Tentang Fanatisme Sepak Bola di Dunia
Definisi dan Spektrum Fenomena Fanatisme Sepak Bola
Fanatisme sepak bola merupakan salah satu fenomena sosial paling kompleks dan kontroversial di kancah olahraga global. Di satu sisi, fanatisme adalah daya tarik utama yang menopang industri bernilai miliaran dolar dan menjadi sumber kebanggaan kolektif. Di sisi lain, fanatisme seringkali bermutasi menjadi perilaku merusak dan kekerasan yang mengakibatkan tragedi kemanusiaan. Analisis ini bertujuan untuk mendefinisikan fenomena fanatisme dalam spektrumnya, menggali akar sosiologis dan psikologisnya, serta menguraikan dampak ekonomis, sosial, dan politisnya di seluruh dunia.
Fanatisme sepak bola adalah manifestasi dari identitas kolektif yang mendalam, di mana emosi ekstrem dari individu menyatu dalam dukungan bersama terhadap sebuah klub atau tim nasional. Secara global, fenomena ini melampaui batas geografis dan budaya, menyebar dari Eropa dan Amerika Selatan hingga ke Asia dan Afrika, menyesuaikan diri dengan konstruksi budaya setempat.
Konseptualisasi: Membedakan Loyalitas, Keterikatan, dan Fanatisme Patologis
Penting untuk membedakan antara loyalitas adaptif, keterikatan emosional yang kuat, dan fanatisme patologis untuk memahami spektrum perilaku suporter.
Loyalitas dapat didefinisikan sebagai dukungan rasional yang didasarkan pada apresiasi terhadap estetika permainan, sejarah klub, atau kinerja tim. Loyalitas jenis ini cenderung stabil dan tidak rentan terhadap perilaku destruktif.
Keterikatan Emosional (Adaptif) adalah tingkat identifikasi diri yang kuat dengan klub. Pada tingkat ini, individu aktif berpartisipasi (misalnya, menjadi anggota kelompok Ultras atau Curva), dan keterikatan ini diterjemahkan menjadi loyalitas finansial, seperti keputusan untuk membeli merchandise orisinal, yang secara langsung menguntungkan klub.
Fanatisme Patologis, sebaliknya, adalah keterikatan buta yang dicirikan oleh intoleransi dan penolakan terhadap perbedaan. Fenomena ini mencakup justifikasi terhadap perilaku merusak atau kekerasan terhadap suporter lawan. Fanatisme ekstrem ini yang menjadi sumber utama masalah sosial dan keamanan dalam dunia sepak bola. Minimisasi fanatisme buta ini merupakan tantangan kebijakan utama bagi federasi olahraga dan pemerintah.
Tabel I menyajikan garis besar kontinuum keterikatan suporter, menunjukkan perbedaan kualitatif dalam dimensi identitas dan perilaku ekonomi.
Table I: Kontinuum Keterikatan Suporter: Dari Loyalitas hingga Fanatisme Patologis
| Dimensi | Keterikatan Rendah (Loyalitas) | Keterikatan Tinggi (Fanatisme Adaptif) | Keterikatan Ekstrem (Fanatisme Patologis) |
| Definisi Utama | Dukungan rasional, berbasis kinerja/tradisi. | Keterikatan emosional kuat, partisipasi aktif (Ultras/Curva). | Keyakinan buta, intoleransi terhadap perbedaan , justifikasi kekerasan. |
| Fokus Identitas | Individual atau komunitas kecil. | Kolektif, in-group yang jelas, solidaritas. | Penolakan out-group secara total (musuh mutlak). |
| Perilaku Ekonomi | Pembelian sporadis, dukungan saat menang. | Loyalitas finansial (Merchandise, tiket musiman). | Kepatuhan finansial buta (membeli apa pun tanpa pertimbangan). |
Akar Sosiologis dan Psikologis Fanatisme
Fanatisme sepak bola tidak terjadi dalam ruang hampa sosial; ia merupakan produk dari interaksi kompleks antara kebutuhan psikologis individu untuk berafiliasi dan struktur sosial yang ada, seringkali merefleksikan ketegangan historis dan stratifikasi masyarakat.
