Loading Now

Suku Tengger: Ketahanan Budaya, Sinkretisme, dan Dinamika Kontemporer di Kaki Semeru-Bromo

Suku Tengger merepresentasikan salah satu komunitas adat yang paling khas dan lestari di Pulau Jawa. Secara tradisional, mereka mendiami dataran tinggi yang mengelilingi kawasan Gunung Bromo dan Semeru, mempertahankan struktur sosial dan keyakinan spiritual yang berakar kuat pada tradisi Jawa pra-Islam. Keyakinan mereka, yang dikenal sebagai Hindu Dharma Tengger, menampilkan sinkretisme unik yang memadukan ajaran Hindu dengan kepercayaan leluhur lokal. Komunitas ini dikenal karena keteguhannya dalam menjaga warisan budaya di tengah gempuran modernitas dan tekanan lingkungan yang berasal dari status mereka sebagai pusat pariwisata internasional.

Komunitas Tengger secara geografis berpusat di Kaldera Tengger dan Pegunungan Semeru. Wilayah inti mereka berada di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). TNBTS adalah kawasan yang dimanfaatkan untuk konservasi, penelitian, pendidikan, dan pariwisata, yang dikelola menggunakan sistem zonasi.

Secara administratif, Suku Tengger tersebar di empat wilayah kabupaten di Jawa Timur, yang mencerminkan kompleksitas tata kelola mereka: Kabupaten Probolinggo (misalnya Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura), Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang (misalnya Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo), dan Kabupaten Lumajang (misalnya Desa Ranupane, Kecamatan Senduro). Desa Ngadisari, yang terletak di Probolinggo, merupakan salah satu desa tertinggi dan terdekat dengan kawah Gunung Bromo. Ketersebaran ini sangat penting karena kebijakan pembangunan dan perlindungan hukum adat dapat bervariasi secara signifikan di antara empat yurisdiksi administratif tersebut. Misalnya, fokus pengembangan pariwisata di Probolinggo berbeda dengan fokus konservasi Semeru di Lumajang. Variabilitas dalam tata kelola ini berpotensi menciptakan ketidaksetaraan dalam akses terhadap hak-hak ekonomi dan perlindungan hak adat, sebuah latar belakang yang krusial saat menganalisis dinamika kontemporer yang dihadapi suku ini.

Identitas Suku Tengger secara historis terkait erat dengan masa keruntuhan Kerajaan Majapahit. Pandangan umum yang diterima adalah bahwa mereka merupakan keturunan langsung dari rakyat atau bangsawan Majapahit yang memilih melarikan diri ke dataran tinggi Bromo pada abad ke-15. Eksodus ini terjadi sebagai respons terhadap meluasnya penyebaran Islam di Jawa, di mana mereka berusaha mempertahankan keyakinan Hindu mereka di wilayah pegunungan yang terisolasi.

Dukungan terhadap klaim warisan Majapahit ini diperkuat melalui analisis linguistik. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Tengger, Bahasa Tengger, diyakini berakar dari Bahasa Jawa Kuno. Konservasi elemen linguistik kuno ini di tengah perubahan besar di Jawa dataran rendah menunjukkan keberhasilan masyarakat Tengger dalam mempertahankan garis budaya dan sejarah mereka yang terputus dari arus utama perkembangan budaya Jawa kontemporer.

Selain klaim historis sebagai keturunan Majapahit, jati diri kolektif Suku Tengger juga dibangun di atas fondasi mitologi spiritual, yang berpusat pada legenda pendirian Roro Anteng dan Joko Seger. Nama Tengger itu sendiri sering diyakini sebagai gabungan dari kedua nama leluhur mitologis ini: Roro Anteng dan Joko Seger.

Narasi sentral dari legenda ini mengisahkan pasangan tersebut yang, setelah lama menanti keturunan, memohon kepada dewa dan berjanji akan mempersembahkan anak bungsu mereka. Ketika janji itu ditagih, pasangan tersebut enggan memenuhinya. Akhirnya, anak bungsu mereka, Kusuma, berkorban dengan melemparkan diri ke kawah Bromo. Legenda ini bukan sekadar cerita rakyat, melainkan narasi suci yang membentuk identitas, kearifan lokal, dan sistem spiritual Tengger. Peristiwa pengorbanan Kusuma adalah asal mula dari upacara Yadnya Kasada, di mana sesaji dipersembahkan ke kawah Bromo sebagai bentuk penghormatan abadi.

