Loading Now

 Industri Rokok Indonesia—Dari Pilar Ekonomi Hingga Beban Kesehatan Publik dan Lingkungan

Industri rokok di Indonesia merupakan sebuah fenomena ekonomi, sosial, dan kultural yang sarat dengan kontradiksi. Di satu sisi, industri ini telah lama menjadi pilar vital bagi perekonomian nasional, berkontribusi secara substansial pada penerimaan negara dan menyediakan jutaan lapangan pekerjaan. Di sisi lain, keberadaannya membawa beban kesehatan publik, dampak lingkungan, dan tantangan regulasi yang signifikan. Tulisan ini menyajikan analisis komprehensif terhadap industri rokok Indonesia, mengupasnya dari tiga pilar utama: sejarah yang membentuknya, kondisi saat ini yang menampilkan peran ekonomi yang dipertanyakan, serta tantangan multidimensi yang membutuhkan kebijakan yang cerdas dan terintegrasi. Analisis ini menyoroti bagaimana dilema antara keuntungan ekonomi jangka pendek dan biaya sosial jangka panjang menjadi inti dari pergulatan kebijakan yang sedang berlangsung.

Akar Sejarah dan Transformasi Industri: Kretek sebagai Identitas Nasional

Kisah Lahirnya Kretek: Dari Obat Pribadi Menjadi Produk Budaya

Kisah industri rokok di Indonesia, khususnya rokok kretek, dimulai dari sebuah penemuan personal yang bersifat kebetulan. Pada tahun 1880, di kota Kudus, Jawa Tengah, seorang warga bernama Haji Jamhari mencampurkan cengkih ke dalam tembakau untuk meredakan rasa sakit di dadanya yang diduga disebabkan oleh asma. Dia bereksperimen dengan meracik rokok tersebut, dengan harapan menghirup asapnya dapat memperbaiki kondisi paru-parunya. Konon, sakitnya pun sembuh. Penemuan tak disengaja ini kemudian dipasarkan sebagai “obat” dan dinamai ‘kretek’, meniru bunyi “kemeretek” yang dihasilkan oleh cengkih saat terbakar.

Perkembangan dari penemuan individu ini menjadi sebuah industri modern tidak lepas dari peran seorang visioner bernama Nitisemito. Ia dikenal sebagai “Bapak Industri Kretek” karena berhasil mentransformasi produksi rumahan sederhana menjadi produksi massal. Dengan meluncurkan merek “Bal Tiga” yang disertai kampanye pemasaran inovatif, Nitisemito meletakkan fondasi bagi industri raksasa yang kini memiliki cakupan mendunia. Meskipun perusahaan Bal Tiga bangkrut pada tahun 1955, praktik produksi yang dirintisnya telah mengubah skala manufaktur kretek secara permanen. Hingga kini, Kudus tetap menjadi titik fokal industri kretek, tempat mayoritas dari sekitar 600 pabrikan kretek di Indonesia beroperasi. PT Djarum, salah satu perusahaan raksasa di industri ini, mempekerjakan sekitar 60.000 warga Kudus, menunjukkan betapa dalamnya industri ini terintegrasi dalam struktur sosial dan ekonomi regional.

Kebangkitan Raksasa Industri: Dinamika Pasar Oligopolistik

Fondasi yang diletakkan Nitisemito kemudian diikuti oleh lahirnya konglomerat lain yang mendominasi pasar. Pada tahun 1958, Surya Wonowidjojo, dengan nama Tionghoa Tjoa Jien Hwie, mendirikan PT Gudang Garam Tbk. di Kediri. Dimulai dari industri rumahan yang memproduksi sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret kretek klobot (SKL), perusahaan ini tumbuh pesat dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya pada tahun 1990 . Dengan luas pabrik yang berkembang dari hanya 1.000 meter persegi menjadi 208 hektare, Gudang Garam menjadi produsen kretek terbesar di Indonesia .