Identitas Sosial dan Konflik Antar-Kelompok
Fanatisme berakar pada kebutuhan psikologis dasar manusia untuk menjadi bagian dari kelompok (in-group). Sepak bola menawarkan identitas kolektif yang siap pakai, memberikan rasa keanggotaan dan kebanggaan yang mungkin sulit ditemukan dalam konteks sosial modern lainnya.
Rivalitas suporter seringkali bukan hanya tentang persaingan olahraga murni, tetapi juga mencerminkan ketegangan sosial dan sejarah yang lebih dalam di komunitas atau wilayah tertentu. Sebagai contoh, Derby della Madonnina antara Inter Milan dan AC Milan di Italia secara historis mencerminkan pembagian kelas sosial yang kaku. Inter Milan secara tradisional dipandang sebagai klub kaum borjuis Milan (bauscia), sementara AC Milan didukung terutama oleh kelas pekerja (casciavid). Perbedaan kelas yang terpinggirkan atau gagal diakomodasi oleh masyarakat modern seringkali menemukan jalan keluar atau medan perang proxy dalam fanatisme sepak bola. Dalam konteks ini, fanatisme ekstrem berfungsi sebagai mekanisme pelepasan ketegangan sosial yang tidak terselesaikan, memberikan identitas yang kuat bagi mereka yang mungkin merasa terpinggirkan dalam masyarakat yang lebih luas.
Peran Lokalitas, Tradisi, dan Maskulinitas dalam Kekerasan Fan
Bentuk fanatisme yang destruktif seringkali dipengaruhi oleh faktor kontekstual dan budaya yang spesifik. Lewis Mumford’s concept of locality membantu menjelaskan bagaimana identitas fan terikat erat dengan wilayah geografis, tempat di mana suporter merasa “di rumah”. Fanatisme, dalam banyak kasus, telah menjadi budaya turun-temurun, sebuah tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi, yang mencakup sejarah konflik dan kekerasan dengan kelompok lawan.
Selain faktor geografis, hipotesis maskulinitas juga memainkan peran signifikan. Banyak studi berpendapat bahwa kekerasan antar suporter didorong oleh adanya keinginan untuk menunjukkan “rasa maskulinitas” mereka kepada suporter lawan. Menunjukkan sikap agresif atau kekerasan menjadi ritual yang mengukuhkan posisi individu dalam hierarki in-group dan mendapatkan pengakuan dari teman sebaya, terutama di kalangan suporter muda.
Dimensi Psikologis Kekerasan Fan
Di luar faktor sosiologis, dimensi psikologis individu, khususnya kecerdasan emosional (EQ), memainkan peran penting dalam memicu kekerasan fan. Penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan kekerasan fan. Individu dengan kecerdasan emosional yang rendah cenderung lebih rentan terhadap perilaku agresif dan tidak dapat mengelola emosi dalam situasi kompetitif yang memanas. Analisis regresi menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memberikan kontribusi sebesar 22.1% terhadap kekerasan fan, yang merupakan porsi yang signifikan dan harus menjadi target intervensi.
Kekerasan fan ini umumnya lebih banyak dilakukan oleh remaja hingga dewasa awal. Pada fase remaja dan dewasa awal, individu berada dalam proses bereksperimen dengan perilaku agresif atau menyimpang. Mereka berupaya mencari pengakuan dan “nama baik” di antara rekan-rekan sebaya dengan menunjukkan sikap yang keras. Oleh karena itu, jika kecerdasan emosional yang rendah merupakan pemicu utama, intervensi regulasi semata (seperti larangan stadion) tidak akan memadai. Kebijakan pencegahan harus memasukkan program pendidikan emosional dan manajemen konflik yang ditargetkan secara khusus pada suporter usia muda di komunitas yang memiliki tradisi kekerasan, mengatasi akar masalah psikologis dan sosiologis secara simultan.
