Loading Now

Karapan Sapi: Konservasi Budaya Madura

Definisi, Kedudukan Kultural, dan Tipologi Dasar

Karapan Sapi adalah sebuah olahraga tradisional yang berasal dari Pulau Madura, Indonesia, di mana sepasang sapi yang telah dilatih berpacu untuk menarik kereta kayu kecil, yang dikenal sebagai nanggala atau alat pengikat, melintasi lintasan tanah. Joki berdiri di atas papan kayu yang terikat pada sapi-sapi tersebut, bertugas mengendalikan dan memacu hewan agar mencapai kecepatan maksimal. Tradisi ini merupakan bagian integral dari budaya Madura, yang diakui sebagai salah satu Warisan Budaya Indonesia , dengan akarnya yang kuat di komunitas lokal, yang digambarkan telah mendarah daging.

Secara struktural, perlombaan Karapan Sapi dapat diklasifikasikan menjadi dua tipologi utama, yaitu Karapan Sapi Formal dan Karapan Sapi Nonformal. Kompetisi formal adalah acara yang diselenggarakan oleh panitia resmi yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten, seringkali melibatkan Dinas Kehewanan dan Peternakan, dan pemenangnya akan menerima hadiah yang didukung oleh sponsor. Sementara itu, karapan sapi nonformal bersifat insidental. Meskipun tidak ditangani oleh panitia resmi, acara ini tetap mendapatkan pengawasan dari pemerintah daerah terkait masalah keamanan dan ketertiban.

Narratif Historis: Evolusi Fungsi dari Agrikultur ke Prestige

Sejarah Karapan Sapi diyakini telah berlangsung sejak lama, berawal sekitar abad ke-13 (sekitar tahun 1200-an). Narasi historis menunjukkan bahwa tradisi ini muncul dari kebutuhan pragmatis pertanian. Awalnya, kompetisi ini diciptakan untuk memotivasi peningkatan sektor pertanian, khususnya untuk melatih sapi agar lebih kuat dan cepat dalam membajak sawah.

Terdapat beberapa versi yang melegitimasi asal-usul tradisi ini. Salah satu versi utama mengaitkannya dengan Pangeran Katandur (Syech Ahmad Baidlowi), yang disebut berupaya memakmurkan rakyatnya dengan meningkatkan hasil pertanian melalui penggunaan tenaga sapi. Untuk mempopulerkan metode bercocok tanam ini, ia mengadakan perlombaan pacu sapi setelah masa panen. Versi lain menyebutkan bahwa Panembahan Sumolo menciptakan tradisi ini untuk memotivasi sektor pertanian, terutama pada musim kemarau. Perbedaan dalam narasi historis mengenai tokoh pendiri ini mengindikasikan upaya kolektif masyarakat Madura untuk menghubungkan tradisi ini dengan tokoh-tokoh otoritas atau penguasa, memberikan landasan legitimasi yang kuat. Transisi dari fungsi agrikultur yang fungsional menjadi perlombaan prestise dan performa mengubah fokus pemeliharaan ternak menjadi investasi performa, yang pada gilirannya melahirkan tantangan etika kontemporer.

Karapan Sapi sebagai Manifestasi Simbolik Identitas Madura

Saat ini, Karapan Sapi lebih dikenal sebagai manifestasi simbolik identitas Madura. Tradisi ini adalah cara bagi pemilik untuk menunjukkan kekuatan dan keterampilan dalam merawat serta melatih sapi mereka. Perlombaan ini menjadi arena untuk menampilkan kehormatan dan kebanggaan, yang sangat penting bagi masyarakat Madura.

Masyarakat Madura secara internal memandang diri mereka menjunjung tiga dasar citra: kesopanan, kehormatan, dan Islam. Pandangan ini seringkali berlawanan dengan citra negatif yang dilabelkan oleh kelompok etnik lain, yang sering menggambarkan orang Madura sebagai sosok yang keras, mudah tersinggung, atau pendendam. Oleh karena itu, Karapan Sapi berfungsi sebagai panggung sosial untuk menggarisbawahi kekuatan, kemakmuran, dan kehormatan mereka, memperkuat identitas budaya di tengah masyarakat Indonesia yang multietnis.