Penggabungan klaim historis (keturunan Majapahit) dan legitimasi mitologis (keturunan ilahi Roro Anteng dan Joko Seger) memberikan fondasi ideologis ganda yang sangat kuat bagi ketahanan budaya masyarakat Tengger. Mitologi ini secara efektif mempersonifikasikan ikatan suci antara manusia dan alam pegunungan. Melalui legenda ini, Gunung Bromo diangkat melampaui statusnya sebagai fitur geologis; ia menjadi simbol spiritual, kesetiaan, pengorbanan, dan ketaatan terhadap leluhur.

Keterisolasian geografis mereka di dataran tinggi Semeru-Bromo memungkinkan mereka melestarikan tradisi Jawa Kuno dengan minim intervensi eksternal, melahirkan etos Wong Tengger. Etos ini secara tradisional menekankan kesederhanaan, keharmonisan, dan kebersamaan, serta pandangan hidup yang tidak terlalu berorientasi pada kemewahan duniawi. Isolasi ini bahkan menyebabkan sebagian penduduk Tengger secara historis merasa “asing” dan “takut” jika harus pergi ke luar Jawa atau menyeberangi lautan, menunjukkan betapa kuatnya ikatan mereka terhadap wilayah pegunungan. Namun, etos Wong Gunung ini kini menghadapi tantangan serius seiring dengan penetrasi pariwisata masif, yang membuka akses dan memicu perubahan gaya hidup yang menuju modernitas.

Pilar Spiritual: Hindu Dharma Tengger dan Struktur Sosial Adat

Sistem Religi: Hindu Tengger dan Sinkretisme

Sistem kepercayaan masyarakat Tengger adalah pilar utama identitas mereka, yang dikenal sebagai Hindu Dharma Tengger. Kepercayaan ini dikarakteristikkan oleh proses sinkretisme yang mendalam—penggabungan antara ajaran Hindu yang masuk dengan kepercayaan asli leluhur (animisme dan dinamisme) yang telah ada.

Hindu Tengger memiliki perbedaan signifikan dengan praktik Hindu Bali, yang menunjukkan adaptasi lokal yang unik. Salah satu perbedaan paling mencolok terletak pada sistem kasta. Masyarakat Hindu Tengger tidak memiliki sistem penamaan atau stratifikasi sosial yang berdasarkan empat kasta (Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra) seperti yang dipraktikkan di Bali. Hal ini mengindikasikan struktur sosial Tengger yang lebih egaliter, yang otoritasnya lebih didasarkan pada spiritualitas dan adat istiadat, bukan hirarki kasta yang ketat.

Fokus utama pemujaan dalam Hindu Tengger adalah penghormatan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan elemen-elemen alam, terutama Gunung Bromo yang dianggap sebagai tempat suci (Gunung Brahma). Sinkretisme ini merupakan strategi adaptasi budaya yang jenius, memungkinkan mereka untuk mempertahankan inti spiritualitas leluhur sambil bernegosiasi dengan pengaruh agama yang lebih dominan. Dengan demikian, sinkretisme berfungsi sebagai mekanisme pertahanan budaya, menjamin bahwa identitas spiritual mereka tetap otentik dan tidak sepenuhnya terasimilasi oleh ajaran Hindu formal dari luar.

Dalam konteks sosial, toleransi beragama adalah nilai yang sangat ditekankan. Terdapat bukti gotong royong yang kuat antarumat beragama di Tengger. Saat perayaan Hari Besar Islam (seperti Idul Fitri), umat Hindu ikut meramaikannya, dan sebaliknya, umat Muslim turut membantu persiapan upacara adat Hindu. Toleransi yang dipupuk dari budaya nenek moyang ini memperkuat kohesi sosial di tengah keragaman keyakinan.

Lembaga Kepemimpinan Adat: Dukun Pandita

Struktur sosial Tengger dipimpin oleh dua jenis otoritas: formal (Kepala Desa) dan spiritual. Otoritas spiritual dan adat dipegang oleh Dukun Pandita, atau sering disebut Romo Dukun, yang memiliki peran sentral, sakral, dan murni dalam konteks ritual dan adat.