Manifestasi Destruktif: Kekerasan, Hooliganisme, dan Tragedi Kemanusiaan
Fanatisme patologis memiliki konsekuensi yang merusak, mulai dari hooliganisme terorganisir hingga bencana massal yang menewaskan ratusan jiwa.
Anatomi Kekerasan Fan dan Hooliganisme Klasik
Hooliganisme mengacu pada bentuk kekerasan fan yang terorganisir dan seringkali direncanakan, yang berkembang pesat di Eropa, khususnya di Inggris, pada pertengahan hingga akhir abad ke-20. Meskipun asal-usulnya berakar di Eropa, kekerasan fan masih menjadi masalah di seluruh dunia, bermanifestasi dalam berbagai bentuk kekerasan fisik dan bentrokan terorganisir.
Studi Kasus Tragedi Kemanusiaan: Fanatisme Buta di Asia
Konsekuensi paling fatal dari fanatisme buta adalah ketika kekerasan meluas menjadi tragedi kemanusiaan yang melibatkan korban jiwa massal. Tragedi Kanjuruhan di Indonesia pada tahun 2022 merupakan bukti nyata manifestasi ekstrem dari fanatisme yang tidak terkontrol, di mana korban jiwa mencapai 131 orang. Data ini menegaskan bahwa tidak ada nyawa yang sebanding dengan sepak bola.
Analisis peristiwa fatal ini mengungkapkan bahwa fanatisme destruktif tidak hanya disebabkan oleh bentrokan antar suporter, tetapi juga oleh kegagalan sistematis yang lebih luas. Tragedi massal sering kali diakibatkan oleh faktor-faktor non-suporter, seperti penggunaan gas air mata oleh aparat atau kegagalan tata kelola stadion, seperti penguncian pintu. Dalam konteks ini, kekerasan fan mengungkap kelemahan sistematis dalam pengelolaan keamanan massa dan protokol darurat. Hal ini menjadikan federasi, operator stadion, dan otoritas negara sama-sama bertanggung jawab atas konsekuensi fatal dari fenomena yang disalahartikan sebagai “fanatisme buta” semata.
Tuntutan Legislasi vs. Budaya Kekerasan
Keberhasilan mitigasi kekerasan ekstrem sangat bergantung pada kemampuan negara untuk melakukan intervensi dan regulasi. Negara-negara dengan sejarah hooliganisme parah, seperti Inggris, merespons dengan legislasi yang ketat. Contohnya adalah Football Spectators Act , yang mengontrol masuknya penonton ke pertandingan dan memungkinkan pengadilan untuk memberlakukan larangan perjalanan terhadap individu yang terbukti bersalah atas kejahatan terkait kekerasan, bahkan untuk pertandingan yang dimainkan di luar Inggris dan Wales.
Keberhasilan undang-undang ini dalam mengurangi hooliganisme di Inggris sangat kontras dengan situasi di beberapa negara di Asia atau Amerika Latin, di mana tragedi fatal masih sering terjadi. Hal ini menunjukkan korelasi terbalik antara regulasi negara yang efektif dan tingkat fatalitas. Keberhasilan memitigasi terletak pada penegakan hukum yang tegas, yang mampu melucuti kekerasan dari tradisi fanatisme yang dianggap sebagai “budaya”. Namun, keberhasilan regulasi yang keras perlu dikombinasikan dengan pemahaman kontekstual terhadap akar masalah sosiologis dan psikologis lokal.
Fanatisme sebagai Agen Perubahan Sosial dan Politik
Meskipun sering disorot karena sifatnya yang destruktif, fanatisme juga mewakili energi sosial yang kuat. Kelompok Ultras memiliki struktur internal, hierarki, dan kemampuan mobilisasi massa yang signifikan, yang dalam konteks tertentu dapat disalurkan untuk tujuan perubahan sosial dan politik.
