Kebangkitan Era Business Casual dan Dekonstruksi Formalitas di Pusat Finansial Dunia
Pergeseran paradigma dalam cara kaum profesional berpakaian bukan sekadar perubahan mode sesaat, melainkan refleksi dari transformasi mendalam dalam struktur sosial, nilai ekonomi, dan teknologi kerja yang telah berlangsung selama berabad-abad. Selama ratusan tahun, setelan jas kaku telah berfungsi sebagai perisai bagi pekerja kerah putih, sebuah simbol stabilitas, otoritas, dan kompetensi yang berakar pada tradisi aristokrat Eropa. Namun, di dekade ketiga abad ke-21, definisi pakaian kantor telah mengalami dekonstruksi total. Dominasi gaya business casual yang fleksibel namun tetap rapi kini menjadi norma global, menggantikan protokol formal yang pernah dianggap tidak bisa diganggu gugat di lembaga-lembaga paling konservatif sekalipun.
Evolusi ini dipicu oleh pertemuan dua kutub gaya yang sangat berbeda: fungsionalitas radikal dan pragmatisme dari Silicon Valley yang bertemu dengan elegansi struktural serta warisan European tailoring. Transformasi ini mencapai puncaknya ketika alas kaki yang dulunya dianggap hanya untuk kegiatan atletik—sepatu sneaker berkualitas tinggi—berhasil menembus ruang rapat di pusat-pusat finansial dunia, mulai dari London hingga Jakarta. Perubahan ini menandai akhir dari era keseragaman paksa dan dimulainya era ekspresi diri yang terkurasi, di mana identitas profesional tidak lagi ditentukan oleh kekakuan kain, melainkan oleh kualitas material, keberlanjutan, dan kemampuan beradaptasi terhadap model kerja hybrid.
Genealogi Pakaian Kerja: Dari Seragam Kekuasaan ke Personalisasi
Sejarah pakaian bisnis modern dapat ditelusuri kembali ke abad ke-17 di Inggris, di mana Raja Charles II memperkenalkan bentuk awal setelan jas sebagai respons terhadap nilai-nilai Pencerahan. Sebelum era ini, pakaian pria kelas atas sangat mewah, mencakup penggunaan riasan wajah, wig bubuk, dan kain yang sangat mencolok sebagai tanda status. Charles II mempromosikan pendekatan yang lebih moderat, di mana pria dinilai berdasarkan rasionalitas dan ketenangan mereka, bukan sekadar kemewahan lahiriah. Setelan tersebut dirancang untuk menunjukkan kepemimpinan yang praktis dan kompeten, sebuah prinsip yang tetap bertahan hingga hari ini di mana setelan jas secara instan menandakan tipe kepemimpinan yang masuk akal.
Memasuki era Victoria, desain jas menjadi lebih ramping dengan penggunaan warna-warna gelap yang serius, yang kemudian menjadi dasar bagi setelan bisnis formal modern. Inovasi besar terjadi pada tahun 1849 ketika perusahaan pakaian Amerika Serikat, Brooks Brothers, memperkenalkan setelan ready-to-wear pertama yang tidak memerlukan penjahitan khusus. Inovasi ini mendemokratisasi pakaian formal, memungkinkan setelan jas diadopsi oleh mereka yang berada di luar kelas elit. Keseragaman ini memadatkan citra pekerja modern, di mana semua orang dari CEO hingga juru tulis kantor mengenakan kostum yang hampir sama, meskipun dengan perbedaan kualitas bahan yang signifikan.
