Model Pariwisata Komunitas dalam Menyeimbangkan Pendapatan dan Pelestarian Warisan
Definisi dan Pilar Community-Based Tourism (CBT)
Pengembangan pariwisata komunitas (Community-Based Tourism/CBT) telah muncul sebagai kerangka kerja yang vital untuk mencapai keberlanjutan di destinasi warisan yang rentan. CBT didefinisikan sebagai pendekatan yang menempatkan komunitas lokal sebagai pelaku utama dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengambilan keputusan terkait kegiatan pariwisata di wilayah mereka. Tujuan fundamental dari CBT adalah tercapainya pemberdayaan masyarakat setempat, memastikan distribusi manfaat ekonomi yang adil, serta menjaga pelestarian budaya dan lingkungan secara berkelanjutan.
Pariwisata berkelanjutan, sebagai payung dari CBT, ditandai dengan empat dimensi penting: pertama, ia harus berbasis pada masyarakat lokal; kedua, pembangunan harus memastikan bahwa destinasi menerima manfaat tanpa mengeksploitasi sumber daya lokal; ketiga, keberlanjutan budaya menjadi perhatian utama, khususnya dalam upaya mempertahankan bangunan tradisional dan peninggalan budaya; dan keempat, pariwisata harus didukung oleh mekanisme transfer keuangan yang efektif, seperti Dana Alokasi Khusus, untuk menciptakan insentif keberlanjutan.
Dalam konteks CBT, budaya bukan lagi sekadar elemen dekoratif atau pelengkap. Sebaliknya, budaya merupakan inti dari pengalaman otentik yang ditawarkan kepada wisatawan. Keterlibatan masyarakat lokal—yang berperan sebagai pemandu, pencerita sejarah, dan pelaksana ritual adat—adalah kunci untuk memberikan pengalaman unik yang tidak dapat ditemukan di tempat lain, seperti yang terlihat di beberapa desa wisata yang sukses.
Dilema Sentral: Komodifikasi Budaya dan Pengujian Otentisitas
Ketika desa-desa adat mengubah rumah mereka menjadi destinasi wisata, mereka secara inheren menghadapi dilema sentral antara menghasilkan pendapatan dan menjaga “jiwa” mereka—integritas budaya dan otentisitas tradisi mereka. Ancaman terbesar adalah komodifikasi budaya, sebuah proses di mana tradisi, arsitektur, dan bahkan gaya hidup kelompok tertentu dikemas dan dipasarkan untuk nilai ekonominya dalam konteks industri pariwisata.
Proses komodifikasi berisiko menghilangkan esensi otentik dari suatu tradisi. Misalnya, ritual adat dapat disederhanakan atau diubah menjadi pertunjukan untuk konsumsi turis, yang pada akhirnya merusak nilai sakral aslinya. Kegagalan dalam mengelola komodifikasi ini sering kali menyebabkan kritik terhadap destinasi sebagai tourist trap, yang mana otentisitasnya dikorbankan demi daya tarik visual dan kemudahan komersial. Oleh karena itu, otentisitas sejati tidak terletak pada penampilan fisik saja, tetapi pada integritas proses budaya dan, yang terpenting, pada kontrol yang dimiliki oleh komunitas atas representasi budaya mereka.
Kerangka Keseimbangan: Pendekatan Income Growth vs. Preservation
Untuk menganalisis keberhasilan penyeimbangan antara pendapatan dan pelestarian, penting untuk melihatnya melalui lensa strategi keuangan: Wealth Growth (pertumbuhan kekayaan) versus Wealth Preservation (pelestarian kekayaan).
Strategi Wealth Growth melibatkan investasi berisiko lebih tinggi dengan potensi pengembalian tinggi, seperti memaksimalkan jumlah kunjungan atau mengkomersialkan setiap aspek budaya. Sebaliknya, Wealth Preservation berfokus pada menjaga aset yang ada (misalnya, lahan, warisan budaya takbenda, integritas komunitas) sambil meminimalkan risiko, seringkali melalui pendapatan yang stabil atau terjamin.