Struktur pasar rokok di Indonesia saat ini dicirikan oleh oligopoli yang didominasi oleh dua pemain utama: PT Gudang Garam Tbk. dan PT Djarum. Meskipun terdapat pemain lain seperti PT Indonesian Tobacco Tbk. (ITIC) yang fokus pada produk tembakau iris, dinamika pasar utama tetap berada di tangan dua raksasa ini. Pergolakan ini mencerminkan tren ekonomi nasional yang lebih luas, di mana konglomerat yang berawal dari bisnis keluarga berhasil mendominasi dan membentuk pasar.

Wawasan Mendalam: Hubungan, Kontradiksi, dan Implikasi

Narasi historis industri rokok mengandung sebuah kontradiksi yang kuat dan mendalam. Kretek pertama kali ditemukan sebagai “obat” untuk meredakan sakit dada, namun kini industri ini menjadi subjek kritik keras karena dampak kesehatannya yang merugikan. Pemahaman akan kontradiksi ini memberikan landasan untuk analisis yang lebih seimbang, yang tidak hanya melihat industri ini sebagai entitas ekonomi semata, tetapi juga sebagai fenomena sosio-kultural yang kompleks.

Evolusi industri kretek dari produksi rumahan menjadi oligopoli modern adalah mikrokosmos dari sejarah ekonomi Indonesia. Cerita ini menunjukkan bagaimana inisiatif individual dapat menciptakan lapangan kerja masif dan identitas regional yang kuat, terutama di kota-kota seperti Kudus dan Kediri. Keterkaitan yang mendalam antara industri rokok dan masyarakat ini menjadi akar dari dilema kebijakan. Setiap upaya untuk mengendalikan industri ini tidak hanya menyentuh aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosio-kultural dan mata pencaharian ribuan orang, menjadikannya isu yang sensitif dan seringkali terpolitisasi.

Keberadaan Saat Ini: Pilar Ekonomi yang Terus Dipertanyakan

Kontribusi Fiskal dan Penyerapan Tenaga Kerja

Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia memiliki peran ekonomi yang tidak dapat diabaikan. Industri ini adalah salah satu penyumbang terbesar bagi penerimaan negara, terutama melalui Cukai Hasil Tembakau (CHT). Pada tahun 2020, penerimaan cukai mencapai Rp 170,24 triliun, meningkat menjadi Rp 188,81 triliun pada tahun 202, dan mencapai Rp 213,48 triliun pada tahun 2023. Angka-angka ini menunjukkan tren peningkatan penerimaan absolut, meskipun total penerimaan Bea Cukai pada tahun 2024 tidak mencapai target yang ditetapkan.

Selain kontribusi fiskal, IHT juga merupakan penyerap tenaga kerja yang masif. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2019, industri ini menyerap 4,28 juta tenaga kerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta 1,7 juta di sektor perkebunan, menjadikannya sektor kelima terbesar dalam hal penyerapan tenaga kerja. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2023, sekitar 1,46 juta orang bekerja di sektor pengolahan tembakau. Secara khusus, PT HM Sampoerna Tbk. menyatakan mempekerjakan 90.000 pekerja langsung dan tidak langsung hingga pertengahan tahun 2024.

Dinamika Pasar dan Tren Konsumsi Kontemporer

Struktur pasar rokok Indonesia didominasi oleh dua perusahaan besar. Tulisan finansial PT HM Sampoerna Tbk. pada semester I 2024 mengklaim pangsa pasar sebesar 27%, sementara sumber lain menyebutkan Gudang Garam sebagai produsen terbesar dengan pangsa pasar lebih dari 30%. Perbedaan data ini mengindikasikan kompleksitas dalam pemetaan pasar yang dinamis.

