Kecerdasan Buatan dan Krisis Deepfake Lintas Negara
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) generatif telah memperkenalkan fenomena media sintetik yang dikenal sebagaiĀ deepfake. Deepfake mewakili tantangan yang signifikan terhadap integritas informasi dan kepercayaan institusional, melampaui batas-batas negara dan sektor. Analisis mendalam menunjukkan bahwa Deepfake bukan hanya masalah disinformasi, tetapi telah berevolusi menjadi krisis fakta (fact crisis) yang berpotensi merusak fondasi demokrasi dan stabilitas ekonomi global.
Deepfake sebagai Media Sintetik Generatif: Definisi dan Mekanisme Teknologi Inti
Secara teknologis, Deepfake didefinisikan sebagai konten media sintetisābaik video, audio, maupun gambarāyang dihasilkan menggunakan bidang khusus kecerdasan buatan yang disebutĀ Deep Learning; dari sinilah asal kata “deep” dalam deepfake.Ā Dalam praktiknya, Deepfake mencakup penggunaan AI apa pun untuk menciptakan konten media palsu yang begitu meyakinkan sehingga berpotensi menyesatkan pemirsa.
Mekanisme inti di balik konten sintetik yang hiper-realistis ini seringkali melibatkan arsitekturĀ Generative Adversarial Networks (GANs). GANs beroperasi melalui persaingan antara dua jaringan saraf buatan: generator yang menciptakan konten palsu, dan diskriminator yang mencoba membedakan antara konten asli dan palsu.Ā Evolusi teknologi ini semakin cepat dan lebih sulit dideteksi.
Laju penyebaran teknologi Deepfake telah menunjukkan eskalasi aksesibilitas yang drastis. Berdasarkan riset, konten Deepfake secara global melonjak sebesar 550% antara tahun 2019 dan 2024.Ā Di Indonesia, lonjakan tersebut bahkan mencapai 1.550% antara tahun 2022 dan 2023, menegaskan bahwa kemampuan untuk menghasilkan konten manipulatif kini mudah diakses oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.Ā Peningkatan ini menunjukkan pergeseran krusial: Deepfake bukan hanya menambah volumeĀ hoaxĀ (kuantitas), tetapi meningkatkan tingkatĀ realismeĀ danĀ spesifisitasĀ target (kualitas), mengubah strategi pertahanan digital secara mendasar.
Kerangka Konseptual: Dari Disinformasi menjadi Krisis Kepercayaan Institusional
Keberadaan Deepfake yang hiper-realistis ini memicu krisis epistemologis. Ketika masyarakat semakin sulit membedakan antara konten asli dan palsu, batas antara kebenaran dan fiksi menjadi kaburĀ , yang pada gilirannya mengikis kepercayaan publik terhadap media dan institusi resmi.
Ancaman ini tidak terbatas pada individu; Deepfake secara fundamental mengancam “Pengetahuan Organisasi” (Organizational knowledge construction).Ā Institusi di berbagai sektor sangat bergantung pada aliran informasi yang terpercaya, dan Deepfake menyerang fondasi kepercayaan tersebut. Contoh ancaman institusional meliputi: pemalsuan rekam medisĀ , peniruan identitas CEO yang bisa menyebabkan harga saham anjlokĀ , atau pengajuan bukti palsu kepada perusahaan asuransi.Ā Hal ini menunjukkan bahwa Deepfake menimbulkan risiko operasional dan tata kelola yang jauh lebih besar daripada sekadar risiko reputasi.
Karena sifat Deepfake yang mudah disebarluaskan di ruang digital global dan lintasĀ platform, krisis yang dipicu di satu negara dapat segera memicu ketidakpercayaan di tingkat internasional, memperburuk perpecahan masyarakat dan polarisasi opini global.
Manifestasi Lintas Sektor dari Krisis Deepfake
Dampak Deepfake bersifat multidimensional, memengaruhi keamanan negara, stabilitas finansial, hingga hak individu. Ancaman ini dieksekusi secara canggih, memanfaatkan celah dalam sistem otentikasi konvensional.
Ancaman Geopolitik dan Keamanan Nasional
Deepfake telah menjadi komponen integral dalam operasi pengaruh asing (foreign influence operations) dan serangan siber yang terencana dengan baik. Di kawasan Indo-Pasifik, serangan siber yang dipadukan dengan disinformasi dan operasi pengaruh jahat (malicious influence operations) menggunakan AI/Deepfake meningkat hingga 300% sejak tahun 2023.Ā Serangan-serangan ini sering menargetkan lembaga pemerintah dan institusi pendidikan.
