Evolusi Busana Muslimah di Indonesia: Dari Simbol Religius hingga Kekuatan Global
Busana muslimah di Indonesia telah mengalami transformasi yang luar biasa, melampaui fungsinya sebagai sekadar pakaian keagamaan. Di negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, busana ini kini merefleksikan sebuah narasi yang kompleks, mencakup identitas, budaya, ekonomi, dan politik. Fenomena ini tidak hanya dipahami sebagai bagian dari ketaatan seorang Muslimah untuk menutup aurat, tetapi juga sebagai sebuah produk budaya yang dinamis dan entitas ekonomi yang terus berkembang. Evolusi ini mencerminkan bagaimana norma-norma keagamaan berinteraksi dan beradaptasi dengan tren sosial dan budaya yang lebih luas, menghasilkan sebuah identitas busana yang unik dan khas Indonesia.
Akulturasi dan Awal Mula (Pra-1980)
Sinkretisme Budaya dan Islam Awal
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, cara berpakaian perempuan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya lokal. Di Jawa, misalnya, busana yang umum dikenakan adalah kebaya dan kain jarit. Pengaruh budaya lokal, khususnya Kejawen, sangat kuat dalam membentuk gaya berpakaian. Pada masa ini, penggunaan penutup kepala sehari-hari (kain kudung) masih merupakan hal yang tidak umum, meskipun sudah menjadi praktik dalam konteks keagamaan atau acara tertentu. Kebaya, yang pertama kali muncul pada abad ke-16 hingga ke-17, mengalami modifikasi dari pengaruh budaya Tionghoa dan kemudian disesuaikan dengan norma-norma Islam. Pada akhir abad ke-19, gaya Eropa juga mulai memberikan pengaruhnya pada kebaya, namun busana ini tetap menjadi pilihan dominan bagi perempuan, baik Muslim maupun non-Muslim.
Peran Intelektual dan Modernisme Islam
Awal abad ke-20 menyaksikan kemunculan kaum intelektual Indonesia yang terdidik di Barat, sebagai dampak dari kebijakan etis Belanda. Para tokoh ini memainkan peran penting dalam pergerakan Kebangkitan Nasional Indonesia. Di antara mereka, muncul pula intelektual Islam modernis dari organisasi seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (PERSIS). Kelompok ini memelopori perpaduan antara modernitas Barat—yang disimbolkan oleh pakaian seperti jas—dengan identitas Muslim dan lokal, misalnya dengan memadukannya bersama sarung.
Dalam konteks busana muslimah, K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, mulai mempromosikan penggunaan kerudung (jilbab yang tidak menutup seluruh kepala) sejak sekitar tahun 1910-an. Kerudung ini digunakan bersama kebaya, menciptakan gaya yang dikenal sebagai “Kudung Aisyiyah” atau “Songket Kauman“. Sementara itu, kelompok lain seperti PERSIS mengadvokasi penggunaan hijab yang menutupi kepala secara lebih sempurna daripada kerudung Aisyiyah. Meskipun busana ini tidak langsung diterima secara luas dan bahkan memicu polemik sosial, upaya ini meletakkan dasar bagi evolusi busana muslimah yang lebih terstruktur di masa depan.
Linimasa Evolusi Busana Muslimah Pra-1980
Tabel berikut ini menyajikan gambaran kronologis mengenai perkembangan busana muslimah di Indonesia sebelum tahun 1980.