Dukun Pandita memegang tanggung jawab besar terkait ritual keagamaan, termasuk memimpin upacara-upacara adat, menyusun penanggalan untuk menentukan hari baik pelaksanaan ritual, serta berfungsi sebagai penasihat spiritual dan tabib bagi masyarakat. Otoritas kepemimpinan Dukun Pandita bersifat kharismatik, menjadikannya sandaran utama umat perihal keagamaan dan ritual. Kedudukannya yang sentral dalam tatanan ritual menjadikannya otoritas paralel yang kuat di samping struktur pemerintahan formal. Keberadaan otoritas kharismatik ini berfungsi sebagai penyeimbang yang menjaga otonomi budaya Tengger dan memitigasi penetrasi berlebihan dari sistem politik dan administratif modern.

Sistem Kebahasaan dan Keterkaitan Alam

Bahasa Tengger, yang merupakan turunan dari Bahasa Jawa Kuno, menunjukkan korelasi yang luar biasa erat dengan lingkungan alam tempat mereka tinggal. Keterkaitan ini melampaui penggunaan bahasa sehari-hari; banyak kosakata secara eksplisit merujuk pada unsur-unsur alam sekitar, seperti istilah khusus untuk angin, cuaca, atau jenis-jenis rumput yang tumbuh di kawasan Bromo.

Fenomena linguistik ini menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga manifestasi dari kearifan lokal. Masyarakat Tengger secara harfiah “berbicara” langsung dengan alam, yang menunjukkan pengakuan terhadap alam sebagai entitas hidup yang harus dihormati. Ini adalah representasi linguistik dari hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan, yang menjadi fondasi bagi praktik konservasi berbasis ritual mereka.

Warisan Ritual: Siklus Kehidupan dan Tahunan Masyarakat Tengger

Kehidupan Suku Tengger diatur oleh siklus ritual yang rumit, yang memadukan pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa, penghormatan leluhur, dan upaya menjaga keseimbangan kosmik. Ritual ini merupakan peta ekologis yang menunjukkan bagaimana masyarakat menyelaraskan diri dengan siklus alam dan agrikultural.

Upacara Tahunan Utama: Pemujaan dan Keselamatan

Ritual tahunan utama mencerminkan siklus spiritual dan agrikultural masyarakat Tengger.

Yadnya Kasada

Yadnya Kasada adalah puncak ekspresi spiritual Suku Tengger dan merupakan ritual tahunan yang paling dikenal secara luas. Upacara ini dilaksanakan setiap tahun pada hari ke-14 bulan Kasada dalam kalender Tengger, yang seringkali jatuh sekitar bulan Juni atau Juli.

Tujuan utama dari Kasada adalah wujud syukur kepada para dewa atas hasil pertanian dan ternak yang melimpah, sekaligus permohonan agar komunitas dijauhkan dari marabahaya. Inti ritual ini adalah penghormatan kepada leluhur (Roro Anteng dan Joko Seger) dan mengenang pengorbanan Kusuma. Praktik sentralnya melibatkan persembahan sesaji (hasil alam, hewan ternak) yang dilemparkan ke dalam kawah Gunung Bromo. Sesembahan ini dimaknai sebagai penghormatan terhadap Bromo sebagai alam suci yang telah memberikan penghidupan bagi mereka.

Upacara Karo

Upacara Karo, yang dirayakan pada bulan Karo, diakui sebagai hari raya terbesar masyarakat Tengger. Tujuan utamanya adalah pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan penghormatan terhadap leluhur. Upacara ini juga memiliki dimensi sosial yang kuat, ditandai dengan tradisi saling berkunjung ke rumah sanak saudara untuk bermaaf-maafan dan mempererat tali persaudaraan, sehingga memiliki kemiripan fungsi sosial dengan perayaan Idul Fitri dalam tradisi Islam. Pemerintah daerah, seperti Pemerintah Kabupaten Malang, memberikan dukungan fasilitasi untuk memastikan kelestarian tradisi ini, seperti yang dilakukan pada Upacara Karo di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo.

Pujan Kapat dan Kawolu

Selain dua ritual utama di atas, terdapat ritual berbasis bulan Saka yang menunjukkan ketaatan masyarakat Tengger pada siklus kosmik:

  • Pujan Kapat:Jatuh pada bulan keempat (papat) tahun Saka. Pujan Kapat bertujuan memohon berkah keselamatan umum dan “selamat kiblat,” yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.
  • Pujan Kawolu:Dilaksanakan pada bulan kedelapan (wolu) tahun Saka, sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa dengan tujuan memohon keselamatan elemen-elemen fundamental alam: bumi, air, api, angin, matahari, bulan, dan bintang.

