Kedaulatan Teknologi: Menyeimbangkan Otonomi Strategis Dan Ekonomi Digital Global
Latar Belakang Geopolitik: Dari Globalisasi Digital ke Fragmentasi Digital
Perkembangan teknologi digital telah menempatkan sektor ini di jantung persaingan ekonomi dan geopolitik internasional. Dalam dekade terakhir, dunia menyaksikan pergeseran kekuatan yang signifikan, didorong oleh akselerasi inovasi digital dan adopsi teknologi secara masif. Teknologi, khususnya yang bersifat mendasar seperti Kecerdasan Buatan (AI), infrastruktur cloud, dan semikonduktor, kini menjadi arena utama perebutan hegemoni global. Persaingan ini semakin nyata terutama antara Amerika Serikat (AS), Tiongkok, dan ambisi Uni Eropa (UE) untuk mendapatkan otonomi strategis.
Ketergantungan historis negara-negara, termasuk di Eropa dan Asia, pada platform dan infrastruktur yang didominasi oleh perusahaan raksasa AS (Silicon Valley) telah memicu respons strategis berupa tuntutan kemandirian digital. Fenomena ini disebut sebagai Kedaulatan Teknologi (Tech Sovereignty), sebuah konsep yang berkembang melampaui sekadar regulasi data dan memasuki ranah kebijakan industri, keamanan nasional, serta pembinaan inovasi. Pengejaran kedaulatan ini terjadi di tengah konteks krisis geopolitik global yang menyebabkan disrupsi pada rantai pasok dan mendorong negara-negara besar untuk fokus pada kemandirian strategis dalam bahan baku penting, yang turut mempercepat fragmentasi perdagangan digital.
Definisi Kunci dan Diferensiasi Konseptual
Kedaulatan di ruang digital merupakan konsep berlapis yang perlu didefinisikan secara hati-hati karena sering kali digunakan secara bergantian.
- Kedaulatan Teknologi (Tech Sovereignty): Ini adalah konsep yang paling luas dan ambisius. Kedaulatan teknologi merujuk pada kapasitas suatu negara untuk mengakses, mengembangkan, menguasai, dan mengadopsi teknologi digital kunci—seperti AI, cloud, atau semikonduktor—untuk menjamin otonomi strategisnya, tanpa ketergantungan material pada entitas asing. Kedaulatan ini tidak hanya mencakup aspek regulasi, tetapi juga menuntut fostering entrepreneurship dan funding innovation domestik.
- Kedaulatan Data (Data Sovereignty): Konsep ini fokus pada kontrol hukum atas lokasi penyimpanan, pemrosesan, dan transfer data. Ia erat kaitannya dengan data residency (data disimpan di negara yang berbeda dari tempat data dihasilkan) dan data localization (tindakan mematuhi semua undang-undang terkait residensi data). Dirjen Aptika Kominfo Indonesia menekankan bahwa salah satu pendekatan kedaulatan negara di ruang siber adalah melalui data localization policies, yang mewajibkan data tidak dipertukarkan dan hanya dapat berada di dalam negeri, atau sebaliknya, menjamin efektivitas pengawasan dan penegakan hukum.
- Kedaulatan Siber (Cyber Sovereignty): Konsep ini berfokus pada kontrol negara terhadap infrastruktur jaringan, pengawasan, dan penegakan hukum di ruang digital. Kedaulatan siber mencakup kemampuan untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang efektif, terlepas dari lokasi fisik data. Semakin meluasnya penggunaan internet telah mendorong negara untuk memberlakukan kebijakan pengendalian terhadap infrastruktur dan data yang mengalir di dunia maya.
