Di Balik Keindahan Pakaian—Mengapa Fesyen Cepat (Fast Fashion) Merusak Lingkungan dan Mengapa Kita Harus Peduli
Tulisan ini menyajikan analisis kritis dan berbasis bukti mengenai model bisnis fesyen cepat (Fast Fashion) dan dampaknya yang meluas, baik secara ekologis maupun sosial, di seluruh dunia. Ditemukan bahwa kerusakan yang ditimbulkan bersifat sistemik, didorong oleh filosofi yang secara inheren mengutamakan kecepatan dan volume di atas keberlanjutan dan etika.
Bagian I: Fondasi Fesyen Cepat (Fast Fashion): Mekanisme Volume dan Keusangan
Fesyen cepat merujuk pada pakaian bergaya namun berharga rendah yang diproduksi secara massal dan didorong agar bergerak sangat cepat dari tahap desain ke toko ritel untuk segera memenuhi tren pasar. Model ini, yang dipopulerkan oleh raksasa ritel global seperti Zara dan H&M , telah mengubah pakaian dari aset yang tahan lama menjadi barang konsumsi sekali pakai.
Definisi dan Pilar Model Bisnis Fast Fashion
Akar Masalah: Kecepatan, Volume, dan Harga Murah
Inti dari model Fast Fashion adalah kecepatan yang luar biasa dalam rantai pasok. Merek-merek ini memanfaatkan metode produksi Quick Response (QR) dan pengelolaan variasi koleksi dinamis. Dengan memangkas waktu antara peramalan tren hingga produk tiba di rak, perusahaan dapat merilis koleksi baru secara konstan, seringkali meniru desain dari peragaan busana mewah dalam hitungan minggu.
Model ini didukung oleh strategi pemasaran yang sangat agresif. Merek-merek memonitor preferensi konsumen secara ketat melalui analitik data dan media sosial, memungkinkan mereka beradaptasi dengan tren yang sangat cepat. Promosi yang sering, endorsement selebriti, dan kolaborasi dengan influencer digunakan untuk membangun narasi seputar produk baru, yang secara efektif mendorong pembelian impulsif dan mempertahankan dominasi pasar mereka.
Ketergantungan pada Analisis Data dan Tren
Pemantauan tren yang intensif, difasilitasi oleh analitik data dan media sosial, tidak hanya memungkinkan respons cepat terhadap pasar, tetapi juga secara aktif memaksakan frekuensi penggantian tren. Hal ini menciptakan kondisi yang disebut keusangan psikologis. Industri tidak hanya mengikuti permintaan; mereka menciptakan dan memanipulasi permintaan tersebut, menjebak konsumen dalam siklus di mana mereka harus terus membeli untuk tetap relevan.
Konsep Keusangan Terencana (Planned Obsolescence): Merancang untuk Dibuang
Planned Obsolescence adalah strategi inti yang mendorong model Fast Fashion, di mana barang dirancang, diproduksi, dan dipasarkan agar dibuang setelah periode waktu yang singkat. Strategi ini memiliki dua bentuk utama yang saling melengkapi:
Keusangan Fisik (Physical Obsolescence): Kualitas yang Disengaja Rendah
Pakaian Fast Fashion sengaja dirancang menggunakan bahan berkualitas rendah, seperti kain poliester yang sangat tipis. Tujuannya adalah memastikan garmen tersebut secara harfiah cepat rusak setelah beberapa kali pencucian atau pemakaian. Dengan menurunkan kualitas material, perusahaan dapat menekan biaya produksi dan, pada saat yang sama, menurunkan ekspektasi konsumen terhadap durabilitas produk. Akibatnya, pakaian yang dulunya merupakan investasi yang tahan lama kini menjadi barang sekali pakai.
Keusangan Psikologis (Perceived Obsolescence): Manipulasi Tren
Bentuk keusangan ini mengandalkan tren yang bersifat sementara. Konsumen dimanipulasi agar merasa tidak puas dengan pakaian mereka, meskipun pakaian tersebut masih dalam kondisi yang sangat baik. Merek ultra-fast fashion mengunggah ribuan garmen baru setiap minggu, memastikan bahwa koleksi yang dibeli minggu lalu terasa ketinggalan zaman dalam waktu singkat.
