Loading Now

Fenomenologi Dan Fungsi Sosial Ritual Sakral Di Balik Hari-Hari Besar Indonesia

Kajian mengenai ritual sakral yang menyertai perayaan hari-hari besar di Indonesia—meliputi hari raya keagamaan (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Katolik) dan hari nasional—merupakan poros penting untuk memahami kohesi sosial dan identitas kolektif bangsa yang majemuk. Ritual-ritual ini bukan sekadar seremonial, tetapi merupakan media yang secara aktif menumbuhkan rasa gotong royong dan guyup rukun di tengah masyarakat. Tujuan dari ulasan ahli ini adalah untuk menganalisis secara mendalam makna simbolik dan fungsi struktural dari praktik-praktik tersebut, melampaui deskripsi permukaan, hingga mengungkap dampaknya terhadap resiliensi kultural dan nasional.

Batasan Konseptual: Membedah Sakral dan Ritual

Secara konseptual, ritual selalu beroperasi dalam dikotomi antara sakral dan profan. Profan merujuk pada hal-hal yang biasa, duniawi, dan bagian dari rutinitas harian, sementara sakral adalah hal yang disucikan, dihormati, dan diletakkan di luar jangkauan duniawi. Batasan antara kedua konsep ini bersifat kultural dan relatif; sebagai contoh, seekor lembu dianggap sebagai hewan biasa oleh non-Hindu, tetapi disucikan dan dihormati oleh umat Hindu. Dalam konteks hari besar, ritus berfungsi menyucikan waktu, memisahkan periode perayaan dari siklus profan harian.

Ritual didefinisikan sebagai praktik yang terstruktur, berulang, dan membawa makna serta fungsi yang kaya, baik secara individual maupun sosial. Ritual bertindak sebagai bahasa tubuh dan lisan, di mana setiap perbuatan memiliki makna simbolis yang mendalam. Ketika seseorang bersujud atau mengucapkan kesaksian iman, tindakannya menghubungkan partisipan dengan makna spiritual yang melampaui ekspresi verbal semata, menautkannya dengan kekayaan tradisi, sejarah, dan komunitas yang lebih besar.

Implikasi Awal: Ritual sebagai Ekspresi Hukum Tidak Tertulis

Analisis awal menunjukkan bahwa ritual tradisional tidak hanya terbatas pada fungsi seremonial atau keagamaan murni. Di banyak komunitas adat, ritual berfungsi sebagai manifestasi dari norma hukum tidak tertulis (adat) yang tertanam kuat dalam masyarakat. Adat di sini dipahami sebagai kebiasaan yang wajib dipatuhi. Dengan demikian, ritual sakral bertindak sebagai sarana untuk menjaga keteraturan moral, keadilan substantif, dan identitas kultural. Jika ritual diakui secara sosial sebagai sesuatu yang wajib ditaati, pelanggaran terhadap ritus sakral tertentu (misalnya, melanggar pantangan) dapat diartikan sebagai pelanggaran terhadap tatanan hukum sosial. Ini memperlihatkan bahwa kesakralan ritual memiliki dimensi regulasi publik yang kuat dalam struktur sosial Indonesia.

Kerangka Teoritis: Simbolisme, Liminalitas, dan Dimensi Sakral

Kajian antropologi interpretatif dan simbolik menyediakan lensa kritis untuk memahami kedalaman fungsional ritual sakral. Pendekatan ini berfokus pada interpretasi budaya sebagai jejaring simbol dan makna.

Dikotomi Sakral vs. Profan dan Fungsi Integratif (Clifford Geertz)

Antropolog Clifford Geertz memandang ritual sebagai mekanisme utama yang mengintegrasikan nilai-nilai kultural dengan etos sosial. Fungsi ideal ritual, menurut Geertz, adalah untuk mencapai detasemen pribadi dan harmoni komunal. Dalam pendekatan interpretif ini, budaya dipandang sebagai sistem makna bersama yang dapat diuraikan melalui interpretasi simbol-simbol kunci. Geertz berargumen bahwa manusia secara intrinsik memerlukan “sumber penerangan simbolis” untuk mengorientasikan diri mereka di dalam sistem kultural yang mereka anut.