Peran Kelompok Ultras dalam Gerakan Sosial
Di banyak negara, khususnya yang memiliki pembatasan terhadap kebebasan berkumpul, stadion seringkali menjadi satu-satunya ruang publik di mana demonstrasi massa dapat terjadi. Organisasi Ultras memanfaatkan kekuatan kolektif ini untuk mengagendakan kegiatan yang melampaui laga sepak bola, menjadi suara perlawanan terhadap penindasan atau ketidakadilan.
Fanatisme sebagai Stimulus Revolusi Politik (Kasus Mesir)
Kasus Ultras Mesir selama Revolusi Arab Spring adalah contoh paling dramatis tentang bagaimana fanatisme dapat menjadi motor perubahan politik. Otoritarianisme, ketimpangan sosial, dan tindakan represif Negara melalui aparat penegak hukum adalah isu-isu yang memicu munculnya gelombang revolusi. Kelompok Suporter Sepak Bola Ultras Mesir menjadi stimulus gerakan revolusi yang memperjuangkan perubahan sistem pemerintahan. Gerakan masif Ultras ini, yang merupakan respons terhadap tindakan pemerintah dan terinspirasi dari Revolusi Tunisia, memainkan peran kunci yang dapat meruntuhkan rezim pemerintahan Hosni Mubarak.
Hal ini menunjukkan bahwa fanatisme adalah bentuk energi sosial yang secara fundamental netral. Arahnya (destruktif atau konstruktif) ditentukan oleh lingkungan politik dan sosial tempat ia beroperasi. Di masyarakat yang represif (seperti Mesir), struktur Ultras menjadi organisasi oposisi yang paling efektif dan terorganisir.
Advokasi Sosial dan Penolakan Diskriminasi (Kasus Eropa)
Di Eropa, beberapa kelompok Ultras telah menyalurkan energi fanatisme secara konstruktif dengan mendukung advokasi sosial. Contoh signifikan adalah Ultras Freiburg di Jerman. Dalam masyarakat yang multikultural dan terbuka, kelompok ini secara defensif menolak berbagai pengaruh sayap kanan yang datang dari luar. Mereka mencanangkan visi “Aktiv-fans” dan secara aktif mengagendakan kegiatan yang menolak rasisme, diskriminasi, dan homofobia.
Pengamatan ini memperkuat premis bahwa sepak bola adalah cermin dan teater di mana perjuangan sosial, politik, dan moral masyarakat dimainkan. Ketika identitas in-group diarahkan untuk melawan ketidakadilan (seperti rasisme atau otoritarianisme), fanatisme bertransformasi menjadi aktivisme sipil, yang membuktikan bahwa ia adalah arena politik mikro yang mampu memicu perubahan makro.
Tabel II: Perbandingan Manifestasi Fanatisme Global
| Tipe Manifestasi | Karakteristik Kunci | Contoh Global (Studi Kasus) | Implikasi Sosial/Politik |
| Destruktif/Agresif | Kekerasan fisik, hooliganism, risiko nyawa, didorong oleh maskulinitas dan lokalitas. | Hooliganism Inggris (Histori), Tragedi Kanjuruhan (Asia). | Ketidakstabilan sosial, trauma, memicu intervensi negara melalui legislasi. |
| Konstruktif/Aktivis | Penggunaan stadion sebagai ruang protes terorganisir, melawan penindasan dan diskriminasi. | Ultras Mesir (Revolusi Arab Spring) , Aktivisme Ultras Freiburg (Anti-rasisme). | Mendorong perubahan politik/sosial, menawarkan saluran yang sah bagi ketidakpuasan. |
| Komersial/Ekonomi | Kepatuhan loyal terhadap merek klub, mendorong IPO dan pertumbuhan industri, eksploitasi emosi fan. | Globalisasi EPL, klub yang masuk pasar modal (IPO), penjualan hak siar global. | Peningkatan nilai klub; risiko eksploitasi kapitalis terhadap basis fan emosional. |
Globalisasi, Komersialisasi, dan Eksploitasi Fanatisme
Fanatisme adalah bahan bakar finansial yang mendorong pertumbuhan industri sepak bola modern, tetapi mekanisme ini menimbulkan dilema etika dan risiko eksploitasi yang signifikan.
