Gastrodiplomasi Global: Strategi Kekuatan Lunak, Dampak Ekonomi, dan Proyeksi Nation Branding di Berbagai Dunia
Gastrodiplomasi, yang seringkali disebut juga Diplomasi Kuliner atau Food Diplomacy, merupakan salah satu cabang penting dalam Diplomasi Publik (Public Diplomacy) dan Diplomasi Budaya (Cultural Diplomacy). Konsep ini berakar pada premis mendasar bahwa “cara termudah untuk memenangkan hati dan pikiran adalah melalui perut” (the easiest way to win hearts and minds is through the stomach). Paul Rockower dan Sam Chapple-Sokol adalah akademisi terkemuka yang mempopulerkan istilah ini dalam studi Hubungan Internasional modern.
Secara terminologis, Gastrodiplomasi merujuk pada pemanfaatan masakan dan budaya kuliner suatu negara secara strategis sebagai instrumen komunikasi budaya untuk mempromosikan pemahaman lintas budaya, membangun citra positif, dan mempererat hubungan internasional. Meskipun makanan telah menjadi alat informal dalam hubungan diplomatik sejak zaman kuno—misalnya di Tiongkok Kuno, Persia, atau Yunani, di mana para pemimpin menjamu tamu negara untuk menunjukkan warisan kuliner —praktik Gastrodiplomasi modern yang terstruktur, terkoordinasi, dan didukung oleh negara mulai muncul pada awal abad ke-21.
Gastrodiplomasi modern, sebagaimana didefinisikan oleh Paul Rockower, adalah kampanye hubungan masyarakat dan investasi infrastruktur yang terkoordinasi dan berkelanjutan, seringkali dilakukan oleh pemerintah bekerja sama dengan aktor non-negara, untuk meningkatkan nilai dan kedudukan merek nasional mereka melalui makanan. Hal ini membedakannya dari sekadar culinary diplomacy informal yang mungkin terjadi di tingkat individu atau chef exchange sederhana.
Gastrodiplomasi sebagai Strategi Soft Power dan Nation Branding
Gastrodiplomasi memainkan peran krusial dalam strategi soft power suatu negara, yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain melalui daya tarik budaya, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negeri, alih-alih melalui paksaan (hard power). Menurut Melissen (2017), gastrodiplomasi dianggap sebagai bagian dari strategi soft power yang mengutamakan pengaruh tidak langsung. Makanan berfungsi sebagai jembatan yang unik untuk mempererat hubungan antarbangsa, memungkinkan terciptanya ruang komunikasi yang lebih informal dan personal antara diplomat, warga negara asing, dan publik global. Informalitas ini memfasilitasi tercapainya tujuan diplomatik secara lebih efektif.
Penggunaan kuliner sebagai alat untuk Nation Branding telah menjadi tujuan strategis yang eksplisit. Dengan memproyeksikan cita rasa dan tradisi kuliner yang unik (misalnya Rendang, Tom Yum, Kimchi), negara-negara mampu memperkenalkan budaya mereka ke dunia luar, membangun citra positif, serta mempererat hubungan dengan negara mitra. Gastrodiplomasi bertujuan ganda: di satu sisi menciptakan pemahaman lintas budaya, dan di sisi lain secara langsung meningkatkan hubungan ekonomi, pariwisata, dan mempromosikan ekspor komoditas pangan.
Implikasi Keterlibatan Negara dan Fungsi Korektif Citra
Analisis menunjukkan adanya hubungan yang kompleks antara sifat apolitis makanan dan peran sentral negara dalam diplomasi ini. Meskipun makanan pada dasarnya bersifat apolitis—rasa lezat melampaui batas politik—implementasi proyek gastrodiplomasi yang besar memerlukan kekuatan dan sumber daya yang hanya dimiliki oleh negara (finansial dan manusia). Oleh karena itu, Gastrodiplomasi yang efektif adalah upaya yang didukung atau difasilitasi oleh negara (state-supported atau state-facilitated). Kegagalan perencanaan di tingkat negara, seperti yang terlihat pada Rencana Strategis Kementerian Luar Negeri Indonesia periode 2014–2019 yang belum memasukkan strategi gastrodiplomasi secara signifikan, dapat menghambat keberlanjutan inisiatif. Keberhasilan soft power skala besar, dengan demikian, sangat bergantung pada hard governance yang kuat.