Namun, Geertz juga mencatat adanya tantangan terhadap fungsi ideal ini, seperti kasus ritual pemakaman Jawa yang gagal berfungsi dengan baik karena modifikasi modern. Hal ini menunjukkan bahwa kesakralan ritual seringkali diuji oleh perubahan sejarah dan modernitas.

Ritual sebagai Mekanisme Transformasi Sosial (Victor Turner)

Berbeda dengan fokus Geertz yang cenderung statis (sistem makna), Victor Turner menempatkan simbol sebagai entitas dinamis yang mendorong aksi sosial. Turner berpendapat bahwa simbol dalam ritual bertindak sebagai “pengaruh determinatif yang mendorong individu dan kelompok untuk bertindak”.

Konsep kunci Turner adalah liminalitas dan communitas. Ritual sering melibatkan fase liminal, yaitu fase transisi yang berada di luar struktur sosial normal (status atau peran sehari-hari). Fase ini menghasilkan communitas, sebuah bentuk solidaritas spontan, egaliter, dan tanpa struktur formal. Banyak hari besar di Indonesia, seperti periode mudik atau liburan panjang , menciptakan fase liminal kolektif ini, mengganggu rutinitas profan dan memperkuat ikatan sosial murni.

Table 2.1: Perbandingan Paradigma Antropologi Ritual (Geertz vs. Turner)

Aspek Analisis Clifford Geertz (Interpretif/Sistem Makna) Victor Turner (Dinamis/Aksi Sosial) Relevansi dalam Konteks Indonesia
Fokus Utama Integrasi Nilai Kultural Simbol yang Mendorong Aksi Sosial Menganalisis bagaimana ritual menyeimbangkan konflik dan menjaga kerukunan.
Definisi Simbol Sumber Penerangan (Kognitif) Penentu Aksi (Motivasi) Memahami Ritual sebagai Jaringan Makna dan Pemicu Solidaritas Komunitas.
Fungsi Sosial Membangun Pemahaman Bersama (Kohesi Statis) Menciptakan Communitas (Solidaritas Dinamis) Menganalisis fase transformatif (liminalitas) seperti Mudik atau Nyepi.

Studi Kasus Teoritis: Slametan sebagai Penguatan Kohesi Sosial Jawa

Ritual slametan di Jawa menyediakan studi kasus klasik mengenai bagaimana ritual berfungsi secara instrumental dalam masyarakat. Geertz (1976) menggambarkan slametan sebagai ritual sosial yang sangat efektif dalam memperkuat kohesi sosial dan memelihara stabilitas masyarakat. Ritual ini adalah ekspresi solidaritas yang diwujudkan melalui doa bersama dan berbagi makanan.

Meskipun slametan mengandung unsur spiritual, tujuannya melampaui aspek religius, mencakup tujuan-tujuan sosial vital bagi komunitas. Ritual-ritual di Indonesia secara implisit bertindak sebagai strategi penanggulangan kolektif (collective coping strategies). Dengan melestarikan ritual ini, komunitas tidak hanya mempertahankan pengetahuan lokal (misalnya, strategi mitigasi bencana) tetapi juga menyediakan dukungan emosional dan sosial yang penting.

Kehilangan kemampuan untuk melaksanakan ritual massal, seperti pembatalan perayaan Waisak di Candi Borobudur selama pandemi COVID-19 , dirasakan sangat menyakitkan bagi umat. Hal ini terjadi karena ritual adalah saluran yang terstruktur untuk memulihkan kesejahteraan psikologis dan sosial. Oleh karena itu, ritual sakral tidak hanya membentuk makna, tetapi juga merupakan alat instrumental untuk membangun ketahanan komunitas (resiliensi) terhadap tekanan sosial atau krisis, termasuk bencana alam.

