan menjadi sangat besar. Hal ini berpotensi memicu masalah ketersediaan air di daerah-daerah yang sudah menghadapi kelangkaan air, sehingga mengikis tujuan keberlanjutan dari hidrogen hijau.

Selain air, kebutuhan lahan untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan angin (PLTB) juga menjadi perhatian utama. PLTS dan PLTB memiliki kepadatan energi yang jauh lebih rendah dibandingkan pembangkit listrik konvensional atau nuklir. Sebagai contoh, sebuah PLTS 1 MWp di ITERA membutuhkan lahan seluas 10.500 m². Di Indonesia, proyek PLTS skala besar telah menunjukkan kebutuhan lahan lebih dari 80 hektar. Perbandingan global menunjukkan bahwa fasilitas surya fotovoltaik membutuhkan hingga 75 kali lahan dan fasilitas angin hingga 360 kali lahan dibandingkan dengan pembangkit nuklir 1.000 MW untuk menghasilkan jumlah listrik yang sama.

Kebutuhan lahan yang masif ini berpotensi menimbulkan konflik penggunaan lahan, terutama di negara-negara padat penduduk seperti Indonesia, di mana lahan juga dibutuhkan untuk pertanian, permukiman, dan konservasi. Oleh karena itu, pengembangan hidrogen hijau tidak bisa dilihat sebagai solusi yang berdiri sendiri. Strategi pengembangannya harus diintegrasikan dengan perencanaan tata ruang dan manajemen sumber daya air yang cermat. Inovasi teknologi seperti elektrolisis udara (Direct Air Electrolysis), yang mampu mengekstrak hidrogen dari kelembaban atmosfer dan tidak bergantung pada sumber air tawar , menjadi sangat penting untuk mengatasi kendala ini dan membuka peluang produksi di daerah kering.

Analisis Ekonomi dan Prospek Pasar

Struktur Biaya Produksi: Analisis Rinci per Kilogram

Biaya produksi hidrogen hijau saat ini menjadi hambatan utama adopsi massal. Biaya ini diukur dengan metrik Levelized Cost of Hydrogen (LCOH), yang mencakup beberapa komponen utama: biaya modal (capex) untuk elektroliser dan infrastruktur terkait, biaya operasi dan pemeliharaan (opex), biaya listrik dari sumber terbarukan, dan biaya kompresi atau pencairan untuk penyimpanan.

Saat ini, biaya hidrogen hijau (US$3–/kg) jauhlebih mahal dibandingkan hydrogen abu−abu yang berkisar antara US1.00–1.50/kg. Kesenjangan harga ini menjadi alasan utama mengapa 951/kg pada tahun 2030, sebuah target yang diakui sangat sulit untuk dicapai. Analisis menunjukkan bahwa untuk mencapai target tersebut, biaya listrik harus sekitar setengah sen per kWh, yang jauh lebih rendah dari biaya listrik angin dan surya tanpa subsidi.

Namun, tren penurunan biaya menunjukkan optimisme. Proyeksi global memperkirakan biaya hidrogen hijau akan turun menjadi US$1.40–$2.50/kg pada tahun 2030, dan bisa mencapai US$1.15/kg pada tahun 2050.5 Di Indonesia, biaya produksi diproyeksikan mencapai US$1.8–4/kg pada tahun 2050 atau US1.9-$3.9/kg pada tahun 2040. Penurunan biaya ini sangat bergantung pada efisiensi teknologi, skala produksi, dan penurunan harga listrik terbarukan.

Prospek Pasar Global dan Tren Investasi

Meskipun saat ini pangsa pasarnya kecil, pasar hidrogen hijau global diproyeksikan tumbuh dengan sangat cepat. Pada tahun 2022, pasar hidrogen global bernilai US 155 miliar, dengan hydrogen hijau menyumbang sekitar US4.2 miliar atau 2.7% dari total. Proyeksi menunjukkan bahwa ukuran pasar hidrogen hijau akan meningkat signifikan, mencapai US$199.22 miliar pada tahun 2034 dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 41.46% dari tahun 2025 hingga 2034.

Pertumbuhan ini terutama didorong oleh dukungan kebijakan, investasi besar dalam teknologi elektrolisis, dan target dekarbonisasi korporasi. Namun, tren investasi saat ini menunjukkan adanya tantangan. Di AS, misalnya, fokus investasi jangka pendek lebih condong ke hidrogen biru, dengan proyek-proyek skala besar yang mencapai keputusan investasi akhir (FID) pada tahun 2025 diperkirakan 10 kali lebih banyak dibandingkan proyek hidrogen hijau. Sebaliknya, proyek hidrogen hijau menghadapi tantangan dalam mendapatkan perjanjian pembelian (offtake agreements), yang menyebabkan banyak proyek tertunda atau dibatalkan.

