Perang Dagang Amerika Serikat-Tiongkok
Konflik perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, yang dimulai pada tahun 2018. Perang dagang ini didefinisikan sebagai kondisi di mana negara-negara saling membatasi perdagangan, terutama melalui kenaikan tarif, dengan tujuan melindungi ekonomi domestik mereka. Namun, laporan ini berpendapat bahwa konflik ini jauh melampaui sengketa tarif biasa; ia merupakan manifestasi dari persaingan strategis yang lebih luas untuk hegemoni ekonomi, teknologi, dan geopolitik global.
Analisis menunjukkan bahwa akar konflik terletak pada isu-isu struktural, termasuk kekhawatiran AS atas hilangnya lapangan kerja manufaktur, defisit perdagangan yang besar, dan kebangkitan ekonomi Tiongkok yang dianggap mengancam. Kebijakan industri Tiongkok, terutama melalui inisiatif  Made in China 2025 (MIC2025), secara spesifik menjadi target utama kebijakan proteksionis AS. Dampak dari konflik ini bersifat multidimensional, tidak hanya menyebabkan kerugian besar bagi kedua negara dalam hal volume perdagangan, tetapi juga memicu disrupsi rantai pasok global, inflasi, dan ketidakpastian ekonomi di negara-negara pihak ketiga.
Laporan ini juga mengidentifikasi tokoh-tokoh kunci yang membentuk kebijakan di kedua belah pihak. Di AS, Donald Trump berperan sebagai inisiator politik, sementara Robert Lighthizer adalah arsitek kebijakannya. Di pihak Tiongkok, Xi Jinping adalah arsitek visi strategis, dengan Liu He sebagai negosiator awal, dan kemudian digantikan oleh He Lifeng sebagai negosiator utama di era saat ini. Perubahan ini mencerminkan pergeseran fokus Tiongkok dari upaya meredakan ketegangan menuju penegasan visi strategis jangka panjangnya.
Pada akhirnya, laporan ini menyimpulkan bahwa perang dagang telah berevolusi menjadi “perang dingin teknologi” yang berfokus pada dominasi industri masa depan. Untuk negara-negara pihak ketiga seperti Indonesia, konflik ini menghadirkan tantangan signifikan, tetapi juga membuka peluang strategis yang hanya dapat dimanfaatkan melalui reformasi kebijakan internal yang kuat dan diplomasi ekonomi yang proaktif.
Secara fundamental, perang dagang adalah sebuah kondisi di mana negara-negara memberlakukan pembatasan perdagangan terhadap satu sama lain, seperti menaikkan tarif impor, menetapkan kuota, atau bahkan membatasi ekspor, dengan dalih melindungi industri domestik. Konflik perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, yang secara resmi dimulai pada tahun 2018, sering kali disederhanakan sebagai “perang tarif” di media. Namun, pandangan tersebut hanya menangkap aspek permukaannya. Analisis yang lebih mendalam mengungkapkan bahwa konflik ini adalah ekspresi dari kompetisi strategis yang jauh lebih luas antara dua kekuatan besar dunia, yang melibatkan dimensi ekonomi, teknologi, dan geopolitik.
Perang dagang ini dapat dilihat sebagai benturan antara dua filosofi ekonomi yang berbeda secara fundamental. Di satu sisi, AS menganut sistem ekonomi pasar bebas dengan intervensi pemerintah yang terbatas. Di sisi lain, Tiongkok menerapkan model kapitalisme negara yang didukung oleh kebijakan industri yang agresif dan pendanaan besar dari pemerintah. Ketegangan struktural antara kedua sistem ini telah membangun fondasi bagi konflik. Kebijakan proteksionis yang diterapkan oleh AS bukanlah sekadar respons terhadap defisit perdagangan semata, melainkan sebuah strategi untuk menanggapi kebangkitan Tiongkok yang dianggap AS sebagai ancaman eksistensial terhadap dominasi ekonominya, terutama melalui program industri yang ambisius seperti Made in China 2025. Dengan demikian, konflik ini adalah tentang persaingan sistemik untuk hegemoni global, bukan sekadar penyesuaian tarif sementara.
Asal-Usul dan Pemicu Strategis Perang Dagang
Perang dagang AS-Tiongkok tidak muncul dari kevakuman, melainkan dipicu oleh serangkaian masalah domestik AS dan ambisi strategis Tiongkok yang memicu kekhawatiran di Washington.
