Overtourism: Studi Kasus Kritis Bali Menuju Pariwisata Regeneratif
Overtourism didefinisikan sebagai krisis sosial-ekologis global yang dipicu oleh pertumbuhan pengunjung yang melampaui kapasitas daya dukung lingkungan dan sosial destinasi. Krisis ini ditandai dengan penderitaan penduduk lokal yang dipaksa mengubah gaya hidup mereka dan kehilangan akses terhadap fasilitas publik. Pendorong utama fenomena ini adalah peningkatan aksesibilitas melalui maskapai berbiaya rendah (LCCs) dan digitalisasi, termasuk Instagram Tourism, yang memicu kepadatan kronis di lokasi ikonik. Dampak yang paling parah bersifat multidimensi, meliputi inflasi harga properti dan perumahan, krisis air bersih, degradasi nilai budaya dan spiritual, serta kemacetan infrastruktur. Studi kasus Bali menunjukkan bahwa tantangan struktural, khususnya krisis air bersih dan kemacetan lalu lintas, merupakan ancaman eksistensial bagi keberlanjutan pulau tersebut. Respons kebijakan di Bali berupa penerapan Retribusi Wisatawan Asing pada tahun 2024 dipandang sebagai langkah fiskal yang bermanfaat, namun perlu dilengkapi dengan intervensi struktural yang lebih tegas, seperti moratorium pembangunan akomodasi baru, untuk mengendalikan kapasitas daya dukung demi mencapai model pariwisata regeneratif.
Kontekstualisasi Fenomena Overtourism
Definisi Konseptual dan Kapasitas Daya Dukung Destinasi
Istilah overtourism mulai digunakan secara luas setelah tahun 2017 untuk mendeskripsikan dampak negatif yang signifikan dari pariwisata terhadap destinasi. Menurut Milano, Â overtourism didefinisikan sebagai pertumbuhan pengunjung yang berlebihan yang menyebabkan kepadatan, di mana penduduk setempat menderita akibat puncak pariwisata sementara dan musiman. Hal ini pada akhirnya memaksa perubahan permanen pada gaya hidup mereka, akses ke fasilitas, dan kesejahteraan umum.
Fenomena ini dapat diamati secara kualitatif ketika penduduk lokal mulai memandang pariwisata sebagai faktor disruptif yang membebani kehidupan sehari-hari mereka. Menariknya, overtourism juga dirasakan oleh wisatawan sendiri, yang merasa terganggu oleh tingginya jumlah pengunjung. Indikator fisik  overtourism mencakup kemacetan, penumpukan sampah, dan pencemaran lingkungan , sementara indikator sosial mencakup marginalisasi penduduk lokal dan hilangnya identitas komunitas.
Pergeseran Paradigma dari Kuantitas ke Kualitas Sosial
Analisis mendalam terhadap definisi overtourism yang berpusat pada ‘penderitaan penduduk lokal’ menggarisbawahi pergeseran paradigma. Titik kritis krisis overtourism terletak bukan pada jumlah absolut wisatawan yang datang, tetapi pada rasio dampak yang ditimbulkan terhadap kualitas hidup penduduk (kapasitas daya dukung sosial). Sebuah destinasi yang menerima puluhan juta turis, seperti New York City yang menerima lebih dari 50 juta turis pada tahun 2022 , mungkin tidak diklasifikasikan sebagai  overtourism secara universal jika manfaat ekonominya tersebar luas dan infrastrukturnya dapat menyerap beban tersebut. Sebaliknya, destinasi lain bisa berada dalam krisis dengan jumlah yang lebih kecil jika sumber daya vital (misalnya, air bersih) terbagi secara tidak adil atau konsentrasi wisatawan mematikan kehidupan lokal. Oleh karena itu, keberhasilan pariwisata tidak seharusnya diukur hanya dari pendapatan atau jumlah kedatangan, tetapi harus memprioritaskan indeks kepuasan dan kesejahteraan penduduk lokal.
Pendorong Utama Overtourism Global: Aksesibilitas, Digitalisasi, dan Ekonomi Berbagi
Fenomena overtourism didorong oleh kombinasi faktor struktural dan digital. Secara struktural, peningkatan maskapai penerbangan berbiaya rendah (LCCs) telah secara fundamental mengurangi biaya perjalanan internasional, membuat destinasi populer mudah diakses oleh massa.