Dalam konteks geopolitik, Deepfake dapat digunakan oleh aktor negara atau non-negara sebagai taktikĀ perang informasiĀ yang asimetris. Tujuannya adalah membuat narasi provokasi, seperti mengedarkan video artileri yang salah representasi di wilayah konflik atau rekayasa audio pejabat tinggi yang meminta bantuan militer asing saat krisis.Ā Konten semacam ini memaksa pemerintah untuk melakukan klarifikasi yang memakan sumber daya secara terus-menerus, menggerus kepercayaan publik terhadap negara, dan membuka celah bagi destabilisasi internal.
Ancaman terhadap proses demokrasi sangat nyata. Deepfake berpotensi menciptakan konten manipulatif yang memicu kebingungan, polarisasi, dan ketidakstabilan pasar, menyerang fondasi demokrasi global.Ā Di Indonesia, kekhawatiran ini muncul menjelang Pilpres 2024, di mana beredar video Deepfake Presiden Joko Widodo berpidato dalam bahasa Mandarin atau Arab.Ā Materi visual politisi lain, seperti Surya Paloh dan Anies Baswedan, juga menjadi target penyalahgunaan.Ā Insiden-insiden Deepfake yang didokumentasikan dalam siklus pemilu global 2024 menunjukkan potensi nyata AI untuk memengaruhi proses demokrasi sebelum klarifikasi faktual dapat dilakukan secara efektif.
Kejahatan Finansial dan Korporasi Transnasional
Deepfake telah mengubah lanskap kejahatan finansial, mentransformasiĀ social engineeringĀ dari serangan berbasis teks menjadi serangan identitas audio-visualĀ real-time. Kasus terkenal secara global melibatkan penipu yang menggunakan Deepfake suara CFO dalam panggilan video, berhasil menipu seorang karyawan untuk mentransfer $25 juta (sekitar Rp392 miliar).Ā Kerugian besar ini menunjukkan tingkat risiko Deepfake dalam otentikasi korporat.
Di dalam negeri, Polda Jawa Timur pernah mengungkap kasus penipuan Deepfake AI yang meniru kepala daerah, dengan keuntungan pelaku mencapai Rp87,6 juta dari korban yang tersebar di berbagai provinsi.
Selain penipuan transfer, Deepfake juga digunakan dalam pencurian identitas sintetik. FBI telah memperingatkan bahwa Deepfake digunakan oleh penjahat untuk melamar pekerjaan teknologi jarak jauh (Work from Clone). Tujuan mereka adalah mendapatkan akses ke sistem danĀ Personally Identifiable InformationĀ (PII) organisasi untuk pencurian data dan uang tebusan.Ā Hal ini menuntut organisasi untuk menerapkan otentikasi identitas yang dinamis dan deteksi keaktifan (liveness detection) dalam proses perekrutan dan komunikasi korporat.
Dampak Sosial: Erosi Kepercayaan Publik dan Integritas Media
Deepfake non-konsensual, khususnya Deepfake Porn, menimbulkan dampak sosial yang mendalam. Di Korea Selatan, laporan kejahatan seksual digital berbasis Deepfake meningkat tiga kali lipat hingga hampir 1400 kasus pada tahun 2024.
Secara budaya, di banyak masyarakat Asia, termasuk Indonesia, korban sering enggan melaporkan insiden Deepfake non-konsensual. Hal ini disebabkan oleh pertimbangan reputasi, stigma sosial, dan biaya psikologis yang lebih besar daripada potensi manfaat hukum yang mungkin minimal.Ā Situasi ini menggarisbawahi kelemahan kerangka hukum yang terlalu fokus pada elemen tradisional pidana (malice, distribusi) dan gagal menyediakan mekanisme remediasi yang aman dan cepat bagi korban.
Untuk melawan penyebaran konten manipulatif, edukasi publik melalui Peningkatan Literasi Media dan Informasi (Media and Information LiteracyĀ ā MIL) menjadi pertahanan kolektif yang penting.Ā Praktik MIL mencakup verifikasi silang dan mengandalkan reputasi sumber.Ā Namun, literasi digital bukanlah keterampilan statis; perlu terus berkembang seiring dengan kecanggihan teknologi Deepfake.
