Studi Komparatif Perubahan Sosial Dan Representasi Politik Perempuan Di Asia Tenggara
Representasi politik perempuan di Asia Tenggara merupakan cerminan kompleks dari interaksi antara norma-norma sosial, struktur kelembagaan, dan dinamika kekuasaan elektoral. Dalam menganalisis fenomena ini, sangat penting untuk membedakan antara representasi deskriptif dan representasi substantif. Representasi deskriptif merujuk pada jumlah atau persentase perempuan yang menduduki jabatan politik, baik di legislatif maupun eksekutif. Sementara itu, representasi substantif mengacu pada sejauh mana kepentingan, kebutuhan, dan aspirasi perempuan tercermin dalam formulasi dan implementasi kebijakan publik. Seringkali, representasi deskriptif yang tinggi di kawasan ini tidak serta-merta menjamin representasi substantif yang memadai, menciptakan disonansi yang perlu dikaji secara mendalam.
Asia Tenggara merupakan kawasan yang ditandai oleh kerangka sosiopolitik yang sangat beragam, mulai dari sistem demokrasi elektoral yang relatif stabil (seperti Filipina dan Indonesia), monarki konstitusional, hingga sistem politik yang didominasi oleh otoritas atau militer. Keberagaman sistem politik ini secara fundamental memengaruhi peluang dan hambatan yang dihadapi perempuan untuk mengakses dan memegang kendali kekuasaan. Secara historis, banyak perempuan di kawasan ini telah memainkan peran krusial dalam gerakan kemerdekaan dan reformasi. Peran-peran awal ini meletakkan dasar bagi tuntutan politik kontemporer, namun juga membentuk ekspektasi mengenai peran perempuan di ruang publik, yang sering kali masih dibatasi oleh kerangka kultural.
Metodologi Komparatif: Memilih Kasus Negara Kunci
Studi komparatif ini mengadopsi pendekatan multidimensi untuk menganalisis faktor-faktor kritis di balik keterwakilan politik perempuan. Metodologi ini membandingkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dengan desain kebijakan afirmasi dan lingkungan politik yang berbeda. Indonesia dijadikan studi kasus utama karena menerapkan kebijakan kuota wajib 30% bagi calon legislatif, namun hasilnya menunjukkan keterwakilan yang masih moderat. Perbandingan dilakukan dengan negara-negara seperti Malaysia dan Thailand yang umumnya tidak memiliki kuota eksplisit di tingkat nasional, yang sering kali menghasilkan tingkat keterwakilan yang jauh lebih rendah. Di sisi lain, Filipina, yang berhasil mencapai tingkat representasi legislatif yang relatif tinggi, memberikan kontras yang menarik terhadap efikasi kebijakan kuota di Indonesia.
Pendekatan analisis yang digunakan terbagi menjadi tiga lensa utama :
- Dimensi Makro (Sosial-Politik): Menjelajahi konteks budaya patriarki, norma agama, dan jejaring politik yang lebih luas yang memengaruhi representasi.
- Dimensi Meso (Kelembagaan): Memeriksa peran institusi formal seperti partai politik, sistem elektoral, dan efektivitas kebijakan kuota.
- Dimensi Mikro (Individu/Dinasti): Menganalisis bagaimana modal politik individu, karisma, atau legitimasi genealogis (dinasti politik) memfasilitasi akses perempuan ke posisi kekuasaan.
Dengan menggunakan kerangka ini, studi ini bertujuan memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai mengapa, di tengah tekanan global dan regional untuk kesetaraan gender, tingkat dan kualitas representasi perempuan di Asia Tenggara tetap menghadapi tantangan struktural yang signifikan.