Dominasi pasar saat ini berada di kawasan Asia-Pasifik, yang menyumbang lebih dari 47% pendapatan global pada tahun 2024. Tiongkok, khususnya, memimpin dengan pangsa pasar terbesar di kawasan tersebut dan menyumbang sepertiga dari produksi hidrogen hijau global. Proyek-proyek skala gigawatt mulai muncul, seperti proyek hidrogen hijau fotovoltaik terbesar di dunia senilai US$828 juta yang diluncurkan di Tiongkok.

Tantangan dan ketidakpastian ini menciptakan dinamika pasar yang kompleks. Berbagai proyeksi harga yang berbeda (misalnya, Bloomberg memproyeksikan harga US$0.70–1.60/kg pada tahun 2050,sementara IEA memproyeksikan US1.15/kg) mencerminkan tingginya ketidakpastian dalam analisis jangka panjang dan pentingnya faktor eksternal seperti kebijakan insentif.

Tantangan dan Hambatan Finansial

Tingginya biaya produksi merupakan hambatan terbesar. Selain biaya modal yang mahal, struktur biaya proyek hidrogen hijau sangat sensitif terhadap harga listrik terbarukan, yang merupakan komponen terbesar dari total biaya. Selain itu, proyeksi biaya seringkali didasarkan pada tingkat pemanfaatan yang tinggi, namun sifat energi terbarukan yang intermiten membuat tingkat pemanfaatan aktual dari elektroliser sulit diprediksi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan biaya levelized secara signifikan.

Ketidakpastian ini membuat banyak proyek hidrogen hijau pra-komersial dan menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pembiayaan yang memadai. Diperlukan model pembiayaan inovatif yang menggabungkan modal publik dan swasta, serta kerangka kebijakan yang jelas dan insentif untuk memitigasi risiko bagi investor.

Aplikasi, Rantai Nilai, dan Logistik

Sektor Penggunaan Akhir Utama: Menjangkau yang Sulit Didekarbonisasi

Hidrogen hijau memiliki peran penting dalam mendekarbondisasi sektor-sektor yang secara tradisional sulit untuk sepenuhnya beralih ke listrik bersih. Aplikasi utama hidrogen hijau mencakup:

  • Industri Berat: Saat ini, hidrogen telah banyak digunakan sebagai bahan baku. Hidrogen hijau dapat menggantikan hidrogen abu-abu yang digunakan di kilang minyak untuk mengurangi pengotor seperti sulfur. Sektor yang paling menjanjikan adalah industri baja, di mana hidrogen hijau dapat digunakan sebagai reduktan dalam proses
    Direct Reduction of Iron (DRI) untuk menggantikan batu bara, menghasilkan “baja hijau” dengan emisi yang sangat rendah. Selain itu, hidrogen hijau juga menjadi bahan baku penting untuk produksi amonia hijau untuk pupuk dan bahan kimia lainnya.
  • Transportasi: Hidrogen hijau dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk kendaraan melalui sel bahan bakar (fuel cells), di mana hidrogen dikombinasikan dengan oksigen dari atmosfer untuk menghasilkan listrik dan uap air sebagai satu-satunya emisi. Aplikasi ini sangat cocok untuk transportasi berat seperti truk, kereta api, transportasi maritim, dan penerbangan, di mana baterai listrik mungkin tidak praktis karena berat dan kebutuhan energi yang besar.
  • Penyimpanan Energi: Sifat intermiten dari energi terbarukan seperti surya dan angin memerlukan solusi penyimpanan energi jangka panjang. Hidrogen hijau dapat berfungsi sebagai “baterai” berskala gigawatt, menyimpan energi dalam jumlah besar yang dapat diubah kembali menjadi listrik saat dibutuhkan. Kapasitas penyimpanan ini lebih besar dan lebih mudah ditingkatkan dibandingkan baterai, menjadikannya solusi ideal untuk mengatasi fluktuasi pasokan dan permintaan energi.

Logistik dan Infrastruktur: Mengatasi Tantangan Distribusi

Salah satu tantangan terbesar bagi hidrogen hijau adalah logistik dan distribusinya. Hidrogen adalah gas yang sangat ringan, membuatnya sulit dan mahal untuk dikompresi hingga tekanan sangat tinggi (350–700 bar) atau dicairkan hingga suhu kriogenik (-253°C) untuk penyimpanan dan transportasi. Proses ini sangat boros energi dan memerlukan infrastruktur khusus yang mahal dan belum sepenuhnya mapan.

Namun, amonia hijau (Green Ammonia) menawarkan solusi strategis yang efisien untuk mengatasi tantangan ini. Amonia (NH3​) dapat berfungsi sebagai pembawa hidrogen yang ideal. Transportasinya lebih hemat energi dan biayanya lebih rendah, karena infrastruktur global untuk transportasi amonia—seperti pelabuhan, kapal, dan tangki penyimpanan—sudah ada dan mapan. Sekitar 20 juta ton amonia sudah diangkut melalui laut setiap tahun.