Selain sebagai alat promosi, Gastrodiplomasi juga memiliki fungsi korektif atau image repair. Negara-negara yang menghadapi citra publik yang kompleks atau negatif memanfaatkan makanan untuk mengalihkan narasi dan membangun persepsi yang lebih positif. Contoh paling jelas adalah Thailand, yang meluncurkan kampanye Global Thai (Kitchen of the World) pada tahun 2002 sebagai strategi untuk mengubah citra pariwisata negara yang sebelumnya terkenal karena promosi pekerja seks. Demikian pula, Peru menggunakan kulinernya yang canggih (world-class) untuk mengatasi citra stereotip lainnya. Hal ini memperlihatkan kekuatan naratif makanan yang mampu menggantikan atau menyeimbangkan narasi geopolitik atau sosial yang kurang menguntungkan.
Mekanisme Implementasi dan Tata Kelola Aktor
Spektrum Aktor: Dari Pemerintahan Sentral hingga Akar Rumput
Pelaksanaan Gastrodiplomasi melibatkan spektrum aktor yang luas, bergerak dari pendekatan Top-Down yang dipimpin negara hingga inisiatif Bottom-Up yang digerakkan oleh masyarakat sipil.
- Pendekatan Top-Down (State-Led): Dalam model ini, negara atau lembaga pemerintah (seperti Kementerian Luar Negeri atau Badan Promosi) memainkan peran sentral dengan mendefinisikan tujuan, menargetkan pasar, dan mengalokasikan sumber daya untuk proyek. Thailand dengan Kitchen of the World adalah contoh klasik dari inisiatif yang kuat dipimpin oleh pemerintah pusat.
- Pendekatan Bottom-Up (Civil Society): Aktor non-negara—termasuk perusahaan, chef ternama, dan yang paling penting, diaspora nasional—mendapatkan peran yang semakin penting. Diaspora, terutama emigran yang menjalankan bisnis makanan, berfungsi sebagai saluran vital dan organik untuk mempromosikan masakan nasional (contohnya komunitas Indonesia dan Taiwan).
Tata Kelola Quadruple Helix dan Peran Diaspora
Untuk memastikan Gastrodiplomasi yang berkelanjutan, model tata kelola kolaboratif telah terbukti efektif. Peru, misalnya, mengadopsi model Quadruple Helix yang melibatkan Pemerintah, Sektor Swasta, Akademisi, dan Komunitas (masyarakat) dalam strategi pengembangan pariwisata gastronomi. Dalam model ini, pemerintah mengambil peran koordinasi dan fasilitasi, sementara sektor swasta memimpin pengembangan pengalaman gastronomi.
Peran diaspora telah mengalami evolusi signifikan. Mereka tidak lagi dianggap sekadar promotor pasif, tetapi merupakan agen implementasi strategis yang diakui secara resmi, membentuk jalur diplomasi multi-track yang lebih tepercaya dan organik dibandingkan kampanye pemerintah formal. Peran strategis pemerintah di sini adalah untuk menghubungkan upaya diaspora dan memvalidasinya. Contohnya, Peru secara aktif mendaftarkan dan memberikan sertifikasi kepada restoran Peru yang beroperasi di luar negeri (seperti di Indonesia), memastikan standar makanan dan kualitas brand terjaga secara global. Konsistensi kualitas ini sangat penting untuk mendukung citra nasional yang profesional.
Platform Kunci dan Mekanisme Promosi
Berbagai mekanisme digunakan untuk mewujudkan Gastrodiplomasi di tingkat global:
- Acara Kenegaraan dan Jamuan Diplomatik: Jamuan makan malam kenegaraan (State Dinners dan Diplomatic Banquets) merupakan bentuk diplomasi makanan yang paling formal dan simbolis. Pilihan menu, sumber bahan baku, dan gaya presentasi dipilih secara cermat untuk mengomunikasikan pesan mendalam mengenai identitas nasional, keramahan, dan prioritas hubungan bilateral.
