Loading Now

Dari Dapur ke Panggung Dunia: Strategi Gastrodiplomasi untuk Meningkatkan Citra Nasional

Gastrodiplomasi telah muncul sebagai instrumen vital dalam diplomasi publik modern, memanfaatkan daya tarik universal makanan untuk membangun citra nasional yang positif. Konsep ini, yang dipelopori oleh Paul S. Rockower, didefinisikan sebagai kampanye hubungan masyarakat dan investasi yang terkoordinasi dan berkelanjutan, seringkali dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan aktor non-negara, guna meningkatkan nilai dan kedudukan nation brand suatu negara melalui makanan, terutama dengan menciptakan koneksi emosional dengan publik asing. Strategi ini secara intrinsik sejalan dengan konsep soft power Joseph Nye, yang merujuk pada kemampuan suatu negara untuk menarik dan mempengaruhi tanpa paksaan, sebuah kapasitas yang sangat penting dalam menumbuhkan citra nasional yang diinginkan di kancah internasional.

Bagi Indonesia, cita rasa hidangan yang beranekaragam dapat dijadikan media perantara yang sangat efektif dalam aktivitas diplomasi. Kekayaan kuliner Nusantara merupakan hasil perpaduan budaya yang kompleks, meliputi pengaruh lokal, India, China, Jepang, Belanda, hingga Timur Tengah, yang mencerminkan keragaman historis dan sosial negara.

Tujuan vital diplomasi kuliner ini harus selalu diarahkan pada pemenuhan kepentingan nasional, yang menuntut perolehan keuntungan maksimal. Merujuk pada pemikiran diplomat India Kuno, Kautilya, yang tercatat dalam bukunya Arthasastra, diplomasi memiliki empat tujuan strategis yang perlu dicapai: Acquisition (perolehan), Preservation (pemeliharaan), Augmentation (penambahan), dan Proper Distribution (pembagian yang adil). Jika aktivitas gastrodiplomasi diukur dari kerangka ini, efektivitasnya tidak hanya dapat diukur dari seberapa banyak koneksi emosional yang tercipta, tetapi juga dari hasil nyata yang diukur. Oleh karena itu, Acquisition harus diterjemahkan menjadi peningkatan ekspor kuliner dan rempah, sementara Augmentation harus diwujudkan dalam penambahan jumlah restoran Indonesia yang beroperasi secara aktif di luar negeri dan peningkatan pariwisata gastronomi.

Implikasi Strategis dalam Membangun Citra

Meskipun diplomasi publik Indonesia telah mengakui pentingnya kuliner—seperti ketika Rendang diakui oleh CNN sebagai salah satu makanan terbaik dunia pada tahun 2017—citra Indonesia di mata publik global masih menghadapi paradoks. Banyak penduduk dunia yang belum mengenal Indonesia secara luas, bahkan ada yang masih memiliki gambaran bahwa Indonesia adalah negara kecil yang belum berkembang, atau sekadar “negara tempat Bali berada”.

Kesenjangan persepsi ini, yang dikenal sebagai Bali Paradox, menunjukkan urgensi penggunaan gastrodiplomasi sebagai instrumen kritis. Instrumen ini dapat mengatasi persepsi yang sempit dengan menggunakan aset kultural non-Bali, yaitu kuliner Nusantara, untuk memperkenalkan dimensi identitas Indonesia yang lebih kaya, modern, dan bernilai. Dengan mengikat program kuliner secara erat pada metrik perdagangan dan investasi yang terukur, gastrodiplomasi dapat dipastikan tidak hanya sekadar kegiatan promosi budaya, tetapi berfungsi sebagai alat yang strategis untuk pemenuhan kepentingan ekonomi dan politik negara, sejalan dengan tujuan Kautilya untuk memperoleh keuntungan maksimal.

