Teknologi Bandara—Analisis Transformasi Perjalanan Internasional Melalui Biometrik, Pemindaian Otomatis, dan Kecerdasan Buatan
Pendahuluan: Kebutuhan Mendesak akan Transformasi Digital
Transformasi bandara modern kini bergerak melampaui konsep infrastruktur fisik semata. Definisi Bandara Cerdas (Smart Airport) merujuk pada pergeseran fundamental menjadi pusat operasional yang berbasis data dan terkoneksi (smart connected airports), yang dirancang untuk mengoptimalkan operasional dan meningkatkan pengalaman pengguna. Urgensi digitalisasi ini didorong oleh proyeksi industri yang ambisius; International Air Transport Association (IATA) memproyeksikan perjalanan udara akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2036, sebuah pertumbuhan yang tidak dapat ditangani oleh proses operasional dan instalasi fisik saat ini.
Pertumbuhan volume penumpang yang masif ini menuntut adopsi proses on-ground yang baru untuk mengoptimalkan penggunaan teknologi, ruang, dan sumber daya. Laporan ini berfokus pada analisis mendalam terhadap tiga pilar teknologi utama yang secara kolektif mempercepat dan mengubah pengalaman international traveler: Biometrik dan Identitas Digital, Pemindaian Otomatis Bagasi (CT Scanner), serta Otomatisasi Check-in yang didukung Kecerdasan Buatan (AI).
Kerangka Visi Global: IATA NEXTT dan One ID
Industri penerbangan, melalui kolaborasi antara IATA dan Airports Council International (ACI), telah meluncurkan inisiatif strategis untuk mengatasi tantangan pertumbuhan dan perkembangan ekspektasi pelanggan. Inisiatif ini dinamakan NEXTT (New Experience in Travel and Technologies).
NEXTT bertujuan untuk membantu mewujudkan masa depan perjalanan udara dengan mengembangkan visi bersama, mengoptimalkan penggunaan AI dan robotika, serta meningkatkan pembagian data antar pemangku kepentingan. Secara strategis, NEXTT mengajukan pertanyaan mendasar tentang apa yang sebenarnya perlu terjadi di lingkungan bandara dan proses apa yang dapat dialihkan untuk dilakukan di luar lokasi (off-site processing). Analisis ini menyiratkan perlunya pergeseran infrastruktur: investasi harus diprioritaskan pada sistem IT dan cloud-based processing untuk mengurangi waktu yang dihabiskan penumpang pada aset tetap (loket, pos pemeriksaan keamanan), sehingga bandara bertransformasi menjadi pusat koordinasi data yang efisien.
Selaras dengan visi NEXTT, IATA One ID merevolusi konsep identitas digital untuk mewujudkan Perjalanan Tanpa Kontak (Contactless Travel). Visi One ID adalah menciptakan pengalaman penumpang end-to-end yang aman, mulus, efisien, dan tanpa kontak, menempatkan penumpang sebagai pusat ekosistem.
One ID didasarkan pada dua pilar kunci :
- Digitalisasi Admisibilitas (Digitalization of Admissibility): Penumpang dapat memperoleh otorisasi pra-perjalanan dan membuktikan kelayakan masuk (admissibility) kepada maskapai secara digital sebelum kedatangan di bandara.
- Perjalanan Tanpa Kontak (Contactless Travel): Penumpang berbagi citra biometrik dan informasi perjalanan mereka di muka, memungkinkan mereka bergerak melalui titik-titik sentuh bandara tanpa perlu berulang kali menunjukkan dokumen fisik.
Konsep ini dirancang untuk menghilangkan proses berulang (seperti menunjukkan paspor atau boarding pass ke banyak pemangku kepentingan berbeda) yang tidak efisien dan tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.
Pilar 1: Biometrik dan Identitas Digital Lintas Batas (Face-as-Token)
Teknologi biometrik, khususnya pengenalan wajah (face recognition), adalah katalisator utama dalam mempercepat proses identifikasi dan memfasilitasi perjalanan lintas batas bagi international traveler.