Kedaulatan Teknologi (TS) muncul sebagai respons terhadap keterbatasan Kedaulatan Data (DS) dan Kedaulatan Siber (CS) tradisional. Kontrol yurisdiksi atas data (DS) menjadi kurang efektif jika teknologi inti (seperti platform cloud atau AI) dan operasionalnya masih berada di bawah kendali tidak langsung atau langsung entitas asing. Oleh karena itu, TS adalah agenda yang lebih ambisius, yang mengintegrasikan aspek hukum, infrastruktur, dan ekonomi untuk mencapai otonomi sejati.
Berikut adalah tabel yang merangkum perbedaan kunci antara ketiga konsep kedaulatan di ruang siber:
Tabel I: Perbedaan Kunci Konsep Kedaulatan di Ruang Siber (Sovereignty in Cyberspace)
| Konsep Kedaulatan | Fokus Utama | Dimensi Kontrol | Contoh Regulasi/Inisiatif |
| Kedaulatan Siber | Infrastruktur jaringan, keamanan, dan penegakan hukum di ruang digital. | Pengendalian alur informasi dan akses terhadap infrastruktur kritis. | UU ITE, Kewenangan Otoritas Siber Nasional. |
| Kedaulatan Data | Lokasi penyimpanan, pemrosesan, dan transfer data warga negara. | Yurisdiksi hukum dan lokasi fisik data (Data Residency). | GDPR, UU PDP, Data Localization Policies. |
| Kedaulatan Teknologi | Kemampuan strategis untuk menciptakan, menguasai, dan mengadopsi teknologi kritis. | Investasi R&D, Pengembangan Platform Lokal, Kemandirian Pasokan. | DMA/DSA (UE), Strategi AI Nasional (Indonesia), Dual Circulation (Tiongkok). |
Pendorong Strategis Kedaulatan Teknologi Nasional
Pengejaran Kedaulatan Teknologi didorong oleh konvergensi tiga kepentingan nasional yang kritis: Keamanan, Ekonomi, dan Hukum/Sosial.
Motivasi Keamanan Nasional dan Resiliensi Rantai Pasok
Ketergantungan pada teknologi asing secara langsung menimbulkan risiko keamanan dan stabilitas strategis. Ketergantungan ini, terutama dalam sektor energi atau infrastruktur kritis lainnya, rentan terhadap serangan siber dari negara pemasok atau pihak ketiga, yang dapat mengancam keamanan nasional. Oleh karena itu, membangun resiliensi rantai pasok menjadi prioritas utama.
Dalam konteks geopolitik saat ini, di mana konflik (seperti di Ukraina dan Laut Cina Selatan) mengganggu rantai pasok fisik global , negara menyamakan ketergantungan pada semikonduktor atau cloud service asing dengan kerentanan energi atau pangan. Kedaulatan teknologi oleh karena itu merupakan strategi pertahanan yang bertujuan melakukan decoupling digital strategis. Contoh ekstrem dari upaya kemandirian strategis ini terlihat di Tiongkok, yang secara eksplisit melarang penggunaan chip AI asing di pusat data yang didanai negara. Tindakan ini merupakan langkah konkret untuk mengurangi ketergantungan teknologi demi otonomi dan keamanan nasional.
Selain itu, kebijakan data localization dan sovereign cloud juga dirancang untuk memitigasi risiko pengawasan asing. Dengan menyimpan data di wilayah hukum nasional, risiko akses tanpa persetujuan oleh badan intelijen asing—seperti yang diizinkan oleh kerangka hukum tertentu di negara asal Big Tech (misalnya, FISA Section 702 AS)—dapat ditekan secara signifikan. Hal ini memastikan bahwa data warga negara berada dalam jangkauan otoritas nasional dan memungkinkan pengawasan yang lebih efektif.
Motivasi Ekonomi dan Kontrol Nilai
Meskipun perkembangan teknologi internet memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dominasi raksasa teknologi asing juga menimbulkan ancaman terhadap kedaulatan kontrol ekonomi suatu negara di dunia maya. Tantangan yang muncul mencakup erosi basis pajak, disrupsi pasar tenaga kerja akibat gig economy, dan dominasi gatekeepers yang menghambat persaingan lokal.
