Keris Indonesia: Pusaka Nusantara Warisan Budaya Dunia
Definisi dan Evolusi Fungsi Keris
Keris didefinisikan sebagai belati asimetris khas Nusantara (distinctive, asymmetrical dagger) yang berasal dari Indonesia. Artefak ini memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai senjata pertahanan dan sebagai objek spiritual yang dipercaya memiliki kekuatan magis.
Secara anatomi, Keris merupakan sebuah mahakarya paripurna yang setidaknya terdiri dari tiga komponen utama: Wilah (Bilah), Ganja (Penopang), dan Hulu (Gagang). Selain itu, terdapat komponen pendukung yang dikenal sebagai sandangan, termasuk Mendak (cincin logam penghubung bilah dan hulu), Selut (hiasan logam di bagian atas hulu), Warangka (sarung keris), dan Pendok (lapisan logam yang menutupi Warangka). Setiap bagian ini, melalui bentuk, ukiran, dan hiasannya, memberikan indikasi mengenai asal-usul Keris, status pemilik, dan tujuan pembuatannya.
Fungsi Keris mengalami evolusi signifikan sepanjang sejarah. Awalnya, Keris berfungsi utama sebagai senjata. Namun, puncaknya terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14 hingga ke-15), di mana teknik pembuatan semakin maju dan rumit. Pada periode ini, Keris tidak lagi semata-mata senjata, melainkan menjadi simbol status sosial dan pusaka yang sangat dihormati. Setelah Majapahit runtuh, tradisi pembuatan dan penggunaan Keris terus dilanjutkan oleh kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, menegaskan perannya yang berkelanjutan dalam budaya dan politik.
Pengakuan Global: Keris sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia (ICH)
Pengakuan internasional terhadap nilai luhur Keris dicapai melalui Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Keris Indonesia secara resmi dikukuhkan sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity pada tahun 2005 dan kemudian dicatatkan dalam Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan pada 4 November 2008.
Pengakuan ini tidak diberikan hanya karena keunikan bentuk fisiknya. UNESCO mengakui Keris karena nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, proses pembuatannya yang rumit, dan ajaran filosofis serta tradisi budaya yang menyertainya. Seorang empu keris dari ISI Surakarta, KRT Subandi Suponingrat, menegaskan bahwa Keris adalah pusaka yang menyimpan ajaran luhur dan bukan sekadar senjata perang. Pengakuan dunia ini mendorong semangat pelestarian, koleksi, dan menjadikan Keris sebagai identitas dan kebanggaan nasional. Disarankan juga bahwa setelah pengakuan UNESCO, Indonesia harus membentuk lembaga Keris Indonesia yang terstruktur untuk mengelola pelestarian ini.
Asal-Usul, Periodisasi, dan Klasifikasi Tangguh
Jejak Awal dan Konteks Penyebaran
Keris merupakan warisan asli Nusantara, dengan artefak tertua yang diketahui berasal dari abad ke-10 di Jawa. Dari Jawa, Keris kemudian menyebar ke seluruh Asia Tenggara, termasuk wilayah Melayu. Perkembangan desain dan teknik pembuatan Keris tersebar luas di Nusantara, dibantu oleh pusat-pusat perdagangan dan budaya, seperti Kerajaan Melaka pada abad ke-15, yang memainkan peran penting dalam menyebarkan Keris ke Sumatera dan sekitarnya. Ini menunjukkan bahwa Keris adalah simbol yang menyatukan dunia Melayu secara kultural.
Sistem Tangguh: Kronologi Gaya Empu
Tangguh adalah metode klasik yang digunakan dalam dunia perkerisan untuk mengklasifikasikan Keris. Klasifikasi ini didasarkan pada perkiraan era, gaya pembuatan, dan lokasi geografis Empu (pandai besi) yang menciptakannya. Tangguh menentukan ciri khas besi, pola pamor, dan pasikutan (karakteristik keseluruhan bilah). Keris dikelompokkan berdasarkan rentang waktu dari zaman kuno (misalnya Kediri) hingga era Mataram Muda (Mataram Nom), termasuk Kerajaan Janggala, Pajajaran, Majapahit, dan Mataram.