Mekanisme Kerja Biometrik dalam Pemrosesan Internasional
Penerapan teknologi biometrik memungkinkan perjalanan tanpa kontak, di mana paspor fisik dan boarding pass secara progresif digantikan oleh wajah penumpang itu sendiri (Face-as-Token). Mekanisme kerjanya melibatkan kamera biometrik yang terintegrasi di gerbang keberangkatan (autogate) yang menangkap citra wajah penumpang. Gambar ini kemudian dikirim ke platform Traveler Verification Service (TVS) untuk dicocokkan dengan token wajah digital yang sebelumnya diperoleh oleh pihak imigrasi atau dari data paspor penumpang. Setelah identitas dikonfirmasi, gerbang akan terbuka, memungkinkan penumpang untuk melanjutkan perjalanan dengan cepat.
Penerimaan pengguna terhadap teknologi ini semakin meningkat. Survei IATA pada tahun 2021 menunjukkan bahwa 73% responden bersedia membagikan data biometrik mereka untuk memperlancar proses keberangkatan bandara, sebuah peningkatan signifikan dibandingkan angka 46% pada tahun 2019.
Dampak Kuantitatif pada Kecepatan dan Efisiensi
Efek dari adopsi biometrik terhadap efisiensi operasional terukur secara kuantitatif. Sistem Enhanced Passenger Processing (EPP), yang didukung oleh SITA dan terintegrasi dengan Traveler Verification Service milik US Customs and Border Protection (CBP), telah menunjukkan hasil yang substansial di bandara-bandara yang menggunakannya.
Data yang dikumpulkan dari implementasi sistem EPP menunjukkan dampak berikut terhadap proses kedatangan :
- Pemotongan Waktu Pemrosesan (Processing Time): Terjadi pemotongan waktu pemrosesan hingga 74% dibandingkan dengan prosedur kedatangan konvensional.
- Pengurangan Waktu Tunggu Total: Terdapat pengurangan waktu tunggu sebesar 25% di seluruh bandara yang menggunakan sistem EPP, termasuk Daniel K. Inouye International Airport (HNL) di Honolulu.
- Kecepatan Identifikasi: Sistem ini memungkinkan warga negara yang memenuhi syarat untuk diproses dalam waktu di bawah tiga detik.
Transformasi ini sangat penting karena tidak hanya berfokus pada kecepatan, tetapi juga peningkatan keamanan dan pencegahan penipuan. Negara-negara maju telah memimpin adopsi ini, seperti Australia yang menguji masuk internasional tanpa kontak menggunakan verifikasi wajah. Secara regulasi, Uni Eropa melalui Entry/Exit System (EES) yang akan berlaku pada tahun 2025 mewajibkan pendaftaran data biometrik bagi semua pelancong non-UE, langkah yang secara efektif menutup celah untuk pemalsuan paspor dan visa.
Tantangan Interoperabilitas, Keamanan, dan Privasi Data
Meskipun manfaat kecepatan yang luar biasa, implementasi biometrik menghadapi kompleksitas terkait interoperabilitas dan regulasi data lintas batas. Di luar aspek kecepatan, bagi otoritas pemerintah, teknologi ini menawarkan kemampuan strategis untuk menutup celah pemalsuan identitas, sebuah keuntungan signifikan dalam keamanan lintas batas yang melampaui manfaat kenyamanan bagi penumpang.
Terdapat kebutuhan yang jelas untuk mengelola data sensitif ini secara global. IATA telah mempromosikan inisiatif One ID yang didukung oleh Kerangka Kepercayaan Terbuka (Open Trust Framework) yang menggunakan model W3C Verifiable Credentials Data Model. Model ini penting untuk mencapai interoperabilitas dan mengatasi masalah privasi data, karena menyediakan kredensial digital yang tahan perusakan (tamper-evident) dan lebih terpercaya daripada dokumen fisik, memastikan data pribadi penumpang dilindungi dan hanya digunakan untuk tujuan verifikasi identitas.