Keusangan psikologis ini, yang didorong kuat oleh media dan pemasaran, adalah kekuatan pendorong di balik peningkatan volume produksi yang eksponensial. Hal ini memastikan bahwa meskipun secara teknis suatu pakaian mungkin memiliki potensi untuk didaur ulang, ia dibuang jauh sebelum mencapai batas fisik masa pakainya yang sesungguhnya. Inilah yang mengunci industri dalam siklus produksi-limbah yang merusak.
Jejak Ekologis Destruktif: Tiga Pilar Kehancuran Lingkungan
Dampak lingkungan dari Fast Fashion sangat parah, meluas ke atmosfer, sumber daya air, dan ekosistem daratan dan lautan, mengubah industri fesyen menjadi salah satu pencemar terbesar di dunia.
Krisis Iklim dan Jejak Karbon
Posisi Fesyen dalam Emisi Global
Industri tekstil bertanggung jawab atas sekitar 10% dari emisi karbon global. Angka ini sangat signifikan; emisi sektor tekstil bahkan lebih besar daripada gabungan emisi dari penerbangan internasional dan pelayaran laut. Secara keseluruhan, industri fesyen melepaskan sekitar 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca setiap tahun.8
Jika tren konsumsi ini berlanjut tanpa intervensi, emisi global industri fesyen diproyeksikan akan meningkat sebesar 50% pada tahun 2030. Kenaikan volume produksi barang baru, terutama yang berasal dari bahan bakar fosil, menghasilkan porsi emisi karbon terbesar.
Ketergantungan pada Serat Sintetis
Lonjakan emisi yang baru-baru ini tercatat (sebesar 7,5% pada tahun 2023) menunjukkan bahwa meskipun beberapa merek mengklaim inisiatif keberlanjutan dan berinvestasi pada energi terbarukan, kemajuan ini dikalahkan oleh peningkatan volume produksi secara keseluruhan. Peningkatan volume ini sangat bergantung pada penggunaan poliester murni, sejenis plastik yang berasal dari bahan bakar fosil.
Fakta bahwa industri masih didominasi oleh volume, kecepatan, dan fragmentasi menegaskan bahwa upaya dekarbonisasi rantai pasokan seringkali tidak mampu mengimbangi laju produksi yang meningkat. Selama model bisnis terus berorientasi pada maksimalisasi output, jejak karbon industri akan terus memburuk.
Krisis Air dan Polusi Kimia
Virtual Water Footprint (Jejak Air Virtual) Kapas
Fesyen adalah salah satu konsumen air terbesar secara global, menggunakan sekitar 215 triliun liter air setiap tahunnya. Produksi kapas konvensional sangat intensif air; diperlukan sekitar 20.000 liter air untuk memproduksi satu kilogram kapas. Bahkan, satu T-shirt katun sederhana dapat mewujudkan jejak air virtual sekitar 2.700 liter, setara dengan jumlah air minum yang dikonsumsi seseorang selama lebih dari dua setengah tahun.
Selain penggunaan air secara langsung (blue water footprint) untuk irigasi, ada pula masalah jejak air abu-abu (grey water footprint)—jumlah air yang diperlukan untuk mengencerkan polutan. Ketergantungan pada pestisida dan bahan kimia dalam pertanian kapas konvensional berkontribusi signifikan terhadap polusi air, yang mempengaruhi ekosistem dan masyarakat hilir.
Polusi Air Limbah Industri
Secara global, industri fesyen bertanggung jawab atas 20% dari air limbah. Air limbah ini sarat dengan pewarna kimia dan bahan kimia beracun lainnya yang seringkali dibuang tanpa pengolahan memadai, terutama di negara-negara berkembang yang memproduksi pakaian.
Di Indonesia, permasalahan ini terlihat jelas di kawasan Jawa Barat, pusat industri tekstil modern. Keberadaan pabrik tekstil di sana telah berkontribusi besar terhadap pencemaran Sungai Citarum, yang terkenal sebagai salah satu sungai terkotor di dunia. Di hulu Citarum, 68% industri yang beroperasi adalah pabrik tekstil, menjadikannya sumber utama limbah berbahaya dan beracun. Transfer biaya lingkungan ini, berupa degradasi tanah dan polusi air, kepada negara-negara produsen merupakan konsekuensi yang tidak etis dari permintaan konsumen global akan pakaian murah.
Krisis Limbah dan Mikroplastik
Volume Limbah Tekstil yang Menggila
Setiap tahun, industri fesyen memproduksi hingga 100 miliar garmen. Dorongan konsumsi yang didorong oleh Fast Fashion telah menyebabkan konsumen membeli 60% lebih banyak pakaian dibandingkan 15 tahun lalu, namun pakaian tersebut hanya bertahan setengah dari durasi yang diperkirakan.