| Era | Tren Utama | Karakteristik Kunci | Pemicu Perubahan |
| 1700-an | Aristocratic Sobriety | Jas panjang, rompi, kain wol gelap. | Nilai-nilai Pencerahan dan rasionalitas. |
| 1850-an | Mass Production | Setelan ready-to-wear, warna hitam/gelap. | Revolusi Industri dan Brooks Brothers. |
| 1920-an | Ivy League Look | Kemeja button-down, jaket bahu alami. | Pengaruh mahasiswa Universitas Oxford dan Amerika. |
| 1950-an | Age of Conformity | Setelan abu-abu kotak, kemeja Oxford, dasi rep. | Standarisasi pasca-perang dunia II. |
| 1980-an | Power Dressing | Bahu lebar, pola mencolok, aksesori mewah. | Ambisi korporat dan ledakan finansial. |
| 1990-an | Casual Friday | Celana chino, kemeja tanpa dasi, denim. | Gerakan “Aloha Friday” dan kampanye Levi’s. |
| 2020-an | Hybrid/Quiet Luxury | Bahan performa, sneaker mewah, pakaian Zoom. | Pandemi COVID-19 dan digitalisasi kerja. |
Pergeseran menuju business casual mulai terasa pada tahun 1960-an melalui gerakan “Aloha Friday” di Hawaii, di mana kemeja bermotif diterima sebagai pakaian kerja resmi untuk meningkatkan moral karyawan di iklim tropis. Namun, pengaruh paling terukur datang dari kampanye pemasaran Levi Strauss & Co. pada tahun 1992 melalui panduan Casual Businesswear yang dikirimkan ke 25.000 departemen SDM di seluruh Amerika Serikat. Panduan ini mempromosikan kombinasi denim dan celana Docker dengan blazer, yang membantu mendefinisikan kode pakaian kantor generasi baru yang lebih santai namun tetap terlihat profesional.
Pengaruh Silicon Valley: Estetika Anti-Mapan dan Fungsionalitas Tinggi
Silicon Valley telah mengubah total lanskap gaya profesional melalui apa yang sering disebut sebagai anti-style. Tokoh-tokoh seperti Steve Jobs dengan kemeja mock turtleneck hitamnya dan Mark Zuckerberg dengan kaos abu-abu serta hoodie pulovernya menciptakan narasi baru bahwa perhatian seorang pemimpin harus difokuskan sepenuhnya pada inovasi, bukan pada kompleksitas lemari pakaian. Di lembah teknologi ini, berpakaian santai bukan sekadar tentang kenyamanan, melainkan sebuah keputusan strategis untuk mengalihkan fokus dari citra dangkal ke substansi kerja.
Hoodie, yang dulunya merupakan pakaian olahraga atau santai, bertransformasi menjadi simbol inovasi. Namun, narasi ini tidaklah sesederhana kelihatannya. Di balik tampilan yang tampak tidak peduli, terdapat kurasi yang sangat teliti. Hoodie eksekutif modern di Silicon Valley sering kali merupakan produk rekayasa tekstil tingkat tinggi, dengan harga mencapai $600. Pakaian-pakaian ini menggunakan kain tahan air, sistem pengatur suhu, dan bahan berkelanjutan yang diproses secara etis. Fenomena ini mencerminkan obsesi terhadap optimalisasi; setiap lapisan pakaian harus memiliki fungsi, mulai dari kemeja anti-kerut yang terbuat dari serat eukaliptus hingga sepatu hibrida dengan desain tingkat ortopedi.
Filosofi Seragam dan Pengurangan Kelelahan Keputusan
Banyak eksekutif puncak mengadopsi seragam pribadi untuk menyederhanakan kehidupan mereka dan memperkuat merek pribadi mereka. Steve Jobs adalah contoh klasik, namun pemimpin masa kini seperti Jack Dorsey juga mengikuti jejak serupa dengan estetika “rugged, monk-like” untuk mengomunikasikan otoritas yang mandiri. Konsistensi visual ini memberikan sinyal tentang niat yang jelas dan kepercayaan diri yang tinggi; seseorang tidak memerlukan pakaian baru setiap hari untuk membuktikan kemampuannya.