Ritual-ritual seperti Pujan Kapat dan Kawolu menunjukkan bahwa ketaatan ritual masyarakat Tengger berfungsi sebagai sistem manajemen ekologis. Praktik ini menjamin bahwa komunitas tetap selaras dengan alam sekitar, yang sangat penting untuk kelangsungan pertanian mereka di dataran tinggi, dan merupakan contoh nyata kearifan lokal dalam manajemen risiko lingkungan.

Ritual Siklus Kehidupan: Entas-entas

Entas-entas adalah prosesi akhir yang signifikan dalam upacara kematian masyarakat Tengger. Secara harfiah, entas-entas diartikan sebagai proses “meluruhkan” atau “mengangkat derajat leluhur” yang telah meninggal, dengan tujuan agar arwah mencapai tempat yang lebih baik di alam arwah. Fokus pada Entas-entas ini memperkuat prinsip kesinambungan leluhur.

Ritual ini melibatkan beberapa piranti simbolik kunci :

  • Boneka Petra:Media sentral dalam ritual yang menyimbolkan roh orang yang meninggal. Boneka ini dibentuk dari tanaman-tanaman yang tumbuh di tanah Tengger, menghubungkan roh dengan tanah kelahirannya.
  • Suguhan:Makanan dan minuman kesukaan almarhum semasa hidup dihidangkan. Filosofi suguhan ini adalah bentuk penghormatan dan keyakinan bahwa melalui suguhan, doa-doa dapat tersampaikan dan roh leluhur merasakan ketenangan.
  • Gedhang Ayu (Pisang Raja):Dua cengkeh pisang raja yang masih hijau yang diberikan bersama sesajen. Gedhang ayu disimbolkan sebagai tempat duduk atau singgasana arwah saat hadir dalam pemakamannya.

Fokus ritual kematian pada pengangkatan derajat arwah leluhur menunjukkan kuatnya penekanan Tengger pada garis keturunan dan kesinambungan dengan masa lalu. Ini adalah praktik yang secara fungsional menjamin bahwa pengetahuan adat dan nilai-nilai Majapahit terus dihormati oleh generasi penerus.

Untuk meringkas kompleksitas sistem ritual ini, berikut adalah tabel yang menyajikan siklus ritual utama Masyarakat Tengger:

Table 1: Siklus Ritual Utama Masyarakat Tengger

Nama Ritual Waktu Pelaksanaan (Kalender Tengger) Tujuan Utama Simbolisme Kunci
Yadnya Kasada Bulan Kasada (Hari ke-14) Ungkapan syukur, permohonan keselamatan, penghormatan leluhur (Roro Anteng & Joko Seger). Sesaji hasil alam, pengorbanan (legenda), Kawah Bromo (alam suci).
Upacara Karo Bulan Karo Hari raya terbesar; pemujaan Sang Hyang Widi Wasa, penghormatan leluhur, pengampunan dan kekeluargaan. Saling berkunjung, pemujaan, mempererat persaudaraan (mirip Idul Fitri).
Entas-entas Prosesi akhir kematian Meluruhkan/mengangkat derajat leluhur agar mendapat tempat yang lebih baik di alam arwah. Boneka Petra (simbol roh), Suguhan (penghormatan), Gedhang Ayu (singgasana arwah).
Pujan Kapat Bulan Keempat (Papat) Memohon berkah keselamatan, pemujaan terhadap arah mata angin (selamat kiblat). Persembahan keselamatan.
Pujan Kawolu Bulan Kedelapan (Wolu) Keselamatan elemen alam (bumi, air, api, angin, dll.) dan penutupan megeng. Sesaji yang dikirimkan ke kepala desa.

Dinamika Sosial-Ekonomi Kontemporer (Masa Kini)

Masyarakat Tengger saat ini berada di persimpangan jalan antara mempertahankan tradisi murni dan mengadopsi modernitas, terutama akibat perubahan sistem ekonomi yang didorong oleh pariwisata masif di kawasan Bromo-Semeru.