Indonesia Spice Up The World (ISUTW): Strategi dan Target

Visi, Mandat, dan Pilar Utama Program

Indonesia Spice Up The World (ISUTW) merupakan gerakan nasional yang ambisius, didorong oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) serta berkolaborasi dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan kementerian/lembaga lain, untuk mempromosikan kuliner dan rempah Indonesia di tingkat internasional. Program ini diselaraskan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai pentingnya supremasi bumbu dan rempah Indonesia yang harus dikenal secara global.

Untuk mewujudkan visi tersebut, ISUTW dibingkai dalam empat pilar strategis utama :

  1. Ekspor: Mendorong ekspor bumbu, rempah, dan produk makanan olahan.
  2. Aktivasi Restoran: Mengaktifkan dan memperkuat keberadaan restoran Indonesia di luar negeri.
  3. Promosi: Mempromosikan masakan Indonesia secara masif di luar negeri.
  4. Destinasi: Memposisikan Indonesia sebagai destinasi gastronomi dunia.

Program ini memiliki target kuantitatif yang jelas dan sangat ambisius untuk tahun 2024, yaitu menghadirkan 4.000 bisnis kuliner atau restoran Indonesia di seluruh dunia. Selain itu, terdapat target untuk meningkatkan nilai ekspor kuliner dan rempah hingga mencapai USD 2 Miliar.

Mekanisme Dukungan dan Identitas Kuliner Prioritas

Dalam upaya mencapai target tersebut, pemerintah menyediakan berbagai mekanisme dukungan. Melalui Kemenparekraf, pemerintah telah menyiapkan skema pendanaan, pelatihan, dan pendampingan bagi pengusaha kuliner di luar negeri, di antaranya melalui program Indonesian Restaurant Fundraising (IndoStar). IndoStar bertujuan memberikan peluang bagi pengusaha kuliner untuk memajukan bisnis mereka dan menjaring investor potensial, sehingga dapat memperluas bisnis kuliner Indonesia secara masif. Program ini telah mendapat respons yang baik, dengan 50 peserta IndoStar tersebar di lima benua, termasuk 14 peserta di Asia dan 12 di Eropa.

Dukungan lain yang diberikan kepada restoran yang tergabung dalam ISUTW mencakup bantuan mendesain ulang usaha, jaringan penyediaan bumbu dan rempah, materi promosi, dan pelatihan koki profesional yang dilaksanakan secara virtual, hibrid, maupun luring.

Meskipun pemerintah belum secara resmi menetapkan daftar prioritas hidangan utama yang terbatas, beberapa masakan telah secara konsisten digunakan sebagai duta cita rasa di ajang internasional, yang menunjukkan fokus pada keragaman dan kekayaan warisan kuliner :

  • Rendang: Diakui secara global.
  • Sate Ayam: Hidangan ikonik yang mewakili kuliner jalanan Jawa.
  • Rawon: Disajikan dalam ajang Gastrodiplomasi di ISF (Indonesia Sustainability Forum) 2024.
  • Sukun Telor Asin: Perpaduan unik antara bahan pangan tradisional (sukun) dengan produk lokal (telur asin Brebes).
  • Otak-Otak: Menampilkan keragaman rempah dan variasi regional Indonesia.

Penggunaan hidangan seperti Rawon dan Sukun Telor Asin di forum internasional sekelas ISF 2024 menunjukkan adanya pergeseran strategi diplomasi. Pemilihan hidangan ini bertujuan untuk menghubungkan kuliner Indonesia tidak hanya dengan aspek rasa, tetapi juga dengan isu global tentang keberlanjutan dan pelestarian warisan budaya. Melalui hidangan ini, pesan yang disampaikan kepada para pemimpin dunia adalah bahwa keberlanjutan mencakup pelestarian warisan kuliner yang telah memperkaya peradaban berabad-abad.