- Program Pertukaran Koki (Chef Exchange): Inisiatif resmi seringkali mencakup pertukaran koki dan kemitraan pendidikan kuliner. Program ini mengirimkan master chef untuk mengajar teknik otentik di luar negeri dan membawa siswa kuliner asing masuk untuk mempelajari metode tradisional. Ini menciptakan jaringan duta terlatih yang membawa pengetahuan kuliner melintasi batas-batas, memastikan keaslian masakan yang dipromosikan.
- Festival Kuliner dan Pemasaran Co-Branding: Promosi melalui festival internasional yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar atau Konsulat (misalnya, KBRI Madrid di Spanyol mengadakan festival kuliner) adalah cara langsung untuk menjangkau publik asing. Indonesia, misalnya, menjalankan program Co-Branding dengan restoran diaspora di seluruh dunia sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran merek.
Revolusi Digital dan Media Sosial
Era digital memberikan peluang yang belum pernah ada sebelumnya bagi Gastrodiplomasi. Media sosial seperti Instagram, YouTube, dan TikTok telah menjadi platform ideal untuk menampilkan keunikan kuliner suatu negara melalui konten yang menarik, interaktif, dan mudah dibagikan (misalnya video pendek, resep, atau cerita di balik makanan). Kemudahan penyebaran informasi ini memungkinkan negara untuk menjangkau audiens global yang luas dan beragam tanpa hambatan geografis.
Mikro-Gastrodiplomasi dan Sinergi Budaya Pop
Salah satu strategi paling inovatif adalah integrasi kuliner ke dalam produk budaya populer. Korea Selatan, melalui penyebaran budaya pop (Hallyu), secara efektif mempromosikan K-Food. Hubungan kausal antara eksposur budaya (K-Drama) dan konsumsi produk terbukti efektif; peningkatan eksposur budaya pop secara langsung mendorong rasa ingin tahu budaya, yang kemudian diterjemahkan menjadi keinginan untuk mengonsumsi produk pangan. Indonesia pun telah memanfaatkan platform ini, terlihat dari analisis peran product placement Kopiko dalam drama Korea sebagai bentuk mikro-gastrodiplomasi untuk peningkatan citra. Ini menggarisbawahi bahwa Gastrodiplomasi modern tidak lagi hanya tentang rasa, tetapi tentang membangun ekosistem budaya yang menjual gaya hidup (gastronomi sebagai bagian dari narasi budaya yang lebih besar).
Selain promosi, teknologi digital juga memajukan aspek ekonomi implementasi, memfasilitasi pemasaran digital dan sistem pengiriman untuk bisnis makanan diaspora dan UMKM, membuat masakan lokal lebih mudah diakses dan dicari secara global.
Studi Kasus Asia: Model Perintisan dan Inovasi
Thailand: Pionir Global Melalui The Global Thai Campaign
Thailand diakui sebagai negara pertama yang secara strategis dan terstruktur memanfaatkan makanan sebagai instrumen diplomasi publik. Pada tahun 2002, pemerintah Thailand meluncurkan kampanye ‘Global Thai Campaign’, yang lebih dikenal dengan sebutan ‘Thailand: Kitchen of the World’.
Strategi utama kampanye ini adalah ekspansi restoran secara masif. Tujuan awalnya adalah meningkatkan jumlah restoran Thai di seluruh dunia menjadi 3.000, dan pada tahun 2011, jumlah tersebut telah melampaui 10.000. Pemerintah mendukung tujuan ini dengan memberikan insentif dan menyelenggarakan seminar untuk mendorong investor Thailand berinvestasi dalam pendirian restoran di luar negeri. Keberhasilan ini tidak hanya bersifat kuantitatif; masakan khas seperti Tom Yum, Pad Thai, dan Green Curry berhasil diinternasionalisasi dan menjadi simbol global dari Thailand. Dampak ekonomi terukur pada sektor pariwisata terlihat jelas, di mana data menunjukkan sekitar 14% dari total pendapatan harian rata-rata wisatawan internasional dari Indonesia dibelanjakan untuk makanan Thailand, yang memperkuat status mereka di panggung internasional.
