Loading Now

Desainer Kontemporer: Dualitas Pengaruh Miuccia Prada dan Virgil Abloh dalam Mengukir Ulang Definisi Fesyen Mewah dan Budaya Kontemporer

Fesyen kontemporer telah mengalami pergeseran mendasar dari sekadar ranah produksi estetika menjadi bidang kritik, aktivisme, dan diskursus budaya yang signifikan. Laporan ahli ini menganalisis dua desainer yang paling bertanggung jawab mendefinisikan pergeseran ini melalui kerangka kerja konseptual yang kuat: Miuccia Prada dan Virgil Abloh. Kedua tokoh ini, meskipun berasal dari latar belakang budaya dan jalur karier yang sangat berbeda, secara kolektif mewakili poros transformasi kemewahan di abad ke-21. Transformasi ini mengubah kemewahan dari sistem nilai elitis yang didasarkan pada kualitas material yang terbatas menjadi sistem nilai inklusif yang didasarkan pada relevansi budaya, kecerdasan, dan narasi yang kuat.

Di era pasca-modern, kemewahan tidak lagi hanya diukur dari eksklusivitas atau biaya, tetapi dari kapasitasnya untuk memprovokasi pemikiran, menghasilkan makna, dan mencerminkan zeitgeist sosial. Baik Prada maupun Abloh menggunakan pemikiran konseptual—bukan hanya pakaian—untuk mengubah sistem nilai, estetika, dan struktur industri. Prada menggunakan intelektualisme subversif untuk membuat kemewahan menjadi kompleks dan menantang selera, sementara Abloh menggunakan populisme konseptual untuk membuat kemewahan mudah diakses secara narasi dan budaya.

Peran mereka sebagai desainer diperkuat oleh latar belakang mereka yang bersifat interdisipliner. Miuccia Prada, dengan gelar BA dan PhD di bidang Ilmu Politik, serta pelatihan akting sebagai mime, mendekati desain sebagai wacana filosofis dan politis. Sebaliknya, Virgil Abloh, dengan latar belakang di bidang Teknik Sipil dan Arsitektur, mendekati desain melalui lensa struktur, sistem, dan dekonstruksi. Keterlibatan mereka menunjukkan bahwa desain kontemporer harus bersifat interdisipliner. Kegagalan fesyen tradisional untuk menangkap narasi kritis generasi muda menciptakan peluang bagi desainer yang mampu menyuntikkan kritik sosial atau ideologi ke dalam pakaian mereka, sehingga pakaian menjadi media untuk menyampaikan pesan. Konsumen modern, yang semakin menuntut cerita dan makna di balik produk, merespons dengan kuat terhadap narasi konseptual yang dibawakan oleh kedua desainer ini.

Studi Kasus I: Miuccia Prada – Mengkultuskan Keburukan dan Kecerdasan Subversif

Latar Belakang dan Fondasi Konseptual Prada

Miuccia Bianchi Prada mewarisi produsen barang mewah milik keluarganya, yang didirikan oleh kakeknya Mario Prada, pada tahun 1978. Namun, ia awalnya menolak bisnis tersebut. Latar belakangnya yang unik jauh dari sekolah desain tradisional. Lahir Maria Bianchi pada tahun 1949, ia mengambil nama Prada pada tahun 1980-an. Ia lulus dengan gelar Ilmu Politik pada tahun 1971 dan kemudian memperoleh gelar PhD di bidang yang sama dari University of Milan pada tahun 1978. Bersamaan dengan studi akademiknya, ia juga belajar seni peran di Piccolo Teatro di Milan. Kedalaman akademis dan latar belakang seni pertunjukan ini menjelaskan mengapa desain Prada selalu bersifat cerebral—berdasarkan pemikiran mendalam dan narasi yang menantang.