Peralihan ke gaya hidup hybrid juga melahirkan “zona strategis” dalam berpakaian, terutama bagi para eksekutif yang sering melakukan pertemuan melalui video. Fokus pakaian kini beralih ke bagian atas tubuh yang terlihat di kamera—sering disebut sebagai “Zoom outfit”. Kemeja rajut terstruktur, jaket tanpa kerah minimalis, dan kacamata yang membingkai wajah dengan kuat menjadi prioritas, sementara bagian bawah tubuh tetap menggunakan celana jogger atau kaos kaki yang nyaman.
Pertemuan Estetika: European Tailoring Menemukan Fleksibilitas
Meskipun pengaruh Amerika sangat kuat, tradisi penjahitan Eropa tidak menghilang; sebaliknya, ia berevolusi dengan menyerap elemen-elemen kasual tanpa mengorbankan martabat. Penjahit di Savile Row, London, dan rumah mode di Milan telah mulai mengadaptasi potongan mereka untuk memenuhi permintaan klien yang lebih muda. Hasilnya adalah munculnya unstructured suit—setelan jas yang dibuat dari kain ringan tanpa bantalan bahu yang kaku atau lapisan dalam yang berat, memberikan kebebasan bergerak namun tetap menjaga siluet yang tajam.
Perbedaan antara tradisi penjahitan Amerika dan Eropa tetap menjadi poin diskusi yang menarik dalam estetika kerja:
- Tradisi Eropa:Â Menekankan struktur, formalitas, dan kepatuhan pada aturan yang mapan. Jas sering kali memiliki bahu yang dibangun dan pinggang yang ditekan untuk menciptakan kesan otoritas militeristik.
- Gaya Amerika:Â Mengutamakan bahu alami, potongan yang lebih longgar, dan konstruksi praktis. Hal ini berakar pada nilai-nilai Amerika yang menolak hierarki kelas yang kaku, lebih memilih kenyamanan dan mobilitas.
Saat ini, di pusat keuangan seperti London’s Canary Wharf, pemandangan telah berubah drastis. Celana katun berpotongan lebar (wide-leg) dengan tekstur seperti wol Shetland telah menggantikan kombinasi jas pinstripe tradisional. Bank-bank besar seperti HSBC dan Barclays telah secara resmi melonggarkan persyaratan penggunaan jas, yang memicu munculnya hibrida antara kode formal dan kasual yang tetap elegan. Di Milan, rumah mode seperti Zegna dan Giorgio Armani mendemonstrasikan bagaimana volume pakaian dapat ditingkatkan tanpa kehilangan keanggunan, sebuah pendekatan yang sangat populer setelah pameran Pitti Uomo.
Revolusi Alas Kaki: Mengapa Sneaker Menang di Ruang Rapat
Penerimaan sepatu sneaker di ruang rapat adalah salah satu perubahan budaya paling signifikan dalam sejarah mode profesional. Sepatu sneaker berkualitas tinggi kini bukan lagi sekadar pelengkap pakaian santai, melainkan simbol status yang setara dengan jam tangan mewah atau tas desainer. Fenomena ini didorong oleh persepsi bahwa sneaker adalah “kelas aset keras” yang memiliki nilai investasi dan prestise budaya.
Dari Atletik ke Otoritas Eksekutif
Sneaker pertama kali ditemukan pada 1860-an untuk olahraga tenis dan kriket, namun baru mencapai daya tarik massa pada akhir abad ke-20 melalui budaya jogging tahun 1970-an. Titik balik utama terjadi pada tahun 1984 ketika Nike menandatangani kontrak dengan Michael Jordan. Pelanggaran aturan berpakaian NBA oleh Jordan dengan sepatu merah-hitamnya menjadikan sneaker simbol tantangan terhadap otoritas, sebuah semangat yang sangat cocok dengan mentalitas disruptor di Silicon Valley.