Model CBT yang berkelanjutan harus memadukan kedua strategi ini, tetapi penekanannya harus pada pelestarian aset inti (budaya dan ekologi) dengan memastikan komunitas menerima kompensasi finansial yang stabil. Model yang berhasil dalam menjaga “jiwa” cenderung mengadopsi mekanisme yang meniru Income Preservation untuk aset inti mereka—artinya, pendapatan tidak berfluktuasi secara liar berdasarkan kunjungan harian. Strategi ini, seperti yang akan ditunjukkan pada kasus Maasai Mara, menghilangkan tekanan konstan untuk meningkatkan jumlah wisatawan dan mencegah overtourism.
Studi Kasus 1: Maasai Mara, Kenya – Model Konservansi Berbasis Lahan (Preservasi Aset)
Struktur Tata Kelola dan Land-Lease Agreement
Model konservansi Maasai Mara di Kenya diakui sebagai inisiatif konservasi yang sangat sukses, bahkan disebut sebagai inisiatif paling berhasil sejak pembentukan taman nasional pada tahun 1940-an. Model ini dikembangkan sebagai respons terhadap penurunan populasi satwa liar yang signifikan dan ancaman fragmentasi lahan di luar batas cagar alam utama, di mana 60 hingga 70 persen satwa liar Kenya ditemukan.
Model konservansi ini mengintegrasikan tiga pemangku kepentingan utama: pemilik lahan Maasai, konservasionis, dan operator pariwisata. Model ini beroperasi di atas tanah milik pribadi Maasai yang berbatasan dengan Cagar Alam Nasional Maasai Mara. Inti dari tata kelola adalah Land-Lease Agreement (Perjanjian Sewa Lahan) yang ditandatangani oleh pemilik lahan Maasai. Melalui perjanjian ini, pemilik lahan sepakat untuk menyisihkan lahan mereka secara eksklusif untuk konservasi satwa liar, sebagai imbalan atas serangkaian manfaat finansial.
Tata kelola konservansi ini dirancang untuk melibatkan komunitas lokal Maasai dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat lokal dipekerjakan secara luas sebagai game wardens (penjaga satwa), pemandu, pelacak, dan staf perhotelan, yang mencapai sekitar 95% dari total staf. Keterlibatan ini, termasuk mempekerjakan sekitar 245 penjaga dan pemandu dari komunitas lokal, memberikan manfaat ekonomi yang signifikan dan memastikan partisipasi dalam perlindungan satwa liar.
Mekanisme Keseimbangan Ekonomi: Pendapatan Tetap untuk Konservasi
Mekanisme keuangan model konservansi Maasai Mara merupakan contoh cerdas dari strategi Preservation-Centric CBT. Landowners menerima pembayaran bulanan tetap berdasarkan luas lahan yang mereka sewakan untuk konservasi. Pembayaran sewa tetap ini, yang independen dari fluktuasi kunjungan turis harian, memberikan insentif finansial jangka panjang bagi komunitas Maasai untuk memprioritaskan konservasi daripada kegiatan ekonomi lain, seperti penggembalaan ternak invasif atau pertanian.
Pembayaran tetap ini berfungsi sebagai kompensasi atas biaya peluang konservasi. Misalnya, komunitas Maasai diperkirakan memperoleh lebih dari $1.5 juta dari konservansi pada tahun 2018, dengan lebih dari 1.000 keluarga menerima pembayaran bulanan langsung.
Selain pembayaran sewa, pendapatan pariwisata yang dikumpulkan dari bed night dan biaya masuk dialokasikan untuk beberapa fungsi vital:
- Pengembangan Komunitas:Dana dialokasikan untuk proyek kesejahteraan, pendidikan (seperti Ol Kinyei Bursary Fund), dan sanitasi (seperti Ilmonchin School Sanitation Project), memastikan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat.
- Operasi Konservasi:Dana digunakan untuk membiayai patroli anti-perburuan liar, program pemantauan satwa liar, dan program mitigasi konflik manusia-satwa liar, seperti memperkuat kandang ternak tradisional (boma) untuk mencegah serangan predator.
Sistem ini, yang berjanji bahwa “setiap tenda yang kami dirikan harus membayar untuk melindungi 700 acre habitat,” secara eksplisit menghubungkan pendapatan pariwisata dengan pelestarian habitat, menciptakan mekanisme pasar untuk layanan ekosistem yang sangat efektif.