Setelah mengambil alih kendali, bersama suaminya Patrizio Bertelli, ia memperluas fokus Prada dan memperkuat posisinya sebagai merek konseptual. Salah satu desain awalnya yang paling sukses adalah tas jinjing dan ransel hitam yang terbuat dari nilon. Desain ini sangat sederhana dan utilitarian, hanya dihiasi dengan logo segitiga Prada kecil. Dengan mengangkat material industri menjadi ikon kemewahan fungsional, Prada mulai mendefinisikan ulang kemewahan melalui fusi utilitas dan desain yang disengaja.

Estetika yang Memprovokasi: Diskursus “Ugly Chic”

Filosofi desain Prada mencapai titik puncaknya yang paling terkenal dengan koleksi Spring/Summer 1996, yang secara luas dikenal sebagai “Ugly Chic” (atau “Banal Eccentricity”). Konsep ini berakar pada seni banal, di mana hal-hal yang dianggap biasa atau remeh diangkat dan diberi status seni, merujuk pada penghargaan dari masa Venice Biennale tahun 1980

Pendekatan ini merupakan strategi intelektual yang disengaja untuk menentang norma dan selera konvensional. Prada bertujuan untuk “menyerang ide kecantikan dan seksualitas” yang lazim. Koleksi-koleksinya sering kali memadukan konsep, warna, dan tekstil yang kontras sedemikian rupa sehingga “menimbulkan rasa jijik yang dipertanyakan pada mata normal”. Dalam pandangan kritis, desain Prada, pada pandangan pertama, seringkali tampak aneh atau bahkan jelek, tetapi kecerdasan di balik desain tersebut memastikan bahwa desainnya dengan cepat diadaptasi, menjadi dicari, dan memengaruhi arus utama fesyen.

Prinsip di balik ‘ugly chic’ ini berfungsi sebagai mekanisme penyaringan intelektual. Konsumen yang memahami dan mengapresiasi keburukan konseptual Prada—yaitu, mereka yang melampaui penilaian visual langsung untuk memahami kritik estetika yang mendasarinya—menjadi bagian dari kelompok elite yang terinformasi. Dalam konteks ini, kemewahan didefinisikan oleh kecerdasan dan pemahaman, bukan sekadar kemampuan untuk membeli. Prada berhasil menciptakan merek yang selalu berevolusi tanpa pernah sekadar mengejar tren , menyajikan fesyen yang “membuat fesyen menjadi cerebral, politis, dan kompleks, namun tetap membuatnya sederhana”.

Strategi Dualitas Merek dan Warisan Intelektual

Miuccia Prada juga menerapkan strategi dualitas merek yang canggih. Miu Miu, diluncurkan pada tahun 1993, didasarkan pada nama panggilan masa kecilnya. Miu Miu berfungsi sebagai “pos terdepan untuk feminitas yang paling halus” dan ekspresi dari “kontradiksi alami wanita dan kepribadian provokatif”. Miuccia menjelaskan bahwa Miu Miu ada agar dia bisa menjadi “lebih radikal, lebih avant-garde, lebih disruptif”. Filosofi yang diungkapkan melalui kutipan kunci ini, “Prada adalah saya pada akhirnya, dan Miu Miu adalah apa yang saya ingin menjadi”, menunjukkan Miu Miu sebagai laboratorium ide.

Strategi merek ganda ini memungkinkan Prada Group untuk menjaga inti bisnis Prada tetap stabil, dengan estetika yang sering dicirikan oleh garis bersih, minimalisme, dan perpaduan elemen feminitas dan maskulinitas yang menantang norma gender , sementara Miu Miu berfungsi sebagai saluran untuk eksperimen radikal. Pendekatan ini adalah manajemen risiko konseptual yang memastikan relevansi jangka panjang melalui provokasi yang terkelola.

Selain fesyen, Prada mengkonsolidasikan posisinya sebagai merek konseptual melalui afiliasinya dengan seni. Melalui Fondazione Prada, perusahaan tersebut mendukung proyek-proyek seni kontemporer dan menugaskan seniman avant-garde untuk merancang toko-toko mereka. Dengan melakukan hal ini, Prada memperkuat gagasan bahwa nilai-nilainya melampaui komersialisme, menempatkan desainnya setara dengan seni dan filsafat.