Klasifikasi Tangguh sangat bergantung pada detail mikroskopis bilah Keris, yang dapat dianggap sebagai “DNA” historis dari artefak tersebut. Oleh karena itu, Tangguh berfungsi sebagai sistem validasi historis dan kultural. Apabila bilah Keris mengalami modifikasi atau gubahan (misalnya mengubah Keris lurus menjadi luk, atau mengubah jumlah luk), nilai estetika dan integritas Tangguh aslinya akan terancam. Tangguh memastikan bahwa nilai Keris tidak hanya diukur dari keindahan visualnya, tetapi dari keaslian proses kreasi leluhur.
Analisis Komparatif Tangguh Utama
Tiga Tangguh yang paling sering dikaji memberikan gambaran evolusi gaya Keris:
- Tangguh Pajajaran: Ciri khasnya meliputi pasikutan yang kaku dan kasar. Besi Keris cenderung ‘kering’, keputih-putihan, dan memiliki pamor yang muncul secara tidak direncanakan (pamor non-teknis) yang disebut nggajih. Panjang bilah bervariasi, dan ganjanya sering maju ke depan.
- Tangguh Majapahit: Tangguh ini mencapai puncak perkembangan Keris. Ciri khasnya adalah bilah yang tipis dan kering, dengan besi terlihat ngrekes (berserat). Gandik pada Keris Majapahit menonjol, dan Ganja sering berbentuk bathok mengkurep (seperti tempurung terbalik).
- Tangguh Mataram Senopaten: Tangguh ini termasuk dalam era Mataram Awal (sekitar 1614 M). Pasikutan-nya kaku namun luruh. Pamor terlihat padat (solid), dan Ganja memiliki bentuk yang khas, kadang digambarkan menyerupai kadal yang menangkap mangsa.
Tabel Kunci 3: Analisis Komparatif Tangguh Keris Utama
| Tangguh (Era/Gaya) | Perkiraan Masa | Ciri Khas Bilah/Besi | Ciri Khas Ganja |
| Pajajaran/Segaluh | Abad Pertengahan Awal | Kaku, Kasar, Besi Kering (Keputih-putihan), Pamor nggajih | Ganja maju ke depan (panjang), Pamor tidak terencana |
| Majapahit | Abad ke-14 hingga ke-15 | Bilah Tipis, Kering, Besi ngrekes (berserat), Gandik menonjol | Bentuk Bathok Mengkurep (tempurung terbalik) |
| Mataram Senopaten | Circa 1614 M – Era Mataram Awal | Pasikutan kaku tetapi luruh, Pamor terlihat padat (solid) | Bentuk khas seperti ‘kadal menangkap mangsa’ (Iras/Wilut) |
Peran dan Legenda Empu (Pandai Besi)
Empu dalam tradisi Nusantara adalah sosok yang memiliki kedudukan tinggi, bukan sekadar pengrajin besi. Mereka adalah figur spiritual yang dipercaya mampu memasukkan kekuatan magis atau Tuah ke dalam Keris. Tuah Keris sering kali bersumber dari kesaktian Empu yang menempa pusaka tersebut.
Keterlibatan Empu legendaris dalam menciptakan pusaka kerajaan, seperti Empu Supo Mandrangi yang terkenal dengan karyanya Keris Kyai Nagasasra dan Keris Kyai Sengkelat (dikenal di era Majapahit dan Mataram) , membuktikan bahwa Keris merupakan artefak yang sarat narasi historis dan spiritual yang kuat. Pusaka yang diciptakan oleh Empu ternama berfungsi sebagai sumber legitimasi spiritual dan politik bagi kerajaan atau pemilik pusaka tersebut.
Anatomi, Tipologi, dan Seni Metalurgi
Anatomi Keris: Wilah, Ricikan, dan Sandangan
Bilah Keris (Wilahan) secara fisik dibagi menjadi tiga bagian: Pucukan (ujung), Awak-awak (tengah), dan Sor-soran (bidang bawah).
Ricikan adalah detail-detail kecil yang memperkaya bilah Keris, dan letaknya paling banyak ditemukan pada bagian sor-soran. Contoh ricikan meliputi sekar kacang, gandhik (kepala Keris), pejetan, dan greneng. Perbedaan kombinasi ricikan yang dimiliki oleh sebilah Keris merupakan faktor utama yang menentukan penamaan Dhapur-nya (bentuk baku Keris).