Table 1: Klasifikasi Ancaman Deepfake Lintas Batas dan Dampaknya
| Sektor Ancaman | Vektor Deepfake Utama | Dampak Lintas Batas Utama | Contoh/Studi Kasus Kunci |
| Keamanan Nasional & Geopolitik | Propaganda audio/visual, rekayasa narasi militer, disinformasi pemilu. | Destabilisasi politik, polarisasi opini internasional, menggerusĀ soft powerĀ negara. | Rekayasa audio permintaan bantuan militer asingĀ ; Deepfake Pilpres Indonesia (Jokowi Mandarin)Ā ; Serangan siber ofensif di Indo-Pasifik (300% peningkatan). |
| Integritas Ekonomi & Keuangan | Peniruan identitas eksekutif (CEO/CFO),Ā synthetic identity fraud, penipuan transfer dana. | Kerugian finansial korporat skala besar ($25 Juta transfer), kerusakan kepercayaan rantai pasok. | Penipuan CFO viaĀ video callĀ ($25 juta)Ā ; Penipuan Deepfake Kepala DaerahĀ ; Penipuan lamaran kerja jarak jauh (FBI Warning). |
| Sosial & Hukum Individu | Deepfake non-konsensual (pornografi), manipulasi visual merusak citra. | Pelanggaran privasi masif, krisis psikologis, hambatan hukum akibat stigma budaya. | Lonjakan Deepfake Porn di Korea Selatan (1400 kasus, 2024)Ā ; Kelemahan perlindungan citra/integritas dalam UU ITE. |
Tantangan Regulatori dan Yurisdiksi Lintas Negara
Sifat Deepfake yang lintas batas dan ketersediaan teknologi yang semakin luas menghadirkan tantangan signifikan bagi kerangka hukum, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Celah Hukum Internasional dalam Mengatasi Deepfake
Hukum internasional saat ini masih belum secara eksplisit mengatur penggunaan teknologi Deepfake.Ā Hal ini menciptakan celah regulasi yang mendesak untuk diatasi, terutama karena sifat Deepfake yang tidak mengenal batas yurisdiksi.Ā Kerangka hukum yang ada, sepertiĀ Konvensi Budapest tentang Kejahatan Siber, hanya memberikan perlindungan umum, tanpa menyentuh ancaman spesifik yang ditimbulkan oleh Deepfake, seperti manipulasi visual yang sangat realistis.Ā Ini menggarisbawahi kegagalan kerangka hukum siber lama yang berfokus padaĀ akses ilegalĀ (peretasan) untuk mengatasiĀ konten sintetis legalĀ (dibuat dengan alat AI yang sah).
Tantangan penegakan hukum juga diperburuk oleh kurangnya tenaga kerja hukum yang terlatih khusus dalam teknik verifikasi visual (forensik Deepfake), yang seharusnya menjadi garis pertahanan pertama terhadap penipuan internasional.
Meskipun demikian, inisiatif global mulai terlihat. Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa telah memulai diskusi mengenai pengaturan ini.Ā PBB secara spesifik menyoroti kekhawatiran bahwa Deepfake dapat digunakan untuk propaganda, pemerasan, atau menghasut konflik antarnegara dalam forum keamanan global.Ā Negara-negara besar seperti Amerika Serikat menekankan perlunya standar etika global dan transparansi penggunaan AI militer.
Perbandingan Strategi Regulasi Regional
Respons terhadap Deepfake sangat bervariasi di berbagai kawasan, menciptakan risikoĀ regulatory arbitrageĀ di mana pelaku Deepfake cenderung memindahkan operasi mereka ke yurisdiksi dengan peraturan yang lebih lemah.
Uni Eropa (UE)Ā menjadi pionir dengan mengesahkanĀ EU AI ActĀ pada Mei 2024. Regulasi ini menerapkan pendekatan berbasis risiko, mewajibkan transparansi, dan menuntutĀ watermarkingĀ untuk konten AI generatif, termasuk Deepfake.Ā Kontras dengan pendekatan ketat UE,Ā Asia Tenggara (ASEAN)Ā mengadopsi pendekatanĀ non-bindingĀ melaluiĀ Guide to AI Governance and EthicsĀ (Februari 2024). Panduan ini berfokus pada pedoman etika tetapi memberikan fleksibilitas kepada negara anggota.Ā Sementara itu, Tiongkok telah menerapkan regulasi Deepfake spesifik yang mulai berlaku pada Januari 2023.