Latar Belakang dan Kebijakan Pemicu dari Amerika Serikat
Salah satu pemicu utama dari sisi AS adalah keprihatinan yang mendalam atas hilangnya lapangan kerja manufaktur di dalam negeri, yang dianggap sebagai konsekuensi dari praktik perdagangan yang tidak adil. Selama bertahun-tahun, AS mengalami defisit perdagangan yang besar dengan Tiongkok, yang menjadi fokus kritik politik. Presiden Donald Trump memanfaatkan sentimen ini dengan mengadopsi kebijakan proteksionisme di bawah slogan America First, yang bertujuan untuk memulihkan industri domestik dan menekan defisit perdagangan.
Arsitek utama di balik kebijakan tarif ini adalah Robert Lighthizer, yang menjabat sebagai Perwakilan Dagang AS (USTR) di bawah pemerintahan Trump. Lighthizer memiliki pandangan yang sangat proteksionis. Ia berpendapat bahwa penggunaan tarif adalah prinsip Partai Republik yang berakar pada para politisi pro-bisnis dan bahwa tarif dapat digunakan untuk mengimbangi defisit perdagangan dan mengembalikan sektor manufaktur AS. Pandangan ini membentuk dasar dari kebijakan perdagangan agresif yang menargetkan Tiongkok dan mitra dagang lainnya, termasuk renegosiasi NAFTA. Lighthizer secara aktif memimpin tim negosiasi perdagangan AS, yang menunjukkan betapa sentralnya ia dalam merancang dan melaksanakan kebijakan ini.
Strategi dan Ambisi Industri Tiongkok
Sebagai balasan dari kebijakan AS, Tiongkok tidak hanya menanggapi dengan tarif, tetapi juga memiliki agenda strategis jangka panjang yang menjadi sasaran utama AS. Agenda ini terangkum dalam kebijakan industri nasional Made in China 2025 (MIC2025), yang diluncurkan pada Mei 2015. Tujuan utamanya adalah untuk mentransformasi Tiongkok dari “pabrik dunia” yang dikenal sebagai produsen barang-barang murah berteknologi rendah menjadi kekuatan manufaktur global yang mendominasi rantai nilai teknologi tinggi.
MIC2025 memiliki target-target ambisius yang didukung oleh investasi negara besar-besaran. Program ini bertujuan untuk meningkatkan konten domestik bahan inti industri menjadi 40% pada tahun 2020 dan 70% pada tahun 2025. Fokus utamanya adalah pada sektor-sektor strategis yang dianggap penting untuk masa depan ekonomi, seperti kecerdasan buatan (AI), teknologi 5G, semikonduktor, kendaraan listrik, dan bioteknologi. Pemerintah Tiongkok berkomitmen untuk menginvestasikan ratusan miliar dolar untuk mencapai tujuan ini, termasuk dana khusus untuk industri semikonduktor dan 5G.
Kebijakan AS tidak hanya merespons tarif, tetapi secara fundamental menargetkan MIC2025 sebagai ancaman eksistensial terhadap dominasi teknologi AS. Pengenaan tarif AS terhadap produk-produk teknologi tinggi Tiongkok bukanlah sekadar pembalasan, melainkan upaya preemptif untuk menghambat kemajuan Tiongkok dalam bidang-bidang yang dianggap krusial untuk mempertahankan keunggulan kompetitif jangka panjang. Oleh karena itu, konflik ini dapat digambarkan sebagai sebuah “perlombaan senjata” teknologi yang terselubung, di mana kedua negara berupaya mengamankan posisi dominan mereka dalam industri-industri kunci masa depan.
Kronologi dan Dinamika Eskalasi
Perang dagang AS-Tiongkok dicirikan oleh spiral eskalasi tarif yang cepat dan agresif, yang secara bertahap memanas seiring berjalannya waktu.
Spiral Tarif Awal (2018-2020)
Kronologi konflik dimulai pada 22 Januari 2018, ketika AS mengumumkan tarif 20% hingga 50% pada panel surya dan mesin cuci. Langkah ini diikuti pada 1 Maret 2018, dengan pengenaan tarif 25% pada impor baja dan 10% pada aluminium dari seluruh negara. Pada 22 Maret 2018, AS mengambil langkah yang lebih serius dengan mengumumkan rencana tarif pada lebih dari 1.300 produk Tiongkok senilai US$50-60 miliar, dengan alasan pencurian kekayaan intelektual.
