Loading Now

Aceh dengan Wajah Portugis: Konflik Maritim, Diplomasi Global, dan Warisan Sosio-Antropologis Abad XVI

Invasi Portugis ke Malaka pada tahun 1511 merupakan titik balik radikal yang mengubah keseimbangan kekuatan maritim di Asia Tenggara. Peristiwa ini, yang dianggap sebagai “masa lalu yang kelam” bagi kerajaan-kerajaan Islam di Semenanjung Melayu, secara bersamaan memicu kebangkitan Kesultanan Aceh Darussalam. Aceh, yang sudah dikenal sebagai salah satu kerajaan terbesar di Sumatra dan penjaga kunci di Selat Malaka, segera memposisikan diri sebagai pusat perdagangan alternatif dan kekuatan militer penyeimbang.

Keberadaan Portugis bukan hanya ancaman militer, tetapi juga tantangan ekonomi yang fundamental. Portugal berambisi memonopoli perdagangan rempah-rempah, mengganggu jalur kontak dagang strategis yang telah lama terjalin antara Aceh dengan pedagang dari India, Persia, Mesir, dan Turki. Respon Aceh terhadap agresi ini bukanlah perlawanan sporadis, melainkan sebuah perseteruan panjang yang berlangsung selama 120 tahun, membentang dari tahun 1519 hingga 1639, dengan medan pertempuran meliputi Sumatra, Semenanjung Malaya, dan Selat Malaka. Durasi konflik yang panjang ini menegaskan bahwa Aceh merupakan kekuatan yang tangguh dan musuh abadi bagi agenda kolonial Portugis di kawasan.

Definisi “Wajah Portugis”: Melampaui Konflik Militer menuju Warisan Genetik dan Material

Frasa ‘Wajah Portugis’ dalam konteks Aceh merujuk pada tiga dimensi warisan historis yang kontradiktif. Pertama, dimensi Politik/Militer, yang mencakup rivalitas berskala besar yang memaksa Aceh mencapai puncak kejayaannya. Kedua, dimensi Material/Arsitektur, yang meninggalkan sedikit situs pertahanan yang kini berfungsi sebagai simbol penaklukan Aceh atas infrastruktur musuh. Ketiga, dimensi Sosio-Antropologis, yang paling menarik, di mana jejak genetik keturunan Portugis di Lamno bertahan hingga hari ini, namun secara budaya dan agama telah diasimilasi secara total.

Laporan ini bertujuan untuk mengeksplorasi kontradiksi historis ini: bagaimana musuh geopolitik utama Aceh selama lebih dari satu abad justru meninggalkan warisan biologis yang diserap sepenuhnya, sementara warisan kulturalnya (seperti bahasa atau agama) hampir tidak meninggalkan bekas. Analisis ini akan menunjukkan bagaimana superioritas militer dan hegemoni budaya Kesultanan Aceh mendefinisikan sifat warisan Portugis di Tanah Rencong.

Asal-Usul Rivalitas: Aceh Sebagai Penghalang Monopoli Portugis

Sultan Ali Mughayat Syah dan Penetapan Kebijakan Anti-Portugis

Raja-raja awal Kesultanan Aceh Darussalam telah menyadari bahwa pendudukan Portugis di Malaka merupakan ancaman eksistensial bagi pelabuhan-pelabuhan utama Aceh, seperti Pidie dan Pasai, yang merupakan bandar rempah-rempah penting. Pada tahun 1520, Raja Muda dan Laksamana Portugis di Goa, Dirgo Lopez De Sequeira, mengeluarkan ultimatum yang mengancam akan menyerang kapal-kapal dagang yang melakukan kontak dengan Aceh. Ultimatum ini secara efektif mengubah persaingan dagang menjadi agresi terbuka, menjadikan Aceh dan Portugis sebagai musuh bebuyutan di Selat Malaka.

Menanggapi hal ini, Aceh menerapkan kebijakan pertahanan yang kuat sejak awal. Pada tahun 1529, upaya Portugis untuk merebut pelabuhan Pidie dan Pasai berhasil dipatahkan oleh Raja Aceh. Tidak hanya bertahan, Aceh juga mulai menunjukkan kekuatan di luar perairan sendiri, terbukti ketika kapal-kapal Aceh muncul di depan Cannanore di Pantai Barat India pada Desember 1529, memberikan bantuan kepada armada Raja Kalicut yang sedang bertempur melawan Portugis.