Korea Selatan: Integrasi Kuliner dalam Gelombang Hallyu
Korea Selatan menginisiasi program Gastrodiplomasi resminya, “Korean Cuisine To The World”, pada tahun 2004, sebagai bagian dari upaya yang lebih besar untuk meningkatkan nation branding pasca-1990-an. Strategi Korea Selatan bersifat sinergis, mengintegrasikan promosi kuliner (K-Food) sebagai salah satu pilar utama dalam fenomena Hallyu (Gelombang Korea), di samping K-Pop, K-Drama, K-Fashion, dan K-Beauty.
Model ini menunjukkan efektivitas korelasi budaya dengan konsumsi ekonomi. Keberhasilan eksposur budaya pop yang menciptakan rasa ingin tahu, diukur dari permintaan yang didorong oleh Hallyu, telah diterjemahkan menjadi peningkatan ekspor komoditas pangan. Data menunjukkan peningkatan signifikan dalam ekspor Kimchi, mencapai $144.51 juta USD pada tahun 2020, sebuah tonggak yang jelas terkait dengan strategi Gastrodiplomasi yang terintegrasi ini.
Indonesia: Tantangan dan Arah Inisiatif Baru
Indonesia, meskipun memiliki kekayaan kuliner yang luar biasa (Rendang, Nasi Goreng, Sate, Soto) yang diakui secara global , menghadapi tantangan citra, seperti persepsi sebagai negara pengekspor tenaga kerja tidak terdidik atau hanya dikenal karena Bali. Oleh karena itu, Gastrodiplomasi menjadi alat krusial untuk memperkuat diplomasi publik dan nation branding.
Pemerintah Indonesia telah meluncurkan inisiatif seperti program “Spice Up The World” dan skema Co-Branding dengan restoran diaspora di luar negeri (misalnya, Rendang Goes To Europe). Upaya ini bertujuan memperkenalkan budaya melalui makanan dan menciptakan ketertarikan warga asing untuk mengunjungi Indonesia (kampanye Wonderful Indonesia).
Efek Gastrodiplomasi ini telah melampaui batas ekonomi langsung. Dampak non-ekonomi berupa peningkatan hubungan diplomatik dan perbaikan persepsi publik terbukti, misalnya dalam survei Lowy Institute Poll tahun 2013, di mana 61% responden di Australia menyatakan perlu menjaga hubungan baik dengan Indonesia, menandakan membaiknya pandangan melalui interaksi informal yang didukung oleh gastrodiplomasi. Indonesia juga telah memanfaatkan media digital, termasuk product placement Kopiko di K-Drama, menunjukkan adopsi model sinergi budaya pop.
Studi Kasus Global: Keberagaman Strategi dan Model Tata Kelola
Peru: Mengubah Citra Negara melalui Gastronomi Tingkat Tinggi
Peru menyajikan model Gastrodiplomasi yang berfokus pada kualitas dan prestise. Kampanye mereka, “Cocina peruana para el mundo” (2008), bertujuan untuk membangun merek nasional yang berpusat pada masakan mereka yang unik (seperti Cebiche dan Ajà de gallina) sebagai world-class.
Keberhasilan strategi ini terlihat dari pengakuan global, di mana Peru telah dinobatkan sebagai destinasi kuliner terbaik di dunia oleh World Travel Awards selama enam tahun berturut-turut. Dampak pariwisata yang dihasilkan sangat terukur: 42-43%, atau sekitar 1.2 juta, wisatawan asing yang mengunjungi Peru memiliki motivasi utama gastronomi dalam memilih destinasi tersebut. Peru berhasil memonetisasi pengalaman gastronomi yang menghasilkan pariwisata bernilai tinggi, menghubungkan merek kuliner secara langsung dengan pilihan destinasi.