Selain itu, digitalisasi dan media sosial memainkan peran signifikan. Instagram Tourism diyakini memicu lonjakan pengunjung yang sangat terkonsentrasi di titik-titik spesifik di seluruh dunia, dari Air Terjun Trevi di Roma hingga Times Square di New York, yang menerima sekitar 300.000 pengunjung setiap hari. Media sosial menciptakan efek “destinasi  check-list” yang memicu kepadatan kronis di lokasi-lokasi ikonik.
Paradoks Regulasi Sharing Economy
Peran platform sharing economy, seperti Airbnb, memicu perdebatan sengit. Airbnb mengklaim bahwa platform mereka membantu melawan pariwisata massal dan mempromosikan perjalanan berkelanjutan. Klaim mitigasi ini didukung oleh data mereka yang menunjukkan bahwa di delapan destinasi berisiko, Airbnb hanya menyumbang 7% dari total kedatangan tamu (jauh lebih sedikit dibandingkan turis non-Airbnb yang mencapai 5,1 turis per penduduk lokal di beberapa kasus). Lebih lanjut, 72% hingga 93% dari listing Airbnb berada di luar area yang berisiko overtourism, mendorong penyebaran geografis (dispersal) dan mengurangi ‘kebocoran’ pendapatan karena host lokal mempertahankan hingga 97% dari pendapatan mereka.
Namun, klaim dispersal ini berbenturan dengan realitas regulasi yang diterapkan di kota-kota yang mengalami krisis perumahan. Misalnya, Barcelona telah mengambil langkah drastis dengan melarang penyewaan kamar individu melalui platform seperti Airbnb karena terbukti memicu inflasi harga sewa properti. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun volume tamu Airbnb mungkin relatif kecil dibandingkan total wisatawan , dampak strukturalnya terhadap pasar perumahan lokal sangat besar. Konversi perumahan permanen menjadi aset komersial jangka pendek mengubah stok perumahan, bahkan di distrik non-tradisional, yang awalnya diklaim sebagai wilayah  dispersal. Oleh karena itu, kebijakan perlu difokuskan pada perlindungan stok perumahan dan pencegahan konversi properti, alih-alih hanya mengandalkan klaim distribusi geografis.
Dampak Multidimensi Overtourism Pada Destinasi
Dampak overtourism bersifat kompleks dan saling terkait, menyerang tiga pilar utama keberlanjutan: sosial-budaya, lingkungan, dan ekonomi.
Dampak Sosial dan Budaya (Socio-Cultural Impact)
Di destinasi yang terbebani, penduduk merasa terpinggirkan (marginalized) karena identitas komunitas mereka terkikis, diubah menjadi sekadar atraksi wisata, bukan lagi tempat tinggal. Degradasi budaya ini sangat terasa di destinasi yang kaya tradisi. Di Bali, Â overtourism telah menyebabkan tergesernya nilai-nilai budaya dan spiritual yang dahulu dijunjung tinggi. Banyak warga lokal menyatakan perasaan kehilangan kedamaian batin di ruang-ruang suci yang kini dikepung oleh pembangunan hotel dan vila mewah. Kepadatan wisatawan yang masif juga menyebabkan hilangnya autentisitas dan keaslian pengalaman wisata.
Konflik sosial yang timbul dari ketidakpuasan ini sering kali meningkat menjadi gerakan protes terorganisir. Di Barcelona, ketegangan yang meningkat telah memicu munculnya kelompok aktivis seperti “Pariwisata Membunuh Barcelona,” yang menjadi oposisi vokal terhadap masuknya wisatawan yang masif. Tuntutan mereka, sering kali diwujudkan melalui grafiti dan spanduk protes, menuntut perubahan kebijakan publik yang nyata.
Dampak Lingkungan dan Ekologis (Environmental Impact)
Beban lingkungan dari overtourism terwujud melalui peningkatan pencemaran dan penumpukan sampah. Kapal pesiar merupakan kontributor utama polusi udara di kota-kota pelabuhan. Barcelona, misalnya, pada tahun 2019 pernah menempati peringkat pelabuhan paling tercemar di Eropa akibat emisi sulfur oksida dan nitrogen oksida dari kunjungan kapal pesiar.