Dari sisi produksi, industri rokok mengalami tren penurunan dari tahun 2016 hingga 2018, dengan produksi terendah tercatat 332 miliar batang pada 2018. Namun, terjadi lonjakan produksi pada Juli 2024, yang menjadikan produksi kumulatif Januari-Juli 2024 sebagai yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Fenomena downtrading—peralihan konsumen ke rokok dengan harga lebih murah—juga menjadi tren yang signifikan. Menteri Keuangan menjelaskan bahwa penurunan produksi rokok Golongan I yang mahal diimbangi dengan kenaikan produksi rokok Golongan II dan III.

Perkembangan signifikan lainnya adalah munculnya produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik (vape). Indonesia kini berada di peringkat pertama dunia dengan persentase pengguna rokok elektrik sebesar 25% pada tahun 2023. Tren ini sangat dominan di kalangan Generasi Z, khususnya di daerah perkotaan yang memiliki tingkat urbanisasi tinggi seperti DI Yogyakarta, Bali, dan DKI Jakarta. Meskipun industri mempromosikan produk ini sebagai “lebih sehat” atau alat untuk berhenti merokok, penelitian menunjukkan bahwa rokok elektrik mengandung banyak bahan kimia berbahaya yang sama seperti rokok konvensional.

Berikut adalah ringkasan kontribusi ekonomi industri hasil tembakau di Indonesia, yang menunjukkan tren yang kompleks dan sering kali paradoks.

Tabel 1: Kontribusi Ekonomi Industri Hasil Tembakau (IHT) Indonesia

Tahun Penerimaan Cukai (triliun Rupiah) Kontribusi PDB (%) Total Penyerapan Tenaga Kerja (juta orang)
2019 5.98
2020 170.24
2021 188.81 3.98
2023 213.48 0.71 1.46

Analisis Kritis: Paradoks Ekonomi dan Adaptasi Pasar

Penerimaan cukai hasil tembakau telah menjadi sandaran fiskal pemerintah, menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Namun, pada saat yang sama, kontribusi industri ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) justru menurun, dari 0.98% pada tahun 2010 menjadi 0.71% pada tahun 2023. Fenomena ini mengungkapkan sebuah paradoks: pemerintah semakin bergantung pada cukai sebagai sumber pendapatan yang “mudah”, sementara peran industri dalam menggerakkan ekonomi riil (di luar pajak) tampak melemah. Ini menciptakan ketergantungan fiskal yang berisiko, terutama jika kebijakan pengendalian konsumsi di masa depan berhasil mengurangi jumlah perokok secara signifikan.

Fenomena downtrading juga merupakan konsekuensi langsung dari kebijakan kenaikan cukai. Meskipun kenaikan harga rokok premium mungkin berhasil mengurangi konsumsinya, hal ini justru mendorong konsumen beralih ke rokok yang lebih murah, yang memiliki tarif cukai lebih rendah. Ini bisa membuat total jumlah perokok tidak berkurang, melainkan hanya berpindah segmen.

Munculnya produk alternatif seperti rokok elektrik memperlihatkan adaptasi industri yang cerdik terhadap tekanan regulasi. Dengan rokok konvensional yang semakin diatur ketat, industri menggeser fokus ke produk baru yang masih memiliki celah regulasi, terutama dalam hal pemasaran kepada kaum muda. Pergeseran ini tidak hanya menciptakan pasar baru, tetapi juga potensi ancaman kesehatan publik yang belum terukur sepenuhnya, terutama di kalangan generasi muda yang belum pernah merokok sebelumnya.

Tantangan Multidimensi: Konflik Kepentingan dan Pergulatan Kebijakan

Beban Kesehatan Publik dan Ekonomi Tersembunyi

Di balik kontribusi ekonomi yang masif, industri rokok di Indonesia membawa beban sosial yang signifikan. Data menunjukkan tren peningkatan prevalensi perokok anak yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2013, prevalensi perokok anak (usia 10-18 tahun) berjumlah 2 juta jiwa, meningkat menjadi 4,1 juta pada tahun 2018, dan terus melonjak hingga 5,9 juta pada tahun 2023. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 memperkuat temuan ini, dengan menunjukkan bahwa 7,4% dari perokok aktif berusia 10-18 tahun.