Pentingnya model Peru terletak pada tata kelola kualitas. Untuk mempertahankan citra kelas dunia, Pemerintah Peru dan Komisi Promosi Perdagangan secara aktif terlibat dalam memberikan sertifikasi dan mengawasi standar makanan yang disajikan di restoran diaspora internasional, memastikan konsistensi dan kualitas otentik. Hal ini menunjukkan pentingnya peran negara sebagai regulator dan penjamin kualitas nation brand.
Italia: Kekuatan Gerakan Slow Food
Gastrodiplomasi Italia menunjukkan model yang didorong secara grassroots dan berlandaskan filosofi yang kuat. Gerakan Slow Food didirikan di Roma pada tahun 1986 sebagai respons terhadap ekspansi fast food (McDonald’s) di dekat Spanish Steps, menandai perlawanan terhadap homogenisasi pangan global.
Slow Food berfokus pada promosi makanan yang good, clean, and fair. Gerakan ini memimpin upaya global dalam melindungi keanekaragaman hayati pangan lokal melalui proyek-proyek seperti Ark of Taste (katalog global keanekaragaman pangan yang terancam punah) dan program Presidia. Dengan lebih dari 100.000 anggota di lebih dari 160 negara, Slow Food mewakili bentuk soft power otonom yang sangat sukses, berbeda dengan strategi top-down Asia.
Meskipun digerakkan oleh masyarakat sipil, dampaknya terhadap ekonomi nasional sangat besar. Sektor pangan dan anggur Italia (yang sangat terkait dengan Slow Food branding) membawa €37 miliar ke dalam perekonomian, dengan target peningkatan melalui dorongan publik-swasta yang terintegrasi. Model Italia ini menunjukkan bahwa strategi Gastrodiplomasi dapat berhasil dengan fokus pada nilai, etika, dan perlawanan budaya, bukan hanya ekspansi pasar.
Amerika Serikat dan Eropa Lainnya
Banyak negara di seluruh dunia telah mengadopsi Gastrodiplomasi, menegaskan universalitas alat ini.
- Amerika Serikat (US Culinary Diplomacy): AS secara resmi melibatkan diplomasi kuliner untuk mempromosikan perdagangan, pariwisata, dan kerja sama. Jamuan makan malam kenegaraan yang diselenggarakan oleh Presiden (misalnya, di Buckingham Palace atau Gedung Putih) berfungsi sebagai refleksi keramahan Amerika dan alat untuk menyampaikan pesan-pesan diplomatik.
- Eropa: Selain Italia, negara-negara Eropa lainnya juga aktif. Spanyol, misalnya, melakukan promosi melalui festival kuliner yang diselenggarakan oleh kedutaan di negara mitra (seperti di Indonesia). Swiss memiliki inisiatif terstruktur seperti Les Grandes Tables de Suisse – Ambassades gourmandes.
Spektrum Tata Kelola dalam Gastrodiplomasi
Model-model di atas memperlihatkan spektrum tata kelola yang berbeda. Asia (Thailand, Korea) cenderung mengadopsi pendekatan ekspansionis dan kuantitatif (top-down), fokus pada volume restoran dan ekspor produk. Amerika Latin (Peru) mengutamakan kualitatif dan high-end melalui kolaborasi Quadruple Helix, berorientasi pada pengakuan gastronomi dan pariwisata bernilai tinggi. Sementara Eropa (Italia) didominasi oleh pendekatan nilai dan etika (grassroots). Tidak ada model tunggal yang superior; strategi yang efektif harus disesuaikan dengan aset budaya, tujuan politik-ekonomi, dan struktur tata kelola yang unik dari masing-masing negara.
Evaluasi Strategis, Tantangan, dan Proyeksi Masa Depan
Analisis Efektivitas dan Dampak Hubungan Internasional
Efektivitas Gastrodiplomasi terletak pada sifatnya yang non-konfrontatif dan kemampuannya untuk berinteraksi di tingkat interpersonal. Ini meningkatkan pengaruh suatu negara dalam hubungan diplomatik karena menciptakan jembatan komunikasi yang lebih informal dan lebih personal. Dalam konteks hubungan internasional, Gastrodiplomasi terbukti mampu meredakan konflik “hati dan pikiran” melalui perut , memfasilitasi tercapainya tujuan diplomatik secara lebih efektif, terutama antara negara-negara yang saling bergantung secara ekonomi dan politik.