Kini, di London hingga Jakarta, eksekutif perbankan dan hukum mulai mengadopsi sneaker minimalis yang terbuat dari kulit premium atau suede. Merek seperti Common Projects dengan model Achilles-nya telah menjadi standar emas, menawarkan desain tanpa logo yang mencolok, namun dikenali melalui nomor seri emas yang tercetak halus di sisi sepatu. Di sisi lain, Zegna Triple Stitch telah dinobatkan sebagai “sepatu CEO” karena desainnya yang bersih, tanpa tali, dan material mewah yang sangat serasi dengan celana chino maupun setelan jas tanpa dasi.
| Model Sepatu | Material Utama | Karakteristik Desain | Penggunaan Profesional |
| Common Projects Achilles | Kulit Calf / Suede | Minimalis, sol cupsole, nomor seri emas. | Pertemuan bisnis kreatif, kantor teknologi. |
| Zegna Triple Stitch | Kulit Rusa / Suede | Tanpa tali (elasticated), sol ringan. | Ruang rapat eksekutif, perjalanan bisnis. |
| Loro Piana Open Walk | Suede kualitas tinggi | Slip-on, lapisan air, sol karet putih. | Gaya Quiet Luxury di kalangan perbankan investasi. |
| Luxury Hybrid (e.g. Prada) | Kulit & Tekstil Performa | Siluet formal dengan sol teknis. | Lingkungan profesional konservatif yang dinamis. |
Diterimanya sneaker di lingkungan formal juga dipengaruhi oleh faktor kesehatan dan ergonomi. Dengan peningkatan mobilitas pekerja hybrid yang sering berpindah antara transportasi umum, kantor, dan acara sosial, kebutuhan akan alas kaki yang nyaman menjadi tidak terelakkan. Penjualan alas kaki hibrida yang menggabungkan siluet sepatu formal dengan sol sneaker telah meningkat secara signifikan dibandingkan periode sebelum pandemi.
Konteks Indonesia: Business Casual dengan Sentuhan Lokal di Jakarta SCBD
Di Jakarta, fenomena business casual memiliki manifestasi unik yang berpusat di kawasan SCBD (Sudirman Central Business District). Kawasan ini sering kali digambarkan sebagai sisi paling modern dan mewah dari Indonesia, setara dengan distrik finansial di Singapura atau Dubai. Di sini, estetika business casual global bertemu dengan identitas budaya lokal, menciptakan gaya yang khas yang mencerminkan kekayaan, perkembangan pesat, dan budaya bisnis kelas atas.
Peran Batik Modern dalam Pakaian Kantor
Batik telah mengalami transformasi dari pakaian seremonial yang kaku menjadi bagian integral dari gaya business casual di Indonesia. Desainer kini memadukan teknik batik tradisional dengan gaya yang santai dan nyaman seperti kemeja lengan pendek berpotongan ramping, tunik, dan gaun. Batik modern sering kali dipadukan dengan celana chino atau denim gelap dan sepatu sneaker mewah, menciptakan tampilan yang tetap menghormati warisan budaya namun tetap selaras dengan tren profesional global.
Pemerintah Indonesia juga berperan aktif dalam mendukung industri batik melalui berbagai inisiatif klinis kekayaan intelektual, yang membantu batik beralih dari “budaya tinggi” menjadi bagian dari gaya hidup populer dan umum. Meskipun batik kini sering dikaitkan dengan industri fast fashion karena kemajuan teknik cetak, batik tetap menjadi simbol kebanggaan nasional yang memberikan identitas kuat bagi profesional Indonesia di kancah global.
Dominasi Sneaker Mewah dan Kebangkitan Merek Lokal
Di SCBD, sneaker mewah telah menjadi indikator status yang sangat terlihat. Eksekutif muda dan pekerja perbankan di Jakarta tidak ragu untuk mengenakan sneaker dari rumah mode internasional seperti Balenciaga, Louis Vuitton, atau Prada untuk kegiatan sehari-hari di kantor. Namun, di saat yang sama, terdapat apresiasi yang tumbuh terhadap merek sepatu lokal yang menawarkan kualitas serupa dengan harga yang lebih kompetitif.