Namun, isu koordinasi operasional tetap ada. Terdapat kasus di mana bandara, dalam upaya menghindari keterlambatan penerbangan, mengizinkan maskapai mem-bypass pemrosesan biometrik (misalnya, di Atlanta Hartsfield-Jackson International Airport). Ini menunjukkan adanya tegangan antara mandat keamanan maksimum dan tekanan efisiensi operasional, yang perlu diatasi melalui sistem yang terintegrasi penuh. Indonesia, melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta, telah merencanakan implementasi pengenalan wajah tahap awal di Security Check Point 2 (SCP 2) untuk keberangkatan domestik, menunjukkan langkah progresif menuju adopsi biometrik secara bertahap.
Untuk memberikan gambaran ringkas mengenai dampak percepatan proses, Tabel 1 merangkum data kuantitatif kinerja sistem biometrik.
Table 1: Dampak Kuantitatif Teknologi Biometrik pada Kecepatan Pemrosesan Internasional
| Proses Bandara | Metrik Kinerja (KPI) | Dampak Pengurangan Waktu | Keterangan Teknis/Sistem |
| Kedatangan Imigrasi | Waktu Pemrosesan | Pemotongan 74% | Enhanced Passenger Processing (EPP) System, SITA |
| Kedatangan Imigrasi | Waktu Tunggu Total | Pengurangan 25% | Bandara HNL (Honolulu) dengan EPP |
| Pemrosesan Identitas | Waktu per Traveler | Di bawah 3 detik | Traveler Verification Service (TVS) |
| Check-in Bagasi | Kecepatan Bag Drop | Secepat 10 detik | Self-Service Bag Drop (SSBD) |
Pilar 2: Revolusi Keamanan – Pemindaian Otomatis Bagasi (CT Scanner)
Sistem pemindaian dan deteksi adalah komponen vital dalam keamanan bandara, dan evolusi teknologi di area ini merupakan faktor penentu utama dalam mengurangi stres dan waktu tunggu bagi international traveler.
Transisi Teknologi Keamanan (Dari X-ray ke CT)
Keamanan bandara telah beralih dari mesin X-ray konvensional menuju sistem yang lebih canggih, seperti Pemindai Tomografi Terkomputerisasi (CT Scanner). CT scanner merupakan lompatan teknologi dari pemindai energi tunggal atau ganda sebelumnya. Keunggulan teknis utama dari CT scanner adalah kemampuannya untuk menampilkan gambar secara tiga dimensi (3D). Pencitraan 3D ini memungkinkan petugas keamanan untuk menganalisis konten tas dari berbagai sudut tanpa perlu melakukan inspeksi fisik yang mengganggu.
Pemindai CT canggih biasanya dilengkapi dengan Automated Threat Detection (ATD) dan Explosive Detection System (EDS) terintegrasi, yang memastikan pengukuran keamanan yang ditingkatkan dan skrining yang lebih cepat dan efisien.
Dampak Langsung pada Pengalaman Traveler Internasional
Dampak paling signifikan dari CT scanner adalah penghapusan persyaratan manual yang selama ini menjadi sumber frustrasi terbesar bagi penumpang. Pemeriksaan keamanan yang mewajibkan penumpang mengeluarkan perangkat elektronik (seperti laptop) dan cairan dari tas tangan dimulai pada tahun 2006 sebagai respons terhadap kekhawatiran ancaman terorisme. Namun, akurasi tinggi dan kemampuan 3D dari CT scanner modern telah membuat prosedur ini menjadi usang.
Di bandara yang telah mengadopsi Smart Security Screening menggunakan CT scanner, penumpang tidak diwajibkan mengeluarkan perangkat elektronik dan cairan dari tas tangan mereka. Transformasi ini menciptakan pengalaman pemeriksaan keamanan yang ‘anti-stres’.
Penghapusan langkah manual ini memiliki efek domino yang positif pada aliran penumpang. Waktu pemrosesan di Security Check Point (SCP) biasanya ditentukan oleh penumpang yang paling lambat. Dengan menghilangkan langkah yang paling rentan terhadap kelambatan dan kesalahan manusia (yaitu, mengeluarkan dan memasukkan kembali barang), sistem secara eksponensial mengurangi kemungkinan hambatan dan membuat antrean di gerbang masuk cepat terurai. Hal ini mendukung secara langsung visi IATA NEXTT untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan antrean.