Analisis Kesenjangan Skala Implementasi

Terdapat kesenjangan yang signifikan antara ambisi kebijakan tingkat makro dan kapasitas implementasi di tingkat mikro. Target 4.000 restoran global pada tahun 2024 adalah tujuan yang sangat ambisius, namun saat ini, program dukungan utama seperti IndoStar baru mencakup 50 peserta aktif di seluruh dunia. Disparitas ini menunjukkan bahwa kapasitas pendampingan, pendanaan, dan fasilitasi saat ini tidak sebanding dengan skala target yang ditetapkan. Agar target dapat dicapai, atau setidaknya direvisi menjadi lebih realistis, program pendampingan harus diperluas secara eksponensial dan terdesentralisasi, dengan melibatkan peran aktif Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di seluruh dunia, sebagai ujung tombak aktivasi restoran global.

Perspektif Global: Studi Komparatif Model Gastrodiplomasi Sukses

Untuk mengoptimalkan strategi ISUTW, sangat penting untuk menganalisis model gastrodiplomasi yang telah berhasil diimplementasikan oleh negara lain.

Thailand: Model Global Thai dan Penguatan Pariwisata

Thailand adalah salah satu pelopor utama dalam gastrodiplomasi di Asia. Negara ini menerapkan strategi yang ditujukan untuk membentuk citra positif dan meningkatkan pariwisata. Melalui program Global Thai, yang diluncurkan pada tahun 2002, pemerintah Thailand secara masif mempromosikan masakan dan budaya Thai dengan mendukung pendirian sejumlah besar restoran di luar negeri.

Keberhasilan Thailand ditandai dengan popularitas hidangan ikonik seperti Tom Yum dan Pad Thai yang mendunia, secara efektif meningkatkan citra negara dan mendukung pariwisata kuliner. Strategi ini berhasil memikat wisatawan mancanegara untuk datang langsung ke Thailand. Keberhasilan Thailand dalam mencapai skala global menyiratkan bahwa mereka menerapkan standardisasi yang kuat, yang sangat penting untuk memastikan konsistensi rasa dan kualitas di ribuan gerai internasional.

Korea Selatan: Diplomasi Hansik dan Gelombang Budaya (Hallyu)

Korea Selatan (Korsel) melanjutkan kebijakan gastrodiplomasi di bawah kepemimpinan Presiden Lee Myung-bak melalui program Global Hansik: Korean Cuisine to the World, yang sering dijuluki “Kimchi Diplomacy”. Program ini bertujuan untuk memperkenalkan makanan Korea (hansik) kepada komunitas global, meningkatkan pemahaman tentang kuliner Korea, dan secara signifikan memperluas jumlah restoran Korea di seluruh dunia.

Model Korsel menunjukkan kekuatan sinergi budaya, di mana promosi kuliner diikat erat dengan ekspansi budaya pop mereka (Hallyu). Aktivitas diplomatik ini juga terbukti mampu meningkatkan kegiatan ekspor produk makanan Korsel. Korsel melihat gastrodiplomasi sebagai cara yang efektif untuk menyebarkan pengaruh mereka, menunjukkan bagaimana diplomasi lunak dapat secara langsung menopang kepentingan ekonomi.

Peru: Cocina Peruana Para El Mundo dan Sentrisme Kuliner

Peru menyediakan studi kasus mengenai upaya membangun nation brand yang berpusat sepenuhnya pada masakan. Pemerintah Peru menggunakan kampanye promosi “Cocina peruana para el mundo” (“Peruvian Cuisine for the World”) untuk menjadikan masakan nasional sebagai fondasi identitas mereka.

Peru tidak hanya fokus pada promosi, tetapi juga pada pengakuan warisan budaya. Mereka secara aktif mengupayakan pengakuan Intangible Cultural Heritage of Humanity dari UNESCO untuk kulinernya. Strategi ini mempromosikan otentisitas masakan mereka (seperti cebiche, pachamancha, ají de gallina) dan menunjukkan bahwa meningkatkan citra nasional juga melibatkan penguatan narasi identitas budaya yang mendalam dan berakar.