Oleh karena itu, kebijakan Kedaulatan Teknologi bertujuan untuk mendorong percepatan dukungan bagi startup dan inovator digital lokal, serta mengintegrasikan kebijakan digital dengan agenda pembangunan nasional. Langkah ini sejalan dengan semangat membangun resiliensi ekonomi domestik yang berpijak pada kekuatan sendiri, yang juga menjadi fokus visi pembangunan jangka panjang seperti “Indonesia Emas 2045”.
Di Indonesia, kebijakan seperti pengembangan sistem pembayaran digital nasional QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional), meskipun menuai kritik dari pihak asing (seperti AS) yang menudingnya sebagai bentuk proteksionisme digital, secara internal dipandang sebagai langkah penting untuk menjaga kedaulatan teknologi dan ekonomi. Kebijakan ini memastikan bahwa arus nilai dan transaksi keuangan tetap berada di bawah kendali dan standar nasional.
Motivasi Hukum dan Perlindungan Data Pribadi
Kepentingan hukum didorong oleh kebutuhan mendesak untuk melindungi hak-hak individu dan menjamin yurisdiksi hukum. Regulasi data yang ketat seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) di Indonesia menunjukkan upaya untuk melindungi data pribadi dari penyalahgunaan dan pelanggaran privasi.
Kedaulatan data memastikan data yang tersimpan di wilayah yurisdiksi nasional (misalnya Indonesia) berada dalam jangkauan otoritas hukum setempat, yang memungkinkan pengawasan dan penegakan hukum yang lebih efektif oleh Otoritas PDP dan lembaga penegak hukum. Selain itu, pengendalian data lintas batas menuntut kepatuhan terhadap standar internasional (misalnya ISO/IEC 27018, 27701) untuk menjamin keamanan dan privasi, terutama di layanan public cloud.
Tabel II: Matriks Motivasi Kedaulatan Teknologi
| Motivasi Utama | Tujuan Operasional | Risiko yang Dimitigasi | Contoh Kebijakan (Global) |
| Keamanan Nasional | Kemandirian Rantai Pasok dan Infrastruktur Kritis. | Serangan siber oleh aktor negara, pengawasan asing, risiko single point of failure. | Pembatasan chip asing (China) , Kebutuhan Neucentrix (Indonesia). |
| Ekonomi Digital | Kontrol Arus Nilai, Inovasi Lokal, dan Pengendalian Pasar. | Erosi basis pajak, dominasi gatekeepers asing, kurangnya penciptaan lapangan kerja teknologi lokal. | DMA (UE) , Dukungan Startup Lokal (GOTO) , QRIS/GPN (Indonesia). |
| Hukum & Sosial | Perlindungan Data Pribadi dan Yurisdiksi Hukum. | Pelanggaran privasi, ketidaksetaraan hukum, kesulitan penegakan hukum lintas batas. | GDPR (UE) , Data Localization Policies (Indonesia). |
Studi Kasus Komparatif I: Strategi Regulasi Uni Eropa (The Brussels Effect)
Uni Eropa (UE) telah mengambil posisi terdepan dalam pengejaran Kedaulatan Teknologi global, utamanya dengan memanfaatkan kekuatan pasarnya untuk menetapkan standar regulasi yang mengikat perusahaan teknologi asing, sebuah fenomena yang dikenal sebagai The Brussels Effect. UE secara eksplisit menyatakan tujuannya untuk menjadi entitas yang berdaulat dan otonom secara digital, menyadari ketergantungan historisnya pada raksasa teknologi AS.