Sandangan atau kelengkapan Keris meliputi Warangka (sarung) dan Hulu (Ukiran). Hulu Keris, terutama di Jawa, sering kali menyimbolkan dewa dalam posisi jongkok. Bentuk Hulu bervariasi sesuai daerah, menjadikannya penanda asal-usul Keris. Menariknya, pemilik Keris sering menggabungkan elemen dari berbagai daerah, misalnya mengombinasikan Hulu Madura dengan Warangka Surakarta, menunjukkan apresiasi terhadap keindahan lintas regional.
Klasifikasi Dhapur: Lurus vs. Luk
Secara tipologi, Keris dibagi menjadi dua kelompok utama: Keris Lurus (Lajer) dan Keris Luk (berkelok-kelok). Keris Luk selalu memiliki jumlah lekukan ganjil, dimulai dari Luk 3, Luk 5, Luk 7, hingga seterusnya.
Dalam tradisi Keraton, Keris pusaka lazimnya hanya memiliki Luk hingga 13, seperti Dhapur Sangkelat atau Nagasasra. Keris yang memiliki jumlah Luk lebih dari 13 (misalnya Luk 17, 19, 21, 25, atau 29) disebut Keris Kalawijen atau Palawijan, yang dianggap tidak lazim dan tidak termasuk dalam kategori Pusaka Keraton.
Filosofi Jumlah Luk dan Dhapur
Setiap jumlah Luk pada Keris mengandung makna filosofis yang mendalam (esoterik), yang melampaui fungsi fisik Keris sebagai senjata. Pemilihan dhapur Keris didasarkan pada tujuan pemesan atau profesi pemiliknya, menunjukkan bahwa Keris adalah artefak yang dipersonalisasi sebagai manifestasi fisik aspirasi spiritual dan sosial pemiliknya.
| Jumlah Luk | Contoh Dhapur | Makna Filosofis Utama (Esoterik) |
| Lurus (0) | Brojol, Sabuk Tali, Jalak | Ketauhidan, Keseimbangan, Kesederhanaan |
| Luk 3 | Jangkung, Tebu Saoyotan | Penopang Harapan, Pencapaian Cita-cita |
| Luk 5 | Pandowo Lare, Singa Sinebaning Dilah | Juru Syiar, Mendalami Ilmu Agama (untuk pengertian yang hakiki) |
| Luk 7 | Carubuk, Murda Malela, Megantoro | Tolak Bala, Kewaspadaan, Keselamatan |
| Luk 13 | Sangkelat, Nagasasra, Parungsari | Kewibawaan Raja, Ketegasan (Batas Pusaka Keraton) |
Pamor dan Metalurgi Kosmik
Pamor adalah pola atau guratan motif artistik yang muncul pada bilah Keris. Pamor dihasilkan dari teknik penempaan lipat besi yang menggabungkan dua atau lebih bahan logam yang memiliki perbedaan warna dan komposisi.
Teknik Pembuatan dan Bahan: Keris tradisional dihasilkan melalui teknik tempa lipat (forging) oleh Empu. Teknik ini sangat berbeda dengan teknik cor (casting) modern, dan perbedaan metode ini sangat memengaruhi kualitas, nilai estetis, dan resepsi spiritual Keris.
Bahan baku Pamor yang paling dihargai adalah besi meteorit. Material ini, yang mengandung kadar nikel tinggi, sering dicari karena menghasilkan pola Widmanstaten yang unik dan gradasi warna yang lebih menarik dibandingkan nikel komersial biasa. Kepercayaan bahwa pada masa lalu Keris pusaka menggunakan besi meteor (seperti meteor yang jatuh di Prambanan) menyoroti praktik kuno dan disengaja ini.
Penggunaan besi meteorit mengimplikasikan bahwa Pamor bukan sekadar dekorasi, melainkan sebuah peta metalurgi yang memvisualisasikan koneksi spiritual Keris dengan alam semesta. Meteorit, sebagai material yang turun dari langit (kosmos), dianggap membawa unsur ilahi, yang kemudian menjadi justifikasi filosofis bagi Tuah (kekuatan magis) yang melekat pada pusaka tersebut. Salah satu contoh Pamor yang populer adalah Wos Wutah (beras tumpah), yang secara spiritual melambangkan kemudahan rezeki.