Tiongkok segera merespons. Pada 2 April 2018, Kementerian Perdagangan Tiongkok memberlakukan tarif balasan pada 128 produk impor AS, termasuk tarif 25% untuk kedelai, pesawat, mobil, dan babi, serta tarif 15% untuk buah-buahan dan kacang-kacangan. Spiral balasan ini terus berlanjut. Pada 9 April 2025 (mengacu pada data yang ada), Tiongkok menaikkan tarif impornya terhadap barang AS hingga lebih dari 80% sebagai respons terhadap kenaikan tarif AS yang mencapai lebih dari 100%. Persentase tarif ini terus melonjak, mencapai 104% dari AS dan 84% dari Tiongkok, yang secara efektif membuat perdagangan bilateral menjadi sangat mahal.
Perjanjian Dagang Fase Satu dan Periode De-eskalasi
Setelah dua tahun eskalasi yang merusak, kedua negara mencapai kesepakatan parsial. Pada 15 Januari 2020, Presiden AS Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu He secara resmi menandatangani Perjanjian Dagang Fase I di Gedung Putih. Poin kunci dari kesepakatan ini adalah komitmen Tiongkok untuk meningkatkan pembelian barang-barang AS senilai setidaknya US$200 miliar selama dua tahun ke depan.
Tabel 1: Target Pembelian Tambahan Tiongkok dari AS Berdasarkan Perjanjian Fase Satu (2020-2021)
Sektor | Target Tambahan di Tahun Pertama (USD miliar) | Target Tambahan di Tahun Kedua (USD miliar) | Total Target Tambahan (USD miliar) |
Pertanian & Makanan Laut | 12,5 | 19,5 | 32,0 |
Barang Pabrik | 32,9 | 44,8 | 77,7 |
Energi | 18,5 | 33,9 | 52,4 |
Layanan | 12,8 | 25,1 | 37,9 |
Total | 76,7 | 123,3 | 200,0 |
Meskipun kesepakatan ini ditandatangani, AS memilih untuk tetap memberlakukan beberapa tarif pada barang impor Tiongkok hingga tercapainya perjanjian fase kedua. AS hanya setuju untuk menangguhkan tarif senilai US$160 miliar pada produk elektronik. Perjanjian ini, yang sangat berorientasi pada hasil kuantitatif dalam jangka pendek, merupakan sebuah gencatan senjata sementara, bukan resolusi fundamental. Ketidakmauan kedua belah pihak untuk mencabut semua tarif menunjukkan bahwa akar ketidakpercayaan dan persaingan strategis masih sangat kuat. Ini memperkuat pandangan bahwa perjanjian ini hanya mengobati gejala, dan bukan penyakitnya.
Tokoh Kunci dan Arsitek Kebijakan
Konflik perdagangan ini tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan pasar dan kebijakan negara, tetapi juga dibentuk oleh individu-individu kunci yang merancang dan melaksanakan strategi di kedua belah pihak.
Pemimpin dan Arsitek Kebijakan di Amerika Serikat
Di AS, Presiden Donald Trump adalah tokoh sentral yang memicu perang dagang. Ia memanfaatkan retorika populis dan proteksionis, menempatkan isu defisit perdagangan dan hilangnya pekerjaan sebagai prioritas utama kebijakan luar negerinya. Namun, arsitek sebenarnya dari kebijakan ini adalah Robert Lighthizer, yang menjabat sebagai U.S. Trade Representative dari tahun 2017 hingga 2021. Lighthizer, seorang pengacara dan pejabat pemerintah dengan pandangan proteksionis yang kuat sejak era Ronald Reagan, secara aktif merancang dan memimpin negosiasi dengan Tiongkok. Ia percaya bahwa tarif adalah alat penting untuk mengimbangi defisit perdagangan AS dan memulihkan sektor manufaktur. Lighthizer memainkan peran kunci dalam negosiasi perang dagang ini, termasuk dalam pertemuan dengan tim negosiator Tiongkok yang dipimpin oleh Liu He di Shanghai.
Pejabat dan Negosiator Kunci di Tiongkok
Di pihak Tiongkok, Presiden Xi Jinping adalah tokoh visioner di balik strategi ekonomi Tiongkok yang lebih asertif dan ambisius. Ia adalah pemimpin yang mengawasi dan mendukung kebijakan seperti Made in China 2025 yang menjadi pusat dari ketegangan dengan AS.
Pada fase awal konflik, negosiator utama Tiongkok adalah Liu He, seorang Wakil Perdana Menteri yang memimpin tim perundingan. Liu He, seorang lulusan Harvard, dikenal karena kemampuannya berdialog dengan Barat dan dihargai di kalangan finansial global. Namun, ia kemudian digantikan oleh  He Lifeng, yang mengambil alih posisi pentingnya sebagai Direktur Kantor Komisi Keuangan dan Ekonomi Pusat Partai Komunis Tiongkok. He Lifeng, yang juga menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri sejak Maret 2023, dikenal sebagai seorang loyalis Xi Jinping dan memimpin hubungan ekonomi Tiongkok dengan beberapa ekonomi maju, termasuk AS.