Yang lebih mengancam adalah krisis sumber daya vital, terutama di destinasi kepulauan seperti Bali. Masyarakat Bali menghadapi tekanan ekologis yang semakin berat, dengan kekurangan air bersih disebutkan secara spesifik sebagai salah satu dampak overtourism. Selain itu, infrastruktur yang kelebihan beban terlihat dari kejadian banjir di mana-mana saat musim hujan, menunjukkan kegagalan sistem drainase akibat pembangunan pariwisata yang tidak terkendali.
Dampak Ekonomi
Meskipun pariwisata adalah industri raksasa yang menyumbang lebih dari 10% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, dampaknya tidak selalu positif bagi ekonomi lokal. Model pariwisata massal sering kali menghasilkan ‘kebocoran’ pendapatan (leakage), di mana antara 14 hingga 36 sen dari setiap dolar yang dihabiskan di hotel rantai besar tidak pernah sampai ke komunitas tujuan.
Dampak ekonomi yang paling merusak secara sosial adalah inflasi properti. Di Barcelona, konversi rumah penduduk menjadi akomodasi Airbnb menyebabkan kenaikan harga sewa yang dramatis. Hal ini membuat perumahan menjadi tidak terjangkau bagi penduduk setempat dan memaksa penduduk lama keluar dari lingkungan mereka. Situasi ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi merupakan pemicu utama konflik sosial. Ketika penduduk dipaksa meninggalkan lingkungan yang menjadi inti identitas mereka, hal ini menimbulkan rasa kehilangan identitas dan menciptakan kemarahan yang mendorong protes politik terorganisir, seperti yang terlihat di Barcelona. Untuk meredakan ketegangan sosial dan memulihkan kapasitas komunitas, pengendalian harga properti melalui regulasi akomodasi jangka pendek menjadi intervensi kebijakan yang sangat efektif.
Studi Kasus Global: Strategi Mitigasi Dan Regulasi
Berbagai destinasi global telah merespons overtourism dengan menerapkan berbagai strategi, mulai dari pengendalian struktural hingga manajemen kualitas.
Pengendalian Overtourism di Eropa (Amsterdam, Barcelona)
Kota-kota Eropa yang menghadapi overtourism kronis telah memelopori strategi pengendalian kapasitas supply-side yang keras. Di Barcelona, para pejabat telah merespons tekanan sosial dan protes warga dengan menghentikan penerbitan izin hotel baru. Di bawah pimpinan Walikota Ada Colau, kota ini juga melarang pemilik rumah menyewakan kamar individu kepada wisatawan melalui platform home sharing. Kebijakan ini bertujuan untuk menstabilkan pasar perumahan dan mengurangi kepadatan.
Amsterdam menerapkan kebijakan serupa dengan mengatur jumlah wisatawan melalui penetapan batas maksimal penginapan yang tersedia. Selain itu, pemerintah Amsterdam secara proaktif mempromosikan produk pariwisata yang berkelanjutan, seperti wisata sepeda dan kafe ramah lingkungan, sebagai upaya untuk menarik wisatawan yang berkualitas dan meminimalkan dampak negatif. Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) telah menganalisis persepsi penduduk di delapan kota Eropa (termasuk Amsterdam, Barcelona, dan Lisbon) dan mengajukan 11 strategi serta 68 langkah untuk membantu pengelolaan pertumbuhan pengunjung secara inklusif dan berkelanjutan.
Upaya Diversifikasi dan Pengelolaan Aliran Wisatawan
Strategi manajemen aliran wisatawan berfokus pada desentralisasi geografis, atau dispersal, untuk menyebar pengunjung ke luar area wisata tradisional. Tujuan ini adalah agar wisatawan tidak membanjiri distrik dan situs populer tertentu.
Strategi lain yang sangat penting adalah fokus pada kualitas wisatawan (quality over quantity). Upaya pemerintah seperti di Amsterdam untuk menarik wisatawan berkualitas menunjukkan bahwa pengendalian permintaan dapat dilakukan melalui promosi pariwisata yang berorientasi pada keberlanjutan.