Tipologi Ritual Sakral Hari Raya Keagamaan (6 Agama Resmi)

Setiap agama resmi di Indonesia memiliki hari besar yang diiringi ritual sakral yang telah mengalami proses kulturalisasi dan adaptasi lokal yang unik.

Islam: Ritual Penyucian dan Rekonsiliasi (Idul Fitri)

Idul Fitri, atau Lebaran, merupakan hari raya besar Islam yang dirayakan pada 1 Syawal setelah periode puasa Ramadan. Ritual sentralnya adalah Salat Idul Fitri yang dilakukan secara berjamaah.

  • Kulturalisasi Mudik: Idul Fitri memicu tradisi mudik (pulang kampung), sebuah ritual pengembalian diri ke asal. Fenomena ini muncul ketika Jakarta menjadi satu-satunya pusat perkembangan yang pesat, mendorong urbanisasi. Liburan panjang saat Lebaran menjadi satu-satunya momentum bagi para urbanis untuk kembali ke kampung halaman, memperkuat ikatan keluarga dan klan, dan memasuki fase liminal kolektif.
  • Halal Bi Halal: Praktik rekonsiliasi khas Indonesia ini berasal dari saran KH Abdul Wahab Hasbullah kepada Presiden Soekarno pada tahun 1948 untuk menyelesaikan konflik politik. Kini, Halal Bi Halal telah mengalami lokalisasi, menjadi ajang vital untuk saling memaafkan dan membangun kembali relasi sosial yang mungkin merenggang, sehingga berfungsi sebagai mekanisme penguat kohesi sosial.
  • Peristiwa Lain: Islam juga merayakan Idul Adha (memperingati kurban Nabi Ibrahim AS), Tahun Baru Hijriyah (memperingati Hijrah Nabi Muhammad SAW), dan Isra Mi’raj.

Hindu: Kosmos, Kontemplasi, dan Catur Brata Penyepian (Nyepi)

Nyepi diperingati sebagai Tahun Baru Saka dan merupakan perayaan kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (kejahatan). Filosofi utamanya adalah menyucikan Bhuana Alit (alam manusia) dan Bhuana Agung (alam semesta) melalui kontemplasi dan pendekatan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Rangkaian ritual sakral Nyepi dimulai jauh sebelumnya:

  • Melasti dan Tawur Kesanga: Upacara Melasti diadakan untuk menyucikan diri dan alam. Setelah itu, Tawur Kesanga (termasuk Pengerupukan dan Ogoh-Ogoh) dilaksanakan untuk mempersiapkan masyarakat memasuki masa tapabrata.
  • Catur Brata Penyepian: Ini adalah inti dari Nyepi, di mana umat Hindu wajib melaksanakan empat pantangan utama selama 24 jam, dari pukul 6 pagi :
    1. Amati Geni (larangan menyalakan api, listrik, cahaya, dan sifat amarah).
    2. Amati Karya (larangan bekerja).
    3. Amati Lelungan (larangan bepergian dan anjuran berdiam di rumah).
    4. Amati Lelanguan (larangan bersenang-senang).

Ketaatan kolektif terhadap Catur Brata ini menghasilkan suasana sepi yang total, yang secara tidak terduga memberikan dampak lingkungan positif, seperti penghematan listrik hingga 60% di Bali. Nyepi juga menumbuhkan bentuk toleransi pasif, di mana umat minoritas non-Hindu (terutama Muslim di Bali) harus menghormati keheningan, dan fasilitas umum seperti masjid dijaga oleh pecalang (petugas keamanan adat).

Buddha: Tri Suci Waisak dan Peneladanan Sifat Luhur

Hari Raya Waisak memperingati Trisuci Waisak, yaitu tiga peristiwa penting bagi umat Buddha: kelahiran Pangeran Siddharta, pencapaian Penerangan Agung (menjadi Buddha), dan wafatnya Buddha Gautama. Perayaan ini adalah momen untuk meneladani tekad, semangat pantang menyerah, dan sifat-sifat luhur Buddha.