Dinamika Diplomasi Awal: Rivalitas Segitiga Aceh–Johor–Portugis

Kejatuhan Malaka mendorong kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara untuk mencari aliansi strategis. Awalnya, Kesultanan Aceh dan Johor menjalin kerja sama bilateral yang kuat, bahkan diperkuat melalui ikatan perkawinan sebagai model diplomasi kuno untuk melawan Portugal. Mereka membutuhkan kolega yang kuat untuk memastikan kelangsungan perkembangan kerajaan mereka.

Namun, hubungan diplomasi ini terbukti tidak stabil. Seiring waktu, hubungan antara Aceh dan Johor memburuk ketika Johor menyadari adanya ambisi tersembunyi Aceh, yaitu keinginan untuk menjadikan Johor sebagai wilayah bawahan (subordinate area). Ketika hegemoni Aceh dirasakan sebagai ancaman baru, Johor mengambil keputusan drastis dengan menjadikan Portugis sebagai “teman”—sebuah langkah yang bertentangan langsung dengan pandangan Aceh yang menganggap Portugis sebagai rival. Reaksi Aceh terhadap pergeseran aliansi ini sangat keras, ditunjukkan melalui serangan bertubi-tubi ke Johor.

Pola ini mengungkapkan bahwa narasi perlawanan terhadap Portugis—musuh Islam global—digunakan oleh Aceh sebagai instrumen untuk memobilisasi aliansi regional. Namun, ketika ambisi hegemoni regional Aceh di Selat Malaka lebih diutamakan daripada solidaritas anti-Portugis, aliansi tersebut runtuh. Bagi Aceh, perang melawan Portugis adalah sarana strategis untuk membenarkan dominasinya di perairan regional, sementara bagi Johor, kedaulatan dari ancaman Aceh lebih mendesak daripada ideologi perlawanan bersama terhadap Lisbon.

Zaman Kejayaan Dan Perang Total (Abad Ke-16 Dan Ke-17)

Kebangkitan Militer di Bawah Sultan Iskandar Muda (1607–1636)

Masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda menjadi puncak kejayaan dan perlawanan Aceh terhadap Portugis. Sultan Iskandar Muda menerapkan strategi militer yang komprehensif dan sistematis untuk melumpuhkan kekuatan Portugis. Salah satu taktik utamanya adalah blokade perdagangan. Strategi ini bertujuan untuk mengisolasi Malaka dari jalur rempah-rempah dan melemahkan pondasi ekonomi Portugis di kawasan.

Peran Sentral Laksamana Malahayati dan Armada Inong Balee

Puncak keunggulan maritim Aceh diwujudkan melalui kepemimpinan Laksamana Malahayati (Keumalahayati). Berasal dari lingkungan militer bangsawan—ia adalah cicit Sultan Salahuddin Syah dan putri dari Laksamana Mahmud Syah—Malahayati memimpin Armada Inong Balee, sebuah pasukan khusus yang terdiri dari para janda pahlawan perang yang tangguh.

Peran Malahayati sangat besar dalam menangkis kolonialisme. Ia terlibat aktif dalam penyerangan ke Malaka pada tahun 1575 dan ekspedisi besar pada tahun 1606. Dalam pertempuran sengit di laut, armada Aceh berhasil mematahkan pertahanan laut Portugis, menghancurkan kekuatan maritim mereka dan memungkinkan pasukan Aceh melakukan pendaratan ke kota. Keberanian dan keahliannya diakui secara global, terbukti dari penetapan hari kelahirannya sebagai hari perayaan internasional oleh UNESCO pada tahun 2023.

Aceh dalam Peta Geopolitik Global: Aliansi dengan Turki Utsmani

Menyadari bahwa Portugis memiliki keunggulan teknologi, khususnya artileri, Kesultanan Aceh secara proaktif mencari bantuan dari kekuatan global yang setara. Pada abad ke-16, Sultan Alauddin Ri’ayat Shah al-Kahar mengirim utusan ke Istanbul untuk memohon bantuan meriam, ahli artileri, dan persenjataan dari Sultan Sulaiman al-Qanuni (Suleiman the Magnificent), penguasa Kekaisaran Utsmani.