Transformasi Sepak Bola Menjadi Industri Global
Abad ke-21 ditandai oleh transformasi sepak bola menjadi industri global yang berkembang pesat, didorong oleh komersialisasi dan keterhubungan antar negara. Globalisasi memungkinkan liga-liga besar, seperti English Premier League (EPL) yang memiliki pendapatan hak siar terbesar di dunia, untuk menjangkau penonton di seluruh dunia dan menarik investasi asing yang signifikan. Klub-klub besar dapat mengakses pasar internasional yang luas, yang secara drastis meningkatkan nilai kontrak hak siar dan sponsor.
Model “Gold, Glory, and Goal” dan Eksploitasi Kapitalis
Industri sepak bola saat ini didorong oleh tiga kekuatan besar, yang dikenal sebagai model “Gold, Glory, and Goal”. “Gold” merepresentasikan keuntungan materi, “Glory” merepresentasikan kebanggaan dan kemuliaan klub, dan “Goal” merepresentasikan kesenangan dan kegembiraan penggemar.
Namun, di bawah sistem kapitalisme modern, olahraga seringkali berfungsi sebagai cermin atau dunia kecil dari masyarakat kapitalis di mana dominasi kelas dan eksploitasi terjadi. Dalam industri sepak bola, para kapitalis (pemilik klub) adalah pihak yang mendapatkan keuntungan, sementara basis suporter (fans dan penonton) dan sebagian pemain berpotensi menjadi pihak yang tereksploitasi.
Dorongan agar klub-klub masuk ke pasar modal dan melakukan penawaran umum perdana saham (IPO), seperti yang didorong di Indonesia, bertujuan untuk menjamin kelangsungan finansial klub. Ini menunjukkan bahwa loyalitas fanatisme secara efektif dimanfaatkan untuk menopang keuntungan pasar. Fanatisme adalah mesin keuangan yang mengubah keterikatan emosional fans, yang kadang-kadang buta , menjadi kepatuhan finansial, memastikan mereka membeli merchandise orisinal dan tiket, bahkan dengan mengorbankan nilai-nilai tradisional atau keselamatan, sebuah ironi yang disorot oleh tragedi Kanjuruhan sebagai hasil dari pengejaran keuntungan tanpa batas.
Kontribusi Finansial Fanatisme
Klub mengandalkan fanatisme ini untuk sumber pendapatan utama mereka: dari pertandingan (penjualan tiket), hak siar, dan sumber komersial (sponsor, penjualan merchandise, dan operasi komersial lainnya). Loyalitas dan fanatisme suporter memiliki dampak ekonomi yang positif dan signifikan, secara langsung memengaruhi keputusan pembelian barang dagangan orisinal.
Ketika klub menjadi entitas publik melalui IPO, tekanan untuk memaksimalkan keuntungan pasar akan meningkat. Hal ini memperburuk risiko eksploitasi fanatisme, di mana keputusan manajerial akan diukur dari dampaknya pada harga saham, berpotensi mengesampingkan tanggung jawab sosial dan nilai-nilai komunitas yang mendasari loyalitas fanisme.
Kerangka Regulasi dan Intervensi Global: Mitigasi Risiko
Pengendalian fanatisme destruktif memerlukan kerangka regulasi yang komprehensif, menggabungkan kebijakan legislatif yang keras, standar global, dan strategi pencegahan berbasis komunitas.