Strategi Pelestarian: Pariwisata Berdampak Rendah (Low-Density, High-Value)
Untuk menjaga integritas ekosistem dan pengalaman otentik, model konservansi menerapkan strategi pariwisata berdampak rendah (low-density tourism). Konservansi membatasi secara ketat jumlah lodge dan kendaraan yang diizinkan di dalam batas mereka, sehingga kepadatan turis jauh lebih rendah dibandingkan dengan Cagar Alam Nasional. Pembatasan ini seringkali diukur, misalnya, dengan standar 1.400 acre per kendaraan.
Pengelolaan yang proaktif ini memastikan pengalaman menonton satwa liar yang lebih eksklusif dan sekaligus mengurangi tekanan ekologis. Model ini berhasil mengubah lahan komunal yang rentan menjadi unit konservasi yang terstruktur dan berbayar, memberikan insentif ekonomi yang kuat bagi komunitas Maasai untuk mengutamakan perlindungan satwa liar dan lanskap, membuktikan bahwa kesejahteraan manusia dan perlindungan alam dapat berjalan beriringan.
Tantangan Keberlanjutan Maasai Mara
Meskipun sukses, model konservansi menghadapi tantangan yang berkelanjutan. Konflik antara manusia dan satwa liar tetap menjadi masalah karena sebagian landowners masih bergantung pada ternak, yang rentan terhadap predator. Selain itu, memastikan distribusi pendapatan yang adil dan merata di antara semua pemilik lahan tetap kompleks. Ketergantungan model ini pada pendapatan pariwisata juga menyoroti kerentanannya, sebuah masalah yang diperburuk oleh guncangan eksternal seperti pandemi COVID-19.
Studi Kasus 2: Shirakawa-go, Jepang – Model Warisan Dunia Berbasis Regulasi (Pelestarian Arsitektur)
Tata Kelola Warisan Dunia dan Badan Perwalian Lokal (Trust)
Desa Shirakawa-go di Jepang terkenal karena rumah-rumah tradisionalnya bergaya Gassho Zukuri (atap jerami berbentuk segitiga seperti tangan berdoa), yang ditetapkan sebagai Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO pada tahun 1995. Sejak 1976, desa ini telah ditetapkan sebagai distrik pelestarian arsitektur tradisional penting secara nasional.
Pengelolaan situs Warisan Dunia ini didominasi oleh pendekatan normatif yang menekankan perlindungan fisik dan institusional. Tanggung jawab utama pelestarian berada di bawah General Incorporated Foundation Shirakawa-go World Heritage Site Gassho Style Preservation Trust. Perwalian ini didirikan berdasarkan peraturan desa untuk melindungi lingkungan distrik pelestarian bangunan tradisional Ogi-machi dan sekitarnya, dengan tujuan mewariskan nilai-nilai Warisan Dunia ke generasi mendatang.
Keberhasilan pelestarian arsitektur Warisan Dunia ini sangat bergantung pada mekanisme authority (wewenang) dan legitimacy (legitimasi) yang diberikan oleh UNESCO , tetapi pelaksanaan praktisnya berada di tangan Trust lokal. Perwalian ini melakukan berbagai kegiatan, termasuk penelitian, bimbingan, bantuan, dan layanan desain pengawasan untuk perbaikan bangunan warisan budaya.
Pelestarian Arsitektur (Gassho Zukuri) melalui Kontrol Komunitas
Pelestarian arsitektur Gassho Zukuri adalah contoh integrasi kearifan lokal dengan regulasi modern. Rumah-rumah ini dirajut dengan hati-hati dari cabang dan jerami, diletakkan pada kemiringan 60 derajat yang mengesankan untuk mengatasi salju yang sangat lebat (kadang mencapai empat meter). Selain itu, semua rumah desa dibangun menghadap timur-barat untuk meminimalkan hambatan angin, menunjukkan adaptasi cerdas terhadap lingkungan pegunungan.
Meskipun mendapat dukungan finansial dan teknis dari pemerintah lokal dan nasional, tanggung jawab langsung atas pengelolaan bangunan individu berada pada pemiliknya. Perbaikan rutin dilakukan oleh pemilik, seringkali melalui upaya kolaboratif konvensional oleh komunitas, menggunakan teknik dan material tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa “jiwa” pelestarian terletak pada proses partisipatif, di mana pemilik aktif terlibat dalam mempertahankan rumah mereka sebagai warisan hidup, bukan sekadar museum. Perlindungan fisik juga diperkuat dengan pemasangan sistem pemadam kebakaran yang rumit dan tim pemadam kebakaran yang terdiri dari penduduk untuk menghadapi bahaya kebakaran.