Pilar Pengendalian Pasar: Digital Markets Act (DMA) dan Digital Services Act (DSA)
Inti dari strategi otonomi digital UE adalah dua regulasi utama yang berfokus pada pengendalian pasar dan akuntabilitas platform. Digital Markets Act (DMA) bertujuan untuk memecah konsentrasi kekuatan dalam dunia teknologi dan mencegah praktik tidak adil yang dilakukan oleh gatekeepers digital. Regulasi ini, bersama dengan upaya persaingan hukum yang lebih umum, berupaya meregulasi arsitektur pasar digital, menggeser kontrol dari tangan perusahaan asing ke ranah yurisdiksi Eropa.
Sementara itu, Digital Services Act (DSA) menyediakan kerangka kerja yang harmonis untuk mengatasi berbagai kerugian online (terutama konten ilegal) sambil melindungi hak-hak fundamental pengguna. DSA berfokus pada peningkatan akuntabilitas platform, khususnya Very Large Online Platforms (VLOPs), dalam proses moderasi konten. Bersama-sama, DMA dan DSA merupakan kebijakan industri yang disamarkan sebagai perlindungan konsumen, berfungsi sebagai hambatan non-tarif (NTB) yang strategis terhadap raksasa teknologi AS.
Kedaulatan Data Inti: General Data Protection Regulation (GDPR)
Jauh sebelum DMA dan DSA, General Data Protection Regulation (GDPR) telah menjadi instrumen paling berpengaruh dalam mewujudkan kedaulatan data di UE. Regulasi ini menetapkan standar global yang ketat, sejalan dengan undang-undang serupa di yurisdiksi lain, seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) di Indonesia.
GDPR secara fundamental memperkuat kendali Eropa melalui peraturan transfer data lintas batas (Cross-Border Transfer atau CBT). GDPR menetapkan bahwa data pribadi internasional hanya dapat ditransfer ke negara yang dinilai memiliki “adequate level of protection” atau perlindungan yang setara atau lebih tinggi. Mekanisme ini membatasi transfer data secara bebas ke yurisdiksi, seperti AS, yang memiliki kerangka pengawasan yang berbeda secara mendasar, sehingga secara efektif memberikan kendali hukum atas data warga negara Eropa meskipun data tersebut berada di luar wilayah fisik UE.
Kritik dan Dilema Inovasi (The Regulatory Paradox)
Meskipun DMA dan DSA secara eksplisit bertujuan untuk membatasi kekuatan Big Tech, terdapat kritik yang menyatakan bahwa regulasi yang kompleks ini justru dapat memperkuat posisi dominan intermediaris yang sudah ada. Kepatuhan terhadap kerangka regulasi yang rumit, terutama bagi VLOPs, memerlukan sumber daya finansial dan teknis yang besar. Sumber daya ini jauh lebih mudah dipenuhi oleh perusahaan raksasa asing daripada startup Eropa yang lebih kecil, sehingga berpotensi menciptakan efek anti-persaingan dan menghambat inovasi teknologi.
Selain itu, regulasi yang semakin luas dan beragam antarnegara berpotensi menambah beban biaya kepatuhan bagi perusahaan internasional, termasuk perusahaan Indonesia yang memiliki pengguna di Eropa. Meskipun demikian, Uni Eropa telah menunjukkan bahwa dengan tidak memiliki dominasi teknologi hardware atau platform (infrastruktur cloud masih didominasi raksasa AS ), kekuatan terbesarnya adalah kemampuan untuk mendikte standar dan aturan main global. Kedaulatan cloud di UE saat ini lebih merupakan lapisan regulasi daripada infrastruktur mandiri total, menggunakan hukum (GDPR dan DMA) sebagai senjata untuk memaksakan kontrol atas platform yang secara fisik berada di bawah kendali AS.