Regulasi Legislatif Nasional: Model Inggris (Studi Komparatif)
Model legislatif yang paling sering dikutip dalam mengatasi hooliganisme adalah Football Spectators Act di Inggris. Undang-undang ini dirancang untuk mengontrol masuknya penonton pada pertandingan-pertandingan tertentu di Inggris dan Wales melalui skema keanggotaan nasional dan lisensi. Yang lebih penting, UU ini memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk memberlakukan Football Banning Orders—perintah pembatasan terhadap orang yang dihukum karena kejahatan tertentu—dengan tujuan mencegah kekerasan atau gangguan di atau sehubungan dengan pertandingan yang dimainkan di dalam maupun luar negeri.
Keberhasilan model Inggris ini menunjukkan bahwa intervensi negara yang tegas dapat secara efektif mengeluarkan elemen kekerasan dari ekosistem sepak bola. Namun, transferabilitas model ini terbatas, karena akar kekerasan di negara lain didorong oleh faktor-faktor yang berbeda, seperti lokalitas yang mengakar dan tradisi maskulinitas yang diwariskan. Regulasi keras harus dikombinasikan dengan pemahaman kontekstual terhadap budaya kekerasan lokal.
Kebijakan Organisasi Internasional (FIFA/UEFA)
Organisasi global seperti FIFA menunjukkan komitmen untuk melawan diskriminasi dan kekerasan, termasuk upaya untuk melawan kekerasan online. Peran organisasi ini adalah menetapkan standar minimum keamanan, anti-diskriminasi, dan tata kelola stadion yang harus dipatuhi oleh federasi anggota di seluruh dunia.
Namun, terdapat kesenjangan yang signifikan antara kebijakan global dan implementasi lokal, terutama di wilayah rawan. Sementara fokus regulasi global cenderung bergeser ke isu-isu modern seperti online abuse , masalah keamanan fisik dan kekerasan massal di stadion (yang menyebabkan fatalitas terbesar, seperti Kanjuruhan) masih belum ditangani secara memadai atau belum efektif di tingkat lokal. Perlu ada reorientasi fokus regulasi dari kekerasan digital ke mitigasi risiko kerumunan fatal yang terbukti paling mematikan.
Strategi Pencegahan Berbasis Komunitas dan Edukasi
Pencegahan harus bersifat preventif, tidak hanya represif. Mengingat bahwa kecerdasan emosional yang rendah berkontribusi signifikan terhadap kekerasan fan , program pelatihan kecerdasan emosional dan manajemen konflik yang ditargetkan pada suporter muda dapat menjadi alat yang efektif.
Selain itu, kelompok Ultras yang konstruktif dapat menjadi mitra edukasi. Kasus Ultras Freiburg yang aktif menolak rasisme dan diskriminasi menunjukkan potensi untuk menyalurkan energi fanatisme yang tinggi ke arah idealisme sipil. Strategi komunitas ini memungkinkan fanatisme digunakan untuk mempromosikan nilai-nilai positif, bukan kekerasan.
Tantangan dan Proyeksi Masa Depan Fanatisme
Fanatisme sepak bola terus berevolusi seiring dengan perubahan teknologi dan tekanan ekonomi, menghadirkan tantangan baru bagi tata kelola dan keamanan.
Dampak Digitalisasi dan Media Sosial
Digitalisasi dan media sosial mempercepat polarisasi identitas in-group vs out-group. Platform digital memungkinkan kekerasan online terjadi dari jarak jauh , yang dapat memperburuk konflik fisik. Media sosial juga berpotensi mengeksploitasi lebih lanjut kecerdasan emosional fans yang rendah, memicu konflik berdasarkan narasi yang terpolarisasi. Pengelolaan kekerasan online menjadi tantangan baru bagi FIFA dan UEFA, yang harus diintegrasikan dengan upaya penanggulangan kekerasan fisik tradisional.