Beban ekonomi akibat rokok juga sangat besar dan sering kali tersembunyi. Studi dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa biaya ekonomi kesehatan yang disebabkan oleh rokok mencapai Rp 17,9 hingga 27,7 triliun. Analisis makroekonomi yang lebih tua bahkan memperkirakan kerugian ekonomi sebesar Rp 44 triliun pada tahun 2005. Angka-angka ini mencerminkan biaya pengobatan, hilangnya produktivitas, dan kematian dini yang diakibatkan oleh penyakit terkait rokok, seperti penyakit paru-paru, penyakit jantung koroner, impotensi, dan berbagai jenis kanker.

Tabel 2: Tren Prevalensi Perokok di Indonesia, 2013-2023

Tahun Jumlah Perokok Anak (10-18 tahun) Keterangan Sumber Data
2013 2 juta Peningkatan dari 2013 ke 2018 sebesar 2.1 juta Riskesdas
2018 4.1 juta Peningkatan dari 2018 ke 2023 sebesar 1.8 juta Riskesdas
2023 5.9 juta Riskesdas

Pergulatan Regulasi dan Kebijakan Publik

Pemerintah Indonesia menghadapi dilema akut dalam merumuskan kebijakan terkait tembakau. Di satu sisi, kenaikan cukai rokok dipandang sebagai strategi paling efektif untuk mengendalikan konsumsi dan meningkatkan penerimaan negara. Namun, di sisi lain, kebijakan ini memicu peningkatan peredaran rokok ilegal, sebuah argumen yang kerap digunakan oleh industri rokok untuk menentang kenaikan cukai .

Tantangan regulasi juga muncul dalam upaya pengendalian promosi. Pemerintah telah memberlakukan pembatasan iklan rokok di media siar sejak lama. Namun, peraturan terbaru yang dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 melarang secara spesifik iklan produk tembakau konvensional dan rokok elektrik di media sosial. Aturan ini merupakan respons langsung terhadap peningkatan pesat paparan iklan rokok online di kalangan remaja.

Wacana kebijakan lain yang menuai kontroversi adalah Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang kemasan polos (plain packaging) untuk produk rokok. Kebijakan ini ditentang keras oleh industri dan para pengusaha ritel. Mereka berpendapat bahwa kemasan polos akan melanggar hak kekayaan intelektual (HAKI) dan justru akan memperparah peredaran rokok ilegal. Di sisi lain, pelaku ritel menyoroti kurangnya sosialisasi dan potensi praktik pungutan liar (pungli) di lapangan.

Posisi Indonesia dalam Arus Global: Non-ratifikasi WHO-FCTC

Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (WHO-FCTC), meskipun delegasinya pernah terlibat aktif dalam perumusan konvensi ini sejak tahun 1996. Keputusan ini mencerminkan kuatnya pengaruh lobi industri rokok di dalam negeri.

Keterbatasan komitmen ini terlihat jelas saat membandingkan kebijakan Indonesia dengan strategi pengendalian tembakau global yang direkomendasikan WHO, yang dikenal dengan paket MPOWER. Analisis menunjukkan bahwa Indonesia baru memenuhi satu dari enam langkah MPOWER secara penuh, yaitu monitoring. Langkah-langkah krusial lainnya seperti larangan total iklan, peringatan bahaya yang efektif, dan kenaikan cukai yang signifikan masih belum diimplementasikan secara komprehensif.