Tabel III: Instrumen Kedaulatan Regulasi Uni Eropa
| Regulasi | Fokus Primer | Target Kedaulatan | Dampak Geopolitik |
| GDPR | Perlindungan Data Pribadi (PDB) dan Transfer Lintas Batas (CBT). | Kedaulatan Data dan Yurisdiksi Hukum. | Menetapkan standar global (“Brussels Effect”) untuk adequate protection. |
| DMA | Regulasi Gatekeepers dan Persaingan Pasar Digital. | Kedaulatan Ekonomi dan Teknologi (Membatasi Dominasi Asing). | Menghadapi raksasa AS (Apple, Google, Amazon) secara langsung. |
| DSA | Moderasi Konten, Akuntabilitas Platform, dan Keamanan Online (Online Harm). | Kedaulatan Siber dan Sosial. | Mengatur aliran informasi dan tanggung jawab intermediaris. |
| EU AI Act | Standar Risiko dan Etika dalam Sistem AI. | Kedaulatan Teknologi (Penetapan Norma Global AI). | Mendorong Indonesia dan negara lain mengharmonisasikan regulasi AI dengan PDB. |
Studi Kasus Komparatif II: Strategi Mandiri Infrastruktur dan Platform (Asia)
Berbeda dengan Uni Eropa yang menekankan kekuatan regulasi, negara-negara Asia cenderung memprioritaskan pembangunan infrastruktur fisik, kemandirian produksi, dan promosi platform lokal sebagai jalur menuju Kedaulatan Teknologi.
Strategi China: Dual Circulation dan Kemandirian Produksi
Tiongkok menerapkan strategi ekonomi Dual Circulation, yang berfokus pada penguatan pasar domestik (internal circulation) sambil tetap terbuka pada kerja sama internasional yang selektif (external circulation). Dalam konteks teknologi, strategi ini berarti prioritas absolut pada pengembangan kemampuan teknologi domestik, terutama dalam area yang dianggap strategis.
Contoh paling jelas adalah upaya Tiongkok untuk mencapai kemandirian dalam produksi semikonduktor dan chip AI. Tiongkok secara agresif mendorong perusahaan teknologi dalam negeri untuk menggunakan chip AI buatan lokal dan bahkan melarang penggunaan chip AI asing di pusat data yang didanai negara. Langkah ini merupakan respons langsung terhadap pembatasan ekspor teknologi AS, mencerminkan upaya nyata untuk menghilangkan ketergantungan strategis pada teknologi Barat demi keamanan nasional dan otonomi teknologi total.
Strategi Indonesia: Resiliensi Ekonomi dan Infrastruktur Berdaulat
Indonesia mengejar Kedaulatan Teknologi melalui kombinasi regulasi (hukum) dan pengembangan infrastruktur (fisik), sejalan dengan Visi Indonesia Emas 2045 yang menekankan kemandirian ekonomi dan industrialisasi nasional.
- Kerangka Hukum: Pengesahan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) menandai langkah penting untuk memperkuat kendali hukum atas data, termasuk pengaturan transfer data pribadi lintas batas. UU PDP, yang memiliki prinsip serupa dengan GDPR, adalah fondasi hukum untuk menjamin yurisdiksi nasional atas data warga negara.
- Pembangunan Infrastruktur Digital: Indonesia menyadari perlunya mengurangi ketergantungan pada platform asing. Hal ini diwujudkan melalui dorongan pengembangan infrastruktur digital nasional, termasuk pusat data dalam negeri, sistem enkripsi lokal, dan platform digital buatan dalam negeri. Contoh konkret adalah pembangunan cloud lokal seperti Neucentrix oleh Telkom, serta rencana pembangunan Pusat Data Nasional oleh pemerintah.
- Kedaulatan Ekonomi Digital: Bank Indonesia telah menerbitkan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030, yang bertujuan menciptakan ekosistem keuangan digital yang efisien, inklusif, dan terintegrasi. Penguatan sistem pembayaran domestik (QRIS/GPN) adalah strategi penting untuk mengontrol arus nilai ekonomi di dalam negeri dan menjaga kedaulatan teknologi, meskipun tindakan ini sering dikritik sebagai bentuk proteksionisme digital oleh negara-negara yang ingin membuka pasar digital Indonesia.