  • Pusat Ritual: Di Indonesia, Waisak dipusatkan di Kompleks Candi Borobudur dan Candi Mendut.
  • Prosesi Simbolik Inti: Prosesi sakral utama melibatkan pengambilan Air Berkah dan Api Abadi. Air Berkah diambil dari Umbul Jumprit, Temanggung, setelah melalui puja bakti para biksu. Air ini melambangkan kemuliaan dan sifat cinta kasih (Maitri) yang harus dikembangkan dalam kehidupan. Selain itu, api abadi diambil dari Grobogan. Rangkaian ini merupakan ekspresi simbolik dari nilai-nilai spiritual yang diterjemahkan menjadi tindakan nyata.

Kristen/Katolik: Peringatan Inkarnasi dan Penebusan

Umat Kristen (Protestan dan Katolik) merayakan Natal pada 25 Desember untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus. Ritual yang dilaksanakan seringkali mencakup Misa Tengah Malam pada 24 Desember.

Perayaan besar lainnya adalah Paskah, yang merayakan kebangkitan Yesus. Rangkaian Paskah meliputi Jumat Agung, yang memperingati penyaliban Yesus Kristus sebagai tindakan pengorbanan dan penebusan dosa manusia. Perjamuan Kudus sering dilaksanakan sebagai bagian dari ritual peringatan pengorbanan ini.

  • Integrasi Lokal (Bakar Batu Papua): Di beberapa wilayah, ritual keagamaan diintegrasikan dengan tradisi lokal. Bakar Batu di Papua adalah sebuah pesta syukur kuliner yang secara harfiah memasak makanan menggunakan batu yang dibakar. Tradisi ini sering diadaptasi untuk perayaan Natal dan acara syukur lainnya. Bakar Batu melampaui sekadar acara kuliner; ia berfungsi sebagai simbol perdamaian, persaudaraan, dan medium pemersatu yang efektif antara penduduk asli, migran, dan bahkan kelompok yang sebelumnya bertikai. Ritual ini dipandang sebagai saluran berkat dari Yang Mahakuasa yang menguatkan harmoni sosial.

Konghucu: Sembahyang Leluhur dan Pembaruan Nasib (Imlek)

Tahun Baru Imlek (Konghucu) melambangkan awal yang baru, di mana masyarakat Tionghoa berharap bahwa kekurangberuntungan di tahun lalu akan hilang dan keberuntungan melimpah akan didapat di tahun yang baru.

  • Ritual Inti: Persiapan melibatkan bersih-bersih rumah secara menyeluruh untuk membuang keburukan sebelum perayaan. Ritual sentralnya adalah Sembahyang Leluhur, praktik penting untuk menghormati leluhur. Sembahyang ini melibatkan sajian khusus seperti Samseng (sajian tiga unsur kehidupan).
  • Simbolisme Harapan: Penggunaan warna merah (untuk dekorasi dan pakaian), serta pembagian angpao (memberikan berkat kepada orang lain), merupakan ekspresi harapan dan doa agar berkat yang lebih melimpah diperoleh. Selain itu, petasan dan kembang api yang menimbulkan suara gaduh dipercaya dapat menakuti roh jahat dan mengusir nasib buruk dari tahun sebelumnya.

Adaptasi Ritual di Tengah Krisis

Krisis kontemporer, seperti Pandemi COVID-19, menguji fungsi kolektif ritual. Pembatasan pergerakan manusia menyebabkan pembatalan prosesi sakral seperti pengambilan air suci dan api abadi Waisak, dan ditiadakannya perayaan Waisak di Borobudur. Idul Fitri, Natal, dan Imlek yang biasanya semarak juga dibatasi, menjadikan tahun tersebut sebagai tahun “keprihatinan berjemaah”.