Dimensi Spiritual, Filosofi, dan Ritual Keris
Filosofi Inti: Ketauhidan dan Panduan Hidup
Filosofi Keris dalam kebudayaan Jawa melambangkan Ketauhidan—sebuah bentuk penghambaan dan penyatuan spiritual antara manusia dan Tuhannya. Keris dianggap sebagai panduan hidup yang mewujudkan falsafah Sangkan paraning dumadi (dari mana manusia berasal dan kemana ia harus kembali). Keris menyiratkan kebutuhan bagi pemiliknya untuk memiliki ketajaman berpikir dan kelembutan hati. Dengan memahami filosofi ini, Keris diposisikan sebagai pusaka yang bertujuan mengasah diri agar menjadi lebih religius dan menaati petunjuk hidup.
Konsep Tuah (Kekuatan Magis)
Keris dipandang sebagai objek spiritual yang memiliki kekuatan magis atau Tuah. Kekuatan gaib ini dapat bersumber dari tiga entitas utama:
- Makhluk halus atau spirit yang diyakini bersemayam di dalamnya.
- Kesaktian Empu yang menempa Keris.
- Berkah atau izin dari Tuhan (Yai).
Kepemilikan Keris sering kali dimaksudkan untuk tujuan spesifik, seperti memperoleh keselamatan, kekuatan, kewibawaan, atau kemudahan rezeki. Meskipun Keris dipercaya memiliki kekuatan supranatural, dalam beberapa komunitas spiritual (seperti warga Samin), Keris dipandang hanya sebagai perantara untuk memohon kepada Tuhan. Pandangan ini menempatkan Keris dalam kerangka teologis yang menghindari penyembahan benda, sejalan dengan filosofi Ketauhidan.
Ritual Perawatan Tahunan: Jamasan dan Mewarangi
Pemeliharaan Keris tidak hanya bersifat fisik, tetapi merupakan ritual budaya yang penting. Ritual perawatan yang dikenal sebagai Jamasan (pencucian pusaka) umumnya dilakukan pada setiap Malam Satu Suro (Muharram).
Tujuan Jamasan adalah untuk:
- Memperkuat koneksi spiritual antara pemilik, pusaka, dan leluhur.
- Melestarikan tradisi budaya Jawa dan nilai-nilai luhur di dalamnya, termasuk penghormatan terhadap leluhur.
Setelah pencucian Keris (yang dapat dilakukan menggunakan air kelapa hijau), Keris dikeringkan, dan kemudian dilakukan proses Mewarangi. Mewarangi adalah proses pengolesan cairan Warangan (arsenik alam) secara merata pada bilah Keris. Warangan berfungsi untuk menghasilkan kontras warna yang tajam pada pamor (membuat bagian besi menjadi gelap dan bagian nikel/meteorit menjadi cerah), sekaligus sebagai agen protektif terhadap karat.
Ritual tahunan ini (Jamasan dan Mewarangi) merupakan mekanisme pengulangan yang penting untuk memastikan bahwa nilai spiritual dan budaya Keris tidak statis, tetapi diperbarui dan dipelihara secara aktif. Ritual ini berfungsi sebagai sarana vital untuk transmisi pengetahuan dan penguatan identitas budaya secara kolektif di tengah perubahan zaman.
Selain di Jawa, adab kepemilikan pusaka juga dijumpai di masyarakat Melayu. Pemilik Keris yang berfungsi sebagai bomoh atau pendekar harus menghormati Kerisnya dengan melakukan ritual melanggir (mengolesi) menggunakan sintuk atau limau nipis pada bulan purnama tertentu untuk mengekalkan kesaktian Keris.
Keris Regional: Perbedaan Lintas Nusantara
Meskipun Keris memiliki asal-usul di Jawa, ia telah beradaptasi dan bermanifestasi dalam berbagai gaya regional di seluruh Nusantara. Variasi Keris yang paling menonjol biasanya terletak pada sandangan (hulu dan warangka), yang mencerminkan integrasi Keris ke dalam struktur sosial dan sistem kepercayaan setempat.