- Kedaulatan AI Berkolaborasi: Pemerintah menunjukkan komitmen terhadap Kedaulatan Teknologi, khususnya AI, melalui inisiatif seperti AI Center of Excellence. Inisiatif ini berfokus pada empat strategi utama, termasuk pembangunan Infrastruktur AI Berdaulat. Namun, strategi Indonesia menunjukkan bahwa kedaulatan tidak selalu berarti isolasi total. Peluncuran pusat AI tersebut masih memerlukan kolaborasi dan dukungan teknologi dari pemain global seperti NVIDIA dan Cisco. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan teknologi di negara berkembang dicapai melalui kedaulatan berkolaborasi—yaitu, mendikte syarat penggunaan dan mengamankan kedaulatan operasional di atas infrastruktur yang mungkin masih asing, demi memastikan masyarakat menjadi kreator dan inovator, bukan sekadar konsumen teknologi.
Implikasi Global dan Risiko Fragmentasi (Splinternet)
Pengejaran kedaulatan teknologi oleh berbagai negara, meskipun didorong oleh motif yang sah (keamanan dan ekonomi), menghasilkan ketegangan struktural dalam tata kelola digital global yang mengancam keberlangsungan internet yang terbuka dan tunggal.
Konflik Ideologi dan Dilema Aliran Data
Saat ini, terjadi pertarungan ideologi dalam tata kelola aliran data global. Di satu sisi terdapat model aliran bebas yang diusung oleh AS, di sisi lain adalah model perlindungan hak individu yang menjadi fokus utama GDPR/UE, dan terakhir adalah model kedaulatan negara yang berujung pada kebijakan lokalisasi data yang ketat (misalnya di Tiongkok dan Indonesia).
Perbedaan mendasar dalam kerangka hukum ini, misalnya antara UU PDP Indonesia dan GDPR Eropa, menimbulkan tantangan implementasi yang signifikan dan menambah kompleksitas bagi perusahaan multinasional. Selain itu, isu perpajakan digital juga terus menjadi perdebatan utama di tengah upaya global seperti solusi dua pilar OECD/G20.
Risiko Splinternet (Fragmentasi Internet Global)
Risiko terbesar dari tren Kedaulatan Teknologi adalah terjadinya fragmentasi digital, yang dikenal sebagai Splinternet. Ini adalah skenario di mana lanskap digital global terpecah menjadi blok-blok yang tidak dapat beroperasi satu sama lain (non-interoperable). Jika negara-negara terus menerapkan kebijakan lokalisasi yang semakin ketat dan perbedaan regulasi yang mendalam, hal itu akan menghambat inovasi, terutama bagi teknologi yang sangat bergantung pada aliran data lintas batas yang masif, seperti AI dan Machine Learning.
Upaya untuk mencapai kedaulatan data nasional (melalui kebijakan lokalisasi) pada dasarnya mengorbankan efisiensi global. Perdagangan ini adalah pilihan geopolitik yang menentukan di era digital, di mana keamanan dan kontrol lebih diutamakan daripada potensi penuh perdagangan global yang tidak terbatas.
Kritik sebagai Proteksionisme Digital dan Biaya Kedaulatan
Kebijakan Kedaulatan Teknologi sering dikritik oleh mitra dagang asing sebagai proteksionisme digital. Langkah-langkah seperti tuntutan lokalisasi atau dukungan diskriminatif terhadap platform lokal (seperti QRIS/GPN) dipandang sebagai hambatan perdagangan yang terselubung oleh negara-negara yang mendominasi pasar digital.
Meskipun inovasi teknologi jelas mendorong pertumbuhan ekonomi , pengembangan infrastruktur dan platform lokal yang independen memerlukan investasi yang sangat besar (misalnya, miliaran yang diinvestasikan untuk pusat data Eropa). Biaya kepatuhan yang tinggi akibat regulasi yang beragam juga membebani ekosistem, terutama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) digital, menciptakan dilema antara keamanan nasional dan efisiensi pasar.