Tabel 2 menyajikan studi kasus implementasi global yang memimpin revolusi keamanan ini.
Table 2: Matriks Transformasi Keamanan dengan CT Scanner (Smart Security)
| Bandara Internasional | Wilayah | Tahun Adopsi CT Screening | Perubahan Aturan Utama | Keuntungan Utama Pengalaman Penumpang |
| London Heathrow | Inggris | Februari 2024 | Tidak perlu mengeluarkan laptop dan cairan | Pemeriksaan anti-stress, pengurangan antrean SCP |
| Perth Airport | Australia | 2022 (Semua Terminal) | Tidak perlu mengeluarkan laptop dan cairan | Peningkatan throughput dan efisiensi alur |
| Munchen Intl. Airport | Jerman | 2021 (T1 & T2) | Tidak perlu mengeluarkan laptop dan cairan | Deteksi Ancaman Otomatis (ATD) 3D |
Pilar 3: Otomatisasi Check-in, Bag Drop, dan Peran Kecerdasan Buatan (AI)
Titik sentuh pertama penumpang internasional di bandara—proses check-in dan penyerahan bagasi—kini telah diubah oleh adopsi teknologi layanan mandiri (SST) dan Kecerdasan Buatan (AI).
Adopsi Teknologi Layanan Mandiri (SST)
Teknologi layanan mandiri di bandara telah memberdayakan penumpang, memberikan mereka kendali yang lebih besar atas perjalanan mereka. Kios self-service check-in memungkinkan penumpang menyelesaikan prosedur check-in dan mencetak boarding pass atau label bagasi secara mandiri.
Inovasi yang paling signifikan adalah Self-Service Bag Drop (SSBD). Solusi ini secara langsung mengatasi prosedur baggage check-in yang sering kali kritis dan memakan waktu. Data menunjukkan bahwa SSBD, seperti sistem Embross VelocityBagDrop (VBD), memungkinkan penumpang menyelesaikan penyerahan bagasi secepat 10 detik. Hal ini secara dramatis meningkatkan kapasitas terminal dan memberikan efisiensi operasional karena satu agen dapat mengelola banyak unit bag drop. Permintaan penumpang untuk SST juga tinggi; 80% penumpang menyatakan mereka akan lebih memilih untuk check bagasi jika mereka dapat memantaunya (misalnya, melalui electronic bag tag).
Kecerdasan Buatan (AI) dalam Keamanan dan Operasional
Integrasi AI meningkatkan fungsi SST dan keamanan tradisional. AI dapat menganalisis volume data yang sangat besar untuk mengidentifikasi pola yang mengindikasikan potensi ancaman secara real-time.
- AI untuk Keamanan: Sistem keamanan bertenaga AI dapat meningkatkan efisiensi proses skrining. Sistem pengenalan otomatis dapat memindai penumpang dan barang dengan cepat, mengurangi waktu tunggu, dan meningkatkan keselamatan melalui penilaian ancaman real-time.
- AI untuk Manajemen Operasional (Smart Airport): Peran AI dalam manajemen operasional mengubah bandara dari sistem yang reaktif menjadi model yang proaktif dan berbasis data. Data dari SST, biometrik, dan pemindaian CT, ketika dianalisis oleh AI, menjadi masukan real-time bagi Airport Operations Control Center (AOCC). Pemanfaatan ini memungkinkan analisis prediktif, yang menjadi kunci untuk otomatisasi keputusan manajerial di masa depan, selaras dengan tujuan IATA/ACI untuk menghilangkan antrean sama sekali dengan mengoptimalkan penggunaan sumber daya secara efisien. Ini merupakan pergeseran dari otomatisasi statis menjadi manajemen operasional yang dinamis dan terhubung.
Peran Teknologi Komplementer
Selain biometrik dan AI, teknologi komplementer seperti Radio Frequency Identifier (RFID) menawarkan kecepatan identifikasi objek yang unggul, berpotensi mengurangi antrian check-in yang berkepanjangan pada masa puncak. Lebih jauh, konvergensi teknologi ini didukung oleh Internet of Things (IoT), di mana perangkat pintar saling terhubung untuk memastikan setiap proses, dari check-in hingga boarding, berjalan mulus. Visi ke depan adalah menciptakan bandara yang tidak hanya pintar, tetapi juga terkoneksi secara cerdas (smart connected airports).