Transformasi Ekonomi dan Mata Pencaharian

Secara historis, masyarakat Tengger dikenal sebagai petani subsisten. Tanaman utama mereka adalah jagung varietas lokal yang membutuhkan waktu tanam 9 hingga 10 bulan. Praktik pertanian subsisten ini melahirkan cara pandang hidup yang menjunjung tinggi kesederhanaan, keharmonisan, dan kolektivitas. Tujuan hidup didasarkan pada capaian sederhana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Perubahan signifikan terjadi sejak sekitar tahun 1982, di mana mata pencaharian utama mulai bergeser. Masyarakat Tengger mengadopsi intensifikasi pertanian komersial, berfokus pada sayur-mayur, serta menjadikan pariwisata sebagai mata pencaharian sampingan. Pergeseran ke pertanian komersial menghubungkan Wong Tengger dengan pasar regional dan nasional, menghasilkan keuntungan finansial yang melimpah. Kehadiran pariwisata juga memberikan dampak positif pada sektor pertanian, di mana hasil panen sering dibeli langsung oleh wisatawan, mengurangi ketergantungan pada tengkulak.

Dampak Pariwisata Bromo: Konstruksi Realitas Baru

Dinamika kehidupan Suku Tengger telah mengalami transformasi bertahap akibat pariwisata Gunung Bromo. Pariwisata menawarkan dampak positif dan negatif yang menciptakan konstruksi realitas sosial yang baru.

Dampak Positif dan Adaptasi Sosial

Secara ekonomi, pariwisata meningkatkan kesejahteraan dan membuat kebudayaan Tengger lebih dikenal oleh masyarakat luas, bahkan internasional. Selain itu, pariwisata telah memicu munculnya mata pencaharian baru dan mendorong masyarakat untuk berinteraksi lebih intensif dengan dunia luar. Masyarakat yang dulunya cenderung tertutup, seperti di Desa Ranu Pani, kini menunjukkan kemampuan berinteraksi yang lebih baik dengan wisatawan dan mengembangkan relasi sosial yang baru.

Pariwisata juga mendorong kepedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan, terutama di daerah konservasi. Pelestarian alam dilihat sebagai bagian integral dari strategi pengembangan pariwisata berkelanjutan, yang menunjukkan kesadaran bahwa menjaga lingkungan adalah kunci keberlanjutan ekonomi mereka.

Perubahan Nilai dan Konflik Ideologis

Di sisi lain, pariwisata dan pertanian komersial telah memicu pergeseran ideologis-kultural. Kekayaan finansial yang diperoleh memungkinkan masyarakat membeli barang-barang konsumsi modern, menghubungkan mereka dengan modernitas “wilayah bawah”. Pergeseran dari moralitas subsisten (kesederhanaan, harmoni) ke moralitas komersial (kemakmuran, orientasi pasar) menciptakan konflik internal. Batasan tradisional tentang wong gunung yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan menghindari pamer harta perlahan mencair. Jika tidak dikelola dengan bijak, modernisasi material ini berisiko mengikis struktur nilai yang selama ini menopang identitas spiritual dan ketahanan budaya Tengger.

Pariwisata di kawasan TNBTS merupakan pedang bermata dua: meskipun mendorong upaya konservasi di tingkat komunitas , pengembangan infrastruktur yang masif pasca penetapan Bromo sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) justru mengancam kelestarian ekosistem dan menimbulkan konflik tenurial.

Berikut adalah analisis komparatif mengenai dinamika sosio-ekonomi kontemporer:

Table 2: Analisis Dinamika Sosio-Ekonomi Kontemporer

Aspek Dinamika Fase Pra-Pariwisata/Subsisten Fase Kontemporer (Pasca-Pariwisata/Komersialisasi) Dampak Analitis (Perubahan Nilai & Implikasi)
Mata Pencaharian Pertanian subsisten (jagung lokal). Pertanian komersial (sayur-mayur) dan sektor pariwisata (jasa wisata). Peningkatan pendapatan, orientasi pasar nasional/regional. Menantang nilai tradisional kesederhanaan.
Interaksi Sosial Cenderung tertutup, fokus pada komunitas internal. Interaksi intensif dengan wisatawan domestik dan mancanegara. Kemampuan berinteraksi, adaptasi gaya hidup, munculnya relasi sosial baru.
Hubungan dengan Alam Keseimbangan melalui ritual (Pujan Kapat/Kawolu). Konservasi sebagai strategi pariwisata, namun terancam oleh pembangunan infrastruktur. Dorongan untuk menjaga lingkungan (karena ekonomi) vs. ancaman konflik tenurial (karena tata kelola TNBTS).
Perlindungan Hukum Berbasis lisan (warisan nenek moyang). Munculnya SK Pengakuan Hukum Adat (misalnya di Probolinggo). Payung hukum formal yang dibutuhkan untuk mengatasi konflik tenurial dan ancaman modernisasi.