Studi Kasus II: Virgil Abloh – Arsitektur, Populisme, dan Aksesibilitas Konseptual

Lintas Disiplin dan Aksesibilitas Budaya

Virgil Abloh (1980-2021) membawa jalur karier yang sama sekali baru ke puncak high fashion. Tidak seperti kebanyakan desainer mewah yang mengenyam pendidikan desain formal, Abloh memegang gelar Sarjana Teknik Sipil dari University of Wisconsin–Madison dan Master Arsitektur (MArch) dari Illinois Institute of Technology. Fondasi dalam arsitektur dan teknik ini memberinya pendekatan yang terstruktur dan sistematis terhadap desain.

Perjalanan Abloh ke dunia fesyen dimulai dari t-shirt designer di Chicago, bekerja sebagai DJ (dengan nama panggung Flat White), dan menjadi asisten Kanye West. Setelah magang bersama West di Fendi pada tahun 2006, ia kemudian mendirikan merek Off-White pada tahun 2013, yang dengan cepat menjadi pelopor fesyen streetwear mewah.

Penunjukan Abloh pada tahun 2018 sebagai Direktur Artistik Louis Vuitton Menswear adalah momen penting, menjadikannya orang kulit berwarna pertama yang memegang posisi tersebut.Posisi ini menginstitusionalisasi streetwear di tingkat kemewahan tertinggi. Abloh tidak hanya merancang pakaian; ia merancang sistem untuk inklusivitas. Ia sering menyatakan bahwa “Everything I do is for the 17-year-old version of myself”. Ini mencerminkan komitmen mendalam untuk memvalidasi budaya dan perspektif kaum muda, terutama mereka yang secara historis dikecualikan dari industri mewah.

Kerangka Kerja Kreatif: The Three Percent Rule

Filosofi inti Abloh dapat diringkas dalam “The Three Percent Rule,” sebuah konsep yang ia presentasikan di Harvard pada tahun 2013. Aturan ini menyatakan bahwa hanya diperlukan perubahan sebesar 3% pada suatu objek yang sudah ada untuk menciptakan sesuatu yang baru dan menarik, tanpa kehilangan rasa familiaritasnya.

Pendekatan ini bersifat inovasi iteratif, di mana perubahan kecil yang disengaja memperkenalkan hal baru sambil mempertahankan kerangka yang dapat dikenali. Secara psikologis, Aturan 3% berhasil memenuhi dualitas kebutuhan manusia akan kepastian (bingkai familiar) dan ketidakpastian (sentuhan kejutan). Abloh, yang terinspirasi oleh arsitektur dan seni, menerapkan pendekatan ini untuk mempertajam sudut pandang desainnya.

Latar belakang Abloh dalam arsitektur tidak hanya memengaruhi pakaiannya, tetapi juga pengalaman fisik merek. Toko fisik Off-White, yang ia rancang bersama Samir Bantal dari AMO, sengaja diciptakan sebagai ruang serbaguna, yang dapat digunakan untuk pameran, festival, atau seminar, bukan hanya untuk transaksi. Tujuannya adalah untuk menciptakan keterlibatan langsung antara pengunjung dan merek, memperkuat narasi inklusivitasnya.

Streetwear sebagai Seni ‘Ready-Made’ Kontemporer

Pendekatan Abloh terhadap desain dikaitkan erat dengan konsep seni ready-made (siap pakai) yang dipelopori oleh Marcel Duchamp. Abloh secara terbuka menyamakan streetwear dengan seni ready-made kontemporer, mengklaim bahwa ia harus dilihat sebagai “gerakan seni terbesar di zaman kita”.

Ia berargumen bahwa praktik streetwear didasarkan pada mengambil objek yang sudah ada (kaos polos, sepatu) dan memberikan twist intelektual 3%. Abloh merujuk pada “Margielaism,” praktik Martin Margiela yang meninggikan objek sehari-hari menjadi high fashion melalui kecerdasan, dan menegaskan bahwa objek biasa, seperti sepasang kaus kaki atau kaos, dapat diubah menjadi high fashion melalui intellect.