Model bisnis yang memungkinkan adalah produksi hidrogen hijau di lokasi dengan potensi energi terbarukan yang melimpah (misalnya, Indonesia), mengubahnya menjadi amonia hijau di tempat, dan mengekspornya sebagai komoditas global ke negara-negara konsumen (seperti Jepang, Korea, atau Eropa). Amonia hijau ini kemudian dapat diubah kembali menjadi hidrogen di tujuan, atau digunakan langsung sebagai bahan bakar di sektor maritim atau sebagai bahan baku industri, karena amonia hijau juga dapat dibakar secara netral iklim.

Pendekatan ini menunjukkan bagaimana kendala teknis dari satu elemen (transportasi hidrogen) dapat diatasi melalui pengembangan rantai nilai yang lebih luas, menciptakan produk perantara yang membuka pasar ekspor baru dan mendorong sinergi industri.

Potensi, Kebijakan, dan Arah Strategis di Indonesia

Potensi dan Sumber Daya Indonesia

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam ekonomi hidrogen hijau global. Negara ini diberkahi dengan potensi energi terbarukan yang melimpah, diperkirakan mencapai 3.687 GW, terutama dari surya, angin, dan panas bumi. Kekayaan sumber daya ini menempatkan Indonesia pada posisi yang unik untuk memproduksi hidrogen hijau dalam skala besar. Berdasarkan data yang ada, potensi kapasitas terpasang untuk produksi hidrogen hijau di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 38 GW, dengan konsentrasi signifikan di pulau-pulau besar seperti Sumatra (6 GW), Kalimantan (7 GW), dan Papua (16 GW).

Studi percontohan telah menunjukkan potensi ini. Penelitian di Lombok menunjukkan bahwa PLTS dengan kapasitas 2.33 MWp yang terintegrasi dengan elektroliser PEM 2 MW dapat menghasilkan 121.391 kg hidrogen per tahun. Proyek perintis ini memberikan bukti nyata tentang kelayakan teknis produksi hidrogen hijau di Indonesia dengan memanfaatkan sumber energi terbarukan yang intermiten.

Peta Jalan dan Kebijakan Nasional

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengembangkan hidrogen hijau sebagai bagian dari strategi nasionalnya untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Strategi Hidrogen Nasional, yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menempatkan hidrogen sebagai salah satu kontributor utama dalam transisi energi.

Pemerintah telah menetapkan target produksi hidrogen rendah emisi yang ambisius: 1.8 juta ton per tahun pada tahun 2040, 5.8 juta ton per tahun pada tahun 2050, dan 6.3 juta ton per tahun pada tahun 2060. Proyek-proyek percontohan juga telah dimulai oleh BUMN seperti PLN dan Pertamina, termasuk Pembangunan Green Hydrogen Plant (GHP) pertama di Indonesia di PLTGU Muara Karang, Jakarta. Selain itu, PLN telah mengoperasikan GHP di 21 lokasi di seluruh Indonesia, menghasilkan total 199 ton hidrogen hijau, yang sebagian besar akan dialokasikan untuk sektor transportasi.

Tantangan dan Peluang Khusus untuk Indonesia

Meskipun potensi dan komitmennya besar, Indonesia menghadapi tantangan signifikan dalam merealisasikan ambisi hidrogen hijaunya. Salah satu tantangan terbesar adalah kesenjangan antara target produksi pemerintah dan proyeksi permintaan domestik. Permintaan hidrogen di Indonesia diproyeksikan melonjak, mencapai 9 juta ton per tahun pada tahun 2030, 17 juta ton per tahun pada tahun 2040, dan 32.6 juta ton per tahun pada tahun 2060.

Tabel 2: Proyeksi Target Produksi vs. Permintaan Hidrogen di Indonesia

Tahun Target Produksi Pemerintah (juta ton/tahun) Proyeksi Permintaan Domestik (juta ton/tahun) Kesenjangan
2040 1.8 17 -15.2
2050 5.8
2060 6.3 32.6 -26.3

Data ini menunjukkan bahwa meskipun target produksi pemerintah signifikan, jumlah tersebut masih jauh dari proyeksi kebutuhan domestik. Hal ini menimbulkan pertanyaan strategis: bagaimana Indonesia akan menutup kesenjangan ini? Apakah dengan impor, atau dengan mempercepat target produksi nasional? Kesenjangan ini menggarisbawahi urgensi untuk mempercepat investasi dan pembangunan infrastruktur hidrogen, termasuk fasilitas produksi, penyimpanan, dan distribusi.