Efektivitas Intervensi Struktural vs. Intervensi Fiskal
Kasus-kasus mitigasi di Eropa menunjukkan bahwa solusi yang paling efektif untuk overtourism kronis adalah intervensi struktural yang membatasi suplai. Pembatasan izin hotel baru dan regulasi ketat terhadap akomodasi jangka pendek secara langsung menstabilkan pasar perumahan dan mengurangi kepadatan fisik. Tindakan ini mengatasi akar masalah volume dan konsentrasi. Sebaliknya, kebijakan fiskal, seperti penarikan pajak, hanya berfungsi sebagai mekanisme pengelolaan dampak dan pengumpulan dana, tetapi tidak secara fundamental mengurangi beban kapasitas. Bagi destinasi yang menghadapi krisis kapasitas struktural, seperti yang dialami Bali, pembatasan suplai akomodasi baru di area kritis adalah langkah yang jauh lebih mendesak dan efektif dibandingkan sekadar mengumpulkan retribusi.
Tabel IV.1. Perbandingan Strategi Mitigasi Overtourism Global
Destinasi | Masalah Utama | Intervensi Kebijakan Kunci | Tujuan Strategis |
Barcelona | Inflasi properti, protes warga, kepadatan | Pelarangan izin hotel baru, regulasi ketat sewa properti (Airbnb) | Mengendalikan pertumbuhan suplai dan mengurangi dampak sosial. |
Amsterdam | Kerumunan wisatawan, dampak negatif | Menetapkan batas maksimal penginapan, promosi wisata berkelanjutan | Mengelola kapasitas fisik dan menarik wisatawan berkualitas. |
Bali (Awal) | Kemacetan, Air, Degradasi Budaya | Implementasi Retribusi Wisman (Tourist Tax) | Pendanaan konservasi dan pengelolaan alur masuk (Fiskal). |
Analisis Kritis: Dilema Overtourism Di Bali
Bali sebagai Episentrum Pariwisata Indonesia: Keberhasilan dan Dilema
Pulau Bali, yang dikenal karena pesona alam dan budayanya, merupakan primadona pariwisata global. Namun, di balik keberhasilan ini tersembunyi dilema mendalam: membludaknya jumlah wisatawan telah melampaui kapasitas daya dukung lingkungan, budaya, dan infrastruktur pulau, menjadikan overtourism sebagai persoalan yang tidak bisa diabaikan. Persoalan utamanya adalah menentukan siapa yang paling diuntungkan dan siapa yang perlahan tersisih oleh geliat pariwisata ini.
Beban Infrastruktur dan Kependudukan
Dampak paling nyata dari overtourism di Bali adalah beban berat pada infrastruktur yang ada. Kemacetan lalu lintas kronis terjadi, terutama di Bali Selatan, diperburuk oleh maraknya penyewaan akomodasi ilegal dan mudahnya memperoleh izin transportasi online. Antrean panjang yang dimulai dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, serta antrean menuju Nusa Penida, dan waktu tunggu yang lebih lama untuk transportasi dan layanan, adalah indikator kuat dari kelebihan beban sistem.
Sebagai solusi jangka panjang untuk mengatasi kemacetan parah, disarankan pembangunan jalan layang (flyover) atau underpass yang menghubungkan kawasan padat seperti Batu Bulan–Denpasar–Kuta–Seminyak–Kerobokan–Canggu–Jimbaran. Selain itu, pembangunan Bandar Internasional Bali Udara (BIBU) di Bali Utara juga dianggap krusial untuk mencapai keseimbangan pariwisata antara Bali Selatan dan Utara.
Ancaman Ekologis: Krisis Air Bersih
Di antara semua dampak, krisis air bersih adalah masalah non-linier dan paling serius yang dihadapi Bali. Masyarakat Bali menghadapi tekanan ekologis yang semakin berat, dengan kekurangan air bersih secara spesifik disebutkan sebagai salah satu dampak overtourism. Konsumsi air yang tinggi oleh sektor pariwisata, terutama hotel dan vila mewah, menciptakan kompetisi langsung dengan kebutuhan penduduk lokal dan pertanian Subak.