Peta Keterwakilan Kuantitatif (Baseline Data 2024)
Status Keterwakilan di Legislatif Nasional Asia Tenggara (2024)
Analisis data kuantitatif representasi perempuan di parlemen menunjukkan bahwa kawasan Asia Tenggara berada sedikit di bawah rata-rata global, namun menunjukkan variasi yang mencolok antarnegara. Secara global, rata-rata perempuan menduduki 27.0% kursi di majelis rendah atau unikameral. Sementara itu, rata-rata kawasan Asia adalah 21.8%
Data per 2024 menunjukkan peta keterwakilan di beberapa negara kunci Asia Tenggara sebagai berikut
- Filipina: Mencatat persentase keterwakilan di parlemen sebesar 27.3%. Angka ini mendekati atau sedikit melampaui rata-rata global (27.0%) dan secara signifikan di atas rata-rata Asia. Pencapaian ini menyoroti tradisi politik di Filipina yang, meskipun menghadapi tantangan lain, menunjukkan lingkungan yang relatif lebih inklusif bagi perempuan dibandingkan banyak tetangganya, bahkan tanpa kuota nasional yang ketat.
- Indonesia: Persentase keterwakilan mencapai 21.0%. Angka ini sedikit di bawah rata-rata Asia (21.8%) dan jauh di bawah rata-rata global (27.0%). Realitas 21.0% di Indonesia menjadi titik analisis kritis mengingat adanya kebijakan kuota wajib 30% untuk calon legislatif.
- Malaysia: Keterwakilan tercatat sebesar 13.%. Angka ini sangat rendah, jauh di bawah rata-rata regional dan global, yang mengindikasikan adanya hambatan struktural dan kultural yang kuat dalam sistem politik mereka.
- Kamboja: Mencatat angka yang serupa dengan Malaysia, yaitu $13.6\%$, mencerminkan dinamika sistem politik yang didominasi otoritas yang cenderung membatasi ruang partisipasi bagi kelompok terpinggirkan.
Tabel berikut merangkum perbandingan data keterwakilan perempuan di legislatif nasional:
Tabel II.A: Keterwakilan Perempuan di Parlemen Nasional Asia Tenggara (2024)
| Negara | Persentase Keterwakilan Parlemen (2024) | Rata-rata Kawasan/Global | Komentar Singkat |
| Filipina | 27.3% | Global: 27.0% | Melampaui rata-rata Asia. |
| Indonesia | 21.0% | Asia: 21.8\% | Di bawah rata-rata Asia meskipun memiliki kuota wajib. |
| Malaysia | 13.5% | Global: 27.0% | Keterwakilan sangat rendah. |
| Kamboja | $13.6\%$ | Asia: $21.8\%$ | Rendah, cerminan dinamika politik dalam negeri. |
Sementara itu, di tingkat eksekutif, ketimpangan cenderung lebih parah. Data global per Januari 2025 menunjukkan bahwa perempuan hanya mewakili 22.9% dari posisi anggota kabinet yang memimpin kementerian atau area kebijakan. Hanya sembilan negara di dunia yang mencapai 50% atau lebih menteri kabinet perempuan. Kesenjangan eksekutif ini di Asia Tenggara seringkali lebih dalam daripada kesenjangan legislatif, menandakan adanya “plafon kaca” yang lebih tebal di puncak struktur kekuasaan.
Analisis Data Sub-Nasional Indonesia (Studi Kasus Keterwakilan Lokal)
Menganalisis data di tingkat nasional dapat menyembunyikan kinerja yang sangat bervariasi di tingkat lokal. Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan di parlemen daerah sangat ekstrem. Sebagai contoh, beberapa kabupaten/kota mencatat persentase keterlibatan perempuan yang sangat rendah, seperti Merangin (2.86%) , sementara yang lain mencapai angka yang jauh lebih tinggi, seperti Karo (22.50% Â atau Jepara (20.00%).
Variasi ekstrem di tingkat sub-nasional ini mengungkapkan kesenjangan kritis antara komitmen kebijakan de jure (kuota 30%) dan realitas politik de facto. Meskipun Indonesia secara nasional menetapkan kuota, realisasi 21.0% di parlemen nasional, ditambah dengan kegagalan yang meluas di tingkat lokal, menunjukkan bahwa masalah utamanya terletak pada kesenjangan kepatuhan institusional terhadap kebijakan afirmasi.