Tabel 3: Perbandingan Kebijakan Pengendalian Tembakau: WHO-FCTC vs. Indonesia

Langkah MPOWER Deskripsi Kebijakan Status Implementasi di Indonesia
Monitoring Memantau penggunaan tembakau dan kebijakan pencegahannya Telah diterapkan
Protecting Melindungi publik dari asap rokok Sebagian (Perda Kawasan Tanpa Rokok, namun penegakan masih lemah)
Offering help Menawarkan bantuan untuk berhenti merokok Sebagian (layanan konseling terbatas di beberapa faskes)
Warning Memberi peringatan tentang bahaya tembakau Sebagian (peringatan bergambar, namun tidak optimal dan tidak diimplementasikan secara menyeluruh)
Enforcing bans Menegakkan larangan iklan, promosi, dan sponsorship Sebagian (larangan di media sosial melalui PP 28/2024, namun masih ada celah)
Raising taxes Menaikkan pajak atas tembakau Sebagian (kenaikan cukai tahunan, namun dampaknya pada prevalensi masih dipertanyakan)

Analisis Kritis: Perhitungan yang Terlewatkan dan Celan Regulasi

Perhitungan ekonomi yang hanya fokus pada penerimaan cukai tanpa memperhitungkan beban biaya kesehatan menciptakan narasi yang bias. Beban biaya kesehatan sebesar Rp 17,9-27,7 triliun sering kali tidak secara eksplisit dimasukkan ke dalam neraca ekonomi nasional. Ketika angka ini disandingkan dengan total penerimaan cukai, terlihat bahwa kontribusi bersih industri ini mungkin tidak se-menguntungkan yang sering digembor-gemborkan.

Selain itu, keputusan untuk tidak meratifikasi WHO-FCTC memiliki implikasi besar. Tanpa komitmen hukum internasional, pemerintah Indonesia tidak memiliki payung hukum yang kuat untuk menerapkan kebijakan pengendalian tembakau yang komprehensif. Akibatnya, setiap kebijakan baru, seperti larangan iklan digital atau wacana kemasan polos, menjadi perdebatan domestik yang sengit, di mana industri dapat dengan mudah menggunakan argumen ekonomi untuk menolak regulasi yang berorientasi pada kesehatan publik. Ini menunjukkan bagaimana kekuatan ekonomi dan politik industri rokok secara efektif menghambat kemajuan kebijakan kesehatan.

Dampak Lingkungan dan Tanggung Jawab Korporasi: Isu Baru di Meja Kebijakan

Jejak Ekologis dari Produksi dan Konsumsi

Dampak industri rokok tidak terbatas pada ekonomi dan kesehatan, tetapi juga merusak lingkungan. Proses produksi tembakau membutuhkan lahan yang luas, yang sering kali diperoleh melalui deforestasi. Selain itu, tanaman tembakau rentan terhadap hama, sehingga memerlukan penggunaan pupuk dan agrokimia secara masif. Penggunaan berlebihan ini menyebabkan degradasi tanah dan polusi air, memicu fenomena berbahaya seperti algal bloom di perairan.

Dampak lingkungan juga terlihat jelas pada limbah pasca-konsumsi. Puntung rokok adalah salah satu limbah yang paling banyak ditemukan di lingkungan, mengandung filter yang terbuat dari selulosa asetat—sejenis plastik yang non-biodegradable. Ketika puntung rokok ini berakhir di ekosistem laut, filter-filter tersebut melepaskan bahan kimia beracun dan mikroplastik yang dapat tertelan oleh biota laut. Mikroplastik ini kemudian dapat masuk ke dalam rantai makanan manusia, menimbulkan ancaman kesehatan yang belum sepenuhnya dipahami.

Mengkritisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Industri

Sebagai respons terhadap isu lingkungan, beberapa perusahaan rokok menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang berfokus pada lingkungan, seperti kampanye penanaman pohon atau pembersihan pantai. Namun, program-program ini sering kali dianggap sebagai taktik pengalihan perhatian (diversionary tactic). Alih-alih mengatasi kerusakan lingkungan yang sistemik yang disebabkan oleh model bisnis inti mereka—dari deforestasi untuk penanaman tembakau hingga polusi akibat limbah produk—program CSR ini berfungsi untuk membangun citra positif dan mengalihkan narasi publik.