Pembatasan ini memaksa umat untuk melakukan kontemplasi internal di rumah (seperti Nyepi yang sepi). Ketika fungsi komunal terhambat, fungsi spiritual dan psikologis personal mengambil alih. Hal ini membuktikan bahwa makna spiritualitas inti dari ritual—yaitu mengagungkan Tuhan dan memuliakan manusia —dapat dipertahankan meskipun format fisik perayaan harus beradaptasi menjadi lebih terisolasi, menunjukkan ketahanan spiritual ritual.

Ritual Kenegaraan dan Simbolisme Identitas Nasional

Ritual sakral tidak terbatas pada ranah teologis; negara juga menyelenggarakan ritual sipil yang berfungsi serupa dalam membangun identitas dan kohesi kolektif.

Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan (17 Agustus) sebagai Ritual Sipil

Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, diperingati setiap 17 Agustus, adalah hari libur nasional yang secara resmi ditetapkan pada tahun 1946. Ritual kenegaraan ini adalah penyucian waktu historis yang monumental, menegaskan kembali hak Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri dan kedaulatan atas wilayahnya. Momen ini memacu semangat pembangunan dan kemajuan bangsa.

Struktur ritus kenegaraan ini melibatkan upacara pengibaran bendera yang diadakan serentak di seluruh negeri, dari Istana Merdeka Jakarta hingga instalasi diplomatik Indonesia di luar negeri. Kegiatan ini didahului dengan pidato kenegaraan Presiden di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 16 Agustus atau hari Jumat terakhir sebelum tanggal tersebut.

Analisis Simbolisme Paskibraka 17-8-45

Puncak simbolik dari upacara bendera di Istana adalah formasi yang ditampilkan oleh Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka). Formasi ini secara eksplisit disusun berdasarkan tanggal Proklamasi: 17-8-45. Pasukan 17 berfungsi sebagai pemandu formasi, Pasukan 8 sebagai kelompok inti, dan seterusnya.

Formasi Paskibraka adalah praktik sacralization of memory (penyucian ingatan kolektif). Ia mentranslasi angka-angka historis yang profan (tanggal) menjadi formasi fisik yang sakral dan monumental. Ritual kenegaraan ini berfungsi analog dengan ritual keagamaan; dengan menggunakan simbol-simbol tetap (Bendera Merah Putih), waktu yang disucikan (10:00 WIB), dan repetisi tahunan, upacara ini menyatukan emosi kolektif. Sama seperti Haji atau Nyepi yang menghubungkan partisipan dengan narasi sejarah dan komunitas bersama , upacara bendera secara kolektif mengikat warga negara pada narasi tunggal Proklamasi, memperkuat resiliensi dan identitas nasional.

Fungsi Multidimensi Ritual Sakral dalam Kehidupan Kontemporer

Ritual sakral hari-hari besar memainkan peran krusial yang melampaui pemenuhan doktrin agama, menyentuh aspek kohesi sosial, kesejahteraan psikologis, dan regulasi masyarakat.

Kohesi Sosial dan Toleransi (Guyup Rukun)

Ritual adalah alat yang efektif untuk menumbuhkan rasa gotong royong dan kerukunan (guyup rukun).

  1. Kohesi Rekonsiliatif: Tradisi Halal Bi Halal di Indonesia telah menjadi media strategis untuk memperkuat struktur sosial, mengatasi perselisihan, dan menjalin komunikasi lintas generasi dan status sosial. Demikian pula, tradisi Bakar Batu di Papua secara efektif menjadi medium pemersatu, bahkan memfasilitasi rekonsiliasi antar suku yang pernah bertikai, mempromosikan toleransi dan saling menghormati antara penduduk asli dan migran.
  2. Kohesi Pasif: Hari raya Nyepi di Bali mencontohkan kohesi pasif. Peraturan mengenai Catur Brata merupakan perluasan pembatasan aturan agama yang diterapkan di ruang publik. Walaupun kebijakan ini secara eksplisit mewakili kepentingan mayoritas (Hindu Bali) dan membatasi kebebasan berekspresi minoritas (Muslim), ketaatan kolektif masyarakat (termasuk non-Hindu) pada keheningan yang wajib, menunjukkan tingkat toleransi dan penghormatan terhadap kesakralan kolektif.