Jalur kausalitas yang dapat diamati adalah sebagai berikut: Komitmen politik yang tertuang dalam kebijakan kuota formal (kuota de jure) seringkali berhadapan dengan kegagalan dalam penerapannya oleh partai politik (filter institusional). Hal ini mengakibatkan representasi de facto berada di bawah target yang ditetapkan. Kegagalan ini pada gilirannya menghalangi pencapaian critical mass perempuan di parlemen yang diperlukan untuk mendorong perubahan kebijakan substantif yang mendalam. Kinerja Indonesia yang lebih rendah dari Filipina, meskipun memiliki kuota yang lebih ketat, menggarisbawahi argumen bahwa sistem elektoral dan mekanisme rekrutmen internal partai (dibahas pada Bagian III) adalah penentu yang lebih kuat daripada sekadar kehadiran kebijakan afirmasi di atas kertas.
Analisis Hambatan Struktural Dan Kebijakan Afirmasi
Dilema Kebijakan Kuota (Affirmative Action)
Kebijakan kuota gender merupakan intervensi struktural yang paling umum di Asia Tenggara, terutama di Indonesia. Kuota 30% di Indonesia, diatur melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, mewajibkan daftar calon legislatif menyertakan minimal 30% perempuan. Namun, tantangan mendasar terletak pada inefektivitas implementasi kuota ini.
Kajian menunjukkan bahwa kebijakan afirmasi, meskipun berhasil meningkatkan jumlah calon perempuan yang terdaftar, sering kali gagal pada tahap keterpilihan akhir. Studi kasus di Madura, misalnya, menemukan bahwa secara simultan, efektivitas kuota 30% di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) sub-nasional tidak efektif, dengan nilai E = 29.63% yang jauh di bawah target 100%. Hal ini menunjukkan bahwa kuota hanya berfungsi sebagai syarat administrasi pencalonan, bukan jaminan keterpilihan.
Perdebatan mengenai sistem elektoral juga memengaruhi efikasi kuota. Penerapan sistem proporsional daftar terbuka (sejak Pemilu Legislatif 2009) bertujuan meningkatkan akuntabilitas calon melalui suara terbanyak. Walaupun beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem suara terbuka tidak selalu berimplikasi negatif terhadap upaya tindakan afirmatif kuota 30%, sistem ini secara inheren menuntut modal finansial dan popularitas individu yang besar. Bagi perempuan, yang sering menghadapi keterbatasan sumber daya, sistem ini dapat menjadi hambatan tambahan, meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi terkait sistem ini telah diimplementasikan.
Filter Institusional Partai Politik: Gerbang Diskriminatif
Partai politik berfungsi sebagai gerbang utama menuju kekuasaan legislatif, dan di Asia Tenggara, partai-partai tersebut seringkali merupakan filter institusional yang diskriminatif. Temuan menegaskan bahwa partai politik belum sepenuhnya menjadi ruang aman bagi partisipasi perempuan. Meskipun kuota formal diterapkan, norma budaya dan praktik kelembagaan internal partai secara konsisten mendukung dominasi laki-laki. Salah satu politisi pernah menyatakan bahwa praktik meremehkan perempuan itu sudah terstruktur masif, yang mencerminkan bagaimana kebijakan kuota sering kali hanya menjadi pemenuhan syarat formal. Keputusan informal yang bias gender sering kali terjadi, terutama dalam partai berbasis keagamaan, melemahkan tujuan kuota.
Hambatan paling signifikan yang dihadapi politisi perempuan adalah Keterbatasan Sumber Daya Finansial dan Politik Ekonomi (KTPP ekonomi). KTPP ekonomi dalam politik bersifat multidimensional. Keterbatasan sumber daya finansial, manipulasi persepsi publik, eksploitasi kerentanan ekonomi, dan ketergantungan struktural menjadi momok bagi politisi perempuan. Politisi perempuan seringkali tidak memiliki akses modal sebesar rekan laki-laki mereka, yang membuat biaya kampanye dalam sistem terbuka menjadi sangat membebani.