Morfologi dan Praksis Kompetisi

Regulasi Resmi dan Klasifikasi Lomba

Kompetisi Karapan Sapi formal dicirikan oleh standardisasi dan keterlibatan aktor negara. Karapan formal, seperti Karapan Sapi Piala Presiden, dikelola oleh panitia penyelenggara resmi dari Pemerintah Kabupaten, dalam hal ini Dinas Kehewanan. Acara ini sempat vakum selama dua tahun akibat pandemi COVID-19, tetapi telah kembali digelar, misalnya di Stadion Kerapan Sapi R.P. Moh Noer di Kabupaten Bangkalan, yang sering menjadi tuan rumah event besar. Sapi yang berpartisipasi dalam ajang formal adalah sapi terbaik yang telah melalui proses seleksi ketat dari tingkat kecamatan hingga kabupaten di seluruh Madura.

Pengelolaan oleh Dinas Kehewanan dan penggunaan nama Piala Presiden menunjukkan bahwa Karapan Sapi telah diangkat dari ritual lokal menjadi state-sponsored cultural event. Formalisasi ini memungkinkan kontrol yang lebih baik terhadap standardisasi perlombaan dan mobilisasi sumber daya besar. Sebaliknya, karapan sapi nonformal atau insidental, cenderung lebih fleksibel dan tidak memerlukan seleksi ketat di tingkat bawah, seringkali hanya berdasarkan penunjukan sapi yang sudah terkenal di daerahnya, berfungsi sebagai ajang pemanasan atau pengujian performa.

Standar Teknis Arena dan Peraturan Perlombaan

Regulasi teknis formal, khususnya dalam kompetisi tingkat tinggi, sangat spesifik. Panjang lintasan resmi yang ditetapkan untuk Karapan Sapi adalah 197,6 meter. Meskipun ada sumber yang menyebut jarak lintasan adalah 100 meter, penetapan standar 197,6 meter dalam regulasi formal mencerminkan upaya standardisasi yang diperlukan untuk kompetisi yang diakui secara nasional. Ini menunjukkan adanya hierarki kompetisi; standar teknis yang ketat lebih diutamakan pada puncak kompetisi, sementara praktik lokal mempertahankan fleksibilitas.

Pengaturan penjurian juga menunjukkan adanya upaya untuk menyeimbangkan objektivitas dengan pencegahan konflik sosial. Dewan juri di garis finish terdiri dari tiga orang, namun hanya satu orang yang memegang otoritas penentu pemenang. Lebih jauh lagi, panitia melarang penggunaan kamera video untuk penentuan pemenang di garis finish. Pelarangan teknologi visual yang seharusnya objektif ini didasarkan pada kekhawatiran bahwa penggunaan kamera dapat mengundang kerawanan dan ketidakpercayaan dari pemilik sapi. Hal ini mengimplikasikan bahwa potensi konflik sosial yang timbul dari ketidakpuasan hasil lomba dianggap lebih berisiko daripada ketidakakuratan teknis yang mungkin terjadi tanpa bantuan teknologi, menunjukkan tingginya taruhan kehormatan sosial yang melekat pada kemenangan.

Perbandingan Struktur Karapan Sapi: Formal vs. Nonformal

Aspek Karapan Sapi Formal (Contoh Piala Presiden) Karapan Sapi Nonformal (Insidental)
Penyelenggara Utama Panitia resmi Pemerintah Daerah (Dinas Kehewanan) Paguyuban/Panitia Khusus Lokal
Regulasi Partisipasi Ketat, hasil seleksi tingkat kabupaten/kecamatan Lebih fleksibel, berdasarkan ketenaran lokal
Lintasan Resmi Terukur dan tetap (Contoh: 197.6 Meter) Fleksibel (sering disebut sekitar 100 Meter)
Hadiah Insentif Skala besar (Mobil, Motor, uang tunai) Skala lebih kecil, seringkali bersifat motivasi
Pengawasan Pemerintah Tinggi Minimal (fokus pada keamanan)

Ekosistem Musik Saronen: Fungsi Estetik dan Pendorong Semangat

Aspek budaya yang tak terpisahkan dari Karapan Sapi adalah kesenian musik Saronen. Kesenian ini telah menjadi pengiring wajib dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan di Madura. Karakteristik Saronen menonjolkan harmonisasi yang dinamis, rancak, dan bertema keriangan.

