Mengenal Tari Bali : Dinamika Warisan Budaya
Tari Bali adalah sebuah tradisi seni kuno yang menjadi bagian integral dari ekspresi keagamaan dan artistik masyarakat Bali. Lebih dari sekadar pertunjukan, tari Bali merupakan manifestasi organik yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai masyarakat pendukungnya. Inti dari setiap tarian adalah pencarian keseimbangan hidup, baik antara aspek fisik dan mental, laki-laki dan perempuan, maupun spiritual dan material. Hal ini selaras dengan filosofi Hindu Bali yang fundamental, yaitu Tri Hita Karana, yang secara harfiah berarti “tiga penyebab kesejahteraan” atau “tiga alasan untuk kemakmuran”.
Filosofi ini menjadi fondasi bagi kehidupan di Bali dan terbagi menjadi tiga pilar utama :
- Parahyangan: Merujuk pada hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), yang diwujudkan melalui berbagai ritual, upacara, dan persembahan.
- Pawongan: Menekankan pentingnya menjaga hubungan yang harmonis antar sesama manusia, tercermin dalam semangat gotong royong dan sistem komunitas tradisional yang kuat seperti Banjar.
- Palemahan: Berfokus pada hubungan yang seimbang dan harmonis antara manusia dengan lingkungan atau alam.
Klasifikasi tari Bali menjadi tiga genre—Wali, Bebali, dan Balih-balihan—adalah cerminan langsung dari filosofi Tri Hita Karana. Kategori Wali dan Bebali secara eksplisit melayani pilar Parahyangan dengan tujuan persembahan dan ritual keagamaan. Sementara itu,  Balih-balihan melayani pilar Pawongan melalui fungsinya sebagai media hiburan dan interaksi sosial. Bahkan, tarian kreasi baru seperti Tari Sekar Jagat yang terinspirasi dari keindahan alam atau Tari Oleg Tamulilingan yang menggambarkan sepasang kupu-kupu mencerminkan pilar Palemahan, menunjukkan bahwa seluruh ekosistem tari Bali adalah wujud konkret dari prinsip filosofis yang lebih besar.
Selain itu, tarian tradisional Bali berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan dunia nyata (sekala) dengan dunia tak kasat mata (niskala). Seni tari, terutama yang bersifat trance seperti Tari Sanghyang, diyakini dapat memanggil roh suci untuk merasuki penari dan memberikan perlindungan. Demikian pula, pementasan  Tari Barong yang melambangkan pertarungan antara kebaikan (Barong) dan kejahatan (Rangda) adalah ritual yang bertujuan untuk memulihkan keseimbangan kosmik yang terganggu, seperti saat terjadi wabah penyakit. Dengan demikian, tari Bali bukan hanya seni, melainkan praktik spiritual yang fundamental untuk mencapai kesejahteraan individu dan kolektif.
Klasifikasi dan Genre: Tiga Pilar Tari Tradisional Bali
Pada tahun 2015, UNESCO secara resmi mengakui tiga genre tari tradisional Bali sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan, yang menjadi kunci untuk memahami peran dan fungsinya dalam masyarakat. Ketiga genre tersebut adalah  Wali, Bebali, dan Balih-balihan, yang membedakan tarian berdasarkan tingkat kesakralannya dan lokasi pementasannya.
Tari Wali: Seni Sakral yang Murni
Wali adalah kategori tarian yang paling sakral, di mana fungsinya murni sebagai persembahan ritual kepada para dewa atau roh suci. Tarian ini tidak bersifat menghibur dan hanya boleh dipentaskan di area paling dalam pura, yang disebut jeroan, pada waktu dan suasana yang dianggap suci. Tujuannya adalah untuk menolak bala atau memanggil entitas spiritual, dan sering kali melibatkan unsur  trance atau kerasukan.
Beberapa contoh tarian Wali meliputi:
- Tari Rejang: Tarian upacara yang ditarikan oleh sekelompok wanita muda yang mengenakan busana adat, seperti yang dipentaskan dalam upacara di Distrik Klungkung. Contoh spesifiknya adalah  Tari Rejang Pusung dari Karangasem, yang unik karena penarinya memakai hiasan kepala dari kulit jeruk jeruti, mencerminkan kesakralan dan kesederhanaan gerakannya.