Analisis ini menunjukkan adanya kegagalan institusional ganda dalam sistem politik regional, khususnya Indonesia. Kegagalan ini terdiri dari: (1) Kegagalan substantif untuk mengimplementasikan kuota secara efektif hingga tingkat keterpilihan akhir , dan (2) Kelemahan mendasar dalam internal partai politik untuk menciptakan lingkungan yang setara dari segi pendanaan, dukungan, dan keamanan. Lingkungan ini memastikan bahwa hanya perempuan dengan modal politik atau finansial yang sangat besar (seringkali melalui jalur dinasti, seperti dibahas di Bagian V) yang mampu melewati filter institusional ini.
Untuk meningkatkan representasi substantif, fokus reformasi harus melampaui sekadar jumlah minimum calon. Reformasi harus menargetkan regulasi pembiayaan kampanye dan mekanisme reformasi internal partai politik untuk mengatasi akar ketimpangan ekonomi gender.
Dinamika Sosial, Kultural, Dan Patriarki
Budaya Patriarki sebagai Blokade Utama
Budaya patriarki tetap menjadi blokade kultural utama terhadap partisipasi dan kepemimpinan politik perempuan di Asia Tenggara. Sistem ini tidak hanya menghambat partisipasi perempuan, tetapi juga melanggengkan siklus kekerasan dan diskriminasi berbasis gender yang sering meningkat selama siklus pemilu. Keterbatasan ini berakar pada dimensi makro sosial-politik.
Budaya patriarki membentuk konstruksi sosial yang menekan perempuan untuk tidak berbicara secara terbuka dan membatasi peran mereka ke ranah privat. Meskipun perempuan merupakan bagian besar dari jumlah pemilih, konstruksi sosial ini berperan dalam “memandulkan” peran politik mereka, sehingga kepentingan perempuan seringkali termarginalisasi dan berada dalam hegemoni maskulin.
Pengaruh Norma Agama dan Budaya terhadap Kepemimpinan
Diskursus mengenai pantas tidaknya perempuan memimpin merupakan diskursus usang yang perlu ditinggalkan. Paradigma lama yang membatasi perempuan hanya mengurus urusan domestik harus diganti dengan konsep kemitraan sejajar, di mana perempuan diperbolehkan menjadi pemimpin dalam kehidupan publik.
Dari perspektif agama, meskipun kepemimpinan perempuan dalam Islam sering menjadi perdebatan, kajian sosio-historis menunjukkan bahwa Islam bersifat moderat dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Sejarah Islam mencatat bahwa perempuan, seperti Aisyah r.a., pernah memainkan peran dalam kancah kepemimpinan dan bahkan peperangan, menunjukkan bahwa perempuan secara historis mampu mengambil peran strategis dalam kehidupan publik. Namun, konstruksi sosial di Indonesia seringkali mengabaikan aspek historis ini dan menggunakan norma budaya yang terinternalisasi untuk membatasi ruang gerak perempuan.
Stigma Peran Sosial dan Penempatan Komisi (Soft vs. Hard Politics)
Stigma peran sosial menghasilkan fenomena penempatan anggota legislatif perempuan di komisi-komisi yang dianggap “feminin” atau soft politics. Dalam konteks DPR RI periode 2019-2024, anggota DPR perempuan cenderung ditugaskan di komisi-komisi yang menangani kesehatan, ketenagakerjaan, dan isu sosial (Komisi IX mencatat 22% keterwakilan perempuan). Sebaliknya, mereka kurang terwakili di komisi-komisi yang terkait dengan hard politics, seperti hukum, HAM, keamanan, pemerintahan, dan tata kelola negara (Komisi II dan III).
Kecenderungan ini dijelaskan oleh peran sosial yang terinternalisasi secara kuat sebagai ibu atau istri. Aspirasi pekerjaan anggota DPR perempuan seringkali tidak jauh dari harapan kerja seorang ibu, yang erat kaitannya dengan aspek-aspek sosial dan soft politics lainnya. Hambatan keterlibatan ini bersifat mikro dan meso, di mana perempuan sering membutuhkan kemauan, kemampuan finansial, dan terutama izin dari keluarga (suami), sementara laki-laki diharapkan memimpin dan mencari nafkah.