Kesenian Saronen bukan sekadar latar belakang musik, tetapi berfungsi sebagai elemen psikologis dan estetika. Harmonisasi ini sangat padu dengan karakteristik masyarakat Madura yang tegas dan terbuka, berfungsi sebagai pendorong semangat bagi joki, sapi, dan penonton, serta membingkai keseluruhan perlombaan dengan nuansa perayaan yang khas.

Analisis Socio-Ekonomi dan Kapital Budaya

Nilai Ekonomi Sapi Karapan: Investasi dan Skala Usaha

Karapan Sapi telah menciptakan pasar ekonomi yang menggiurkan, khususnya bagi Sapi Madura, yang memiliki potensi ekonomi signifikan. Adanya perlombaan ini mendorong pemeliharaan ternak secara intensif dan meningkatkan hasil produksi pangan di wilayah tersebut.

Dalam konteks agribisnis, usaha peternakan sapi bakalan karapan yang dijalankan dalam skala besar, yakni 4 hingga 6 ekor, terbukti lebih menguntungkan dibandingkan skala kecil (2 hingga 3 ekor). Keuntungan optimal ini harus diimbangi dengan peningkatan zooteknis pemeliharaan. Sapi yang berpartisipasi dalam perlombaan, terutama sapi pemenang, memiliki nilai jual premium yang menciptakan nilai tambah terpisah dari pasar sapi potong biasa.

Struktur Hadiah dan Insentif Kapital

Hadiah yang ditawarkan dalam kompetisi Karapan Sapi formal menjadi faktor penarik investasi dan tekanan performa. Hadiah untuk pemenang, khususnya pada Grand Final, bernilai sangat tinggi, seringkali mencakup aset bernilai besar seperti mobil dan sepeda motor. Sebagai contoh, pada Karapan Sapi Piala Prabowo-Hatta, hadiah utama mencakup dua mobil, satu Daihatsu Feroza untuk pemenang kategori atas dan satu Suzuki Carry untuk pemenang kategori bawah, serta sepeda motor untuk juara berikutnya.

Hadiah-hadiah kapital ini berfungsi sebagai insentif ekonomi yang dominan. Besarnya nilai hadiah ini menarik pemilik modal besar dan tokoh berpengaruh untuk berinvestasi dalam pemeliharaan sapi, mengubah perlombaan menjadi arena demonstrasi kekayaan dan kekuasaan. Insentif finansial yang luar biasa untuk menang ini menempatkan tekanan besar pada pemilik dan joki untuk memastikan sapi mencapai performa puncak, bahkan jika ini memerlukan praktik-praktik yang kontroversial.

Karapan Sapi sebagai Komoditas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Lokal

Secara pariwisata, Karapan Sapi adalah komoditas unggulan yang menarik wisatawan lokal dan mancanegara. Acara Grand Final Piala Presiden menjadi daya tarik wisata utama.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur memandang Karapan Sapi sebagai pendorong ekonomi regional. Gubernur Jawa Timur, misalnya, mengaitkan tradisi ini dengan rencana pembangunan infrastruktur seperti Rumah Potong Hewan (RPH) modern berstandar SNI dan pengembangan industri olahan daging (misalnya, sarden atau nugget). Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Madura dengan mengubah fokus dari sekadar menjual sapi hidup menjadi produk turunan yang bernilai tambah. Dengan demikian, Karapan Sapi berfungsi ganda: sebagai etalase genetik yang memamerkan sapi Madura terbaik dan sebagai instrumen kebijakan untuk menarik investasi dan pengembangan industri peternakan.

Dampak Sosial: Pergeseran Nilai dan Apatisme Kultural

Meskipun Karapan Sapi adalah simbol kebanggaan, kompetisi yang diiringi oleh insentif kapital yang tinggi telah menghasilkan dampak sosial yang merugikan. Penelitian menunjukkan adanya semakin pudarnya nilai-nilai solidaritas sosial, gotong-royong, dan kesetiakawanan di kalangan masyarakat Madura.

Semangat kompetisi yang keras di arena balapan telah menggantikan nilai-nilai primordial berbasis kolektivitas, membentuk simbol kompetisi yang keras sebagai kesadaran kolektif yang baru. Ini merupakan ironi sosiologis, di mana sebuah tradisi yang awalnya bertujuan untuk memajukan komunitas secara kolektif kini berpotensi memecah belah komunitas melalui persaingan status dan kekayaan. Selain itu, kondisi ini juga memicu timbulnya gejala apatisme dan toleransi yang lebih terbuka terhadap budaya permisif dari luar.