Ikonografi tanda kutipan (“quotes”) adalah implementasi paling eksplisit dari filosofi ready-made ini. Ia akan membingkai kata-kata atau frasa yang tampaknya tidak bersalah pada produknya, seperti “Shoelaces,” “Sculpture,” atau “For Walking” pada sepatu bot setinggi lutut. Penggunaan tanda kutip ini berfungsi sebagai metakomentar, secara paksa menyajikan objek biasa dalam konteks konseptual, menantang audiens untuk merenungkan status dan fungsi objek tersebut dalam sistem fesyen. Ini adalah cara Abloh untuk menyuntikkan makna aspirasional ke dalam barang-barang yang tidak mewah.

Karya-karya ikoniknya, seperti Off-White Industrial Belt (yang mengubah tali pengikat industri menjadi penanda gaya serbaguna) dan kolaborasi Nike x Off-White “The Ten” (yang mendekonstruksi sepatu kets ikonik dengan logo dan zip-tie), menunjukkan bagaimana sentuhan 3% kecil dapat mengubah alat industri menjadi barang mewah yang sangat didambakan.

Warisan Inklusivitas dan Dampak Struktural

Warisan Abloh melampaui desain visual; ini bersifat struktural. Setelah menjadi Direktur Artistik kulit hitam pertama di Louis Vuitton, ia secara aktif bekerja untuk menciptakan peluang bagi desainer kulit hitam. Melalui Virgil Abloh “Post-Modern” Scholarship Fund, ia menyediakan beasiswa dan pendampingan bagi mahasiswa fesyen keturunan Afrika atau Afrika-Amerika. Upaya ini memastikan bahwa ia tidak menjadi satu-satunya yang berhasil mencapai level tertinggi dalam industri.

Abloh berhasil menjembatani warisan mewah Louis Vuitton dengan creative zeitgeist budaya jalanan, memberikan legitimasi penuh kepada streetwear di tingkat tertinggi. Dampak ini sangat signifikan karena berhasil membuat orang-orang yang membeli produknya merasa “perspektif mereka tentang apa yang berharga, apa yang indah didengar di tingkat tertinggi”.

Analisis Komparatif: Paradigma Intelektual versus Paradigma Demokratisasi

Miuccia Prada dan Virgil Abloh mewakili dua jalur konseptual yang saling bertentangan namun sama-sama revolusioner dalam mendefinisikan kemewahan di era kontemporer. Perbandingan filosofi mereka mengungkap perpecahan yang lebih luas dalam budaya modern, yaitu ketegangan antara budaya elit dan budaya massa. Keduanya berupaya menciptakan budaya baru di mana yang serius bisa menjadi populer, dan yang populer bisa menjadi serius, tetapi dengan arah yang berbeda.

IV.A. Kontras Filsafat: Subversi Estetika vs. Subversi Konteks

Prada (Elite Kritis): Filosofi Prada adalah kritik internal terhadap kemewahan. Melalui ugly chic, ia menantang estetika dan selera konsumen yang mapan, memaksa audiens untuk berpikir kritis tentang mengapa mereka mengapresiasi atau bahkan membenci sesuatu. Prada menarik kaum intelektual yang mencari kedalaman dan anti-status quo dalam mode. Ia berusaha mengganggu rasa puas diri estetik melalui kompleksitas.

Abloh (Populisme Konseptual): Filosofi Abloh adalah kritik eksternal, menarik unsur-unsur dari budaya jalanan dan melegitimasi mereka di kancah mewah. Melalui The 3% Rule dan readymade, ia mengajak pengamat untuk berpikir sederhana tentang aksesibilitas seni: semua bisa menjadi seni. Abloh menarik kaum muda yang merasa bahwa perspektif budaya mereka kini divalidasi dan dihormati di tingkat tertinggi.