Periode | Peristiwa/Gaya Kunci | Pengaruh Budaya | Catatan |
Abad ke-16-17 | Kemunculan Kebaya | Tionghoa & Jawa | Dipengaruhi budaya Tionghoa, kemudian dimodifikasi dalam budaya lokal. |
Abad ke-18 | Kebaya dipengaruhi gaya Eropa | Eropa (Belanda) & Jawa | Susuhunan Amangkurat II mengadopsi gaya kolonial Belanda, memadukannya dengan kebaya. |
Akhir Abad ke-19 | Kebaya sebagai busana dominan | Eropa, Jawa | Pengaruh Eropa semakin kuat, namun kebaya tetap menjadi busana utama bagi perempuan, termasuk Muslimah. |
Awal Abad ke-20 (1910-an) | Promosi Kain Kudung/Kerudung | Islam Modernis (Muhammadiyah & PERSIS) | K.H. Ahmad Dahlan mempromosikan penutup kepala untuk sehari-hari, digunakan bersama kebaya, meski memicu polemik sosial. |
Awal Abad ke-20 | Munculnya Gaya “Fusion” | Barat & Islam | Intelektual Muslim modernis memadukan busana Barat (jas) dengan sarung, menunjukkan upaya sintesis identitas modern dan Islam. |
Narasi Identitas Ganda dan Akulturasi
Perkembangan pada awal abad ke-20 ini mencerminkan adanya perjuangan identitas yang mendalam di kalangan kaum intelektual Indonesia. Mereka berada di persimpangan antara pengaruh kolonial Barat yang kuat dan akar budaya serta agama mereka. Penggunaan
kerudung bersama kebaya oleh para perempuan Aisyiyah, seperti yang dicatat dalam riset, bukanlah sekadar pilihan mode, tetapi sebuah pernyataan budaya dan politik yang kompleks. Melalui sintesis ini, mereka menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk menjadi modern dan terpelajar—seperti yang disimbolkan oleh kebaya yang dipengaruhi gaya Eropa—sekaligus mempertahankan identitas Muslim dan nasional melalui penggunaan kerudung dan kain tradisional.
Sintesis ini secara efektif membantah pandangan bahwa modernitas dan identitas Islam adalah hal yang kontradiktif. Sebaliknya, hal ini memperlihatkan adanya perpaduan yang rumit dan dinamis. Fleksibilitas ini menjadi fondasi penting bagi evolusi busana muslimah di Indonesia di masa depan, yang memungkinkan adanya inovasi dan adaptasi tanpa harus meninggalkan nilai-nilai dasar.
Revolusi Jilbab dan Kebangkitan Identitas (1980-an hingga 2000-an Awal)
Busana sebagai Simbol Perlawanan Politik
Pada era Orde Baru, busana muslimah, khususnya jilbab, mengalami periode yang penuh tantangan. Pemerintah saat itu melarang penggunaan jilbab di sekolah-sekolah dan institusi pemerintah, dengan alasan bahwa hal tersebut dapat mengancam nilai-nilai nasionalisme. Kekhawatiran ini sebagian besar dipicu oleh Revolusi Iran pada tahun 1979 yang menyebarkan ideologi keislaman, yang dikhawatirkan dapat mengikis nasionalisme dan berpotensi menumbangkan rezim. Namun, larangan ini justru menghasilkan efek yang berlawanan. Banyak aktivis dan perempuan muda menggunakan jilbab sebagai simbol perlawanan terhadap rezim, menegaskan identitas diri mereka di tengah penindasan. Gerakan ini, yang sering disebut sebagai “Revolusi Jilbab,” menandai titik awal popularitas jilbab di Indonesia. Menyadari resistensi publik, pemerintah akhirnya melunak dan mengizinkan penggunaan jilbab di institusi pendidikan pada tahun 1991.
Transformasi di Era Reformasi
Jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 membawa kebebasan yang lebih besar bagi umat Muslim untuk berekspresi. Jilbab, yang sebelumnya menjadi simbol perlawanan politik, kini bertransformasi menjadi simbol kebebasan berekspresi bagi umat Muslim. Perubahan ini disambut antusias, memicu kebangkitan kembali organisasi Muslim dan adopsi jilbab secara lebih luas di masyarakat. Namun, kebebasan ini juga memiliki sisi lain. Pasca-peristiwa bom Bali, jilbab sempat kembali mengalami stigma negatif, dikonstruksi ulang sebagai simbol ketakutan, khususnya terkait dengan terorisme. Namun, stigma ini tidak bertahan lama.
Munculnya Fenomena Hijrah
Sejak akhir tahun 1990-an, sebuah gerakan keagamaan kontemporer yang disebut “Hijrah” mulai muncul dan mendapatkan momentum, terutama di kalangan anak muda perkotaan. Gerakan ini, yang awalnya digerakkan oleh kelompok-kelompok seperti Jemaah Tarbiyah, mendorong para pengikutnya untuk mengadopsi gaya hidup yang lebih saleh atau “Islam kaffah”. Istilah Hijrah, yang secara historis merujuk pada perjalanan Nabi Muhammad, dihidupkan kembali di Indonesia untuk menandakan sebuah perjalanan spiritual menuju ketaatan yang lebih mendalam.