Tantangan dan Ketahanan Budaya di Era Modernisasi

Masyarakat Tengger menghadapi tantangan yang kompleks di era kontemporer. Tantangan ini melibatkan erosi budaya internal dan tekanan eksternal terkait hak atas tanah di kawasan konservasi.

Erosi Budaya, Bahasa, dan Urbanisasi

Arus modernitas yang deras, seiring dengan kemajuan teknologi dan pariwisata massal, menimbulkan kekhawatiran serius akan lunturnya budaya tradisional Tengger. Erosi ini dikhawatirkan akan mengurangi semangat Suku Tengger dalam menjaga dan menghormati alam, yang merupakan pedoman utama dalam budaya mereka.

Ancaman demografis juga muncul melalui tren urbanisasi. Semakin banyak generasi muda meninggalkan kampung halaman untuk mencari penghidupan di kota. Migrasi ini menjadi ancaman terhadap kelestarian Bahasa Tengger dan transmisi tradisi lokal. Meskipun demikian, komunitas menunjukkan upaya pelestarian lokal yang gigih. Orang tua dan tokoh adat terus mengajarkan Bahasa Tengger kepada anak-anak, dan menanamkan pentingnya menjaga tradisi melalui ritual tahunan seperti Yadnya Kasada. Pelestarian ini harus berjalan beriringan dengan dunia modern, dan terdapat potensi untuk memanfaatkan teknologi sebagai wadah untuk mempertahankan budaya tradisional dan menjadikannya menarik bagi generasi muda.

Konflik Tenurial dan Ketiadaan Perlindungan Hukum Adat

Konflik tenurial (sengketa hak atas tanah) merupakan ancaman eksistensial terbesar bagi Suku Tengger. Karena wilayah adat mereka berada di dalam batas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), masyarakat seringkali berhadapan dengan tuntutan dan kebijakan yang bertentangan dengan hak-hak tradisional mereka.

Permasalahan tenurial ini dipicu oleh beberapa faktor, termasuk tuntutan ekonomi, tumpang tindih kebijakan antara institusi pengelola, salah pemahaman mengenai status tanah, serta disharmonisasi hubungan antara masyarakat dan aparat pemerintah. Prioritas pemerintah dalam pengembangan infrastruktur secara masif di kawasan KSPN sering mengabaikan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Ketiadaan regulasi yang memadai untuk melindungi masyarakat hukum adat secara formal mengancam kepemilikan tanah mereka dan, pada akhirnya, kelangsungan hidup mereka secara umum. Konflik ini menunjukkan bahwa meskipun masyarakat Tengger telah lama beradaptasi untuk menjaga lingkungan , kebijakan tata kelola yang tidak sinkron dapat mengancam otonomi dan keberlanjutan mereka.

Strategi Adaptasi dan Dukungan Pemerintah Daerah

Dalam menghadapi tantangan modernisasi dan konflik tenurial, masyarakat Tengger telah mengambil langkah adaptif, yang didukung oleh beberapa kebijakan pemerintah daerah.

Tindakan krusial untuk mitigasi risiko tenurial telah diambil oleh Pemerintah Kabupaten Probolinggo. Pemkab Probolinggo telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Tengger. SK ini berfungsi sebagai payung hukum awal, memberikan kepastian hukum dan pencatatan tertulis terhadap tatanan budaya dan nilai-nilai leluhur yang selama ini hanya diwariskan secara lisan. Pengakuan formal ini sangat penting sebagai respons terhadap ancaman penggusuran dan eksploitasi lahan yang didorong oleh pariwisata.

Selain itu, tokoh adat secara aktif berpartisipasi dalam perlindungan spiritual kawasan tersebut, dengan meminta agar 25 titik sakral di kawasan Bromo tidak dieksploitasi secara komersial demi menjaga kesuciannya. Sementara itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendukung penguatan infrastruktur dan mengimplementasikan kebijakan Jatim Harmoni untuk menjaga kelestarian budaya Tengger. Dukungan fasilitasi pemerintah daerah, seperti yang diberikan untuk Upacara Karo , juga berperan penting dalam mempertahankan warisan budaya di mata publik.