Teknik Branding dan Ikonografi Kontras

Perbedaan utama terletak pada komunikasi visual. Prada cenderung memilih Elegansi Halus dan Minimalisme dengan Makna. Ikonografinya halus (logo kecil pada tas nilon) dan fokus pada siluet dan tekstil yang inovatif, membutuhkan pemahaman yang senyap dari konsumen. Sebaliknya, Abloh menggunakan Ikonografi Terbuka dan Eksplisit. Tanda kutip, zip-tie, dan Industrial Belt adalah penanda gaya yang langsung dan bersifat metakomentar. Komunikasi Abloh memastikan bahwa pesan konseptual—gagasan readymade—disampaikan secara instan dan tidak terlewatkan oleh konsumen massal.

Dampak Terhadap Konsumen dan Rasa Kepemilikan

Kedua desainer menciptakan rasa kepemilikan yang kuat, tetapi melalui mekanisme yang berbeda:

  1. Kepemilikan Berdasarkan Pengetahuan (Prada): Konsumen Prada merasa istimewa karena mereka “mengerti” ide di balik ugly chic dan subversi intelektualnya. Rasa eksklusivitas ini berasal dari kecerdasan yang disaring.
  2. Kepemilikan Berdasarkan Validasi (Abloh): Dengan meninggikan streetwear dan budaya hip-hop, Abloh membuat konsumen yang membeli Off-White atau LV Menswear merasa perspektif budaya mereka telah divalidasi dan dilegitimasi oleh sistem mewah. Rasa kepemilikan ini berakar pada representasi budaya.

Secara keseluruhan, jika Prada memaksa elit untuk menerima yang banal (turun), Abloh memaksa elit untuk menerima yang populer (naik). Keduanya secara efektif menyajikan wawasan mendalam yang menantang hegemoni tradisional fesyen mewah, menjadikannya subjek yang kaya untuk analisis kritis dalam konteks wacana populisme kritis.

Perbandingan Filosofi Desain Inti: Miuccia Prada vs. Virgil Abloh

Aspek Paradigma Miuccia Prada (Intelektualisme Subversif) Virgil Abloh (Demokratisasi Konseptual)
Latar Belakang Pendidikan Ilmu Politik dan Mime (PhD) Teknik Sipil dan Arsitektur (MArch)
Teori/Filosofi Kunci Banal Eccentricity / Ugly Chic The 3% Rule / Ready-made Art
Sasaran Estetika Menantang ideal kecantikan, memprovokasi “disgust” Mengangkat objek sehari-hari menjadi aspirasional
Pendekatan terhadap Kemewahan Kemewahan yang Cerdas dan Konseptual, Anti-Kemewahan Estetik Kemewahan Inklusif, Nilai Berakar pada Relevansi Budaya
Target Konsumen Idealis Konsumen yang matang, cerdas, anti-status quo. ’17-year-old version of myself’, kaum muda budaya street

Teknik Ikonografi dan Tujuan Komunikasi Desain

Desainer Teknik Visual/Ikonografi Kunci Tujuan Komunikasi Desain
Miuccia Prada Nylon Hitam, Garis Bersih (Minimalisme), Siluet Campuran Gender Fokus pada struktur/bentuk, mengangkat utilitas menjadi status, perpaduan kontradiktif.
Virgil Abloh Tanda Kutipan (“Quotes”) pada Objek Metakomentar, mendefinisikan/menggugat fungsi objek dalam sistem fesyen.
Virgil Abloh Zip-Tie, Industrial Belt Marker of ownership dan dekonstruksi. Mengubah alat industri menjadi penanda gaya dan status.

Implikasi Strategis dan Proyeksi Masa Depan

Pergeseran Definisi Kemewahan dan Narasi Merek

Warisan kolektif Prada dan Abloh telah menghasilkan kemewahan hybrid. Di masa depan, kemewahan harus menggabungkan kerajinan tradisional (kualitas) dengan narasi budaya yang kuat (makna dan intellect). Konsumen saat ini secara aktif menuntut cerita yang mendalam di balik produk yang mereka beli. Kemewahan tidak dapat bertahan hanya berdasarkan harga atau eksklusivitas; ia harus menawarkan aktivisme atau kesadaran sosial.