Untuk membuat hidrogen hijau kompetitif di pasar domestik, biaya listrik dari sumber terbarukan harus dikurangi secara substansial, idealnya di bawah US$0.05/kWh. Biaya ini sangat penting karena harga listrik adalah komponen terbesar dari biaya produksi hidrogen hijau. Selain itu, diperlukan pembangunan infrastruktur hidrogen yang berdekatan dengan pusat permintaan untuk meminimalkan biaya transportasi. Pemerintah dapat berperan penting dengan menyediakan insentif dan regulasi yang jelas untuk menarik investasi swasta dan memfasilitasi kemitraan.

Dengan mengatasi tantangan ini, Indonesia tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan energi domestiknya tetapi juga berpotensi memosisikan diri sebagai eksportir hidrogen hijau global yang signifikan. Mengingat biaya produksi di Indonesia diproyeksikan lebih rendah dari rata-rata global, ini adalah peluang ekonomi yang strategis dan dapat meningkatkan daya saing global negara di sektor energi, industri, dan transportasi.

Kesimpulan

Hidrogen hijau merupakan pembawa energi yang sangat potensial untuk mencapai tujuan dekarbonisasi global. Laporan ini menunjukkan bahwa teknologi produksinya, terutama melalui elektrolisis, terus berkembang dengan model elektroliser PEM dan SOEC yang menawarkan efisiensi dan fleksibilitas yang lebih baik. Namun, kendala utama tetap pada biaya produksi yang tinggi dan keterbatasan infrastruktur yang belum matang. Perbedaan harga yang signifikan antara hidrogen hijau dan hidrogen abu-abu masih menjadi hambatan utama, meskipun proyeksi menunjukkan penurunan biaya yang signifikan di masa depan. Kebutuhan besar akan lahan dan air untuk produksi hidrogen hijau juga menyoroti pentingnya pendekatan holistik yang mengintegrasikan energi, tata ruang, dan manajemen sumber daya.

Di tingkat global, pasar hidrogen hijau menunjukkan pertumbuhan pesat, dengan kawasan Asia-Pasifik, terutama Tiongkok, menjadi pemimpin. Di tingkat nasional, Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis karena potensi energi terbarukannya yang luar biasa. Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang kuat melalui penyusunan strategi nasional dan inisiatif proyek perintis. Namun, tantangan besar tetap ada, terutama dalam mengatasi kesenjangan antara target produksi dan proyeksi permintaan domestik yang sangat besar.

Rekomendasi untuk Pemangku Kepentingan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, beberapa rekomendasi strategis diusulkan untuk mendorong pengembangan hidrogen hijau di Indonesia:

  • Untuk Pemerintah: Perlu diperkuat insentif fiskal dan non-fiskal yang jelas untuk menarik investasi swasta, serta menyederhanakan regulasi yang terkait dengan proyek energi terbarukan dan hidrogen. Pembangunan peta jalan hidrogen hijau yang lebih spesifik dan ambisius, yang mengintegrasikan produksi, penyimpanan, dan distribusi, menjadi sangat krusial. Pemerintah juga harus memfasilitasi kemitraan publik-swasta untuk memitigasi risiko finansial proyek-proyek besar.
  • Untuk Industri: Sektor industri harus proaktif dalam mengadopsi hidrogen hijau, dimulai dengan mengganti hidrogen abu-abu yang sudah digunakan di kilang minyak, pabrik pupuk, dan industri kimia. Investasi dalam teknologi dan infrastruktur harus difokuskan pada sektor-sektor yang paling sulit didekarbonisasi, seperti industri baja dan transportasi berat.
  • Untuk Peneliti dan Akademisi: Komunitas ilmiah harus memfokuskan upaya penelitian pada penurunan biaya elektroliser, meningkatkan efisiensi, dan mengembangkan teknologi pendukung seperti elektrolisis udara untuk mengatasi kendala sumber daya air. Selain itu, penelitian tentang optimalisasi penggunaan hidrogen hijau dalam rantai nilai yang lebih luas, seperti produksi amonia hijau, sangat penting untuk membuka pasar ekspor.
  • Untuk Lembaga Keuangan: Lembaga keuangan harus mengembangkan model pembiayaan inovatif yang secara khusus dirancang untuk proyek hidrogen hijau, dengan mempertimbangkan karakteristik risiko unik dari proyek-proyek ini. Integrasi pembiayaan iklim dan instrumen mitigasi risiko dapat memobilisasi modal swasta yang sangat dibutuhkan.

Dengan sinergi dari semua pemangku kepentingan ini, Indonesia dapat sepenuhnya memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya untuk mewujudkan visi sebagai pemain utama dalam ekonomi hidrogen hijau global, tidak hanya mencapai target dekarbonisasi tetapi juga membuka peluang ekonomi baru yang berkelanjutan.

Post Comment

CAPTCHA ImageChange Image