Pembelajaran Komparatif Strategis

Perbandingan model global ini menawarkan dua poin penting bagi Indonesia.

Pertama, mengenai Konsistensi Kualitas dan Standardisasi. Indonesia, dengan keragaman kulinernya yang jauh lebih tinggi dibandingkan Thailand, menghadapi tantangan yang lebih kompleks dalam menciptakan konsistensi rasa dan kualitas di ribuan gerai global. Untuk mencapai penetrasi pasar yang sukses dan penguatan merek seperti Thailand, Indonesia harus memilih beberapa hidangan ikonik (yang dapat disebut sebagai “Big Five” atau sejenisnya) dan memberlakukan standar otentikasi yang ketat. Upaya ini harus didukung dengan pasokan bumbu standar dari Indonesia.

Kedua, mengenai Sinergi Ekonomi (Hard Power). Model Korea Selatan menunjukkan bahwa gastrodiplomasi bukan hanya upaya promosi budaya, tetapi juga mesin pendorong ekspor. Oleh karena itu, Pilar I (Ekspor) dan Pilar II (Restoran Global) dalam ISUTW harus diikat erat, memastikan bahwa restoran Indonesia di luar negeri berfungsi sebagai saluran distribusi utama untuk rempah-rempah dan produk makanan olahan Indonesia.

Tabel Perbandingan Model Gastrodiplomasi Global

Negara Program Utama Fokus Strategis Utama Indikator Keberhasilan Kunci
Thailand Global Thai Peningkatan Kualitas & Standardisasi Restoran Global. Peningkatan signifikan kunjungan pariwisata mancanegara.
Korea Selatan Global Hansik Integrasi dengan Hallyu (budaya pop) dan ekspor produk makanan. Ekspansi pengaruh budaya, peningkatan aktivitas ekspor.
Peru Cocina peruana para el mundo Sentrisme Kuliner dan Upaya Pengakuan Warisan Dunia (UNESCO). Penguatan nation brand berbasis identitas otentik yang mendalam.

Analisis Hambatan Struktural dan Tantangan Implementasi ISUTW

Meskipun ISUTW memiliki target dan kerangka kerja yang jelas, implementasinya masih menghadapi sejumlah hambatan struktural, terutama yang berkaitan dengan kelembagaan dan logistik global.

Tantangan Kelembagaan dan Kebijakan

Salah satu tantangan terbesar adalah perlunya peningkatan sinergi antar kementerian/lembaga untuk mengimplementasikan kebijakan diplomasi kuliner secara terpadu. Data historis menunjukkan bahwa pelaksanaan gastrodiplomasi setelah Focus Group Discussion (FGD) pada tahun 2011 belum terlihat signifikan, dan bahkan dalam Rencana Strategis Kementerian Luar Negeri 2014-2019, perencanaan mengenai strategi gastrodiplomasi tidak secara eksplisit terlihat.

Kondisi ini mencerminkan kurangnya rencana strategis yang berkelanjutan dan jangka panjang. Upaya yang dilakukan, meskipun melibatkan berbagai pihak seperti Wonderful Indonesia dan Diaspora, seringkali terkesan sporadis dan belum mampu mencapai brand image kuliner Indonesia yang optimal karena tidak didukung oleh kebijakan yang terintegrasi dari pusat. Akar masalah institusional ini—yaitu kurangnya sinergi dan perencanaan yang berkelanjutan—secara langsung menjadi penyebab utama masalah operasional yang muncul di lapangan. Ketika diplomasi (Kemenlu) terpisah dari promosi ekonomi (Kemenparekraf) dan perdagangan (Kemendag), upaya soft power tidak dapat ditopang oleh hard power logistik dan pendanaan, yang justru dibutuhkan oleh pelaku usaha di luar negeri.