Keris Jawa (Yogyakarta dan Surakarta)
Keris Jawa, khususnya dari lingkungan Keraton (Solo dan Yogyakarta), dicirikan oleh harmonisasi antara bilah, ricikan, dan dhapur yang sarat filosofi. Keris Keraton sering kali fokus pada fungsi simbolis dan status (misalnya, Luk 13 sebagai batas pusaka kerajaan). Ukiran (hulu) dan Warangka memiliki bentuk baku seperti Ladrang dan Gayean yang berfungsi sebagai penanda status.
Keris Melayu dan Sumatera
Di wilayah Melayu, termasuk Sumatera, Keris Palembang memiliki ciri khas penekanan pada estetika ukiran yang rumit dan indah, terutama pada bilah dan gagangnya. Ukiran ini seringkali menampilkan motif flora, fauna, atau kaligrafi, mencerminkan kekayaan seni budaya Palembang.
Keris Sumatera, dengan sejarah panjangnya yang dipengaruhi oleh pusat perdagangan seperti Melaka, berfungsi sebagai simbol keberanian dan kehormatan. Keris Palembang menjadi bagian integral dari pakaian adat pria dan sering digunakan dalam upacara adat, seperti pernikahan atau penyambutan tamu penting.
Keris Bugis, Sulawesi, dan Bali
Di Sulawesi, Keris dikenal juga sebagai Gayang atau Badik. Keris dari Bugis-Makassar dan Sulawesi secara umum sering memiliki Warangka dengan bentuk yang lebih lebar dan khas. Sementara itu, Keris Bali dan Lombok memiliki peran penting sebagai benda berwasiat dan kelengkapan upacara keagamaan umat Hindu. Keris Bali juga banyak dikoleksi karena unsur keindahan dan nilai seninya yang tinggi.
Tabel Kunci 2: Perbandingan Ciri Khas Keris Regional Utama
| Regional | Fokus Estetika | Ciri Khas Anatomi/Ukiran | Konteks Kultural Utama |
| Jawa (Solo/Yogya) | Harmoni dan Filosofi (Ricikan) | Hulu menyimbolkan dewa jongkok; Warangka Ladrang/Gayean | Pusaka Keraton, Simbol Status, Falsafah Hidup |
| Sumatera (Palembang) | Ornamen dan Kerumitan Ukiran | Ukiran Hulu/Bilah Motif Flora/Kaligrafi yang Indah | Simbol Keberanian, Pakaian Adat, Upacara Adat |
| Bali/Lombok | Keindahan dan Seni | Hulu khas Bali; koleksi seni rupa | Koleksi Seni, Benda Wasiat, Upacara Keagamaan |
Keris di Era Kontemporer: Pelestarian dan Diplomasi
Pergeseran Fungsi dan Nilai Keris Modern
Di era kontemporer, fungsi Keris telah bertransisi dari senjata militer menjadi pusaka budaya. Keris kini diakui sebagai mahakarya paripurna dengan nilai estetika dan sejarah yang tinggi. Keris telah menjadi komoditas bisnis yang bernilai tinggi dan objek koleksi seni.
Meskipun demikian, muncul dikotomi antara Keris tradisional yang dibuat dengan teknik tempa pamor yang rumit dan Keris modern yang diproduksi massal menggunakan teknik cor (casting). Keris yang dibuat dengan teknik tempa pamor dianggap memiliki kualitas estetis dan pemaknaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan Keris cor. Adanya pergeseran fokus kepada nilai mahar (harga jual) Keris dan peningkatan produksi massal berisiko mengancam transmisi pengetahuan tradisional tempa lipat Empu dan melemahkan nilai-nilai luhur Keris yang telah diakui UNESCO.
Keris sebagai Diplomasi Budaya Tingkat Tinggi
Pengakuan UNESCO pada Keris memberikan platform baru untuk Keris di kancah internasional. Keris kini diangkat sebagai instrumen diplomasi budaya yang sarat makna. Contoh nyata adalah penggunaannya sebagai hadiah khusus dan istimewa bagi para Kepala Negara yang menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada November 2022. Penggunaan Keris dalam konteks diplomatik tingkat tinggi ini menunjukkan bahwa Keris diakui sebagai simbol kuat jati diri bangsa Indonesia dan warisan budaya adiluhung yang mampu meninggalkan kesan mendalam di panggung global.