- Tari Sanghyang Dedari: Tarian sakral yang dipercaya dapat memanggil roh suci untuk merasuki penari dan menolak kekuatan supernatural negatif.
- Tari Baris Upacara: Tarian sakral yang menampilkan kelompok penari pria dalam jumlah genap untuk menyampaikan semangat kepahlawanan dan menyambut dewa.
Tari Bebali: Perpaduan Ritual dan Dramaturgi
Bebali berada di antara Wali dan Balih-balihan, menjadikannya seni yang semi-sakral. Tarian ini berfungsi sebagai pelengkap upacara, dipentaskan di halaman tengah pura (jaba tengah), dan meskipun mengandung unsur ritual, juga memiliki elemen dramatisasi dan hiburan. Bebali sering kali menceritakan kisah-kisah epik seperti Ramayana, Mahabharata, atau sejarah kerajaan, menjadikannya media edukasi budaya bagi masyarakat.
Contoh-contoh tarian Bebali adalah:
- Tari Topeng Sidakarya: Tarian topeng yang sangat sakral, dipentaskan sebagai bagian dari upacara metatah (upacara akil balig) atau perayaan di pura. Topeng-topengnya dianggap suci dan merepresentasikan nenek moyang atau tokoh sejarah.
- Drama Tari Gambuh: Drama tari klasik yang dianggap sebagai sumber dari banyak tarian Bali lainnya. Gerakannya cenderung lambat dan bermakna mendalam, sering dipentaskan di pura-pura utama di Gianyar.
- Drama Tari Wayang Wong: Tarian yang menceritakan epos Ramayana dengan penari yang mengenakan topeng, menggabungkan seni peran dan tari.
Tari Balih-balihan: Seni untuk Hiburan dan Kreasi
Balih-balihan adalah tarian yang bersifat non-religius dan ditujukan murni sebagai hiburan profan. Tarian ini biasanya dipentaskan di halaman depan pura (jabaan) atau di luar kompleks pura, sering kali berfungsi sebagai tarian selamat datang atau pertunjukan komersial. Kategori ini menunjukkan fleksibilitas dan kemampuan tari Bali untuk beradaptasi dengan perubahan fungsi dan konteks.
Transformasi Tari Pendet adalah studi kasus yang menarik tentang fluiditas fungsional ini. Awalnya, Pendet adalah tarian wali yang bersifat sakral, bagian dari upacara piodalan di jeroan pura. Namun, pada tahun 1961, maestro I Wayan Beratha mengembangkannya menjadi tarian massal yang menampilkan hingga 800 penari untuk diperkenalkan pada pembukaan Asian Games 1962 di Jakarta. Perubahan ini mengubah konteksnya dari upacara menjadi pertunjukan, memberikan fungsi baru sebagai tarian selamat datang. Transformasi ini menunjukkan bahwa budaya Bali memiliki kemampuan adaptasi strategis yang memungkinkannya mempertahankan relevansi di era modern tanpa sepenuhnya mengorbankan fungsi aslinya. Seni ini dapat menjadi sumber mata pencaharian dan media promosi budaya di panggung global.
Tabel 1: Klasifikasi Tari Bali Berdasarkan Fungsi dan Konteks
Kategori | Fungsi Utama | Konteks & Lokasi Pementasan | Contoh Tarian |
Wali (Sakral) | Persembahan ritual, memanggil roh suci, penolak bala. | Pura bagian jeroan (dalam), tempat suci, waktu yang dianggap suci. | Rejang, Sanghyang Dedari, Baris Upacara |
Bebali (Semi-Sakral) | Pelengkap upacara, media penceritaan epik. | Halaman tengah pura (jaba tengah). | Topeng Sidakarya, Drama Tari Gambuh, Wayang Wong |
Balih-balihan (Hiburan) | Hiburan, tarian selamat datang, kreasi non-religius. | Halaman depan pura (jabaan), panggung komersial, acara sosial. | Pendet (versi kreasi), Legong Kraton, Joged Bumbung, Barong Ket |
Gerak, Musik, dan Simbolisme: Bahasa Visual Tari Bali
Tari Bali memiliki bahasa visual yang terstandarisasi, terdiri dari gerakan tubuh yang sangat ekspresif, ritme musik yang khas, dan kostum yang kaya makna. Gerakan penari dikoordinasikan secara erat dengan ritme yang dihasilkan oleh gamelan, sebuah ansambel musik yang merupakan jantung dari tari Bali.