Masalah kemacetan dapat diatasi dengan investasi infrastruktur besar. Namun, krisis air bersih mengancam keberlangsungan hidup dan sistem pertanian tradisional Bali. Jika sumber daya air habis atau terkontaminasi secara permanen, basis budaya dan ekologi Bali akan runtuh, membuat pariwisata sama sekali tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, krisis air ini adalah titik balik ekologis yang menuntut kebijakan segera seperti penerapan kuota penggunaan air per sektor, pengenaan tarif progresif air yang tinggi untuk penggunaan komersial, dan memprioritaskan konservasi sumber daya di atas pembangunan akomodasi baru. Tekanan ekologis diperburuk oleh banjir yang terjadi di mana-mana saat musim hujan.
Degradasi Nilai Budaya dan Spiritual
Overtourism menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang berdampak negatif, termasuk tergesernya nilai-nilai budaya dan spiritual. Konflik sosial-ekonomi muncul, dan banyak warga lokal merasa kehilangan kedamaian batin di ruang-ruang suci yang kini dipenuhi oleh investasi komersial. Degradasi budaya ini mengancam keunikan Bali sebagai daya tarik utama pariwisata. Studi menunjukkan perlunya pembuat kebijakan untuk mengadopsi strategi holistik yang mengintegrasikan pelestarian budaya ke dalam setiap perencanaan pariwisata.
Respons Kebijakan Bali Terkini
Sebagai respons, Pemerintah Provinsi Bali telah menerapkan Retribusi Wisatawan Asing (Pajak Turis) melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2023, yang mulai berlaku pada tahun 2024. Pajak ini bertujuan untuk mendanai konservasi dan pengelolaan alur masuk, dengan mekanisme pembayaran yang dirancang cepat. Sanksi administratif, termasuk teguran tertulis, larangan berwisata, atau denda, dapat dikenakan bagi wisatawan asing yang melanggar ketentuan. Selain itu, Kemenparekraf mempromosikan destinasi berbasis  sustainable tourism di Indonesia, termasuk Sangeh Monkey Forest di Bali, sebagai upaya desentralisasi.
Walaupun langkah fiskal ini positif, analisis menunjukkan bahwa Bali memerlukan intervensi yang melampaui sekadar retribusi. Masalah utama Bali adalah kurangnya integrasi antara pembangunan ekonomi pariwisata dan pelestarian budaya/ekologi. Solusi pariwisata regeneratif harus mengatasi krisis air sebagai prioritas ekologis dan membatasi pembangunan akomodasi baru di Bali Selatan, meniru model struktural Amsterdam dan Barcelona.
Table V.1. Matriks Dampak Kritis Overtourism di Bali
Sektor Dampak | Manifestasi Kritis | Implikasi bagi Penduduk Lokal | Rekomendasi Kebijakan Struktural Jangka Panjang |
Infrastruktur & Transportasi | Kemacetan parah di Bali Selatan, antrean bandara | Penurunan produktivitas, peningkatan biaya operasional, stres harian | Pembangunan underpass / jalan layang, realisasi Bandar Udara Bali Utara (BIBU) |
Lingkungan & Sumber Daya | Krisis air bersih, akumulasi sampah, banjir musiman | Tekanan ekologis, ancaman terhadap pertanian Subak, kompetisi sumber daya vital | Regulasi ketat penggunaan air komersial, peningkatan pengelolaan limbah terpusat. |
Sosial & Budaya | Tergesernya nilai spiritual, hilangnya kedamaian, konflik sosial-ekonomi | Kehilangan identitas komunitas, pergeseran permanen gaya hidup | Penguatan adat dalam perencanaan tata ruang, pembatasan konversi lahan suci, integrasi pelestarian budaya. |
Kerangka Kerja Menuju Pariwisata Berkelanjutan Dan Regeneratif
Paradigma Baru: Dari Sustainable ke Regenerative Tourism
Paradigma pariwisata saat ini harus beranjak melampaui sustainable tourism, yang hanya bertujuan meminimalkan dampak negatif dan mempertahankan status quo. Model yang diperlukan adalah  regenerative tourism. Pariwisata regeneratif bertujuan agar aktivitas wisata meninggalkan destinasi dalam kondisi yang lebih baik daripada sebelum kedatangan, berfokus pada restorasi ekologis dan penguatan budaya lokal, bukan sekadar memelihara status quo yang sudah terdegradasi.