Abloh dan Prada telah membuktikan bahwa konsistensi filosofis adalah kunci kesuksesan jangka panjang. Miuccia Prada, misalnya, menunjukkan konsistensi dalam berevolusi tanpa pernah mengejar tren. Abloh secara konsisten menerapkan Aturan 3% dan ikonografi readymade dalam setiap kolaborasi dan koleksi. Konsistensi filosofis ini membangun posisi konseptual merek yang tidak tergoyahkan dan pada akhirnya membangun loyalitas konsumen yang lebih dalam.

Fesyen sebagai Aktivisme dan Jembatan Generasi

Kedua desainer ini secara efektif menggunakan platform mereka untuk menyuarakan wacana sosial yang penting. Prada menantang norma gender melalui siluet androgini  dan norma kecantikan melalui ugly chic. Abloh berfokus pada inklusivitas ras dan kesetaraan kesempatan, secara aktif mempromosikan desainer kulit hitam melalui beasiswa. Kemampuan desainer untuk membentuk opini publik dan memperjuangkan isu-isu sosial telah menjadi keharusan moral dan strategis dalam industri fesyen kontemporer.

Virgil Abloh sangat berhasil dalam menjembatani kesenjangan generasi dengan secara langsung memvalidasi selera kaum muda yang sebelumnya diabaikan oleh rumah mode mewah. Strateginya, yang ditujukan pada versi dirinya yang berusia 17 tahun , adalah kunci untuk membuat konsumen merasa dilihat dan perspektif mereka dihargai. Model keterlibatan ini adalah strategi retensi pelanggan jangka panjang yang jauh lebih kuat daripada sekadar daya tarik estetika sesaat.

Rekomendasi Strategis untuk Industri

Mengingat pengaruh transformatif dari Miuccia Prada dan Virgil Abloh, industri fesyen dan merek mewah harus mengadopsi struktur yang memprioritaskan pemikiran konseptual:

  1. Mengadopsi Kerangka Konseptual Wajib: Desainer dan merek tidak cukup hanya merancang pakaian; mereka harus merancang sebuah ide (misalnya, ugly chic, the 3% rule). Produk harus berfungsi sebagai perwujudan fisik dari filosofi yang jelas.
  2. Mencari Talent Lintas Disiplin: Perlunya mencari direktur kreatif dengan latar belakang non-fesyen—seperti arsitektur, filsafat, atau teori seni—telah dibuktikan oleh kedua studi kasus ini. Bakat-bakat ini dapat menyuntikkan ide-ide struktural, sosiologis, dan konseptual yang baru, yang penting untuk menjaga relevansi di pasar global yang didorong oleh budaya.

Kesimpulan

Miuccia Prada dan Virgil Abloh adalah arsitek sejati dalam industri fesyen kontemporer. Mereka menggunakan kecerdasan dan pemikiran konseptual untuk mendefinisikan ulang nilai, mengganggu estetika tradisional, dan mengubah mekanisme sistem kemewahan.

Miuccia Prada mendirikan kemewahan berdasarkan kecerdasan, menciptakan lingkaran elite yang definisinya adalah pemahaman akan desain subversif. Ia menantang selera yang mudah, membuat kemewahan menjadi cerebral dan menolak untuk didominasi oleh konvensi industri.

Sebaliknya, Virgil Abloh mendirikan kemewahan berdasarkan aksesibilitas konseptual, berhasil menjadikan streetwear sebagai seni ready-made kontemporer. Warisannya adalah pembukaan struktural bagi budaya jalanan dan desainer yang kurang terwakili, menciptakan rasa kepemilikan melalui validasi budaya.

Secara kolektif, mereka membuktikan bahwa revolusi fesyen di abad ke-21 bersifat konseptual dan ideologis. Fesyen telah bertransformasi menjadi bidang kritik, aktivisme, dan dialog budaya. Warisan mereka memastikan bahwa desainer masa depan akan dinilai tidak hanya berdasarkan estetika, tetapi berdasarkan kekuatan ide yang mereka hadirkan dan dampak struktural yang mereka tinggalkan pada sistem industri yang lebih besar.