Fungsi Psikologis: Resiliensi Kolektif dan Kesejahteraan

Psikologi ritual mengakui bahwa praktik terstruktur dan berulang membawa makna dan fungsi yang kaya bagi kesejahteraan individu.

  • Pembaruan Diri: Ritual Imlek, seperti membersihkan rumah dan memberikan Angpao, menyediakan kerangka kognitif yang kuat untuk pembaruan psikologis. Praktik ini menyiratkan harapan bahwa kekurangberuntungan masa lalu dapat hilang di tahun yang baru, dan tindakan memberi berkat (Angpao) akan menghasilkan berkat yang lebih melimpah.
  • Dukungan Emosional: Pertemuan keluarga besar saat Imlek, Mudik, atau Idul Fitri meningkatkan rasa kebersamaan dan kekeluargaan, mempererat silaturahmi, dan berdampak positif pada kesejahteraan psikologis. Ritual tradisional (slametan) secara spesifik menyediakan dukungan emosional dan sosial yang krusial, meningkatkan resiliensi masyarakat dalam menghadapi tantangan.

Regulasi Sosial dan Adaptasi Kultural

Ritual adat berfungsi sebagai norma atau kebiasaan yang wajib dipatuhi, bertindak sebagai “hukum tidak tertulis” yang mengatur perilaku dan menjaga keharmonisan masyarakat. Pada tingkat kenegaraan, peribadatan dan perayaan hari besar keagamaan di Indonesia tidak hanya diakui, tetapi juga difasilitasi dan dilindungi oleh negara, sejalan dengan amanat UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2.

Tantangan Modernitas terhadap Sakralitas

Meskipun ritual bertujuan untuk mengagungkan dan mensucikan Tuhan serta memuliakan manusia , praktik modernitas seringkali menguji idealitas ini. Peningkatan ancaman keamanan, seperti ancaman bom menjelang Natal tahun 2000, telah menyebabkan penetapan status Siaga 1 dan penjagaan ekstra ketat di gereja dan tempat keramaian. Selain itu, fokus pada liburan panjang, diskon pusat perbelanjaan, dan komersialisasi menjelang hari besar dapat menggeser fokus dari nilai spiritual ke nilai transaksional dan konsumtif.

Fenomena ini menunjukkan bahwa modifikasi ritual modern (pengamanan, pembatasan, komersialisasi) mungkin membuat ritual tampak ‘tidak berfungsi dengan benar’ menurut definisi ideal Geertzian tentang integrasi sempurna. Namun, adaptasi ini justru membuktikan bahwa ritual memiliki kemampuan bertahan dan bernegosiasi dengan perubahan historis dan tantangan kontemporer, mempertahankan kesakralannya meskipun dalam bingkai yang terancam.

Table 5.1: Sintesis Ritual Utama dan Dampak Fungsionalnya di Indonesia

Hari Raya / Ritual Kunci Fokus Filosofis/Teologis Fungsi Sosial Kultural Utama Dimensi Sakral (Simbolisme Inti)
Idul Fitri (Halal Bi Halal) Penyucian Diri, Kemenangan Spiritual Rekonsiliasi, Memperkuat Kohesi Sosial, Membangun Relasi Lintas Sektor Pengampunan kolektif (halal bi halal) dan pengakuan status sosial (mudik).
Nyepi (Catur Brata) Penyucian Bhuana Alit & Bhuana Agung Toleransi pasif, Kontemplasi kolektif, Jeda ekologis Keheningan mutlak (0 aktivitas profan) untuk mencapai penyucian semesta dan alam.
Waisak (Tri Suci) Kelahiran, Pencerahan, dan Wafat Buddha Peneladanan sifat luhur, Penyebaran cinta kasih (Maitri) Prosesi air suci/api abadi, mengaktualisasikan Dhamma dalam tindakan nyata.
Natal (Bakar Batu Papua) Inkarnasi dan Penebusan Kristus Medium pemersatu antar suku, Resolusi konflik, Simbol perdamaian/persaudaraan Pengorbanan kolektif (memasak makanan), menyalurkan berkat dari Yang Mahakuasa.
Hari Kemerdekaan Kedaulatan dan Proklamasi Bangsa Penguatan identitas nasional, Peringatan sejarah kolektif Formasi Paskibraka 17-8-45, mewakili narasi pendirian negara.