Dialektika Etika: Kesejahteraan Hewan dan Tinjauan Hukum

Praktik yang Dipertentankan dan Kontroversi Etis

Isu etika kesejahteraan hewan menjadi kontroversi utama yang mengancam legitimasi Karapan Sapi. Terdapat banyak dugaan praktik penyiksaan dan kekerasan yang dilakukan terhadap sapi, termasuk pencambukan yang berlebihan, pemberian balsem (iritan), dan praktik kekerasan lain untuk memacu kecepatan.

Secara etis, perlakuan semena-mena terhadap hewan demi kesenangan atau keuntungan semata dianggap sebagai perbuatan zalim dan bertentangan dengan ajaran agama Islam, yang mengajarkan kasih sayang dan perawatan hewan. Dampak medisnya juga terlihat; praktik pemacu performa dan perawatan yang buruk telah menyebabkan kasus medis serius, seperti abses pada sapi karapan, yang menjadi perhatian di kalangan mahasiswa kedokteran hewan. Konflik antara tradisi dan etika global menjadi fokus utama evaluasi kontemporer terhadap Karapan Sapi.

Kerangka Hukum Positif Indonesia dan Sanksi yang Ada

Di Indonesia, perlindungan kesejahteraan hewan diatur oleh beberapa instrumen hukum:

  1. KUHP (Pasal 302): Sanksi untuk penganiayaan hewan, termasuk perlakuan kasar, adalah penjara maksimal tiga bulan atau denda paling banyak Rp 4.500,00.
  2. UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Pasal 66A Ayat (1) dan (2)): Mengenakan sanksi penjara maksimal enam bulan atau denda paling berat Rp 5.000.000,00 bagi perlakuan semena-mena yang menyakiti hewan.

Di tingkat regional, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 1/INST/2012, yang secara spesifik melarang praktik yang mencederai sapi dalam Karapan Sapi. Keberadaan instruksi ini menunjukkan pengakuan pemerintah daerah terhadap masalah etika ini.

Disparitas Hukum dan Insentif Kriminalitas

Terdapat kesenjangan yang mencolok antara insentif ekonomi kompetisi dengan risiko hukuman yang diberikan. Nilai hadiah dalam Karapan Sapi formal dapat mencapai puluhan hingga ratusan juta Rupiah, seperti mobil. Sementara itu, sanksi denda maksimal yang diatur dalam KUHP (Rp 4.500,00) dan UU Peternakan (Rp 5.000.000,00) sangat rendah.

Disparitas antara insentif kapital yang besar dan sanksi hukum yang minimal menciptakan insentif bagi para peserta untuk mengabaikan etika demi meraih kemenangan. Sanksi hukum yang ada tidak memberikan efek jera yang memadai untuk mencegah penganiayaan, terutama ketika potensi keuntungan finansial dari pelanggaran sangat tinggi. Kondisi ini secara kausal menjelaskan mengapa praktik penyiksaan masih terus berlanjut, menempatkan pelestarian budaya dalam krisis etika karena kerangka hukum gagal menyesuaikan diri dengan nilai ekonomi kontemporer kompetisi.

Kerangka Hukum dan Sanksi Terkait Kesejahteraan Hewan

Regulasi Acuan Pasal Relevan Deskripsi Pelanggaran Sanksi Maksimal (Nominal Asal)
KUHP Pasal 302 Penganiayaan hewan, perlakuan kasar Penjara 3 bulan atau denda Rp 4.500,00
UU No. 18 Tahun 2009 Pasal 66A Ayat (1) & (2) Perlakuan semena-mena yang menyakiti hewan Penjara 6 bulan atau denda Rp 5.000.000,00
Instruksi Gubernur Jatim No. 1/INST/2012 Larangan spesifik praktik yang mencederai sapi Sanksi administratif/Diskualifikasi
Hadiah Kompetisi (Kontras) N/A Insentif untuk memacu performa maksimal Mobil, sepeda motor, dll.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam Konteks Karapan Sapi

Evaluasi Karapan Sapi berdasarkan standar global, seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), menegaskan perlunya adaptasi etis. Keterkaitan Karapan Sapi dengan isu global menunjukkan bahwa pelestarian tradisi ini harus dipertimbangkan dalam konteks konservasi dan produksi yang bertanggung jawab.