Di Asia Timur lainnya, seperti Korea Selatan dan Jepang, ada kesulitan signifikan dalam menuntut Deepfake non-konsensual. Hal ini disebabkan oleh kerangka hukum yang tidak dibangun untuk menanggapi cedera tanpa unsur tradisional (misalnya niat jahat atau distribusi komersial).Ā Upaya untuk mengkriminalisasi Deepfake juga harus berhati-hati agar tidak menghambat inovasi digital atau mengekang ekspresi artistik yang sah (chilling innovation).
Tinjauan Regulasi Domestik (Fokus Indonesia)
Di Indonesia, pemerintah telah mengambil langkah penanggulangan Deepfake, termasuk melalui Surat Edaran Menteri Kominfo tentang etika penggunaan AI.Ā Penegakan hukum Deepfake saat ini mengandalkan UU yang sudah ada, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 28 Ayat 1 untuk menindak berita bohong.
Untuk Deepfake Porn, digunakan UU Pornografi, UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).Ā Meskipun UU ITE dianggap cukup memadai untuk pertanggungjawaban pelaku perorangan dalam konteks pornografiĀ , kelemahan struktural tetap ada. UU ITE dikritik karena kekurangan standar dan definisi hukum yang eksplisit dan responsif terhadap kemajuan teknologi baru seperti Deepfake.
Selain itu, pengaturan perlindungan hak privasi dalam UU ITE dan UU PDP belum cukup kuat melindungi korban dari manipulasi visual yang merusak citra dan integritas, terutama karena definisi konvensional “penghinaan” atau “pencemaran” sulit diterapkan pada Deepfake yang hampir realistis.
Table 2: Perbandingan Respons Regulatori AI/Deepfake Global dan Regional
| Yurisdiksi/Organisasi | Kerangka Regulasi Kunci | Pendekatan Utama Deepfake | Status dan Tantangan Utama |
| Uni Eropa (UE) | EU AI Act (2024); Digital Services Act (DSA) | Pendekatan berbasis risiko; Kewajiban transparansi danĀ watermarkingĀ untuk konten generatif. | Paling komprehensif, tetapi berpotensi memicuĀ regulatory arbitrageĀ dan menghambat inovasi. |
| Asia Tenggara (ASEAN) | Guide to AI Governance and Ethics (2024) | Pedoman non-binding, fokus pada etika dan pengembangan yang bertanggung jawab. | Kurangnya kekuatan hukum yang mengikat; Disparitas tingkat kesiapan regulasi antar negara anggota. |
| Tiongkok | Deepfake Regulation (2023) | Regulasi spesifik Deepfake; Ketentuan ketat mengenai verifikasi identitas (Real-name verification). | Sangat spesifik, tetapi menimbulkan kekhawatiran terkait pengawasan negara. |
| Indonesia (Domestik) | UU ITE (Pasal 28 & 27); UU PDP; UU TPKS | Implisit, menindak penyebaran berita bohong dan konten non-konsensual berdasarkan pasal yang ada. | Belum responsif terhadap Deepfake; Kekurangan standar dan definisi eksplisit Deepfake. |
| Hukum Internasional (Global) | Konvensi Budapest; Forum PBB Global AI Summit | Belum ada instrumen spesifik; Regulasi umum kejahatan siber dan diskusi etika global. | Celah yurisdiksi, kurangnya koordinasi, dan kesulitan mencapai konsensus global. |
Perlombaan Senjata Digital: Teknologi Deteksi dan Otentikasi
Perkembangan Deepfake telah memicu “perlombaan senjata” digital, di mana teknologi untuk menciptakan konten sintetis semakin canggih, menuntut upaya deteksi yang sama adaptifnya.
Dinamika “Perlombaan Senjata” Deepfake
Tantangan utama dalam deteksi Deepfake terletak pada siklus adaptasi yang cepat. Generator Deepfake terus berinovasi, menciptakan konten yang mampu mengatasi metode deteksi terbaru.Ā Tantangan deteksi meliputi variasi metode pembuatan Deepfake, masalahĀ compression artifactsĀ yang muncul saat konten diunggah dan dibagikan ulang, serta kemampuan Deepfake untuk beradaptasi dalam waktu singkat, menuntut solusi yang real-time.