Konsekuensi dari konsumsi berlebihan ini adalah akumulasi limbah yang luar biasa. Setiap tahun, sebanyak 92 juta ton pakaian berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Ironisnya, di tengah volume pembuangan yang masif, hanya sekitar 20% tekstil yang dikumpulkan untuk digunakan kembali atau didaur ulang secara global.
Ancaman Mikroplastik dari Serat Sintetis
Masalah limbah diperparah oleh komposisi pakaian modern. Hampir 60% dari semua bahan pakaian sebenarnya adalah plastik. Pakaian sintetis, seperti poliester, melepaskan serat mikroplastik kecil ke dalam air setiap kali dicuci.
Mikroplastik ini lolos dari sistem pengolahan air limbah, menyebar ke sungai dan lautan, di mana mereka berkontribusi hingga hampir 10% dari mikroplastik yang tersebar di lautan setiap tahun. Karena sifatnya yang tahan lama, poliester akan terakumulasi selama ratusan tahun. Partikel-partikel kecil ini akhirnya mencapai lingkungan terpencil dan dapat terkonsumsi oleh manusia melalui makanan, air minum, dan udara yang kita hirup. Dengan demikian, kontaminasi mikroplastik yang berasal dari pakaian kita bukanlah sekadar masalah lingkungan, tetapi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat global.
Ringkasan data lingkungan menunjukkan skala krisis yang terjadi:
Table 1: Jejak Kunci Lingkungan Industri Fesyen Cepat
| Dampak Lingkungan | Metrik Kuantitatif | Konsekuensi Signifikan |
| Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) | 10% dari emisi karbon global (1,2 miliar ton CO₂e/tahun) | Melebihi gabungan emisi penerbangan internasional dan pelayaran laut. |
| Limbah Tekstil Tahunan | 92 juta ton dibuang ke TPA | Hanya 20% yang dikumpulkan untuk daur ulang/penggunaan kembali. |
| Penggunaan Air Virtual (Kapas) | 2,700 Liter per T-shirt (atau 10.000 L/kg kapas) | Menimbulkan tekanan pada pasokan air lokal, menyebabkan penipisan akuifer |
| Polusi Air Limbah | 20% dari total air limbah industri global | Menyebabkan polusi kimia beracun di negara produsen (Studi Kasus Citarum). |
| Mikroplastik Laut | Hampir 10% dari mikroplastik tahunan di lautan | Pakaian sintetis melepaskan serat saat dicuci, mengancam kesehatan manusia dan ekosistem. |
Biaya Kemanusiaan: Etika di Balik Produksi Massal
Tekanan yang tak henti-hentinya untuk memproduksi dengan cepat dan murah telah menciptakan lingkungan kerja yang penuh eksploitasi, mengungkap biaya sosial tersembunyi dari Fast Fashion yang sering kali ditanggung oleh komunitas yang paling rentan.
Eksploitasi Tenaga Kerja Global
Model bisnis Fast Fashion dikenal karena memperburuk kondisi sosial di negara-negara penghasil, yang meliputi eksploitasi tenaga kerja. Dalam upaya menjaga harga jual tetap rendah, proses produksi secara rutin melibatkan pabrik atau bengkel yang mempekerjakan pekerja dengan upah minimum, kondisi kerja yang buruk, dan jam kerja yang sangat panjang.
Di Bangladesh, pengekspor pakaian terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok, sektor garmen menyerap jutaan pekerja. Sebagian besar pekerja ini adalah perempuan muda, migran internal dari daerah pedesaan, yang sering kali harus tinggal di perumahan yang tidak memadai di dekat tempat kerja mereka.Tekanan pasar global untuk harga yang paling murah seringkali membuat standar keselamatan dan etika dikesampingkan, memicu krisis etika dan hak asasi manusia.
Tragedi Rana Plaza: Simbol Biaya Kemanusiaan
Tragedi Rana Plaza yang terjadi pada 24 April 2013 di Dhaka, Bangladesh, merupakan simbol paling mengerikan dari biaya kemanusiaan Fast Fashion Ketika gedung komersial berlantai delapan tersebut runtuh akibat kegagalan struktural, lebih dari 1.100 orang—sebagian besar pekerja garmen—tewas, dan sekitar 2.500 lainnya terluka.Peristiwa ini diakui sebagai bencana pabrik garmen paling mematikan dalam sejarah.