Tiga gerakan dasar utama yang membentuk fondasi tari Bali adalah agem, tandang, dan tangkep :
- Agem: Merupakan sikap pokok penari yang tidak berubah, dengan variasi posisi tubuh, tangan, dan kaki yang berbeda untuk penari pria dan wanita. Posisi ini sering melibatkan lutut yang ditekuk (ngood), tangan yang presisi, dan berat badan yang terdistribusi secara seimbang.
- Tandang: Merupakan cara penari berpindah dari satu sikap agem ke agem lainnya, menciptakan kesinambungan dan aliran gerak yang harmonis.
- Tangkep: Merupakan ekspresi wajah yang menampilkan penjiwaan dan emosi karakter yang dibawakan. Gerakan mata (sledet), kepala, dan mimik wajah sangat penting untuk menyampaikan narasi tarian.
Gerakan-gerakan ini dilengkapi dengan serangkaian gerakan spesifik tangan (luk nerudut, nyalud), jari (jeriring, ngempurit), leher (ulu wangsul), dan badan (ngelo, ngelung). Meskipun beberapa sumber berspekulasi bahwa jumlah isyarat tangan (mudras) di Bali lebih sedikit dibandingkan di India karena mudras mungkin telah “terlupakan” dalam transmisi budaya, kenyataannya adalah sistem gerakan Bali memiliki kodifikasi yang sangat rinci dan terperinci. Gerakan-gerakan tersebut tidak dilupakan, melainkan diadaptasi dan diintegrasikan ke dalam narasi dan estetika lokal, menunjukkan tari Bali sebagai hasil dari sintesis budaya yang kreatif dan aktif.
Musik yang mengiringi tarian adalah gamelan, yang memiliki karakteristik berbeda dari gamelan Jawa. Gamelan Bali umumnya memiliki tempo yang lebih cepat dan dinamis, dengan penggunaan metalofon yang lebih banyak dan suara yang lebih nyaring. Penggunaan simbal yang cepat juga menjadi ciri khas yang tidak ditemukan dalam gamelan Jawa. Harmoni musik ini menjadi denyut nadi yang memandu setiap gerakan penari, termasuk perubahan tempo dan dinamika yang tiba-tiba.
Simbolisme juga tertanam dalam kostum dan riasan penari. Pakaian adat Bali didasarkan pada konsep Tri Angga, yang membagi tubuh manusia menjadi tiga bagian filosofis: Dewa Angga (dari leher ke kepala), Manusa Angga (dari pusar ke leher), dan Butha Angga (dari pusar ke bawah). Setiap komponen pakaian memiliki makna yang dalam:
- Bagi penari pria, udeng (ikat kepala) melambangkan pengendalian diri. Ujung kancut (kain) yang menyentuh tanah adalah simbol penghormatan kepada ibu pertiwi, sedangkan saputan (kain luar) berfungsi untuk menutupi kancut sebagai simbol pengendalian kejantanan.
- Bagi penari wanita, kamen dililit dari kanan ke kiri, melambangkan peran wanita sebagai sakti yang menjaga laki-laki agar tidak menyimpang dari Dharma. Â Bulang (korset) berfungsi untuk mengendalikan emosi dan melindungi rahim. Senteng (selendang) yang terlihat di luar kebaya melambangkan kesiapan untuk menjaga Dharma.
Tokoh-Tokoh Penting: Maestro dan Inovator Seni Tari Bali
Perkembangan tari Bali tidak lepas dari peran para seniman dan maestro visioner yang tidak hanya melestarikan, tetapi juga berinovasi untuk menjaga vitalitas tradisi. Karya-karya mereka menjadi fondasi bagi seni tari modern dan kontemporer di Bali.
- I Wayan Limbak dan Walter Spies: Pada tahun 1930-an, seniman Bali I Wayan Limbak berkolaborasi dengan Walter Spies, seorang pelukis asal Jerman, untuk mengembangkan Tari Kecak.  Kecak awalnya adalah ritual Sanghyang yang melibatkan trance dan paduan suara pria. Mereka mengadaptasinya menjadi drama tari yang dramatis, mengambil kisah dari epos  Ramayana untuk audiens Barat. Upaya ini berhasil mempopulerkan  Kecak secara global melalui tur-tur internasional yang diatur oleh Limbak.