Dilema Ekonomi: Overtourism dan Kebocoran Pendapatan (The Weakened Soul)
Meskipun Shirakawa-go berhasil mempertahankan struktur fisiknya, desa ini menghadapi tekanan serius yang mengancam keberlanjutan sosial dan ekonominya. Pada tahun 2019, desa ini dikunjungi oleh sekitar 2.15 juta turis, yang menyebabkan masalah serius seperti kemacetan lalu lintas, sampah, dan penggunaan toilet yang berlebihan (overtourism).
Yang lebih krusial, pariwisata dengan volume tinggi ini ternyata “tidak memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian lokal”. Analisis mendalam menunjukkan adanya revenue leakage (kebocoran pendapatan) yang signifikan, karena tidak adanya mekanisme yang efektif untuk menyalurkan pengeluaran turis langsung ke komunitas lokal.
Kesenjangan antara perlindungan arsitektur yang sukses (Preservation) dan lemahnya ekonomi komunitas (Income Leakage) ini mencerminkan kegagalan dalam menerapkan prinsip distribusi manfaat CBT yang efektif. Warisan Budaya (aset inti) berhasil dilindungi oleh regulasi, tetapi manfaat ekonominya diserap oleh pihak luar atau hilang dalam sistem fiskal yang tidak langsung. Masalah ini memperparuk tantangan lokal lainnya, seperti penuaan populasi dan kekurangan tenaga kerja, mengancam tujuan strategis desa untuk menjadi tempat tinggal yang berkelanjutan.
Respon Kebijakan dan Mitigasi Fiskal
Sebagai respons, desa Shirakawa-go telah mengadopsi strategi komprehensif yang bertujuan membangun desa yang berkelanjutan melalui pariwisata. Desa ini secara aktif mempromosikan konsep Responsible Tourism, mendesak wisatawan untuk menghormati kehidupan sehari-hari hampir 500 penduduk yang masih tinggal di sana, menekankan bahwa desa tersebut bukanlah taman hiburan tetapi warisan hidup.
Pada tingkat regional dan nasional, Jepang sedang mempertimbangkan mekanisme fiskal untuk mengatasi overtourism, termasuk peningkatan pajak keberangkatan dan pajak akomodasi. Langkah-langkah ini menunjukkan pengakuan bahwa solusi kebocoran pendapatan dan manajemen dampak memerlukan intervensi kebijakan fiskal yang lebih luas dan cerdas, yang hasilnya kemudian dapat dialokasikan untuk upaya mitigasi dan pelestarian di destinasi Warisan Dunia.
Studi Kasus 3: Zaanse Schans, Belanda – Model Rekreasi Warisan (Komodifikasi Maksimal)
Tujuan dan Realitas Destinasi Warisan Buatan
Zaanse Schans di Belanda berfungsi sebagai destinasi warisan yang menawarkan gambaran masa kejayaan wilayah Zaan sebelum Revolusi Industri. Tujuan awalnya adalah untuk melestarikan konstruksi kayu tradisional wilayah Zaan, yang terefleksi dalam desa bersejarah yang indah dengan kincir angin ikonik di sepanjang tepi Sungai Zaan.
Zaanse Schans beroperasi sebagai area rekreasi warisan, di mana pengunjung dapat menyaksikan demonstrasi kerajinan tangan tradisional, seperti pengecoran timah, pembuatan laras kayu, dan produksi minyak atau mustard di kincir angin yang masih berfungsi. Tempat ini menyediakan pengalaman terstruktur, termasuk tiket masuk dan Zaanse Schans Card untuk mengakses museum dan demonstrasi kerajinan.
Analisis Otentisitas dan Kritik Tourist Trap
Meskipun secara visual menarik dan ikonik, Zaanse Schans sering menghadapi kritik tajam terkait otentisitasnya. Beberapa pengamat mengklaim bahwa desa ini sama sekali tidak otentik (in no way authentic) dan menganggapnya sebagai tourist trap yang sangat ramai.