Hambatan Eksternal: Logistik, Otentisitas, dan Kapital

Di tingkat operasional, pengusaha kuliner Indonesia di luar negeri menghadapi tiga hambatan utama:

  1. Akses Modal dan Logistik: Pengusaha masih kesulitan memperoleh akses modal untuk membuka bisnis restoran dan menghadapi masalah distribusi bahan baku untuk mempertahankan otentisitas menu. Keterbatasan infrastruktur logistik, misalnya dalam mendukung pengiriman rempah ke pasar potensial seperti Afrika, juga menjadi kendala nyata.
  2. Standardisasi dan Sertifikasi: Kendala sertifikasi, termasuk sertifikasi halal dan standar keamanan pangan internasional, belum teratasi secara maksimal. Kurangnya standardisasi ini menghambat upaya pemasaran produk secara luas dan profesional, serta mempersulit penetrasi ke pasar ritel global yang menuntut kepatuhan standar yang tinggi.

Peran Aktor Non-Negara dan Diaspora

Peran aktor non-negara, khususnya diaspora Indonesia, sangat krusial. Banyak promosi budaya kuliner Indonesia di luar negeri dimulai secara simultan oleh diaspora sendiri tanpa dukungan awal yang memadai dari pemerintah. Mereka berfungsi sebagai “Pembawa Pesan Terdepan” (Frontline Messengers) dalam gastrodiplomasi. Oleh karena itu, integrasi dan pemberdayaan diaspora menjadi elemen penting untuk mendukung keberlanjutan strategi ini. Kolaborasi dengan diaspora, seperti yang terlihat dalam inisiatif mengadakan Food Festival Virtual di Amerika Serikat, adalah langkah positif.

Namun, ketergantungan pada diaspora juga menimbulkan dilema: jika pemerintah gagal mendukung mereka dengan skema modal dan rantai pasok yang terstandardisasi , diaspora mungkin terpaksa memodifikasi resep atau menggunakan bahan pengganti non-autentik karena kendala distribusi bahan baku. Hal ini berisiko merusak citra otentisitas kuliner Nusantara yang justru ingin dipromosikan. Oleh karena itu, pemberdayaan diaspora harus dibarengi dengan kontrol kualitas dan pasokan yang ketat, meniru model yang telah sukses diimplementasikan oleh negara lain.

Peta Jalan Strategis dan Rekomendasi Kebijakan Jangka Panjang

Untuk mengatasi hambatan struktural dan mewujudkan target ISUTW, diperlukan peta jalan yang mengikat soft power kuliner dengan hard power ekonomi, politik, dan logistik.

Pilar I: Penguatan Struktur Kelembagaan dan Koordinasi (Addressing the Synergy Gap)

Langkah paling mendasar adalah mengatasi fragmentasi kelembagaan. Direkomendasikan pembentukan Komite Gastrodiplomasi Nasional (KGN), sebuah badan koordinatif tingkat tinggi yang berada di bawah pengawasan badan presidensial (seperti Kantor Staf Presiden atau Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, yang telah terlibat dalam isu ini ). KGN harus melibatkan Kemenlu, Kemenparekraf, Kemendag, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Tujuan utama KGN adalah menyusun Master Plan Gastrodiplomasi Jangka Panjang (minimal 10 tahun) untuk memastikan keberlanjutan kebijakan, mengatasi perencanaan yang selama ini belum strategis dan berkelanjutan. Selain itu, gastrodiplomasi harus dimasukkan sebagai babak wajib dan beranggaran memadai dalam Rencana Strategis Kemenlu berikutnya, memastikan bahwa promosi kuliner menjadi bagian inti dari diplomasi publik.

Pilar II: Standardisasi, Sertifikasi, dan Rantai Pasok Global (Ensuring Authenticity)

Diperlukan adopsi model standardisasi yang ketat seperti Global Thai. Pemerintah harus mengembangkan sistem Sertifikasi Restoran Nusantara Bersertifikat yang menjamin penggunaan bumbu dan rempah otentik Indonesia. Sertifikasi ini harus diintegrasikan dengan upaya mengatasi kendala sertifikasi halal dan standar keamanan pangan internasional , melalui kerja sama dengan lembaga standar global, untuk membuka akses pasar yang lebih luas dan memenuhi tuntutan pasar internasional.