- I Wayan Beratha: Seorang maestro gamelan dan koreografer yang sangat produktif, I Wayan Beratha lahir pada tahun 1926 dan mendedikasikan hidupnya untuk seni karawitan dan tari Bali. Kontribusi terbesarnya adalah mengadaptasi  Tari Pendet dari tarian ritual menjadi tarian selamat datang yang dapat ditarikan secara massal. Melalui pementasan massal untuk Asian Games 1962, ia berhasil memperkenalkan tarian Bali ke panggung internasional. Beratha juga menciptakan sejumlah karya penting lainnya, seperti drama tari  Ramayana dan Tari Manukrawa.
- I Nyoman Kaler: Lahir pada tahun 1892, I Nyoman Kaler merupakan maestro seni yang menciptakan Tari Panji Semirang pada tahun 1942. Tarian ini unik karena menampilkan penari wanita yang memerankan karakter pria, sebuah inovasi signifikan di masanya. Ia belajar dari kakek dan ayahnya, serta dari sejumlah guru lain, menjadikannya seniman yang menguasai berbagai instrumen gamelan dan tarian  pagambuhan.
- Ni Ketut Arini: Sebagai salah satu maestro perempuan, Ni Ketut Arini dikenal karena perannya dalam melestarikan tari klasik Bali. Ia meneruskan sanggar tari pamannya, I Wayan Rindi, dan merevitalisasi tarian-tarian klasik yang hampir punah seperti Condong dan Legong. Dalam mengajar generasi muda, ia menerapkan strategi unik dengan menggunakan iringan gamelan, bukan hitungan, untuk membangkitkan semangat dan kecintaan pada seni.
- I Nyoman Cerita: Dikenal sebagai tokoh inovatif yang memiliki kemampuan nyeraki (serba bisa), I Nyoman Cerita mampu menciptakan koreografi, musik pengiring, dan konsep kostumnya sendiri untuk setiap karyanya. Karyanya sering menunjukkan inovasi, seperti penggunaan properti tari (pajeng dan kipas) yang dapat memiliki berbagai fungsi, menunjukkan pendekatan yang kreatif dan modern terhadap seni tradisional.
Secara kolektif, kontribusi para maestro ini menunjukkan bahwa inovasi bukanlah ancaman, melainkan merupakan mekanisme penting dalam pelestarian budaya. Alih-alih membiarkan ritual kuno tetap terisolasi di desa-desa, seniman seperti I Wayan Limbak dan I Wayan Beratha mengemasnya kembali untuk audiens global, memastikan keberlangsungan dan relevansinya di era modern. Dengan menciptakan karya-karya baru yang tetap berakar pada nilai-nilai tradisional, mereka membuktikan bahwa seni tari Bali adalah sebuah tradisi yang hidup, yang terus-menerus berkembang dan beradaptasi untuk tetap abadi.
Tabel 2: Kontribusi Penting dari Maestro dan Inovator Tari Bali
Nama Tokoh | Karya & Kontribusi Utama | Keterangan Tambahan |
I Wayan Limbak & Walter Spies | Mengembangkan Tari Kecak dari ritual Sanghyang menjadi drama tari modern. | Mempopulerkan Kecak secara global, mengubahnya dari ritual lokal menjadi daya tarik wisata dunia. |
I Wayan Beratha | Mengembangkan Tari Pendet untuk pertunjukan massal; pencipta Tari Manukrawa. | Maestro gamelan dan koreografer produktif; membawa tari Bali ke panggung internasional. |
I Nyoman Kaler | Menciptakan Tari Panji Semirang pada tahun 1942. | Tarian ini menampilkan penari wanita yang memerankan karakter pria, sebuah inovasi di masanya. |
Ni Ketut Arini | Pelestari tari klasik; merevitalisasi tarian yang hampir punah. | Meneruskan sanggar tari pamannya dan menjadi guru bagi ribuan penari di berbagai negara. |
I Nyoman Cerita | Koreografer inovatif dengan kemampuan nyeraki (serba bisa). | Mampu menciptakan gerak tari, musik, dan kostumnya sendiri untuk setiap karyanya. |
Tari Bali di Era Kontemporer: Antara Transformasi dan Pelestarian
Tari Bali di masa kini berada di persimpangan jalan antara mempertahankan tradisi yang dihormati dan beradaptasi dengan tuntutan dunia global. Interaksi yang paling signifikan terjadi dengan industri pariwisata.