Kegagalan Zaanse Schans dalam mempertahankan “jiwa” warisannya adalah karena modelnya lebih memprioritaskan citra visual dan demonstrasi komersial (seperti toko suvenir, makanan, dan latar belakang foto yang sempurna) daripada lived heritage—warisan yang benar-benar dihidupi oleh komunitas yang utuh. Ini adalah lingkungan yang sangat dikomodifikasi di mana pengalaman masa lalu direkonstruksi dan diubah menjadi serangkaian objek dan jasa yang dapat dibeli, menunjukkan kontrol komunitas yang minim atas narasi otentik.
Berbeda dengan Shirakawa-go yang menekankan bahwa mereka bukan taman hiburan, Zaanse Schans dioperasikan dengan logika komersial yang serupa dengan taman rekreasi warisan. Hal ini menempatkan Zaanse Schans pada ujung spektrum komodifikasi, di mana nilai ekonomi telah mengungguli nilai intrinsik dan otentisitas budaya.
Strategi Pengelolaan dan Keseimbangan Komersialisasi
Menyadari dampak dari volume pengunjung yang tinggi, Zaanse Schans telah mengambil langkah-langkah pengelolaan. Tujuan dari pengelolaan baru, termasuk pengenalan biaya masuk (entry fee), adalah untuk memberikan pengalaman turis yang lebih baik sambil melestarikan sejarah budaya. Strategi ini dirancang untuk mengakomodasi pergeseran modern dalam pariwisata, melindungi keindahan dan sejarah desa dari risiko kerusakan.
Pengenalan biaya masuk dalam kasus Zaanse Schans dapat dilihat sebagai tindakan reaktif untuk memonetisasi akses ke pengalaman buatan dan mengelola keramaian, daripada sebagai struktur proaktif yang dirancang untuk pelestarian aset inti atau pemerataan pendapatan komunitas lokal, seperti yang terlihat pada model land-lease di Maasai Mara.
Analisis Komparatif: Mempertahankan Integritas Budaya (Menjaga “Jiwa”)
Perbandingan Struktur Tata Kelola dan Kontrol Komunitas
Tiga studi kasus ini mewakili spektrum yang berbeda dalam penerapan CBT dan pengelolaan warisan, khususnya dalam hal siapa yang memegang kontrol dan bagaimana pendapatan dihasilkan.
Model Maasai Mara berfokus pada Preservasi Berbasis Aset, di mana kontrol ekonomi dialihkan langsung kepada pemilik lahan melalui kontrak tetap (sewa lahan). Struktur konservansi adalah tata kelola yang terintegrasi antara komunitas dan operator pariwisata. Tujuan utamanya adalah keberlanjutan ekologis.
Shirakawa-go beroperasi di bawah Pelestarian Berbasis Institusi (Trust), yang memberikan kontrol yang sangat kuat atas aspek fisik arsitektur dan lingkungan desa, dengan mandat yang didukung oleh UNESCO. Namun, kontrol ini tidak selalu diterjemahkan menjadi kontrol ekonomi yang efektif bagi penduduk lokal, yang menyebabkan kebocoran pendapatan.
Zaanse Schans mewakili Rekreasi Warisan Komersial, dengan kontrol yang didominasi oleh manajemen komersial atau organisasi warisan, menghasilkan kritik karena kehilangan otentisitas (jiwa).
Keseimbangan pendapatan dan pelestarian secara fundamental bergantung pada pengendalian atas sumber daya inti. Di Maasai Mara, sumber daya intinya adalah lahan konservasi, yang dikontrol melalui perjanjian sewa. Di Shirakawa-go, sumber daya intinya adalah arsitektur Gassho Zukuri dan lingkungan desa, yang dikontrol oleh badan perwalian. Ketika kontrol atas sumber daya inti dialihkan, risiko kehilangan “jiwa” meningkat tajam.
Tabel 1 menyajikan perbandingan model tata kelola dan keseimbangan pendapatan-pelestarian di tiga studi kasus ini.