Permintaan ini menunjukkan kesadaran strategis Aceh yang luar biasa. Aceh tidak hanya berjuang secara regional, tetapi juga berupaya menegaskan posisinya sebagai bagian dari dunia Islam global. Dengan melibatkan Utsmani—sebuah kekhalifahan yang mengendalikan tiga benua—Aceh mengubah konflik di Selat Malaka dari sekadar perang regional menjadi garis depan dalam persaingan maritim global antara kekuatan Islam dan Eropa. Kebutuhan akan transfer teknologi (meriam dan ahli) merupakan bukti bahwa Aceh memahami bahwa kedaulatannya hanya dapat dipertahankan melalui superioritas teknologi yang didukung oleh aliansi global.

Diplomasi ini membuahkan hasil. Jejak hubungan ini terekam dalam naskah lokal seperti Bustan al-Salatin. Sumber-sumber Portugis, khususnya surat-surat dari jemaah Jesuit, juga mencatat kedatangan duta besar Utsmani di Aceh sekitar tahun 1565. Selain persenjataan, dukungan Utsmani juga berbentuk kehadiran ulama yang mungkin juga ahli militer, seperti Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi, yang dikenal sebagai Tengku Syeihk Di Bitai, menunjukkan transfer pengetahuan dan dukungan spiritual/militer.

Konflik Aceh–Portugis harus dipahami sebagai perang proksi perdagangan global. Dengan dukungan Utsmani, Aceh mampu mempertahankan kedaulatannya selama 120 tahun , yang secara efektif menggagalkan ambisi monopoli Portugis di salah satu jalur rempah terpenting di dunia.

Kronologi Utama Konflik Militer Aceh-Portugis (1519–1639)

Periode Tokoh Kunci Aceh Fokus Konflik Hasil/Dampak
Awal Abad 16 (1520–1529) Sultan Ali Mughayat Syah Perang Dagang & Pertahanan Pidie/Pasai Aceh berhasil menahan upaya monopoli dan agresi awal Portugis
Pertengahan Abad 16 (c. 1547–1565) Sultan Alauddin Ri’ayat Shah al-Kahar Diplomasi Global Pengiriman utusan ke Istanbul; transfer teknologi artileri dan ahli militer/ulama
Akhir Abad 16 (1575) Laksamana Malahayati Penyerangan Malaka, Pertempuran Laut Pertahanan laut Portugis dipatahkan; pecahnya kekuatan laut Portugis di Malaka
Awal Abad 17 (1607–1636) Sultan Iskandar Muda Blokade Perdagangan, Pengepungan Malaka Puncak kekuatan militer Aceh; upaya melumpuhkan total kekuatan Portugis

Wajah Portugis Dalam Bentuk Material Dan Artefak

Warisan material Portugis di Aceh tidaklah berupa monumen permanen dominasi kolonial, melainkan simbol fisik dari kemenangan dan keberhasilan Aceh dalam menangkis musuh. Struktur fisik ini sering kali merupakan benteng yang direbut atau infrastruktur pertahanan lokal yang dialihfungsikan untuk mengusir Portugis.

Arsitektur Pertahanan: Membedah Benteng yang Ditinggalkan dan Direbut

Benteng Kuta Lubok, yang terletak strategis di Lamreh, Aceh Besar, merupakan salah satu contoh paling jelas dari dinamika konflik ini. Benteng ini, yang awalnya dibangun oleh bangsa Portugis, kemudian berhasil direbut dan diambil alih oleh Kesultanan Aceh Darussalam. Benteng tersebut digunakan oleh pasukan Aceh untuk mengontrol situasi di perairan Selat Malaka. Kondisi benteng saat ini hanyalah reruntuhan struktur batu karena kurangnya perawatan setelah ditinggalkan oleh kesultanan.

Contoh lain adalah Benteng Indra Patra, yang menunjukkan adaptasi strategis Aceh. Benteng dengan luas 70×70 meter ini memiliki akar sejarah pra-Islam, berasal dari masa Kerajaan Lamri. Setelah berdirinya kesultanan, benteng ini tetap digunakan sebagai struktur pertahanan utama melawan musuh, khususnya bangsa Portugis. Benteng Indra Patra digunakan oleh tokoh-tokoh kunci seperti Sultan Iskandar Muda dan Laksamana Malahayati. Penggunaan kembali struktur kuno ini menunjukkan efisiensi militer Aceh dalam menyerap dan memfungsikan kembali aset lokal untuk tujuan perlawanan.