Pariwisata membawa tantangan sekaligus peluang. Di satu sisi, ada dampak negatif seperti komersialisasi budaya yang berlebihan. Upacara dan tarian kadang disajikan hanya untuk mendapatkan keuntungan finansial, bahkan dipotong durasinya agar sesuai dengan jadwal turis, yang berpotensi mengikis keaslian dan makna spiritualnya. Namun, di sisi lain, pariwisata juga memacu masyarakat Bali untuk secara aktif melestarikan kebudayaan mereka. Hal ini memberikan motivasi ekonomi yang kuat bagi para seniman dan komunitas untuk terus berlatih dan menampilkan seni mereka di hadapan audiens yang lebih luas. Pengakuan global yang datang dari pariwisata juga menempatkan tarian Bali sebagai simbol kebanggaan budaya Indonesia di mata dunia.
Di samping pariwisata, seni tari Bali juga terus mengalami perkembangan melalui penciptaan kreasi baru. Sejak era setelah kemerdekaan Indonesia, banyak koreografer yang menciptakan tarian-tarian baru, seperti Tari Sekar Jagat, Tari Wirayuda, dan Tari Janger. Meskipun tarian-tarian ini bersifat modern dan terkadang menggunakan gerakan yang dianggap “tidak pantas” untuk tarian sakral, fondasinya tetap berakar pada nilai-nilai dan estetika tradisional. Perubahan yang terjadi lebih pada komposisi dan interpretasi gerak, menunjukkan adanya kebebasan artistik yang lebih besar tanpa meninggalkan identitas budaya.
Pengakuan global terhadap tari Bali mencapai puncaknya pada tahun 2015 ketika UNESCO menetapkannya sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan. Proses ini difasilitasi oleh pemetaan yang dilakukan oleh tim dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Proses formalisasi ini, meskipun bertujuan mulia untuk pelestarian, juga menunjukkan sebuah paradoks. Untuk diakui secara global, seni yang bersifat organik dan dinamis harus “dipetakan” dan dikategorikan secara kaku, yang bisa jadi berlawanan dengan sifat alaminya yang terus berubah. Namun, di sisi lain, pengakuan ini memberikan validasi internasional yang kuat, membantu melawan dampak komersialisasi yang dapat merendahkan nilai-nilai budaya dan memberikan alat promosi yang sangat efektif.
Di masa kini, pelestarian tarian juga memanfaatkan teknologi digital, di mana generasi muda (Gen Z) mulai menggunakan media sosial dan platform digital untuk mempelajari, menampilkan, dan mempromosikan seni tari Bali. Ini menjadi indikasi bahwa warisan budaya ini memiliki prospek yang cerah untuk terus hidup di tengah arus globalisasi.
Kesimpulan
Tari Bali adalah sebuah tradisi yang hidup—seni kuno yang terus berdenyut di jantung masyarakat modern. Tulisan ini menunjukkan bahwa tari Bali tidak statis, melainkan sebuah warisan yang terus-menerus dibentuk oleh sejarah, spiritualitas, dan inovasi. Dengan memahami akarnya yang sakral (Wali), peran sosialnya (Bebali), dan adaptasinya yang kreatif (Balih-balihan), kita dapat mengapresiasi kedalaman budaya yang terkandung di dalamnya. Peran para maestro, baik yang klasik maupun inovatif, adalah kunci dalam memastikan bahwa tarian ini tetap relevan dan lestari. Meskipun pariwisata membawa tantangan komersialisasi, ia juga menyediakan panggung global dan motivasi pelestarian yang kuat. Di masa depan, integrasi dengan teknologi dan partisipasi generasi muda akan menjadi krusial untuk memastikan warisan ini terus menari, hidup, dan memancarkan pesona Tri Hita Karana kepada dunia.