Table 1: Perbandingan Model Tata Kelola dan Keseimbangan Pendapatan-Pelestarian
| Kriteria Perbandingan | Maasai Mara (Kenya) | Shirakawa-go (Jepang) | Zaanse Schans (Belanda) |
| Fokus Utama Pelestarian | Ekosistem & Satwa Liar | Arsitektur & Lingkungan Fisik | Citra Ikonik & Kerajinan |
| Mekanisme Ekonomi Primer | Land-Lease Agreements (Pendapatan Tetap) | Trust Fund (Modal Dasar), Biaya Akomodasi/Museum | Biaya Masuk/Kartu Akses (Komersial) |
| Struktur Tata Kelola | Konservansi (Pemilik Lahan/Komunitas) | Badan Perwalian Warisan Dunia (Trust) | Manajemen Korporasi/Organisasi Warisan |
| Kritik Terhadap ‘Jiwa’ | Konflik Manusia-Satwa, Ketergantungan Ekonomi | Overtourism, Kebocoran Pendapatan | Kehilangan Otentisitas, Tourist Trap |
| Kategori Model | Preservation-Centric CBT | Institutionally-Managed Heritage | Commercial Heritage Recreation |
Strategi Pencegahan Komodifikasi dan Pembatasan Akses
Untuk desa adat yang ingin mempertahankan integritas budaya mereka, seperti menjaga “jiwa,” diperlukan kontrol sosial-kultural yang lebih ketat daripada sekadar kontrol operasional. Contoh dari komunitas adat lain, seperti Kampung Naga, menunjukkan strategi pengelolaan berbasis nilai (value-based tourism management) di mana aspek ekonomi diimbangi dengan menjaga kesakralan.
Strategi ini mencakup penerapan pembatasan ketat bagi wisatawan, seperti pembatasan jam kunjungan, larangan menginap di dalam kawasan adat, dan secara tegas melarang akses ke area dan aktivitas ritual tertentu (misalnya, lokasi pemujaan leluhur). Pembatasan ini adalah mekanisme krusial untuk mencegah degradasi makna budaya, memastikan bahwa nilai intrinsik (kesakralan) dipertahankan di atas nilai ekonomi (potensi pendapatan dari ritual yang dipamerkan).
Selain itu, integrasi kearifan lokal (local knowledge) harus berpusat pada inti pengalaman otentik. Sebagai contoh, dalam kasus Petirtaan Kanto Lampo, kearifan lokal tentang kesakralan air dan ritual melukat dikomunikasikan sebagai daya tarik unik yang dicari oleh wisatawan yang mencari pengalaman spiritual, alih-alih hanya menjadi objek pameran. Ketika pariwisata didukung oleh modal sosial, seperti nilai-nilai toleransi dan kepedulian yang mendahulukan kepentingan bersama, kualitas hidup masyarakat secara sosial dan ekonomi akan membaik.
Tabel 2 mengilustrasikan mekanisme mitigasi untuk tantangan komodifikasi budaya dan penguatan integritas budaya (“jiwa”) dalam CBT.
Table 2: Mekanisme Mitigasi Komodifikasi Budaya dan Penguatan “Jiwa”
| Tantangan Komodifikasi | Mekanisme Mitigasi Kunci (Kontrol) | Implikasi Terhadap Jiwa Desa | Referensi Kasus |
| Komersialisasi Ritual & Ruang Sakral | Pembatasan Kunjungan, Larangan Dokumentasi, Kontrol Adat atas Area Inti. | Menjaga kesakralan dan keseimbangan spiritual, mencegah degradasi makna budaya. | Kampung Naga |
| Erosi Struktur Sosial | Partisipasi 100% masyarakat dalam pengambilan keputusan, pemerataan manfaat ekonomi tetap. | Mempertahankan ikatan sosial (modal sosial) dan kepedulian masyarakat untuk membangun desa. | Maasai Mara |
| Degradasi Nilai Arsitektur | Pengawasan teknis oleh badan perwalian, penggunaan bahan dan teknik perbaikan tradisional wajib. | Memastikan arsitektur adalah warisan hidup yang digunakan, bukan museum mati. | Shirakawa-go |
| Pengalaman yang Tidak Otentik | Integrasi kearifan lokal sebagai narasi utama, bukan hanya elemen tambahan (non-dekoratif). | Memastikan wisatawan berinteraksi dengan proses budaya, bukan hanya mengkonsumsi visualnya. | Kanto Lampo |
Kesimpulan
Analisis komparatif model CBT di Maasai Mara, Shirakawa-go, dan Zaanse Schans mengungkapkan bahwa keberhasilan dalam mempertahankan “jiwa” desa adat tidak ditentukan oleh volume turis, melainkan oleh struktur tata kelola dan mekanisme finansial yang diterapkan.