Analisis ini menunjukkan bahwa perusahaan rokok cenderung menghindari tanggung jawab penuh atas kerusakan lingkungan yang mereka sebabkan. Konsep “tanggung jawab produk seumur hidup” (atau extended producer responsibility) dan “penyebab polusi yang membayar” (polluter pays) menjadi relevan di sini. Prinsip-prinsip ini berargumen bahwa industri rokok harus bertanggung jawab penuh atas seluruh siklus produknya, dari dampak pertanian hingga limbah akhir. Tanpa penerapan prinsip ini, kerusakan lingkungan akan terus berlanjut tanpa konsekuensi yang setimpal bagi produsennya.

Prospek Masa Depan dan Rekomendasi Kebijakan: Menuju Jalan Tengah yang Berkelanjutan

Menjembatani Kesenjangan: Sinergi Multi-Pihak

Inti dari dilema industri rokok di Indonesia adalah konflik yang inheren antara manfaat ekonomi dan biaya sosial . Mengabaikan salah satu aspek akan menghasilkan kebijakan yang tidak efektif atau tidak berkelanjutan. Solusi tidak terletak pada penghapusan industri secara tiba-tiba, tetapi pada perumusan pendekatan yang seimbang dan holistik.

Rekomendasi Kebijakan Strategis

Berdasarkan analisis yang mendalam, beberapa rekomendasi kebijakan strategis dapat diusulkan:

  • Reformasi Kebijakan Cukai: Menerapkan strategi cukai multi-tahun (cukai tahun jamak) yang berkelanjutan Ini akan memberikan kepastian bagi industri sambil tetap mencapai tujuan kesehatan publik. Kenaikan cukai harus signifikan untuk membuat produk tidak terjangkau, terutama bagi perokok pemula.
  • Diversifikasi Ekonomi: Memberikan pelatihan dan dukungan finansial kepada petani dan pekerja rokok untuk beralih ke komoditas pertanian atau industri lain yang lebih menguntungkan dan berkelanjutan, seperti yang direkomendasikan. Ini akan membantu mengurangi ketergantungan ekonomi pada tembakau.
  • Penguatan Regulasi Produk Baru: Segera menutup celah regulasi untuk rokok elektrik dan produk tembakau alternatif lainnya. Peraturan harus diperkuat untuk mencegah promosi produk-produk ini kepada kaum muda dan memastikannya diperlakukan dengan regulasi yang sama ketatnya dengan produk konvensional.
  • Peningkatan Kampanye Kesehatan: Melakukan kampanye anti-rokok yang lebih inovatif dan didukung data. Kampanye ini tidak hanya harus menyoroti bahaya kesehatan pribadi, tetapi juga dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang ditimbulkan oleh industri ini.

Kesimpulan

Industri rokok di Indonesia berdiri di persimpangan jalan yang penuh dilema. Di satu sisi, ia adalah mesin ekonomi yang vital, namun di sisi lain, ia menciptakan biaya sosial, kesehatan, dan lingkungan yang signifikan. Tulisan ini menunjukkan bahwa kontribusi fiskal dan penyerapan tenaga kerja yang masif tidak bisa menjadi pembenaran untuk mengabaikan beban kesehatan yang terus meningkat, terutama di kalangan generasi muda.

Pergulatan regulasi dan keputusan untuk tidak meratifikasi WHO-FCTC mencerminkan kuatnya pengaruh industri dalam arena politik. Namun, dengan munculnya tantangan baru seperti rokok elektrik dan semakin besarnya kesadaran akan dampak lingkungan, pemerintah dituntut untuk merumuskan kebijakan yang lebih berani dan terintegrasi. Solusi ke depan bukan sekadar memilih antara ekonomi atau kesehatan, tetapi membangun jembatan antara keduanya melalui reformasi kebijakan yang cerdas, dukungan diversifikasi ekonomi, dan penguatan regulasi yang memprioritaskan keberlanjutan jangka panjang bagi seluruh masyarakat Indonesia.