Keterbatasan mendasar dari strategi yang berfokus padaĀ deteksi anomaliĀ adalah sifatnya yang reaktif. Karena Deepfake generator belajar dari kekurangan mereka sendiri, metode deteksi hari ini akan menjadiĀ artefak deteksiĀ yang dihilangkan oleh Deepfake besok. Oleh karena itu, terdapat kebutuhan mendesak untuk mengalihkan paradigma pertahanan dari deteksi reaktif keĀ provenanceĀ (asal-usul) danĀ otentikasi sumberĀ (proaktif).
Metode Forensik Deep Learning
Untuk menanggulangi ancaman Deepfake, para peneliti dan perusahaan teknologi telah mengembangkan berbagai alat deteksi berbasis AI. Teknologi ini bekerja dengan menganalisis anomali mikro pada video atau suara, seperti kedipan mata yang tidak wajar, pola pencahayaan yang tidak konsisten, atau inkonsistensi gerak bibir.
Secara teknis, analisis forensik Deepfake sering mengimplementasikan model klasifikasi gambar menggunakan arsitekturĀ Convolutional Neural Network (CNN)Ā untuk mendeteksi inkonsistensi tekstur dan pola pada citra wajah Deepfake.
Dalam sektor keamanan identitas, khususnya keuangan, verifikasi keaktifan (Liveness Detection) dan biometrik dinamis sangat penting.Ā Liveness DetectionĀ adalah teknologi yang memastikan seseorang adalah orang yang nyata dan hadir secara fisik, bukan representasi sintetis seperti Deepfake. Kehadiran teknologi ini vital karena wawancara video konvensional tidak efektif; mata manusia mudah tertipu oleh Deepfake yang canggih.
Solusi Proaktif untuk Provenance Konten (Jejak Digital)
Solusi proaktif berfokus pada pembuktian keaslian konten pada titik penciptaannya, bukan pada titik deteksinya.
- Digital Watermarking dan Jejak Digital Autentik:Salah satu solusi teknis yang menjanjikan adalah penambahanĀ digital watermarkĀ atau jejak tersembunyi (forensic watermarking) ke dalam konten yang dihasilkan AI. Watermark ini memungkinkan sistem atau pihak ketiga untuk mengenali bahwa konten tersebut dibuat oleh mesin atau untuk melindungiĀ provenanceĀ konten, menjamin asal-usulnya.Ā Penggunaan standar global untuk autentikasi konten semacam ini sangat krusial untuk memperkuat ekosistem digital yang transparan.
- Tanda Tangan Digital (Digital Signatures):Tanda tangan digital adalah skema matematis yang digunakan untuk memverifikasi keaslian pesan atau dokumen digital.Ā Tanda tangan ini secara matematis terikat pada konten, sehingga tidak mungkin dipalsukan pada konten lain. Ini menawarkan metodeĀ non-repudiation, ideal untuk otentikasi sumber konten resmi yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah atau media tepercaya.
Table 3: Matriks Pertahanan Teknologi Deepfake (Proaktif vs. Reaktif)
| Strategi | Metode Teknologi | Deskripsi dan Mekanisme Deteksi | Keunggulan (Locus of Control) |
| Reaktif (Detection) | Analisis Anomali Mikro (CNN) | Mendeteksi inkonsistensi tekstur, pencahayaan, dan gerakan (misalnya kedipan mata yang tidak wajar). | Cepat mengidentifikasi Deepfake generasi lama. |
| Reaktif (Detection) | Verifikasi Keaktifan (Liveness Detection) | Menggunakan biometrik dinamis untuk memastikan keberadaan fisik (bukan hasil rekaman/sintetis) dalam real-time. | Pertahanan vital untuk otentikasi identitas jarak jauh (misal: perbankan). |
| Proaktif (Provenance) | Digital Watermarking/Jejak Autentik | Menyisipkan data tersembunyi/metadata ke konten asli, yang dapat dibaca oleh sistem untuk verifikasi asal. | Mengalihkan fokus keĀ asalĀ konten, mengatasi kelemahan deteksi reaktif. |
| Proaktif (Provenance) | Tanda Tangan Digital (Digital Signatures) | Mengikat konten secara matematis ke kunci privat sumber resmi, memverifikasi non-repudiasi dan keaslian. | Ideal untuk otentikasi komunikasi resmi pemerintah/institusi. |
Strategi Mitigasi Terpadu dan Rekomendasi Jangka Panjang
Deepfake merupakan ancaman siber yang bersifat global, memerlukan respons yang terkoordinasi dan multi-sektor. Keberlanjutan pertahanan memerlukan standardisasi global yang disepakati oleh platform media sosial dan produsen perangkat keras. Tanpa standar autentikasi konten yang universal, Deepfake dapat menyebar tak terkendali, mengancam kedaulatan informasi negara.