Lembaga Pelestari dan Kebijakan Nasional
Langkah-langkah strategis telah diambil untuk melestarikan dan mempromosikan Keris. Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) berperan aktif dalam melestarikan, memperkenalkan, dan mengembangkan Keris sebagai warisan budaya bangsa. SNKI berkolaborasi dengan Kementerian Kebudayaan (Menbud) untuk menyelenggarakan pameran edukatif (misalnya Pameran Pesona Keris Nusantara) dan program literasi yang bertujuan membangun kesadaran masyarakat, khususnya generasi muda.
Dukungan politik tinggi diwujudkan melalui penetapan 19 April sebagai Hari Keris Nasional. Penetapan ini merupakan upaya konkret pemerintah dalam menghidupkan kembali makna dan nilai dari budaya Keris, menjadikannya agenda strategis nasional untuk pemersatu internal.
Pelestarian dan Transmisi Pengetahuan
Pelestarian Keris di masa depan sangat bergantung pada upaya edukasi dan transmisi pengetahuan yang sistematis. Generasi muda perlu mempelajari dan membagikan pengetahuan tentang Keris, termasuk sejarah, makna, filosofi, dan teknik perawatannya. Kebutuhan regenerasi Empu yang menguasai teknik tempa pamor tradisional dan pemahaman filosofis Keris menjadi krusial agar keterampilan metalurgi tinggi ini tidak punah dan tergeser oleh praktik komersial yang mengandalkan teknik cor. Dukungan terhadap program pelestarian budaya Keris di masyarakat menjadi keharusan.
Kesimpulan
Sintesis Nilai Luhur Keris
Keris Indonesia adalah mahakarya peradaban Nusantara yang unik, diakui secara global oleh UNESCO karena nilai luhur yang melekat pada tiga dimensi utama: dimensi teknis (metalurgi tinggi tempa lipat dan penggunaan besi meteorit), dimensi estetika (keindahan dhapur dan pamor), serta dimensi filosofis (prinsip Ketauhidan dan Sangkan Paraning Dumadi). Keris berfungsi sebagai cerminan pemikiran, nilai, dan falsafah kebudayaan yang tinggi, melampaui perannya sebagai senjata.
Rekomendasi untuk Masa Depan Pelestarian Budaya Keris
Berdasarkan analisis terhadap status Keris saat ini, beberapa rekomendasi strategis diusulkan untuk memastikan kesinambungan warisan budaya ini:
- Penguatan Lembaga Formal: Pemerintah disarankan untuk membentuk lembaga Keris Indonesia yang terpusat dan terstruktur, seperti yang pernah diusulkan pasca pengakuan UNESCO. Lembaga ini harus bertugas mengoordinasikan penelitian, melakukan sertifikasi resmi bagi Empu (sebagai penjaga keterampilan tradisional), dan mengelola pengarsipan klasifikasi Tangguh.
- Integrasi Kurikulum Edukasi: Penting untuk mengintegrasikan materi tentang Keris, filosofi dhapur dan luk, serta praktik ritual seperti Jamasan dan Mewarangi, ke dalam kurikulum pendidikan formal (muatan lokal) guna menjamin transmisi pengetahuan yang akurat kepada generasi muda.
- Dukungan Regenerasi Empu: Program dukungan finansial, fasilitas, dan logistik harus diberikan kepada Empu tradisional agar teknik pembuatan tempa pamor dapat diwariskan dan dipertahankan. Hal ini diperlukan untuk mencegah penggantian teknik autentik oleh metode cor komersial yang mengurangi nilai pusaka.
- Literasi Kultural Global yang Nuansa: Pemanfaatan platform diplomatik dan pameran internasional harus secara konsisten mempromosikan Keris sebagai artefak seni spiritual dan filosofis, bukan hanya sebagai senjata. Upaya ini akan meningkatkan literasi global mengenai kedalaman nilai budaya tak benda yang diakui oleh UNESCO.