Dampak Gastrodiplomasi bersifat multi-level, melayani kepentingan bilateral dan multilateral. Selain meningkatkan ekonomi (pariwisata dan perdagangan), kuliner menjadi media otentik untuk memperkenalkan kebudayaan suatu negara kepada publik global. Gastrodiplomasi menjadi alat strategis dalam mencapai tujuan politik luar negeri melalui cara yang subtil, halus, dan menyenangkan.
Dilema Etika: Apresiasi Budaya vs. Apropiasi Komersial
Seiring meningkatnya popularitas kuliner global, tantangan etika muncul, terutama mengenai perbedaan antara apresiasi budaya dan apropriasi komersial. Dalam konteks era digital dan budaya remix, penggunaan atau modifikasi elemen kuliner suatu komunitas menjadi sangat lazim dan kompleks.
Apropriasi budaya seringkali mencerminkan ketidaksetaraan struktural dan komersialisasi tanpa izin, di mana keuntungan diambil dari warisan budaya suatu komunitas tanpa pengakuan atau penghormatan yang layak terhadap sumber asalnya. Sebaliknya, apresiasi budaya ditandai oleh penghormatan yang tulus, kolaborasi dengan komunitas asal, dan kesadaran lintas budaya.
Bagi praktik Gastrodiplomasi, isu ini sangat krusial. Strategi yang berkelanjutan harus mengedepankan apresiasi. Hal ini memerlukan tidak hanya pengawasan terhadap kualitas makanan (seperti yang dilakukan Peru) tetapi juga etika representasi kuliner, terutama di ruang digital yang masif, untuk memastikan promosi yang adil, inklusif, dan transformatif, serta menghindari eksploitasi komersial tanpa konsultasi komunitas asal.
Integrasi Isu Global Kontemporer
Masa depan Gastrodiplomasi akan sangat terkait dengan isu-isu global seperti keberlanjutan dan ketahanan pangan. Makanan tidak hanya menjadi kebutuhan dasar tetapi juga terkait erat dengan perkembangan politik dan ekonomi internasional.
- Keberlanjutan Pangan (Sustainability): Organisasi seperti Food and Agriculture Organization (FAO) PBB secara aktif memimpin upaya global untuk sistem pangan yang berkelanjutan dan mengatasi kelaparan. Gastrodiplomasi modern harus melampaui sekadar presentasi rasa; ia harus mampu mempromosikan masakan lokal yang berbasis pangan yang aman dan bergizi, dan mengangkat narasi keberlanjutan dalam rantai pasoknya. Koki, sebagai sociopreneur, memiliki peran penting dalam mempopulerkan pangan lokal dan memajukan isu gastronomi.
- Digitalisasi dan Ketahanan Pangan: Teknologi digital menjadi kunci untuk menjawab tantangan sektor pertanian dan pangan. Konsep Smart Farming dan pembentukan food hubs (simpul pangan) yang dioptimalkan dengan manajemen logistik berbasis digital memungkinkan produksi yang efisien, ketersediaan pangan yang terjamin, dan distribusi yang lebih baik.
Tren strategis menunjukkan pergeseran fokus diplomasi dari sekadar piring saji ke integritas rantai pasok. Negara yang ingin meningkatkan citra kulinernya secara global harus menunjukkan kredibilitas dalam isu ketahanan pangan, menggabungkan hard science (seperti efisiensi pengolahan dan pengemasan berkelanjutan yang didukung Teknik Kimia Pangan) dengan soft power. Dengan demikian, kemampuan negara dalam mengelola pangan berkelanjutan menjadi aset diplomatik baru.
Rekomendasi Kebijakan dan Peta Jalan Strategis
Berdasarkan analisis komparatif dan studi kasus global, laporan ini menyajikan peta jalan strategis untuk mengoptimalkan potensi kuliner sebagai diplomasi:
Penguatan Tata Kelola Terintegrasi
Pemerintah harus memastikan peran sentral dalam merancang proyek gastrodiplomasi yang besar dan menyediakan sumber daya yang memadai. Penting untuk mengadopsi model kolaborasi komprehensif seperti Quadruple Helix (Pemerintah, Swasta, Akademisi, Komunitas) untuk pengembangan gastronomi yang berkelanjutan. Pemerintah harus bertindak sebagai koordinator, memastikan sinergi program, sementara sektor swasta dan diaspora diberi peran utama dalam implementasi praktis di pasar internasional.