Fenomena ini menjadi sangat populer di tahun 2000-an, didukung oleh figur publik dan selebriti yang memutuskan untuk berhijrah, seperti Inneke Koesherawati, Shireen Sungkar, dan Laudya Chintya Bella. Mereka menggunakan platform media sosial dan televisi untuk memodelkan perjalanan spiritual ini, yang beresonansi dengan audiens muda yang juga mencari makna dan ekspresi diri. Dalam konteks ini, penggunaan busana muslimah seperti jilbab tidak lagi hanya tentang kewajiban agama, tetapi menjadi manifestasi dari sebuah perjalanan spiritual dan pencarian identitas diri yang baru.
Makna Jilbab yang Fluid dan Multidimensional
Perkembangan yang terungkap dalam fase ini menunjukkan bahwa makna jilbab di Indonesia tidaklah statis. Maknanya terus-menerus dikonstruksi ulang seiring perubahan konteks sosial dan politik. Jilbab telah bertransformasi dari sekadar penanda religius dasar, menjadi simbol perlawanan politik, simbol kebebasan berekspresi, stigma negatif pasca-terorisme, hingga akhirnya menjadi penanda tingkat kesalehan.
Fleksibilitas makna ini dapat terlihat dari pengaruh film populer seperti Ayat-Ayat Cinta pada tahun 2008, yang menggambarkan perempuan berjilbab dengan karakter yang saleh, cerdas, dan bermoral. Film ini menggeser persepsi publik dan menjadikan jilbab sebagai simbol kebaikan. Lebih lanjut, di era digital, munculnya “hijaber selebriti” menggeser wacana kesalehan menjadi tren berbusana, di mana jilbab menjadi cara berpakaian baru yang dimanfaatkan oleh media dan kelompok kapitalis. Ini menunjukkan bahwa busana muslimah di Indonesia tidak memiliki makna tunggal yang statis; maknanya adalah hasil dari negosiasi berkelanjutan antara individu, masyarakat, agama, dan kekuasaan. Kemampuan beradaptasi dan bernegosiasi inilah yang menjadi faktor kunci mengapa industri busana muslimah Indonesia begitu dinamis dan mampu berkembang.
Era Digital dan Industrialisasi (2000-an hingga Sekarang)
Dari Komunitas ke Industri: Peran Media Sosial
Era 2000-an dan seterusnya menandai titik balik penting di mana busana muslimah bertransisi dari sekadar fenomena sosial menjadi industri yang terorganisasi. Pergerakan ini sebagian besar didorong oleh digitalisasi dan peran media sosial. Komunitas seperti “Hijabers Community,” yang didirikan pada tahun 2010, menggunakan platform seperti blog, Twitter, dan Instagram sebagai alat utama untuk menghubungkan para anggotanya dan mempromosikan gaya berbusana muslimah yang kreatif dan modern.
Munculnya komunitas-komunitas ini menciptakan pasar baru yang menuntut busana muslimah yang lebih bervariasi, inovatif, dan sesuai dengan gaya hidup sehari-hari. Desain yang semula sederhana dan berfokus pada fungsi kini berubah menjadi sebuah pernyataan mode yang mencakup berbagai siluet, warna, dan tekstur. Fenomena ini juga diperkuat oleh data ekonomi yang menunjukkan peningkatan daya beli dan kesadaran masyarakat akan gaya hidup halal, yang mencakup fashion.
Pionir dan Arsitek Industri
Industrialisasi busana muslimah tidak akan terjadi tanpa peran para desainer dan pengusaha visioner.
- Itang Yunasz: Diakui sebagai salah satu pionir modest wear di Indonesia dengan pengalaman lebih dari 40 tahun. Ia telah meluncurkan berbagai merek yang dikenal produktif dan elegan, memposisikan dirinya sebagai trendsetter yang diantisipasi oleh banyak penggemar mode.
- Dian Pelangi: Seorang ikon global yang karyanya telah dipamerkan di panggung internasional dan diakui oleh Forbes 30 Under 30. Dian Pelangi dikenal karena gaya busananya yang berani, penuh warna, dan kemampuannya memadukan motif tradisional Indonesia seperti batik dan tenun dengan sentuhan modern.