Merek lokal seperti Mario Minardi, yang telah berdiri sejak 1982, membuktikan bahwa sepatu formal dan kasual buatan Indonesia memiliki daya tahan dan estetika yang mampu bersaing dengan merek luar negeri. Selain itu, merek-merek seperti Brodo, Nappa Milano, dan Amble Footwear telah menjadi pilihan populer bagi para profesional muda yang mencari keseimbangan antara gaya semi-formal dan kasual.
| Merek Lokal Indonesia | Fokus Produk | Karakteristik Utama |
| Mario Minardi | Bespoke & Ready-to-wear | Kerajinan tangan tradisional, kulit premium. |
| Brodo | Modern Lifestyle | Desain serbaguna, harga terjangkau, kualitas kokoh. |
| Nappa Milano | Contemporary Classic | Desain minimalis, fokus pada estetika urban. |
| Compass / Ventela | Streetwear Sneaker | Budaya pop lokal, desain retro. |
Dinamika Generasional: Gen Z, Millennial, dan Masa Depan Identitas Kerja
Transformasi pakaian kantor sangat dipengaruhi oleh perubahan demografis dalam angkatan kerja. Generasi Millennial kini telah mengambil alih posisi kepemimpinan senior, sementara Gen Z mulai masuk ke dunia kerja dengan nilai-nilai yang sangat berbeda terkait ekspresi diri dan keberlanjutan.
Gen Z dan Penolakan terhadap Norma Tradisional
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mengikuti aturan berpakaian yang ketat untuk “menyesuaikan diri”, Gen Z menghargai keaslian, inklusivitas, dan utilitas. Mereka lebih menyukai gaya gender-neutral, siluet yang lebih longgar (oversized), dan penggunaan pakaian bekas atau thrifted sebagai bentuk pernyataan lingkungan. Menariknya, meskipun gaya mereka lebih santai, Gen Z adalah generasi yang paling merasa cemas tentang apa yang harus mereka pakai ke kantor atau pertemuan video, sering kali mencari panduan formal tentang cara memadukan gaya pribadi dengan standar profesional.
Dua tren gaya yang mendominasi di tahun 2025 di kalangan pekerja muda adalah:
- Quiet Luxury:Â Gaya yang menekankan pada kualitas bahan tanpa logo yang mencolok, memproyeksikan otoritas yang tenang dan selera yang halus.
- Office Siren:Â Estetika yang menggabungkan elemen profesional klasik dengan sentuhan modern yang lebih tajam dan ekspresif.
Dampak Kerja Hybrid pada Spend dan Prioritas
Penelitian dari International Workplace Group (IWG) menunjukkan bahwa 92% karyawan hybrid menganggap penting agar pakaian yang mereka beli bersifat fleksibel untuk penggunaan kerja maupun waktu luang. Hal ini memicu munculnya “seragam kerja” tidak resmi bagi banyak orang, di mana efisiensi dalam bersiap-siap dan pengurangan kelelahan keputusan menjadi motivasi utama (masing-masing 54% dan 43% responden). Ketidakpastian ekonomi juga mendorong konsumen untuk lebih berhati-hati dalam pengeluaran, lebih memilih koleksi kapsul yang praktis dan tahan lama.
Analisis Ekonomi: Pasar Mewah di Persimpangan Jalan 2025
Lanskap ekonomi global pada tahun 2025 memberikan tantangan sekaligus peluang bagi industri mode mewah. Setelah masa pertumbuhan luar biasa antara 2019 dan 2023, sektor kemewahan kini menghadapi perlambatan dengan proyeksi pertumbuhan penjualan tahunan hanya sebesar 2-4% antara 2025 dan 2027.