Model Maasai Mara menunjukkan bahwa keberlanjutan finansial dapat dicapai melalui strategi Preservation yang mengisolasi komunitas dari volatilitas pasar pariwisata, yaitu melalui pembayaran sewa lahan tetap. Mekanisme ini memberikan insentif ekonomi yang kuat untuk konservasi dan secara efektif menghilangkan tekanan untuk mengembangkan overtourism.
Sebaliknya, kasus Shirakawa-go menyoroti paradoks Warisan Dunia: perlindungan arsitektur fisik yang sukses (berkat Trust dan regulasi UNESCO) dapat terjadi bersamaan dengan kegagalan distribusi manfaat ekonomi (revenue leakage). Hal ini menunjukkan bahwa struktur kelembagaan yang kuat untuk pelestarian fisik tidak secara otomatis menjamin pemberdayaan ekonomi komunitas lokal.
Adapun Zaanse Schans menunjukkan risiko tertinggi komodifikasi, di mana prioritasi pada rekreasi warisan dan komersialisasi citra ikonik telah menyebabkan kritik terhadap hilangnya otentisitas, menandakan bahwa pariwisata berbasis Income Growth tanpa kontrol budaya yang efektif cenderung mengorbankan integritas sosial-kultural.
Rekomendasi Kebijakan (Blueprint for Living Tradition)
Berdasarkan temuan di atas, direkomendasikan tiga pilar kebijakan utama untuk memastikan bahwa desa adat dapat mengubah rumah mereka menjadi destinasi wisata tanpa kehilangan integritas:
Penguatan Tata Kelola Aset (Land Tenure)
Desa adat yang memiliki aset inti yang dapat dikuantifikasi (lahan, ekosistem) harus didorong untuk mengadopsi model berbasis sewa lahan atau kompensasi tetap, meniru keberhasilan Maasai Mara. Model ini mengubah aset lingkungan dan budaya menjadi sumber pendapatan yang terjamin, memberikan kompensasi biaya peluang bagi komunitas untuk menahan diri dari praktik yang merusak lingkungan atau budaya.
Mekanisme Fiskal Anti-Leakage dan Tata Kelola Keuangan Lokal
Untuk mengatasi masalah kebocoran pendapatan seperti yang dialami Shirakawa-go, diperlukan implementasi pajak pariwisata lokal yang langsung dialokasikan ke badan perwalian/trust yang dikontrol oleh penduduk. Mekanisme ini harus dirancang untuk memberikan insentif dan reward langsung kepada daerah yang berhasil menciptakan sustainable tourism. Dana ini harus secara transparan digunakan untuk pelestarian budaya, infrastruktur mitigasi overtourism (sampah, transportasi), dan proyek kesejahteraan komunitas.
Regulasi Otentisitas dan Kontrol Sosio-Kultural
Kebijakan harus melampaui pelestarian fasad fisik dan harus secara eksplisit mendukung kriteria yang mengukur integritas proses budaya, bukan hanya visual atau rekonstruksi. Harus ditegaskan bahwa komunitas adat memiliki hak penuh untuk menerapkan batasan yang ketat, termasuk larangan akses ke ritual dan ruang sakral. Strategi ini memastikan bahwa wisatawan berinteraksi dengan kearifan lokal sebagai inti pengalaman , mencegahnya menjadi elemen dekoratif yang dikomodifikasi, sehingga mempertahankan “jiwa” desa. Implementasi Responsible Tourism harus didukung oleh kebijakan lokal yang koersif untuk memastikan kepatuhan turis terhadap tata krama kehidupan sehari-hari penduduk.
Agenda Penelitian Masa Depan
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak jangka panjang dari ketergantungan ekonomi pada pariwisata di Maasai Mara, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dan dampak kekeringan berkepanjangan pada ketersediaan padang rumput dan pergerakan satwa liar. Selain itu, evaluasi terhadap efektivitas kebijakan fiskal baru yang direncanakan oleh pemerintah Jepang, seperti peningkatan pajak keberangkatan dan pajak akomodasi , dalam mengatasi overtourism dan kebocoran pendapatan di destinasi Warisan Dunia seperti Shirakawa-go akan sangat penting untuk perumusan kebijakan pariwisata berkelanjutan global.