- Anniesa Hasibuan: Menciptakan sejarah dengan menjadi desainer Indonesia pertama yang menampilkan koleksi di New York Fashion Week dengan semua modelnya mengenakan hijab. Peragaannya yang menampilkan tunik, kimono, dan gaun malam berkilau yang dipadukan dengan hijab berhasil menarik perhatian global dan mengukuhkan statusnya sebagai bintang yang sedang naik daun.
- Jenahara Nasution dan Ria Miranda: Keduanya mewakili gelombang baru desainer yang membangun merek mandiri sejak awal 2000-an. Jenahara dikenal dengan estetika yang modern dan berani , sementara Ria Miranda memiliki ciri khas pada warna-warna pastel yang lembut dan feminin.
- Diajeng Lestari: Peran kuncinya adalah sebagai pendiri Hijup, platform e-commerce perintis yang didirikan pada tahun 2011. Hijup menjadi jembatan penting yang menghubungkan desainer lokal dengan pasar yang berkembang, menunjukkan bagaimana teknologi dan kewirausahaan dapat membangun ekosistem industri kreatif yang terintegrasi.
 Ketegangan antara Kreativitas Global dan Konservatisme Domestik
Kisah Anniesa Hasibuan di New York Fashion Week adalah studi kasus yang menarik untuk memahami ketegangan yang ada dalam industri ini. Meskipun ia dipuji di panggung internasional karena inovasi dan desainnya yang glamor , ia justru menghadapi kritik di dalam negeri. Beberapa pihak konservatif menganggap busananya tidak cukup sopan, dengan argumen bahwa tujuan hijab adalah untuk tidak menarik perhatian. Anniesa sendiri mencatat bahwa di New York, orang lebih fokus pada sisi artistik dari desainnya, alih-alih aspek religiusnya, sebuah pengalaman yang membuatnya merasa lebih nyaman.
Hal ini menyoroti realitas penting bahwa keunggulan kompetitif Indonesia di panggung global—yaitu kemampuannya untuk mencampuradukkan tradisi dengan estetika modern yang berani—juga menjadi titik gesekan di dalam negeri. Kesuksesan internasional industri ini ironisnya bergantung pada pergeseran pemahaman tentang “sopan” (modest) yang tidak disepakati oleh semua pihak di Indonesia. Perbedaan interpretasi ini menunjukkan bahwa industri busana muslimah terus bernegosiasi dengan beragam nilai dan pandangan keagamaan dalam masyarakatnya sendiri.
Menuju Pusat Fashion Global: Tantangan dan Peluang
Ambisi Nasional dan Kontribusi Ekonomi
Indonesia kini memposisikan diri sebagai pemimpin dalam industri modest fashion global, dengan ambisi untuk menjadi “Pusat Mode Modest Global”. Visi ini didukung oleh Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah melalui strategi nasional yang komprehensif. Secara ekonomi, industri ini telah menunjukkan kontribusi yang signifikan. Indonesia menduduki peringkat ketiga secara global dalam industri fashion modest. Belanja Muslim untuk fashion di Indonesia meningkat setiap tahunnya, mencapai US 295 miliar pada tahun 2021 dan diproyeksikan tumbuh menjadi US 375 miliar pada tahun 2025. Selain pasar domestik yang besar, ekspor produk fashion modest Indonesia ke negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mencapai US$540 juta pada tahun 2022, menempatkan Indonesia di antara 10 eksportir teratas.
Tantangan Industrial dan Struktural
Meskipun memiliki peluang besar, industri ini menghadapi beberapa tantangan yang harus diatasi untuk mencapai ambisinya.
- Keterbatasan Bahan Baku: Salah satu masalah utama adalah ketergantungan pada impor bahan baku seperti kapas dan sutra, yang menunjukkan kelemahan di hulu rantai pasok.
- Masalah Teknologi dan SDM: Produksi massal masih terkendala oleh penggunaan teknologi tradisional, seperti Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Selain itu, banyak sumber daya manusia di bidang fashion yang tidak memiliki dasar ilmiah, melainkan hanya berdasarkan hobi.
- Kurangnya Sinergi: Terdapat kesenjangan antara Industri Kecil dan Menengah (IKM) yang fokus pada produksi, desainer yang fokus pada eksplorasi, dan pemasok bahan yang menuntut kuantitas minimum pesanan yang tinggi.