Runtuhnya gedung itu merupakan konsekuensi langsung dari rantai pasok yang tidak transparan dan tekanan harga ekstrem. Gedung tersebut dibangun tanpa izin yang memadai, dan lantai tambahan kelima hingga kedelapan ditambahkan tanpa dukungan struktural yang mampu menopang peralatan berat pabrik garmen. Meskipun tragedi ini telah memicu peningkatan pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) oleh pemerintah Bangladesh, tekanan pasar untuk produk termurah terus menantang kemajuan etika ini. Tragedi Rana Plaza membuktikan bahwa keuntungan finansial jangka pendek telah ditempatkan di atas keselamatan dan hak asasi manusia para pekerja.
Menavigasi Solusi Sistemik dan Inovasi
Untuk mengatasi kerusakan yang diakibatkan oleh Fast Fashion, diperlukan pergeseran paradigma total, mulai dari filosofi desain hingga regulasi pemerintah dan inovasi material.
Filosofi Alternatif: Slow Fashion
Slow Fashion muncul sebagai reaksi terhadap dampak lingkungan dan etika Fast Fashion, mendefinisikan dirinya sebagai filosofi yang mengajukan pertanyaan mendasar tentang bagaimana konsumen membeli, memakai, dan merawat pakaian.
Definisi dan Prinsip Inti Slow Fashion
Berbeda dengan produksi massal, Slow Fashion fokus pada pakaian berkualitas lebih baik yang dibuat dengan tangan, menggunakan bakat artistik, dan membutuhkan waktu untuk produksi. Model ini menekankan desain yang mempertimbangkan umur panjang (longevity), penggunaan bahan baku yang berkelanjutan (organik, daur ulang), dan proses produksi yang efisien dan bersih.
Prinsip etika adalah kuncinya. Slow Fashion menyediakan transparansi yang memungkinkan konsumen mengetahui siapa yang membuat pakaian mereka dan bahwa tenaga kerja dibayar dengan upah yang adil. Konsep ini bertujuan untuk menciptakan ikatan yang etis antara bahan baku, tenaga kerja, dan lingkungan. Meskipun Slow Fashion secara filosofis ideal, produknya cenderung berharga lebih tinggi 2, yang dapat menjadi hambatan ekonomi bagi sebagian besar konsumen dan secara tidak sengaja memperkuat dominasi Fast Fashion di pasar massal.
Menerapkan Ekonomi Sirkular (Circular Fashion)
Inti dari Circular Fashion adalah gagasan untuk menjaga produk, bahan, dan sumber daya tetap digunakan selama mungkin, menjauhi model linear “ambil, buat, buang”
Inti dari Sirkular Fashion
Model sirkular mendorong desain garmen agar tahan lebih lama, mendorong penggunaan kembali, dan daur ulang menjadi produk baru di akhir masa pakainya.22 Tujuan akhirnya adalah meminimalkan limbah dan memaksimalkan nilai material.
Meskipun teknologi untuk mengubah serat kain kembali menjadi materi asalnya sudah tersedia , tantangan implementasinya bersifat ganda. Pertama, ada kebutuhan untuk mengubah gaya hidup konsumen dari mentalitas more is less menjadi less is more. Kedua, harus ada pelembagaan mekanisme ekonomi daur ulang hingga ke tingkat warga. Selain itu, secara teknis, banyak pakaian Fast Fashion yang merupakan campuran serat (misalnya, polycotton) sangat sulit, bahkan tidak mungkin, untuk didaur ulang secara efektif, membatasi potensi sirkularitas saat ini.
Inovasi Material sebagai Jembatan Keberlanjutan
Pemilihan material adalah titik penting dalam menentukan jejak lingkungan suatu garmen, dan solusi berkelanjutan harus menyeimbangkan berbagai dampak (air, karbon, kimia).
Perbandingan Bahan Baku
Dua material dominan, kapas dan poliester, masing-masing memiliki kelemahan lingkungan yang signifikan. Poliester (dari minyak bumi) memiliki jejak air yang sangat rendah (sekitar 30 L/kg) tetapi melepaskan mikroplastik dan berkontribusi terhadap emisi karbon. Sebaliknya, kapas konvensional membutuhkan air intensif (sekitar 10.000 L/kg) dan pestisida yang menyebabkan polusi air abu-abu.