Masa depan pelestarian budaya Tengger kemungkinan akan bergantung pada kemampuan komunitas dan pemerintah untuk memadukan spiritualitas purba mereka dengan teknologi modern. Langkah ini diperlukan untuk mendokumentasikan dan mempopulerkan tradisi mereka, seperti Tari Sodoran , demi menarik keterlibatan generasi muda yang berpotensi migrasi, sehingga ketahanan budaya dapat terus berlanjut.

Kesimpulan

Suku Tengger adalah anomali kultural di Jawa Timur, yang eksistensinya ditopang oleh dualitas asal-usul—historis sebagai keturunan pelarian Majapahit dan mitologis sebagai keturunan Roro Anteng dan Joko Seger. Dualitas ini menciptakan fondasi identitas yang kuat, mengikat masyarakat secara spiritual dan ekologis dengan Gunung Bromo sebagai simbol suci.

Kekuatan utama mereka terletak pada Hindu Dharma Tengger, sebuah keyakinan sinkretis yang berhasil mempertahankan tradisi Jawa Kuno tanpa terasimilasi oleh sistem kasta Hindu Bali atau pengaruh agama-agama dominan di Jawa. Otoritas spiritual Dukun Pandita, yang memiliki kedudukan kharismatik dan sentral dalam kalender ritual, berfungsi sebagai jangkar budaya di tengah perubahan administratif dan sosial. Selain itu, ritual tahunan (seperti Kasada, Karo, Kapat, dan Kawolu) berfungsi tidak hanya sebagai kewajiban spiritual, tetapi sebagai peta ekologis yang mengatur hubungan harmonis antara manusia dan alam, yang sangat penting bagi mata pencaharian mereka.

Namun, keberhasilan ekonomi dari pertanian komersial dan pariwisata membawa risiko pergeseran nilai, menantang etos kesederhanaan tradisional. Tantangan terbesar saat ini adalah konflik tenurial, di mana pengembangan kawasan TNBTS yang berorientasi pada infrastruktur pariwisata mengancam kepemilikan tanah adat.

Berdasarkan analisis terhadap dinamika kontemporer Suku Tengger, berikut adalah rekomendasi strategis untuk menjamin keberlanjutan budaya dan kesejahteraan komunitas:

  1. Sinkronisasi Kebijakan Lintas Batas Administratif:Mengingat penyebaran Suku Tengger di empat kabupaten, diperlukan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan yang kuat antara Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang. Harmonisasi ini harus difokuskan pada penguatan kelompok kerja dan dialog berkelanjutan untuk mereduksi potensi tumpang tindih kebijakan dan menyelesaikan konflik tenurial secara konsisten dan adil.
  2. Implementasi Efektif Regulasi Hukum Adat:Pemerintah daerah harus memastikan implementasi menyeluruh dari Surat Keputusan (SK) Pengakuan Hukum Adat Tengger (khususnya di Probolinggo) dan mendorong penerbitan regulasi serupa di kabupaten lain. Pengakuan hukum formal ini sangat esensial untuk melindungi hak-hak kepemilikan tanah dan mencegah eksploitasi komersial di 25 titik sakral yang diminta oleh tokoh adat.
  3. Pengembangan Pariwisata Berbasis Komunitas (CBT):Model pengembangan pariwisata di TNBTS harus bergeser dari fokus infrastruktur massal menuju pariwisata berbasis komunitas yang menempatkan Suku Tengger sebagai subjek utama, bukan objek. Model ini harus menjamin distribusi ekonomi yang adil, memitigasi pergeseran nilai yang merusak, dan memprioritaskan kearifan lokal dalam pengelolaan ekosistem konservasi.
  4. Investasi dalam Pelestarian Budaya Digital:Untuk mengatasi ancaman erosi budaya dan migrasi kaum muda, perlu dikembangkan program edukasi yang memanfaatkan teknologi modern. Dokumentasi seni, bahasa, dan ritual (seperti Tari Sodoran dan Bahasa Tengger) melalui platform digital akan membantu menarik dan mempertahankan keterlibatan generasi muda, memastikan bahwa warisan spiritual Tengger tetap relevan di tengah modernisasi.