Strategi yang muncul dari pergulatan ini menunjukkan bahwa di masa depan, persaingan geopolitik akan semakin didasarkan pada siapa yang berhasil menetapkan standar dan aturan main global, bukan hanya siapa yang memiliki teknologi terbaik. Negara yang tidak memiliki skala teknologi besar (seperti UE dan Indonesia) harus memproyeksikan kekuatan melalui otoritas hukum, memaksa kepatuhan terhadap standar (misalnya GDPR atau standar ISO/IEC 27018) untuk mencapai otonomi digital.
Kesimpulan
Kedaulatan Teknologi adalah imperatif strategis yang muncul sebagai respons terhadap dominasi Big Tech asing dan meningkatnya ketegangan geopolitik. Kedaulatan ini tidak lagi hanya berbicara tentang data, tetapi tentang penguasaan teknologi inti dan infrastruktur yang mendukung ekonomi digital. Analisis ini menunjukkan bahwa ada dua jalur utama dalam mengejar kedaulatan: jalur regulasi ketat (UE) dan jalur kemandirian infrastruktur/produksi (Tiongkok/Indonesia).
Kedaulatan Teknologi harus dipandang sebagai tujuan yang dinamis, yang memerlukan keseimbangan yang hati-hati antara kebutuhan akan perlindungan data dan keamanan nasional (lokalisasi) dengan kebutuhan untuk mempertahankan inovasi dan kolaborasi global. Negara yang mampu bertahan dan maju adalah yang dapat mengoptimalkan disposisi uniknya—seperti Indonesia dengan populasi pasar yang besar dan tingkat adopsi teknologi yang tinggi —untuk membangun resiliensi ekonomi yang berpijak pada kekuatan sendiri. Kedaulatan sejati dicapai ketika suatu negara mampu mendikte syarat keterlibatannya dalam ekonomi digital global.
Berdasarkan analisis strategis terhadap kecenderungan global dan tantangan domestik, direkomendasikan beberapa langkah kebijakan untuk memperkuat Kedaulatan Teknologi Indonesia:
- Peningkatan Investasi R&D dan SDM: Perluasan investasi yang signifikan dalam riset dan pengembangan lokal serta peningkatan kualitas talenta digital, termasuk pendirian pusat riset keamanan siber, sangat penting untuk mengurangi ketergantungan teknologi asing. Dukungan terhadap startup dan inovator lokal harus diintegrasikan dalam strategi nasional.
- Harmonisasi Regulasi Data Lintas Batas: Mendorong kolaborasi internasional untuk menciptakan standar regulasi yang seimbang antara keamanan data dan inovasi teknologi, guna memitigasi risiko Splinternet. Pengendalian ruang siber dan data pribadi harus dimasukkan secara eksplisit dalam strategi nasional jangka panjang, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
- Penguatan Infrastruktur Berdaulat: Percepatan pembangunan Pusat Data Nasional dan konsep Sovereign Cloud harus menjadi prioritas utama untuk memastikan data pribadi dan pemerintahan berada dalam jangkauan otoritas nasional dan menekan risiko pengawasan asing. Strategi ini harus mencakup pengembangan Infrastruktur AI Berdaulat yang inklusif, meskipun melibatkan kemitraan strategis dengan pemain global untuk memastikan akses teknologi mutakhir.
- Diplomasi Digital Strategis: Pemerintah perlu mempertahankan prinsip-prinsip dasar kedaulatan nasional dalam negosiasi perdagangan digital (seperti kritik terhadap QRIS/GPN), namun harus mencari skema kompromi yang strategis untuk mengakomodasi kepentingan pengusaha asing tanpa mengorbankan keamanan nasional. Hal ini memastikan Indonesia memanfaatkan pasar besarnya sebagai daya tawar dalam penetapan standar global.