Keunggulan TENCEL™ Lyocell
Alternatif yang berkelanjutan, seperti TENCEL™ Lyocell (diregenerasi dari selulosa kayu), menawarkan jalur mitigasi risiko. TENCEL™ diproduksi dengan penggunaan air yang lebih efisien dibandingkan rayon, dan proses pembuatannya bebas dari pestisida. Material ini menawarkan daya tahan yang lebih baik dibandingkan kapas organik, memiliki tekstur lembut, dan bersifat hipoalergenik. Keunggulannya yang biodegradable dan proses produksi yang seringkali menggunakan sistem loop tertutup menjadikannya pilihan yang secara signifikan lebih ramah lingkungan.
Tabel berikut meringkas kompleksitas material:
Table 2: Perbandingan Jejak Keberlanjutan Material Tekstil Utama
| Kriteria Keberlanjutan | Kapas (Konvensional) | Poliester (Virgin PET) | TENCEL™ Lyocell |
| Asal Bahan Baku | Serat alami (tumbuhan) | Serat sintetis (berbasis minyak bumi) | Selulosa kayu (diregenerasi) |
| Jejak Air (per kg) | Sangat Tinggi (~10.000 L/kg) | Sangat Rendah (~30 L/kg) | Efisien (Menggunakan loop tertutup) |
| Masalah Polusi Utama | Pestisida, polusi air limbah | Mikroplastik, emisi karbon tinggi | Minimal, proses bebas pestisida |
| Biodegradabilitas | Ya, terurai alami | Tidak (membutuhkan waktu ratusan tahun) | Ya, sepenuhnya biodegradable |
Peran Regulasi: Extended Producer Responsibility (EPR)
Regulasi memainkan peran penting dalam memaksa perubahan sistemik. Uni Eropa telah mengambil langkah signifikan dengan memperkenalkan mandat Extended Producer Responsibility (EPR) untuk tekstil dan alas kaki, yang akan mulai berlaku pada Oktober 2025.
EPR mewajibkan produsen untuk memikul tanggung jawab, termasuk biaya finansial, dalam mengelola daur ulang, penyortiran, dan pengumpulan produk tekstil yang mereka tempatkan di pasar. Signifikansi kebijakan ini terletak pada kemampuannya untuk menginternalisasi biaya eksternal dari limbah. Dengan menyesuaikan biaya EPR berdasarkan kriteria keberlanjutan produk, regulasi ini memberikan insentif finansial langsung kepada produsen untuk mendesain pakaian dengan durabilitas yang lebih tinggi dan kemampuan daur ulang yang lebih baik. Negara-negara lain yang ingin mengurangi limbah industri harus meniru regulasi ketat semacam ini.
Mengatasi Hambatan dan Seruan Aksi
Meskipun solusi dan inovasi teknologi tersedia, hambatan terbesar untuk transisi menuju fesyen berkelanjutan adalah penolakan industri untuk mengubah model bisnis yang didorong oleh volume.
Hambatan Utama: Greenwashing Korporat dan Ilusi Keberlanjutan
Greenwashing didefinisikan sebagai praktik di mana merek membuat klaim yang menipu atau tidak jujur tentang keberlanjutan produk atau operasinya. Hal ini menjadi masalah besar, di mana sekitar 50% konsumen global menyatakan ketidakpercayaan terhadap klaim hijau yang dibuat oleh merek pakaian.
Taktik Greenwashing
Taktik umum meliputi klaim Hidden Trade-off, di mana merek menyoroti atribut ramah lingkungan yang sempit (misalnya, menggunakan bahan daur ulang) sambil mengabaikan dampak lingkungan yang jauh lebih besar di tempat lain dalam rantai pasok. Ada pula klaim Lesser of Two Evils, yang mungkin benar dalam kategori produk tersebut tetapi berfungsi untuk mengalihkan perhatian konsumen dari dampak lingkungan yang masif dari industri fesyen secara keseluruhan.
Kegagalan Mengatasi Volume
Kritik paling mendasar terhadap inisiatif keberlanjutan Fast Fashion adalah kegagalan mutlak untuk mengurangi volume produksi. Merek-merek mengklaim ‘sirkularitas’ melalui penggunaan poliester daur ulang (rPET) yang berasal dari botol plastik, namun ini merupakan klaim menyesatkan karena tidak mengatasi masalah inti daur ulang tekstil-ke-tekstil (fiber-to-fiber).