Analisis Dampak dan Hambatan Implementasi Lanjutan
Transformasi teknologi di bandara secara fundamental telah meningkatkan kinerja operasional dan kepuasan pelanggan, namun implementasi penuh menghadapi tantangan struktural dan faktor manusia yang signifikan.
Peningkatan Kepuasan Penumpang dan Kinerja Operasional
Penelitian telah mengonfirmasi adanya hubungan yang sangat kuat antara kualitas pelayanan dan fasilitas digital terhadap tingkat kepuasan penumpang. Dengan memotong waktu pemrosesan secara dramatis (74% di imigrasi kedatangan), teknologi ini secara langsung menjawab atribut kunci yang menentukan kepuasan di era bandara pintar: efisiensi proses dan pengurangan waktu tunggu. Pengalaman perjalanan menjadi lebih mudah dan modern.
Tantangan Interoperabilitas dan Koordinasi Lintas Lembaga (CIQ)
Hambatan terbesar dalam mencapai perjalanan end-to-end yang mulus adalah fragmentasi sistem lintas batas. Industri penerbangan global sering kali masih mengandalkan infrastruktur komunikasi lintas batas yang terfragmentasi, menghambat pertukaran informasi yang aman dan tanpa batas yang diperlukan untuk identitas digital.
Di tingkat regulasi nasional, Penyelenggara Angkutan Udara dan Bandar Udara wajib berkoordinasi secara ketat dengan instansi pemerintah di bidang Kepabeanan, Keimigrasian, dan Karantina (CIQ). Agar sistem identitas digital global (One ID) berfungsi, validasi admissibility harus terjadi sebelum keberangkatan, yang memerlukan kerja sama erat antara Imigrasi dan otoritas bandara. Untuk mengatasi fragmentasi, interoperabilitas hanya dapat dicapai melalui standardisasi tingkat layanan, yang menuntut kesepakatan mengenai “common denominator” data di antara semua organisasi penerbangan dan pengawasan.
Masalah Penerimaan Pengguna dan Kebutuhan Pelatihan (The Human Factor)
Meskipun investasi teknologi sudah memadai, pemanfaatan sistem canggih seringkali terhambat oleh faktor manusia. Studi kasus, seperti implementasi autogate pengenalan wajah di Bandara Internasional Soekarno-Hatta Terminal 3, menunjukkan bahwa proses tersebut, meskipun berjalan, belum optimal.
Dua penyebab utama yang menghambat optimalisasi teknologi yang sudah matang adalah :
- Kurangnya Pengetahuan Penumpang: Banyak penumpang yang belum familiar atau tidak mengerti cara efektif menggunakan fasilitas layanan mandiri (autogate). Sosialisasi yang lebih intensif sangat dibutuhkan.
- Kompetensi Operator: Kompetensi petugas/operator dalam operasional dan pemeliharaan teknologi perlu ditingkatkan melalui pelatihan dan briefing rutin.
Kondisi ini menciptakan risiko operasional yang signifikan: jika adopsi pengguna gagal, teknologi canggih tersebut justru menjadi sumber hambatan baru, membatalkan pengembalian investasi (ROI) dan memperlambat alur. Oleh karena itu, tahap awal adopsi biometrik memerlukan peningkatan jumlah petugas yang terlatih untuk mendampingi penumpang yang belum mengerti cara penggunaan. Petugas ini berfungsi sebagai Digital Ambassadors di lapangan, yang penting untuk memastikan bahwa efisiensi teoretis teknologi dapat tercapai dalam praktik operasional sehari-hari.