Strategi Pengelolaan Permintaan dan Kualitas Wisatawan
Strategi kunci untuk mitigasi overtourism adalah menggeser fokus dari volume (kuantitas) ke nilai (kualitas). Pemerintah perlu berupaya menarik quality travelers atau wisatawan bernilai tinggi dan berdampak rendah (high-value, low-impact). Hal ini dapat dicapai melalui promosi yang terarah pada produk pariwisata berkelanjutan, seperti yang dilakukan oleh Amsterdam dengan wisata sepeda dan kafe ramah lingkungan.
Pengendalian permintaan juga memerlukan pembatasan akses, seperti penetapan batas maksimal akomodasi (Amsterdam) atau larangan izin baru (Barcelona) , yang merupakan cara langsung untuk mengendalikan kapasitas. Selain itu, Retribusi Wisman Bali harus dioptimalkan untuk memastikan dana yang terkumpul digunakan secara transparan dan tepat sasaran untuk mitigasi dampak  overtourism, khususnya perbaikan infrastruktur air dan pengelolaan sampah.
Strategi Desentralisasi dan Pengelolaan Konsentrasi
Desentralisasi destinasi sangat penting untuk mengelola konsentrasi pengunjung. Hal ini mencakup penggunaan retribusi dan regulasi transportasi untuk mendistribusikan wisatawan. Upaya ini harus didukung oleh promosi ekowisata dan destinasi baru, seperti rencana pembangunan Bandara Bali Utara. Indonesia telah mempromosikan beberapa destinasi berbasis sustainable tourism, seperti Taman Nasional Baluran, Ujung Kulon, dan Sangeh Monkey Forest di Bali, sebagai contoh desentralisasi dan pelestarian yang berhasil.
KESIMPULAN STRATEGIS
Overtourism adalah konsekuensi langsung dari ketidakseimbangan struktural antara kecepatan pertumbuhan ekonomi pariwisata dan lambatnya respons daya dukung sosial-ekologis. Kasus Bali mencerminkan krisis global ini, diperparah oleh kerentanan spesifik terhadap krisis air dan degradasi budaya. Keberlanjutan Bali di masa depan bergantung pada pergeseran segera dari kebijakan fiskal pasif menuju intervensi struktural proaktif yang berlandaskan batas daya dukung ekologis.
Rekomendasi Kebijakan Strategis untuk Bali:
- Pengendalian Suplai Akomodasi (Structural Cap): Direkomendasikan segera menerapkan moratorium atau pembatasan izin pembangunan hotel dan vila baru di Bali Selatan, serta wilayah yang terancam krisis air. Kebijakan ini harus meniru model struktural yang efektif diterapkan di Amsterdam dan Barcelona , yang membatasi suplai untuk mengendalikan volume.
- Manajemen Sumber Daya Air Terpadu sebagai Prioritas Utama: Menerapkan regulasi yang sangat ketat terhadap penggunaan air bersih oleh sektor komersial pariwisata, termasuk sistem kuota dan tarif progresif yang tinggi. Krisis air harus diakui sebagai ancaman eksistensial, dan perencanaan tata ruang (RTRW) harus direvisi untuk memasukkan batas daya dukung ekologis sebagai variabel utama.
- Investasi Infrastruktur Berkelanjutan: Mendesak pelaksanaan proyek desentralisasi infrastruktur (misalnya, Bandar Udara Bali Utara) dan solusi kemacetan (jalan layang/underpass) yang didanai secara transparan dan signifikan dari Retribusi Wisman.
- Prioritas Pelestarian Budaya dan Spiritual: Menguatkan peraturan untuk melindungi ruang-ruang suci dan memastikan integrasi nilai-nilai budaya lokal dalam setiap perencanaan pariwisata, memberikan jaminan hukum agar nilai-nilai ini tidak tergeser oleh investasi komersial.
- Pergeseran Model Promosi Destinasi: Mengalihkan fokus kampanye pariwisata dari pencapaian volume massal ke menarik wisatawan berkualitas tinggi (high-value, low-impact) yang memiliki kecenderungan untuk berpartisipasi dalam pariwisata berkelanjutan dan regeneratif.