Kenaikan emisi yang terus terjadi, meskipun ada klaim kemajuan, menunjukkan bahwa seluruh sistem masih berorientasi pada volume dan kecepatan. Tulisan investigasi telah menyimpulkan bahwa Fast Fashion secara fundamental tidak akan pernah bisa berkelanjutan selama volume produksi yang masif dipertahankan. Perilaku korporat ini merupakan upaya untuk memuaskan konsumen yang sadar lingkungan tanpa harus membongkar model bisnis yang menguntungkan dan didorong oleh ekses.Seruan Aksi Kolektif dan Rekomendasi
Mengatasi dampak destruktif Fast Fashion membutuhkan pendekatan menyeluruh yang melibatkan konsumen, pemerintah, dan industri.
Table 3: Kontras Filosofi: Fast Fashion vs. Slow Fashion
| Dimensi | Fast Fashion (Fesyen Cepat) | Slow Fashion (Fesyen Lambat) |
| Volume & Kecepatan | Produksi massal, tren berganti mingguan/bulanan | Produksi terbatas, non-musiman, berfokus pada kualitas |
| Kualitas & Durabilitas | Kualitas rendah, dirancang untuk cepat rusak (Physical Obsolescence) | Kualitas tinggi, dirancang untuk umur panjang (Longevity) |
| Etika dan Transparansi | Upah rendah, kondisi kerja buruk, rantai pasok buram (Contoh: Rana Plaza) | Gaji wajar, praktik etis, transparansi rantai pasok |
| Jejak Lingkungan | Karbon tinggi, air limbah masif, mikroplastik | Jejak rendah, menggunakan bahan berkelanjutan (misalnya Tencel, organik) |
Peran Konsumen
Konsumen memegang kekuatan signifikan untuk menggeser permintaan pasar.14 Perubahan harus dimulai dari adopsi gaya hidup berkelanjutan, seperti memprioritaskan kualitas dan durabilitas daripada harga murah.9 Penelitian menunjukkan bahwa perpanjangan siklus hidup pakaian hanya selama sembilan bulan dapat secara drastis mengurangi jejak karbonnya.8 Konsumen didorong untuk mengadopsi kebiasaan “less is more” 23 dan beralih ke pasar barang bekas (seperti Depop atau Vinted) untuk memperpanjang usia garmen.8
Rekomendasi Kebijakan dan Regulasi
Pemerintah harus memainkan peran proaktif. Hal ini mencakup penerapan regulasi ketat terkait pengelolaan limbah tekstil dan insentif bagi bisnis yang mengadopsi ekonomi hijau.30 Implementasi kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) secara nasional, meniru langkah UE, adalah langkah kebijakan penting untuk memastikan produsen bertanggung jawab atas seluruh siklus hidup produk mereka.28 Selain itu, teknologi seperti blockchain dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam rantai pasok.30
Arah Industri
Industri fesyen harus segera menghentikan produksi berlebihan 32 dan mengalihkan fokus dari volume ke nilai dan durabilitas. Perusahaan harus berinvestasi dalam inovasi daur ulang fiber-to-fiber untuk mengatasi masalah limbah tekstil yang kompleks. Secara paralel, komitmen nyata untuk menggunakan energi terbarukan dan meninggalkan bahan bakar fosil dalam proses produksi adalah suatu keharusan untuk mengatasi emisi karbon yang melonjak.6
Kesimpulan
Fesyen cepat, meskipun secara dangkal menawarkan keindahan yang mudah diakses, beroperasi melalui model bisnis yang secara inheren destruktif. Analisis ini menunjukkan bahwa model yang didorong oleh keusangan terencana dan kecepatan yang ekstrem telah menghasilkan biaya ekologis dan sosial yang tak tertahankan: 10% emisi karbon global, 92 juta ton limbah tahunan, dan pencemaran air beracun di negara-negara produsen, yang mencapai puncaknya dalam tragedi kemanusiaan seperti Rana Plaza.
Meskipun upaya greenwashing berusaha menutupi kerusakan ini dengan klaim keberlanjutan parsial, kegagalan untuk mengurangi volume produksi memastikan bahwa sistem tetap tidak berkelanjutan. Solusi terletak pada pergeseran paradigma kolektif menuju Slow Fashion, adopsi kebijakan EPR yang memaksa akuntabilitas produsen, dan perubahan perilaku konsumen yang memprioritaskan kualitas, umur panjang, dan etika, demi keberlanjutan planet dan kesejahteraan manusia.