Pergeseran Nilai dan Tantangan Inflasi
Kenaikan harga yang agresif di masa lalu mulai mencapai batasnya. Konsumen, yang kini dipersenjatai dengan akses informasi melalui platform seperti TikTok dan Reddit, mulai mempertanyakan margin keuntungan yang sangat tinggi dan kualitas produk yang sebenarnya. Dissonansi kognitif muncul ketika harga sepasang sepatu setara dengan pembayaran cicilan rumah bulanan, sementara biaya tenaga kerja manufaktur di UE hanya naik sekitar 20% dalam periode yang sama.
Meskipun demikian, pasar alas kaki mewah tetap tangguh. Valuasi pasar alas kaki mewah global diproyeksikan mencapai US$ 53,9 miliar pada tahun 2033, didorong oleh populasi jutawan global yang terus tumbuh dan pengaruh media sosial yang kuat. LVMH dan Prada Group tetap melaporkan ketahanan dalam kategori “hard luxury”, sementara merek fungsional seperti Birkenstock melihat pertumbuhan pesat melalui tren “executive leisure”.
| Metrik Pasar | Data Estimasi 2024-2025 | Proyeksi 2029-2033 |
| Valuasi Pasar Alas Kaki Mewah | US$ 30 – 32.5 Miliar | US$ 41.5 – 53.9 Miliar |
| CAGR (Laju Pertumbuhan) | 5.8% – 6.8% | Stabil pada ~6.0% |
| Pangsa Pasar Terbesar (Wilayah) | Amerika Utara (38.2%) | Pertumbuhan pesat di APAC |
| Faktor Penghambat Utama | Tarif Impor & Ketegangan Perdagangan | Penjenuhan Pasar & Barang Palsu |
Perusahaan-perusahaan mode kini harus melakukan reset strategis, memperjelas nilai-nilai inti mereka, dan memulihkan keunggulan produk untuk mempertahankan kepercayaan klien yang semakin kritis. Strategi pemasaran masa kini tidak lagi mengandalkan iklan satu arah yang megah, melainkan fokus pada penceritaan emosional (storytelling), keberlanjutan yang terbukti, dan kolaborasi dengan seniman atau pengrajin lokal untuk memberikan rasa autentik.
Kesimpulan: Redefinisi Profesionalisme dan Identitas Visual
Kebangkitan global business casual bukan sekadar perubahan tentang hilangnya dasi atau masuknya sepatu kets ke dalam ruang rapat, melainkan redefinisi total tentang apa artinya menjadi “profesional” di abad ke-21. Profesionalisme kini tidak lagi diukur dari kepatuhan terhadap seragam yang kaku dan tidak nyaman, melainkan dari kinerja, keaslian, dan kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan kerja yang fleksibel.
Sinergi antara pragmatisme Silicon Valley dan warisan estetika Eropa telah menciptakan bahasa visual baru yang merayakan kualitas material dan kenyamanan tanpa mengorbankan kehormatan. Di Jakarta, integrasi batik modern dan apresiasi terhadap merek lokal menunjukkan bahwa tren global ini mampu menyerap nilai-nilai budaya spesifik untuk menciptakan identitas profesional yang lebih kaya dan beragam.
Di masa depan, kita akan melihat integrasi teknologi yang lebih dalam pada pakaian kerja—mulai dari serat pintar yang mengatur suhu hingga rantai pasok yang sepenuhnya transparan melalui teknologi blockchain. Namun, inti dari semua perubahan ini tetap sama: keinginan manusia untuk mengekspresikan diri secara autentik sambil tetap berkontribusi secara bermakna dalam dunia bisnis yang semakin dinamis. Sepatu sneaker di ruang rapat London hingga Jakarta adalah monumen bagi pergeseran kekuasaan ini—dari institusi yang mendikte ke individu yang menentukan cara mereka bekerja dan berpenampilan.