Standardisasi dan Sertifikasi Kualitas Global
Kunci keberhasilan Peru adalah kontrol kualitas yang ketat. Direkomendasikan pembentukan mekanisme resmi untuk mendaftarkan dan memberikan sertifikasi kepada restoran diaspora di luar negeri, menjamin bahwa masakan yang disajikan memenuhi standar rasa dan keaslian nasional. Standardisasi ini mutlak diperlukan untuk menjaga konsistensi nation brand di pasar global.
Pemanfaatan Penuh Ekosistem Digital dan Sinergi Lintas Sektor
Meniru model Korea Selatan, Gastrodiplomasi harus disinkronkan secara multiplikatif dengan ekspor budaya lainnya, seperti pariwisata dan budaya pop. Pemanfaatan product placement strategis di media populer global, serta pemanfaatan media sosial untuk konten interaktif dan narasi yang menarik, harus menjadi prioritas. Teknologi digital juga harus dimanfaatkan untuk memperkuat logistik dan pemasaran produk kuliner UMKM global.
Mengaitkan Kuliner dengan Narasi Keberlanjutan dan Nilai
Gastrodiplomasi di masa depan harus berfokus pada narasi yang lebih luas, yaitu keberlanjutan, ketahanan pangan, dan nilai etika (model Italia/Slow Food). Negara perlu memposisikan komoditas pangan lokal sebagai “superfood” atau makanan yang diproduksi secara berkelanjutan, menggunakan aset diplomatik yang timbul dari investasi di Smart Farming dan teknologi rantai pasok digital. Hal ini meningkatkan kredibilitas nasional, menunjukkan bahwa kuliner bukan hanya enak tetapi juga good, clean, and fair.
Pembangunan Institusi Akademik dan Etika Budaya
Diperlukan penguatan pusat-pusat kajian Gastrodiplomasi di tingkat universitas (seperti inisiatif Universitas Jember). Institusi ini penting untuk memajukan penelitian kualitatif dan kuantitatif mengenai efektivitas diplomasi ini, serta untuk mengembangkan panduan etika budaya yang jelas. Pendidikan etika budaya dan literasi media sangat penting untuk membedakan dan mendorong apresiasi budaya yang tulus, sehingga menghindari praktik apropriasi komersial dalam promosi kuliner digital.
Tabel Komparatif: Model Gastrodiplomasi Terstruktur Global dan Dampak Kunci
| Negara | Program Utama/Kampanye | Tahun Inisiasi | Fokus Utama Strategi | Dampak Kuantitatif/Citra Kunci |
| Thailand | Global Thai / Kitchen of the World | 2002 | Ekspansi Global Restoran, Standarisasi Kualitas, Citra Positif | Peningkatan restoran Thai global (ke >10,000 pada 2011). Peningkatan pariwisata/pendapatan. |
| Korea Selatan | Korean Cuisine To The World | 2004 | Integrasi dengan Hallyu (K-Food), Peningkatan Ekspor Komoditas | Peningkatan ekspor Kimchi (mencapai $144.51 Juta USD pada 2020). Sinergi K-Drama. |
| Peru | Cocina peruana para el mundo | 2008 | Nation Branding Berbasis Gastronomi Kelas Dunia, Sertifikasi Kualitas | 42-43% kunjungan wisatawan dimotivasi oleh gastronomi. Destinasi Kuliner Terbaik Dunia 6 tahun berturut-turut. |
| Italia | Gerakan Slow Food | 1986 (Non-Pemerintah) | Kualitas, Tradisi, dan Keberlanjutan Pangan (Anti-Fast Food) | Sektor pangan Italia berkontribusi €37 Miliar per tahun. Soft Power Otonom Global. |