Pilar Kolaborasi Internasional dan Diplomasi Siber
Tantangan Deepfake tidak dapat diselesaikan oleh satu negara saja. Kerja sama multilateral, terutama di bawah naungan organisasi seperti PBB, sangat krusial.Ā Hal ini mencakup upaya untuk:
- Pembentukan Standar Etika Global:Mendorong kesepakatan internasional yang menekankan prinsip transparansi dan keadilan, menciptakan standar moral dan hukum yang disepakati bersama untuk pengembangan dan penggunaan AI.
- Kerja Sama Penegakan Hukum Lintas Batas:Menciptakan mekanisme hukum internasional yang dapat mengoordinasikan tindakan antarnegara untuk mengatasi masalah yurisdiksi dan memastikan penegakan hukum Deepfake secara global.
- PenyediaanĀ Cyber ShieldRegional:Ā Memperkuat kemitraan siber di kawasan yang berisiko tinggi seperti Indo-Pasifik. Rekomendasi mencakup peluncuran “cyber shield” bagi sekutu dan peningkatan operasi siber gabungan untuk melawan disinformasi dan operasi pengaruh jahat.
Reformasi Hukum Nasional dan Adaptasi Regulasi
Regulasi nasional harus diperbarui agar responsif terhadap inovasi teknologi Deepfake.
- Regulasi Deepfake Spesifik:Negara harus bergerak melampaui kerangka hukum yang umum (seperti UU ITE) dan menyusun regulasi yang secara eksplisit mendefinisikan dan mengontrol penggunaan Deepfake, terutama yang digunakan untuk tujuan manipulatif.
- Perlindungan Korban yang Adaptif:Reformasi hukum harus memperkuat kerangka untuk Deepfake non-konsensual dengan menyediakan mekanisme pelaporan aman, hak appeal, dan rezimĀ takedownĀ yang cepat, khususnya untuk melindungi korban dari biaya reputasi dan stigma sosial yang sering menghalangi pelaporan di masyarakat Asia.
Penguatan Ketahanan Organisasi dan Korporasi
Institusi, terutama yang terlibat dalam transaksi bernilai tinggi atau memegang data sensitif, harus memperkuat pertahanan internal.
- Protokol Verifikasi Identitas (Internal):Organisasi harus menerapkan protokol verifikasi multi-faktor danĀ liveness detectionĀ dinamis untuk setiap komunikasi eksekutif, khususnya dalam konteks persetujuan transfer dana atau akses PII, mengingat kerentanan terhadap peniruan identitas CEO/CFO.
- Adopsi Teknologi Provenance:Sangat disarankan untuk mendorong penggunaan standarĀ digital watermarkingĀ danĀ digital signaturesĀ pada semua konten digital resmi yang dikeluarkan oleh institusi pemerintah dan media untuk memverifikasi keaslian sumber.
- Pelatihan Keamanan:Pelatihan reguler harus diberikan kepada karyawan, khususnya di SDM dan keuangan, untuk mengenali Deepfake dan penipuan identitas sintetik, terutama dalam proses perekrutan jarak jauh.
Literasi Media dan Informasi (MIL) sebagai Pertahanan Kolektif
Pertahanan terakhir adalah kesadaran dan skeptisisme publik. Kampanye edukasi dan sosialisasi berkelanjutan mengenai bahaya Deepfake dan cara mengenali tanda-tanda manipulasi (inkonsistensi visual, suara, dan konteks) harus ditingkatkan secara massif.Ā Dukungan terhadap mekanismeĀ fact-checkingĀ juga perlu diperluas, meskipun Deepfake seringkali menyebar secara viral dan menimbulkan kerusakan sebelum klarifikasi resmi dapat menjangkaunya.