Untuk mengatasi masalah logistik dan distribusi bahan baku , pemerintah dan pihak swasta perlu difasilitasi dalam membangun Hub Logistik Rempah dan Bahan Baku Terpusat di kawasan pasar utama (misalnya, di Eropa dan Amerika). Fasilitas ini akan mendukung Pilar Ekspor ISUTW dan memastikan bahwa restoran global dapat mempertahankan otentisitas rasanya.

Pilar III: Pemberdayaan Aktor dan Digitalisasi (Leveraging Diaspora and Technology)

Pemerintah harus meningkatkan pagu anggaran dan memperluas cakupan program IndoStar secara signifikan untuk menutup kesenjangan antara target 4.000 restoran dan jumlah peserta yang ada saat ini. Program pelatihan koki profesional, bekerja sama dengan asosiasi koki (seperti Indonesian Chef Association), harus ditingkatkan, dengan fokus pada standardisasi resep prioritas serta aspek manajemen bisnis dan kebersihan global.

Dalam aspek digital, pemanfaatan platform digital harus dimaksimalkan untuk pemasaran. Direkomendasikan untuk mewajibkan adanya Section Rekomendasi Makanan Indonesia yang konsisten dan terbarui pada website seluruh KBRI dan KJRI di luar negeri, sebagaimana direkomendasikan. Ini akan berfungsi sebagai media promosi digital yang menghubungkan kuliner dengan aset soft power lainnya, seperti musik dan pariwisata.

Pilar IV: Strategi Pemasaran Berorientasi Identitas

Strategi pemasaran harus berfokus pada narasi otentisitas dan warisan budaya yang mendalam. Indonesia harus secara aktif meniru model Peru dalam mencari pengakuan Intangible Cultural Heritage of Humanity dari UNESCO untuk hidangan atau tradisi kuliner tertentu. Upaya ini akan memberikan penguatan nation branding yang berbasis pada identitas yang berakar kuat.

Selain itu, perlu ditekankan narasi bahwa kuliner Indonesia berhubungan erat dengan isu keberlanjutan dan produk lokal. Dengan mempromosikan hidangan yang menggunakan bahan-bahan lokal dan berkelanjutan (seperti Sukun Telor Asin dan Rawon) , Indonesia dapat menarik perhatian pasar global yang semakin sadar lingkungan dan etika, memperluas daya tarik melampaui sekadar citarasa.

Kesimpulan

Laporan ini menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki aset kuliner yang tak tertandingi dan visi yang jelas melalui ISUTW untuk memanfaatkan potensi ini. Namun, efektivitas gastrodiplomasi Indonesia masih terhambat oleh masalah implementasi struktural yang akut, terutama kurangnya sinergi kelembagaan, ketiadaan rencana strategis jangka panjang , dan tantangan logistik yang menghambat otentisitas di pasar global.

Untuk mencapai target 4.000 restoran global dan nilai ekspor $2 Miliar pada tahun 2024 , Indonesia harus melakukan transisi mendasar. Strategi harus beralih dari upaya promosi yang sporadis menjadi kebijakan yang terintegrasi, terstandardisasi, dan didukung infrastruktur logistik global yang setara dengan model yang sukses seperti Thailand dan Korea Selatan. Gastrodiplomasi harus diposisikan sebagai agenda prioritas nasional yang diikat ketat oleh metrik Acquisition dan Augmentation Kautilyan, memastikan bahwa soft power kuliner menjadi pilar strategis dalam pemenuhan kepentingan ekonomi dan politik negara. Upaya kolaboratif yang kuat antara pemerintah, diaspora, dan sektor swasta—didukung oleh standardisasi dan rantai pasok yang terjamin—adalah kunci untuk membawa cita rasa Nusantara dari dapur lokal ke panggung dunia.