Namun, data periode 2019-2024 menunjukkan adanya anomali yang signifikan. Meskipun kecenderungan soft politics tetap dominan, peningkatan jumlah anggota DPR perempuan yang menjabat sebagai ketua atau wakil ketua komisi—termasuk Meutya Hafid sebagai ketua Komisi I (komisi hard power)—menunjukkan bahwa batasan strategis formal mulai melebur.
Secara keseluruhan, hambatan kultural bekerja melalui mekanisme patriarki ganda: (1) Hambatan institusional/eksternal dari partai dan masyarakat yang mengarahkan perempuan ke ranah soft politics, membatasi pengaruh mereka terhadap kebijakan strategis (seperti anggaran dan regulasi kekuatan negara); dan (2) Hambatan internal di mana perempuan sendiri menginternalisasi peran sosial yang membatasi ambisi publik mereka. Untuk mengatasi hambatan ini, diperlukan intervensi cross-cutting yang mendorong pendidikan politik dan literasi media untuk mengatasi disinformasi berbasis gender, serta reformasi alokasi komisi di internal partai.
Paradoks Kekuasaan: Emansipasi Versus Dinasti Politik
Fenomena keterlibatan perempuan di Asia Tenggara seringkali dihadapkan pada paradoks antara capaian emansipasi gender dan reproduksi dinasti politik. Dinasti politik menempatkan keluarga elite sebagai aktor dominan dalam perebutan kekuasaan.
Jalur Akses Kekuasaan melalui Kekerabatan Politik
Di Indonesia, praktik dinasti politik sangat mengakar kuat. Keterpilihan calon legislatif perempuan pada pemilu 2019 menunjukkan bahwa sekitar 43% memiliki afiliasi dengan kekerabatan politik (dinasti atau klan). Kekerabatan politik ini berfungsi sebagai proxy politik yang memfasilitasi akses cepat ke posisi kekuasaan, terutama di tengah hambatan makro sosial-politik dan kelembagaan.
Ketika partai politik gagal merekrut perempuan non-elite secara adil, dinasti politik berfungsi sebagai kompensator atas kegagalan sistem kuota dan hambatan KTPP ekonomi. Jalur ini menyediakan jalan pintas yang aman, terlegitimasi secara simbolik, dan kaya secara finansial, untuk memenuhi kuota deskriptif sambil mempertahankan kendali kekuasaan dalam lingkaran oligarki.
Studi Kasus Tokoh Perempuan Dinasti di Asia Tenggara
Fenomena ini tampak jelas pada sejumlah pemimpin perempuan terkemuka di kawasan:
- Indonesia (Puan Maharani): Sosok Puan Maharani, cucu Soekarno dan putri Megawati Soekarnoputri, adalah simbol yang mewujudkan paradoks ini. Di satu sisi, ia merepresentasikan emansipasi sebagai Ketua DPR perempuan pertama. Di sisi lain, keberhasilannya tidak terpisahkan dari legitimasi genealogis sebagai bagian dari “garis keturunan Soekarno,” yang menyediakan akses tak terbatas ke modal sosial, simbolik, dan politik.
- Thailand (Yingluck Shinawatra): Kebangkitan Yingluck untuk menjadi Perdana Menteri perempuan pertama Thailand digambarkan sebagai rocket-fuelled—sangat cepat. Aksesnya sepenuhnya bergantung pada ikatan keluarga dengan kakaknya, Thaksin Shinawatra. Kehadirannya terjadi di tengah kultur politik Thailand yang macho, menunjukkan bahwa di balik setiap perempuan sukses dalam politik dinasti terdapat laki-laki kuat yang menyediakan political capital.
- Myanmar (Aung San Suu Kyi): Aung San Suu Kyi, putri pahlawan kemerdekaan Aung San, juga merupakan figur dinasti. Karisma politiknya yang ikonik sebagai pembela demokrasi belakangan dipertanyakan, terutama terkait krisis Rohingya, di mana ia memilih bungkam. Baik partai NLD yang dipimpin Suu Kyi maupun Pheu Thai di Thailand menunjukkan pola di mana keputusan besar sering kali berasal langsung dari arahan pimpinan puncak keluarga, jauh dari proses demokratis internal.