- Kurangnya Kesadaran Halal dan Sertifikasi: Kesadaran pelaku usaha dan masyarakat mengenai pentingnya sertifikasi halal masih rendah, meskipun ini merupakan nilai tambah yang signifikan di pasar global.
Tren Masa Depan: Inovasi dan Nilai-Nilai Baru
Beberapa tren kunci akan membentuk masa depan industri ini:
- Pengaruh Generasi Z: Generasi muda mempopulerkan gaya yang lebih minimalis, oversized, dan nyaman, menjauh dari gaya formal tradisional. Hal ini menunjukkan pergeseran preferensi menuju ekspresi diri yang santai dan fungsional.
- Sinergi Tradisi dan Modernitas: Desainer terus mengintegrasikan kain tradisional seperti batik dan tenun ke dalam busana sehari-hari dan streetwear. Ini membuktikan bahwa warisan budaya dapat menjadi bagian integral dari gaya hidup modern dan global.
- Keberlanjutan (Sustainability): Kesadaran akan praktik berkelanjutan kini semakin penting, sejalan dengan nilai-nilai Islam tentang moderasi dan tanggung jawab. Tren ini tidak hanya menanggapi preferensi konsumen global, tetapi juga membuka peluang untuk memposisikan Indonesia sebagai pemimpin etis dalam industri fashion.
 Mengubah Nilai Etis menjadi Keunggulan Kompetitif
Munculnya tren keberlanjutan dan etika dalam industri busana muslimah adalah sebuah evolusi strategis. Ini bukan sekadar mengikuti tren global, tetapi juga menautkan kembali industri dengan nilai-nilai inti Islam, seperti moderasi, tanggung jawab, dan keadilan. Dengan demikian, industri ini mampu menarik pasar yang lebih luas—termasuk konsumen non-Muslim yang peduli etika—sambil memperkuat identitasnya sendiri. Hal ini mengubah tantangan menjadi peluang, di mana Indonesia dapat memposisikan dirinya tidak hanya sebagai produsen fashion modis, tetapi juga sebagai pemimpin etis di industri global.
Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis
Ringkasan Temuan
Evolusi busana muslimah di Indonesia merupakan perjalanan yang kompleks dan multidimensional, dari akulturasi historis hingga menjadi kekuatan ekonomi yang menonjol. Transformasi ini mencerminkan identitas Indonesia sendiri—sebuah perpaduan yang unik antara spiritualitas, politik, dan komersialisme. Keunggulan kompetitif Indonesia terletak pada keragaman budayanya, inovasi yang berani, dan kemampuannya untuk bernegosiasi dengan berbagai interpretasi Islam dan modernitas.
Kekuatan Unik Indonesia
Busana muslimah Indonesia dibedakan dari negara-negara Muslim lainnya oleh kemampuannya memadukan motif dan kain tradisional—seperti batik, songket, dan tenun—dengan estetika modern, menghasilkan identitas yang unik di pasar global. Fleksibilitas ini memungkinkan industri untuk menarik audiens yang beragam, dari kaum Muslim yang ingin mengekspresikan identitas baru mereka hingga konsumen non-Muslim yang mencari gaya berpakaian etis dan otentik.
Rekomendasi Strategis
Untuk mengukuhkan posisinya sebagai pusat mode modest global, Indonesia harus mengatasi tantangan yang ada.
- Untuk Pemerintah dan Lembaga: Diperlukan penguatan infrastruktur hulu, termasuk investasi dalam produksi bahan baku domestik. Memfasilitasi proses sertifikasi halal dan mendorong sinergi yang lebih baik antara desainer, produsen, dan pemasok juga sangat krusial.
- Untuk Pelaku Industri: Pelaku industri harus berinvestasi dalam teknologi produksi modern untuk meningkatkan efisiensi. Kolaborasi dengan desainer dan komunitas menjadi kunci untuk menciptakan produk yang inovatif dan terhubung dengan pasar. Mengintegrasikan nilai-nilai keberlanjutan dan etika ke dalam rantai pasok akan membangun citra merek yang kuat dan etis di mata konsumen global.
- Untuk Komunitas dan Konsumen: Terus mendorong dialog dan pemahaman yang lebih luas tentang busana muslimah sebagai bentuk ekspresi diri yang beragam. Dukungan terhadap produk lokal yang inovatif dan etis akan memperkuat ekosistem industri secara keseluruhan.
Post Comment