Table 3: Analisis Kematangan Teknologi dan Hambatan Implementasi
| Pilar Teknologi | Fungsi Utama | Tingkat Kematangan Saat Ini | Hambatan/Tantangan Utama | Kebutuhan Strategis Solutif |
| Biometrik (Identitas) | Verifikasi contactless lintas batas | Tinggi (Didukung One ID) | Interoperabilitas lintas batas, Regulasi Data (Privasi) | Implementasi IATA Open Trust Framework & Verifiable Credentials |
| Otomatisasi Keamanan | Pemindaian 3D dan Deteksi Otomatis | Sedang-Tinggi | Biaya investasi infrastruktur tinggi, Standardisasi global | Integrasi data real-time ke AOCC untuk manajemen prediktif |
| Otomatisasi Check-in (SST/SSBD) | Peningkatan throughput di pre-security | Tinggi (Mudah diadopsi) | Kurangnya pengetahuan/sosialisasi penumpang, Kompetensi operator | Peningkatan pelatihan dan pendampingan petugas (Digital Ambassadors) |
Proyeksi Masa Depan dan Rekomendasi Strategis
Visi Bandara Masa Depan: Konvergensi Teknologi
Masa depan bandara adalah konvergensi antara teknologi digital dan operasional yang saling terkoneksi. Visi untuk menjadi Smart Connected Airports (seperti yang dikembangkan oleh AP II) didasarkan pada tiga pilar strategis: Commitment, Consistency, dan Collaboration.
Teknologi ini juga terbukti kritis dalam mendukung ketahanan operasional, terutama pasca-pandemi, dengan mengimplementasikan konsep Biosafety dan Biosecurity Management yang memungkinkan operasional bandara berjalan sambil menegakkan protokol kesehatan. Di luar bandara, teknologi penerbangan bergerak menuju sistem otonom. Pesawat yang dioperasikan oleh AI, didukung oleh sensor dan algoritma canggih, dapat menganalisis data penerbangan real-time untuk optimasi rute, yang juga akan mengubah cara bandara mengelola jadwal dan alokasi sumber daya.
Kesimpulan
Teknologi seperti biometrik, CT scanner, dan AI di check-in telah mendefinisikan ulang pengalaman international traveler dengan mengurangi waktu pemrosesan secara dramatis (hingga 74% di kedatangan) dan menghilangkan titik-titik stres utama di keamanan (tidak perlu mengeluarkan laptop/cairan). Namun, potensi penuh dari revolusi ini hanya dapat tercapai jika tantangan struktural dan faktor manusia diatasi secara sistematis.
Berdasarkan analisis teknis-manajerial ini, direkomendasikan tiga langkah strategis bagi otoritas bandara dan regulator:
- Prioritas Interoperabilitas dan Regulasi Data Lintas Batas: Pemerintah dan otoritas regulasi harus mempercepat ratifikasi konvensi internasional dan penyempurnaan regulasi penerbangan yang mendukung pertukaran data yang aman. Implementasi IATA Open Trust Framework dan model Verifiable Credentials harus didorong untuk menciptakan identitas digital yang terstandardisasi dan mengatasi masalah privasi di lingkungan lintas batas.
- Investasi Seimbang antara Hardware dan Humanware: Investasi pada infrastruktur fisik (seperti CT scanner) harus diimbangi dengan alokasi anggaran yang signifikan untuk pengembangan sumber daya manusia. Program pelatihan berkelanjutan bagi operator/petugas sangat penting untuk meningkatkan kompetensi dalam pengoperasian dan maintenance sistem canggih. Bersamaan dengan itu, kampanye sosialisasi massa harus diluncurkan untuk memastikan penerimaan dan pemahaman penumpang terhadap teknologi layanan mandiri, mencegah teknologi menjadi hambatan baru.
- Penguatan Koordinasi CIQ Berbasis Data Real-Time: Diperlukan upaya untuk mengembangkan cetak biru teknologi yang mengadopsi pola integrasi data real-time di seluruh sistem bandara. Koordinasi formal (sebagaimana diamanatkan oleh regulasi Pasal 37 Permenhub) antara Imigrasi, Kepabeanan, dan Karantina harus diperkuat, memastikan validasi pra-keberangkatan berjalan mulus, dan mendukung model manajemen bandara yang proaktif dan berbasis data prediktif. Kegagalan dalam mengintegrasikan sistem CIQ akan menghambat kemampuan untuk mencapai pengalaman perjalanan tanpa kontak yang sebenarnya.