- Malaysia (Wan Azizah Wan Ismail): Memimpin oposisi Malaysia ketika suaminya, Anwar Ibrahim, dipenjara. Peran ini menggarisbawahi pola regional di mana perempuan elite sering menjadi proxy atau penyangga kekuasaan keluarga saat tokoh laki-laki utama absen.
Meskipun perempuan dinasti secara simbolis memecahkan plafon kaca dan memberikan inspirasi bagi perempuan lain, praktik ini berisiko melanggengkan oligarki dan membatasi akses perempuan non-elite, sehingga menghambat demokrasi substantif. Jalur kausalitasnya jelas: Hambatan Institusional dan KTPP memaksa partai mencari kandidat kuat, yang pada akhirnya didominasi oleh perempuan dinasti (Legitimasi Genealogis dan Modal), yang menghasilkan keterwakilan deskriptif yang tinggi tetapi keterwakilan substantif yang terdistorsi (karena cenderung merepresentasikan kepentingan elite, bukan kepentingan gender secara luas).
Hasil Substantif Dan Agenda Kebijakan
Keterwakilan Substantif dan Dampak Legislatif
Meskipun representasi deskriptif perempuan di legislatif (sekitar 21.0% di Indonesia) masih jauh dari optimal, keberadaan critical mass aktor politik perempuan, yang didukung oleh gerakan masyarakat sipil yang kuat, telah menghasilkan kemajuan legislatif yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa representasi substantif dapat terwujud melalui tekanan agency yang kuat, meskipun hambatan struktural kuantitatif masih tinggi.
Contoh kunci keberhasilan substantif adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di Indonesia. UU TPKS merupakan salah satu kemajuan penting yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan sejak era reformasi, memberikan mandat kepada pemerintah untuk mengatasi kekerasan seksual, yang trennya meningkat dan didominasi oleh perempuan sebagai korban. Kehadiran UU TPKS membuktikan bahwa agency politik perempuan mampu menghasilkan kebijakan pro-gender yang kuat, meskipun jumlah mereka di parlemen belum mencapai 30%.
Perkembangan penempatan komisi juga memberikan harapan bagi perluasan pengaruh substantif. Anomali penempatan perempuan di komisi hard politics pasca 2019 menunjukkan bahwa batasan strategis semakin pudar. Kemampuan perempuan untuk memengaruhi hasil kebijakan di ranah yang lebih luas (pertahanan, hukum, pemerintahan) akan menjadi penentu penting dalam agenda pembangunan sosial di masa depan.
Peran Masyarakat Sipil (CSO) dan Pendidikan
Organisasi masyarakat sipil (CSO) memainkan peran penting sebagai pendorong agenda reformasi. Organisasi seperti Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), KEMITRAAN, dan lembaga-lembaga yang mendokumentasikan hambatan keterwakilan perempuan  adalah garda terdepan dalam menuntut akuntabilitas dan reformasi kebijakan afirmasi.
Di tengah ancaman diskursus kesetaraan gender di Asia Pasifik, terutama dari disinformasi berbasis gender, literasi media dan politik menjadi sangat krusial. Kecakapan fact-checking diperlukan untuk melindungi politisi perempuan dari kampanye negatif yang berbasis gender dan memastikan diskusi politik tetap berdasarkan fakta.
Selain itu, meskipun data spesifik mengenai dampak output politik belum terperinci, peningkatan pendidikan perempuan adalah prasyarat dasar. Mendukung anak perempuan dan perempuan muda dalam kepemimpinan dan kewirausahaan  secara tidak langsung akan meningkatkan supply kandidat perempuan berkualitas yang dapat menantang dominasi elite dan dinasti.
Kesimpulannya, rantai sebab-akibat menunjukkan bahwa representasi substantif didorong oleh: Keterwakilan Deskriptif (21.0%) yang dikombinasikan dengan kekuatan CSO/Gerakan Perempuan. Koalisi ini memicu terbentuknya critical mass aktor kebijakan, meningkatkan kesadaran publik, dan pada akhirnya menghasilkan legislasi pro-gender yang kompleks dan transformatif (UU TPKS). Ini berarti bahwa keberhasilan harus diukur sebagai indikator kesehatan demokrasi yang lebih penting daripada sekadar angka parlemen.