Kondisi situs-situs ini mencerminkan sebuah narasi tandingan. Berbeda dengan banyak wilayah di dunia yang memiliki benteng kolonial yang utuh sebagai pengingat dominasi, “wajah Portugis” yang material di Aceh adalah reruntuhan yang direbut atau bangunan lokal yang dialihfungsikan untuk tujuan anti-kolonial. Peninggalan fisik ini tidak berfungsi sebagai narasi keberhasilan Portugis, melainkan sebagai bukti visual keberhasilan Aceh dalam menangkis dan menyerap infrastruktur musuh, memperkuat narasi perlawanan yang unggul.

Artefak Simbolis: Kasus Lonceng Cakra Donya

Lonceng Cakra Donya, sebuah artefak raksasa yang kini menjadi koleksi utama di Museum Aceh, juga menyimpan kisah persaingan dengan Portugis. Catatan sejarah menyebutkan bahwa lonceng ini pernah dirampas atau menjadi objek perebutan oleh Portugis. Keberadaan lonceng ini menyoroti bahwa konflik antara Aceh dan Portugis tidak hanya terbatas pada pertempuran maritim, tetapi juga melibatkan perebutan simbol-simbol kedaulatan dan penjarahan artefak kerajaan, yang pada akhirnya berhasil diamankan kembali oleh Kesultanan Aceh.

Wajah Portugis Dalam Dimensi Sosio-Antropologis

Dimensi sosio-antropologis merupakan aspek ‘Wajah Portugis’ yang paling unik dan kontradiktif, berpusat pada komunitas keturunan Portugis di Lamno, Kabupaten Aceh Jaya.

Komunitas Keturunan Portugis di Lamno (Aceh Jaya): Analisis Genetik dan Fenotipik

Jejak genetik Portugis ditemukan di Lamno, yang terletak sekitar 80 km dari Banda Aceh. Komunitas ini terbentuk dari perkawinan antara bangsa Portugis yang menetap—yang mungkin merupakan tawanan perang atau pendatang yang berasimilasi—dengan masyarakat lokal Lamno.

Keturunan ini secara fenotipik menunjukkan ciri-ciri fisik Eropa yang menonjol, yang dikenal sebagai hasil dari ginetik Portugis. Ciri-ciri tersebut meliputi kulit putih, rambut pirang, hidung mancung, postur tubuh tinggi, dan bola mata berwarna biru. Keberadaan ciri-ciri fisik yang jelas ini menjadi bukti nyata adanya interaksi biologis yang kompleks dan signifikan antara Aceh dan Portugal di masa lalu, melampaui sekadar catatan konflik militer.

Proses Asimilasi Budaya dan Perubahan Religi: Islamisasi Tawanan Perang Portugis

Meskipun secara genetik ‘wajah’ Portugis terlihat jelas, identitas kultural dan keagamaan Portugis telah hilang sepenuhnya. Proses asimilasi di Lamno terjadi secara menyeluruh, mencerminkan kekuatan hegemoni budaya Kesultanan Aceh. Sumber-sumber historis mencatat bahwa setelah pertempuran, tawanan Portugis yang tidak mau memeluk Islam diizinkan kembali ke negeri mereka, sementara yang menetap atau anak-anak muda diasimilasi ke darat.

Keturunan Portugis di Lamno sepenuhnya tunduk pada Islam dan adat Aceh. Ditegaskan bahwa “tidak ada diperkenalkan budaya mereka lagi”. Agama Islam telah menjadi “pedoman” dan “pengikat kesatuan budaya” suku Aceh. Perubahan religi ini menunjukkan bahwa kemenangan militer Aceh disempurnakan dengan penyerapan kultural. Keberadaan fenotipik Eropa (mata biru, rambut pirang) tanpa adanya sisa-sisa Katolik atau penutur bahasa Portugis membuktikan superioritas hegemoni kultural Kesultanan Aceh.

Fenomena ini kontras tajam dengan warisan Portugis di wilayah lain (misalnya Timor Timur atau Goa) di mana Katolik dan identitas kultural Portugis masih hidup dan bertahan. Di Lamno, ‘wajah Portugis’ adalah monumen asimilasi yang sukses, di mana jejak genetik bertahan sebagai artefak biologis, sementara identitas budayanya telah sepenuhnya diAcehkan. Keturunan Lamno menjadi simbol keberhasilan Aceh dalam melucuti musuh dari identitas ideologis mereka, menghilangkan potensi kantong oposisi kultural.