Kesimpulan

Ritual sakral yang menyertai hari-hari besar di Indonesia terbukti menjadi praktik yang sangat terkulturalisasi dan instrumental. Ritual-ritual ini, baik keagamaan maupun sipil, berfungsi untuk menciptakan struktur solidaritas yang vital (communitas), yang menjaga kelangsungan identitas kolektif bangsa yang majemuk. Analisis menunjukkan bahwa ritual adalah “seni tradisi dan resiliensi multikultural” , di mana perayaan hari besar menjadi ajang fundamental untuk menumbuhkan kerukunan dan saling menghormati perbedaan. Fungsi utamanya adalah memastikan bahwa nilai-nilai kultural diterjemahkan menjadi etos sosial yang harmonis (Geertz), sekaligus memicu aksi kolektif dan ikatan tanpa struktur formal (Turner).

Interkoneksi antara sakralitas dan solidaritas begitu mendalam hingga ritual tradisional bertindak sebagai hukum tidak tertulis yang menjaga keteraturan moral dan sebagai strategi penanggulangan kolektif yang meningkatkan resiliensi psikologis masyarakat terhadap tekanan eksternal.

Meskipun kuat, ritual sakral menghadapi tantangan modernitas, terutama dari ancaman keamanan yang memaksa pengamanan ketat (Siaga 1) dan komersialisasi yang mengaburkan batas antara sakral dan profan (diskon, liburan massal). Selain itu, krisis global seperti pandemi COVID-19 memaksa ritual untuk dibatasi atau dibatalkan sepenuhnya. Namun, pembatasan ini tidak menghilangkan maknanya; sebaliknya, hal itu mendorong spiritualitas ke ranah kontemplasi personal, membuktikan bahwa inti spiritual ritual tetap bertahan meskipun bentuk fisiknya berubah.

Berdasarkan analisis fungsi multidimensi ritual, terdapat beberapa rekomendasi untuk pelestarian dan adaptasi dalam konteks kontemporer:

  1. Integrasi Sosial Budaya dalam Pembangunan: Lembaga pemerintah dan akademisi harus mengintegrasikan pendekatan sosial budaya dalam setiap program pembangunan masyarakat. Sebagai contoh, memanfaatkan momentum Halal Bi Halal atau tradisi lokal lainnya sebagai media strategis untuk meningkatkan partisipasi dan memperkuat kohesi sosial dalam program pengabdian masyarakat.
  2. Penguatan Perlindungan Ruang Liminal yang Aman: Negara harus memberikan fasilitasi dan perlindungan yang optimal terhadap praktik ibadah dan perayaan. Hal ini mencakup memastikan bahwa ruang liminal yang diciptakan oleh ritual (misalnya, keheningan Nyepi, perjalanan Mudik) dapat dijalani dengan khidmat, bebas dari ancaman keamanan, dan tidak didominasi oleh kepentingan komersial yang berlebihan.
  3. Pengakuan Fungsional Nilai Adat: Diperlukan dorongan untuk mengakui ritual tradisional, seperti slametan atau ritual adat lainnya, bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi sebagai sumber pengetahuan lokal dan strategi ketahanan komunitas yang valid. Pengakuan ini juga harus mencakup penerimaan ritual sebagai manifestasi hukum adat yang efektif dalam menjaga keteraturan moral dan sosial.