Kesimpulan
Studi komparatif ini menegaskan bahwa representasi politik perempuan di Asia Tenggara adalah arena perjuangan multidimensi. Hambatan utama bersifat struktural dan kultural, di mana budaya patriarki memperkuat hambatan institusional, seperti mekanisme partai politik yang bias dan inefisiensi kebijakan afirmasi. Kawasan ini menghadapi dilema yang mendalam:
- Patriarki dan Kelembagaan sebagai Blokade Kunci: Meskipun kuota 30% ada di Indonesia, tingkat keterwakilan 21.0% menunjukkan kegagalan kepatuhan, diperburuk oleh dominasi laki-laki dalam partai politik dan keterbatasan akses finansial (KTPP ekonomi).
- Paradoks Dinasti Politik: Keterpilihan perempuan elite (seperti di Indonesia dan Thailand) memberikan ilusi emansipasi (representasi deskriptif) tetapi seringkali merupakan reproduksi oligarki, yang membatasi akses kekuasaan bagi perempuan non-elite. Dinasti bertindak sebagai mekanisme kompensasi terhadap kegagalan institusional dalam menyediakan jalur akses yang adil.
- Titik Harapan Substantif: Walaupun kemajuan deskriptif lambat, keberhasilan dalam legislasi pro-gender yang signifikan, seperti UU TPKS, menunjukkan bahwa perubahan substantif dapat dicapai melalui agency politik perempuan yang berkoalisi dengan masyarakat sipil, membuktikan bahwa kualitas kebijakan dapat melampaui jumlah kuantitatif.
Rekomendasi untuk Reformasi Institusional
Untuk mengatasi kegagalan institusional ganda dan meningkatkan representasi substantif, diperlukan reformasi struktural yang terfokus:
- Memperkuat Kuota Keterpilihan: Kebijakan afirmasi harus diubah agar tidak hanya berfokus pada tahap pencalonan, tetapi juga memastikan kuota 30% diterapkan pada hasil akhir keterpilihan, terutama di tingkat sub-nasional, di mana inefektivitas kuota sangat tinggi. Regulasi harus diperkuat dengan sanksi yang tegas bagi partai yang gagal mencapai target keterpilihan.
- Reformasi Internal Partai Politik: Pemerintah dan regulator pemilu harus mendorong partai politik untuk mereformasi mekanisme rekrutmen mereka. Ini termasuk mewajibkan alokasi sumber daya finansial kampanye yang adil dan transparan bagi kandidat perempuan, serta menghapuskan praktik “keputusan informal yang bias gender” dalam penempatan calon dan komisi.
- Mengatasi KTPP Ekonomi: Harus ada implementasi regulasi pembiayaan kampanye yang ketat untuk mengurangi ketergantungan politisi perempuan pada modal dinasti atau elite, sehingga menciptakan arena politik yang lebih adil dan terbuka bagi perempuan dari berbagai latar belakang.
Rekomendasi untuk Transformasi Kultural Jangka Panjang
- Menghapus Stigma Peran Sosial: Perluasan pendidikan politik yang menantang konstruksi sosial lama  harus dilakukan. Partai politik dan institusi legislatif harus secara aktif mendukung perempuan untuk terlibat dalam komisi hard politics (hukum, anggaran, pertahanan) dan memastikan bahwa alokasi komisi didasarkan pada kompetensi, bukan stereotip peran domestik.
- Meningkatkan Literasi Politik dan Media: Investasi dalam literasi media dan politik harus ditingkatkan untuk memberikan alat kepada politisi dan pemilih perempuan untuk melawan disinformasi berbasis gender dan kekerasan siber yang sering terjadi selama siklus pemilu.
- Penguatan Kemitraan CSO-Legislatif: Koalisi antara gerakan perempuan (CSO) dan legislator harus dilembagakan untuk memastikan bahwa momentum legislasi pro-gender (seperti UU TPKS) dipertahankan dan diperluas, serta memastikan representasi substantif tetap menjadi prioritas utama.