Dilema Etika dan Komersial
Tantangan utama di masa depan adalah menyeimbangkan kebutuhan finansial klub (dorongan menuju IPO dan memaksimalkan Gold) dengan tanggung jawab sosial terhadap basis fan (Goal dan Glory). Klub harus menemukan cara untuk memanfaatkan loyalitas fan yang kuat tanpa berkontribusi pada fanatisme patologis atau mengabaikan keselamatan mereka demi keuntungan komersial, seperti yang diindikasikan oleh model eksploitasi kapitalis. Kegagalan dalam menyeimbangkan dilema ini akan terus menghasilkan lingkungan yang rentan terhadap tragedi fatal.
Kesimpulan
Fanatisme sepak bola merupakan kekuatan sosio-ekonomi dan politik yang luar biasa. Ia adalah produk dari kebutuhan psikologis mendalam untuk identitas kolektif dan seringkali menjadi medan perang proxy untuk ketegangan sosial yang tidak terselesaikan (kelas, lokalitas, maskulinitas). Kekuatan ini bersifat elastis, mampu menjadi motor revolusi politik di negara otoriter atau menjadi penyebab bencana kemanusiaan di negara dengan tata kelola keamanan yang lemah. Pada saat yang sama, loyalitas fanatik dieksploitasi oleh industri global, yang mengkonversi emosi menjadi keuntungan pasar yang fantastis.
Akar masalah kekerasan fanatik terletak pada interaksi antara faktor psikologis (EQ rendah) , sosiologis (tradisi, lokalitas) , dan eksploitasi kapitalis. Oleh karena itu, solusi harus bersifat multidimensi, melibatkan intervensi legislatif, psikologis, dan tata kelola.
Rekomendasi Kebijakan Strategis
Berdasarkan analisis komprehensif ini, direkomendasikan empat pilar kebijakan strategis untuk Federasi, Liga, dan Klub:
Reformasi Tata Kelola Keamanan (Mitigasi Risiko Fatal) Federasi harus mengadopsi dan memberlakukan standar internasional yang ketat untuk keamanan dan pengelolaan kerumunan (crowd control) yang melampaui standar keamanan stadion fisik. Penekanan harus diberikan pada pelatihan aparat penegak hukum yang non-represif, menggantikan logika kekerasan dengan logika penyelamatan jiwa. Semua keputusan terkait jadwal dan lokasi pertandingan harus memprioritaskan keselamatan di atas pertimbangan komersial atau hak siar, sebagai respons langsung terhadap tragedi massal.
Intervensi Psikologis Komunitas yang Bertarget Mengembangkan dan mendanai program pelatihan kecerdasan emosional dan manajemen konflik yang ditargetkan pada suporter remaja dan dewasa awal di area yang rawan konflik. Program ini harus diintegrasikan ke dalam operasi komunitas klub. Federasi harus secara aktif memanfaatkan kelompok suporter yang konstruktif (seperti model Aktiv-fans Freiburg) sebagai mitra edukasi untuk mempromosikan nilai-nilai anti-diskriminasi dan toleransi.
Penguatan Regulasi Anti-Kekerasan (Model Legislatif) Mendesak pemerintah nasional untuk mengadopsi Undang-Undang Pengawasan Suporter Nasional yang memberikan kekuatan hukum untuk memberlakukan Banning Orders yang ketat, mirip dengan Football Spectators Act Inggris. Regulasi ini harus mencakup pencegahan kekerasan domestik dan internasional serta memberikan dasar hukum untuk mengeluarkan elemen-elemen patologis dari ekosistem sepak bola.
Redefinisi Hubungan Ekonomi-Fan Klub dan federasi harus membuat kebijakan yang menyeimbangkan dorongan komersial (Gold) dengan tanggung jawab sosial. Memastikan bahwa keuntungan besar yang diperoleh dari loyalitas fan diinvestasikan kembali secara transparan dalam pengembangan komunitas suporter, edukasi anti-kekerasan, dan peningkatan infrastruktur keselamatan, bukan semata-mata mengalir sebagai keuntungan bagi pemilik. Kebijakan ini harus bertujuan mengurangi potensi eksploitasi kapitalis yang mendorong fanatisme patologis.