Praktik kesejahteraan hewan yang lebih baik dapat berkontribusi pada SDG 15 (Ekosistem Darat), dengan mengurangi eksploitasi ternak dan mendukung konservasi Sapi Madura. Selain itu, penanganan medis yang optimal pada sapi yang terluka, seperti kasus abses, berhubungan erat dengan SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab), karena memastikan kualitas daging yang aman dan mendukung produksi pangan yang berkelanjutan. Untuk memanfaatkan potensi pariwisata yang ramah dan mempertahankan legitimasi tradisi, adaptasi ini harus diwujudkan melalui investasi dalam etika veteriner dan pengawasan yang ketat.

Pelestarian Berkelanjutan dan Rekomendasi Kebijakan

Model Pelestarian Budaya Berperspektif Kesejahteraan Hewan

Masa depan Karapan Sapi harus diarahkan pada model pelestarian yang menghilangkan unsur kekerasan. Tradisi dapat dilestarikan dengan menekankan pada kecepatan alami sapi Madura yang dihasilkan dari perawatan zooteknis unggul dan investasi dalam genetik, bukan melalui praktik kekerasan. Fokus harus dikembalikan pada nilai-nilai kehormatan dan kesopanan yang menjadi dasar citra diri masyarakat Madura, daripada semangat kompetisi yang destruktif. Selain itu, elemen estetika budaya seperti musik Saronen dapat ditingkatkan perannya untuk merayakan keterampilan pemeliharaan dan budaya lokal secara keseluruhan.

Rekomendasi Kebijakan untuk Regulator dan Penyelenggara

Untuk menutup kesenjangan antara insentif kapital dan sanksi etika, regulator dan penyelenggara harus mengambil langkah-langkah konkret:

  1. Penguatan Hukum dan Sanksi yang Proporsional: Mendesak revisi hukum nasional, terutama UU No. 18 Tahun 2009 dan KUHP, untuk menaikkan denda maksimal bagi penganiayaan hewan agar nilainya proporsional, bahkan melebihi, nilai hadiah tertinggi (mobil). Instruksi Gubernur Jatim harus diperkuat menjadi Peraturan Gubernur dengan sanksi administratif berupa diskualifikasi permanen dan denda finansial yang signifikan bagi pelanggar.
  2. Standardisasi Veteriner dan Anti-Doping: Penyelenggara wajib memberlakukan Sertifikasi Kesehatan dan Kesejahteraan Hewan (CHW) bagi semua sapi. Harus ada pelarangan total terhadap penggunaan obat-obatan perangsang (doping) atau iritan. Pemeriksaan veteriner pra-lomba oleh pihak independen harus menjadi standar wajib.
  3. Teknologi Penjurian Transparan: Untuk mengatasi masalah ketidakpercayaan dan kerawanan sosial yang terkait dengan penjurian , penyelenggara harus mengadopsi teknologi photo-finish yang objektif dan transparan. Penjurian harus dilakukan oleh panel independen yang otoritasnya diterima, didukung oleh data visual yang tidak dapat dibantah.

Kesimpulan

Karapan Sapi Madura adalah sebuah warisan budaya yang memiliki fungsi ganda: sebagai etalase identitas dan sebagai mesin ekonomi lokal. Meskipun tradisi ini berhasil menarik investasi dan pariwisata, keberlanjutannya terancam oleh konflik etika yang serius akibat praktik kekerasan terhadap hewan. Permasalahan utama terletak pada disparitas yang tajam antara insentif finansial untuk menang dan sanksi hukum yang sangat ringan.

Untuk memastikan tradisi ini dapat bertahan di tengah tuntutan etika global dan standar modern, Karapan Sapi harus bertransformasi. Pelestarian tidak lagi dapat mengandalkan alasan historis semata, tetapi harus didasarkan pada komitmen terhadap kesejahteraan hewan dan integritas kompetisi. Melalui penguatan kerangka hukum, penerapan standar veteriner, dan transparansi teknologi, Karapan Sapi dapat menjadi contoh bagaimana warisan budaya dapat beradaptasi dan tetap relevan tanpa mengorbankan nilai-nilai etika universal.