Kesimpulan Dan Rekomendasi

Sintesis “Wajah Portugis”: Konflik yang Menghasilkan Warisan Kontradiktif

“Wajah Portugis” di Aceh merupakan paradoks sejarah yang kaya. Secara geopolitik, Portugis adalah katalisator yang mendorong Aceh pada puncak militer, diplomasi, dan aliansi global (terutama dengan Turki Utsmani). Konflik yang berlangsung selama 120 tahun (1519–1639) tidak berakhir dengan kolonisasi Portugis, melainkan dengan integrasi paksa atau sukarela dari elemen populasi Portugis ke dalam masyarakat Aceh yang berbasis Islam.

Temuan kunci menunjukkan bahwa warisan Portugis di Aceh terfragmentasi dan diinterpretasikan melalui lensa kemenangan Aceh. Warisan materialnya adalah reruntuhan yang direbut, sementara warisan sosio-antropologisnya adalah keberhasilan asimilasi total yang menghilangkan identitas agama dan budaya asli Portugis, meninggalkan hanya jejak genetik sebagai bukti interaksi masa lalu.

Manifestasi “Wajah Portugis” di Aceh: Sebuah Kontradiksi Warisan

Dimensi Warisan Bentuk Manifestasi Kunci Kondisi Kontemporer di Aceh Implikasi Analitis (Wajah Portugis yang Sebenarnya)
Militer/Politik Konflik 120 tahun (1519–1639), Aliansi Utsmani Sejarah yang terinstitusionalisasi sebagai identitas perlawanan nasional. Aceh berhasil mencegah kolonisasi dan menggunakan konflik sebagai legitimasi hegemoni regional.
Material/Arsitektur Benteng Kuta Lubok, Benteng Indra Patra, Lonceng Cakra Donya Struktur direbut/dialihfungsikan, kini dalam kondisi reruntuhan atau disimpan sebagai artefak. Peninggalan fisik menunjukkan kekalahan/pengusiran, bukan dominasi, oleh Aceh.
Sosio-Genetik Komunitas Lamno (kulit putih, mata biru) Komunitas lokal yang berasimilasi penuh dengan budaya dan agama Aceh (Islam). Warisan genetik tanpa warisan kultural/agama. Bukti penyerapan total ke dalam sistem identitas Aceh.

Nilai Sejarah dan Pariwisata Warisan (Heritage Tourism)

Narasi unik mengenai konflik Aceh–Portugis menawarkan potensi pariwisata sejarah yang kuat. Cerita mengenai benteng yang direbut (Kuta Lubok), senjata yang didapat melalui diplomasi global (Turki Utsmani), dan komunitas keturunan Lamno yang berasimilasi, dapat dipromosikan dengan fokus pada tema perlawanan heroik dan kedaulatan maritim Aceh.

Namun, dilaporkan bahwa reruntuhan benteng Kuta Lubok saat ini dalam kondisi kurang terawat. Disarankan agar pemerintah daerah dan lembaga terkait segera mengambil langkah konservasi untuk memelihara situs Benteng Kuta Lubok dan Benteng Indra Patra. Situs-situs ini harus diinterpretasikan dan dipresentasikan kepada publik sebagai anti-monumen kolonial, yaitu bukti fisik keberhasilan Aceh mempertahankan wilayahnya dari ancaman Portugis.

Rekomendasi Penelitian Lanjutan

Meskipun warisan kultural formal Portugis telah hilang, analisis genetik dan antropologis lebih lanjut dapat memperkaya pemahaman sejarah Aceh:

  1. Filologi dan Linguistik:Perlu dilakukan penelitian mendalam untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya serapan kosakata Portugis minoritas yang tersisa dalam dialek lokal Aceh, khususnya di wilayah Lamno, yang dapat memberikan petunjuk halus mengenai interaksi linguistik masa lalu.
  2. Arkeologi Bawah Laut:Mengingat peran penting Armada Inong Balee di bawah Laksamana Malahayati dalam mematahkan pertahanan laut Portugis , eksplorasi arkeologi di situs-situs pertempuran maritim di Selat Malaka dapat mengungkap artefak, teknologi, dan detail yang memperkaya pemahaman tentang superioritas perang laut Aceh pada abad ke-16 dan ke-17.