Pergantian peran dari Liu He ke He Lifeng memiliki implikasi yang signifikan. Liu He dikenal sebagai sosok reformis yang lebih disukai di lingkaran internasional. Sebaliknya, He Lifeng digambarkan sebagai pemimpin yang lebih birokratis dan kurang karismatik, yang berfokus pada eksekusi visi Xi Jinping. Perubahan ini menunjukkan pergeseran strategi Tiongkok. Alih-alih memprioritaskan dialog atau kompromi besar yang dapat mengganggu rencana strategisnya, Tiongkok kini menempatkan figur yang dapat secara tegas melaksanakan agenda nasional, mengisyaratkan bahwa perundingan di masa depan kemungkinan akan lebih kaku dan berorientasi pada hasil yang sejalan dengan kepentingan nasional yang telah ditetapkan.
Analisis Dampak Multidimensional Perang Dagang
Konflik dagang AS-Tiongkok menciptakan dampak yang kompleks dan berlapis, tidak hanya pada kedua negara yang berkonflik, tetapi juga pada perekonomian global dan negara-negara pihak ketiga.
Dampak terhadap Perekonomian Amerika Serikat dan Tiongkok
Bagi AS, kebijakan tarif berdampak negatif pada perekonomian. Secara makro, perang dagang memicu kenaikan biaya produksi, yang dapat menyebabkan inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian AS mengalami kerugian signifikan akibat tarif balasan Tiongkok, dengan ekspor kedelai turun 75% pada tahun 2018-2019. Sebagai respons, pemerintah AS meluncurkan program subsidi pertanian senilai US$28 miliar melalui program Market Facilitation Program (MFP) untuk mengatasi kerugian petani. Kebijakan ini, meskipun bertujuan baik, menimbulkan perdebatan karena dianggap tidak menciptakan stabilitas jangka panjang dan dinilai tidak proporsional, dengan hampir 99% bantuan terfokus pada petani kulit putih.
Di sisi lain, Tiongkok juga merasakan dampak besar. Perang dagang menyebabkan penurunan drastis volume dan nilai perdagangan bilateral. Berdasarkan simulasi, impor AS dari Tiongkok mengalami penurunan sebesar S91,46Â miliar,sementara impor Tiongkok dari Ast urun sebesar US36,71 miliar. Ketergantungan Tiongkok yang tinggi pada pasar ekspor AS memaksa perusahaan-perusahaan Tiongkok untuk mencari pasar alternatif dan mendiversifikasi rantai pasok mereka.
Dampak pada Rantai Pasok Global dan Negara Pihak Ketiga
Salah satu dampak paling nyata adalah disrupsi besar pada rantai pasok global. Perusahaan-perusahaan yang selama ini sangat bergantung pada Tiongkok sebagai basis produksi terpaksa mencari alternatif untuk menghindari tarif tinggi AS. Fenomena ini memicu gelombang relokasi pabrik dari Tiongkok ke negara-negara lain, terutama di Asia Tenggara.
Untuk bertahan dalam kondisi ketidakpastian ini, perusahaan global dan domestik mengadopsi berbagai strategi. Banyak perusahaan mulai melakukan diversifikasi mitra dagang untuk mengurangi ketergantungan pada AS atau Tiongkok. Beberapa perusahaan juga menggunakan transhipment—pengalihan barang melalui negara netral—sebagai cara untuk menghindari tarif. Selain itu, secara kontraktual, perusahaan-perusahaan memasukkan klausul  force majeure yang diperluas, mekanisme penyesuaian harga, dan hak pengalihan pemasok alternatif untuk mengelola risiko secara lebih efektif.
Studi Kasus Mendalam: Indonesia sebagai Pihak Ketiga
Indonesia, sebagai mitra dagang utama bagi kedua negara, mengalami dampak yang kompleks. Di satu sisi, perang dagang menciptakan tantangan signifikan. Konflik ini menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan depresiasi nilai tukar Rupiah. Selain itu, ketergantungan Indonesia pada input industri dari Tiongkok sangat tinggi; lebih dari 70% bahan baku industri elektronik Indonesia bergantung pada Tiongkok, yang membuat rantai pasok domestik sangat rentan terhadap gangguan.
Namun, di sisi lain, perang dagang juga membuka peluang strategis. Relokasi pabrik dari Tiongkok ke kawasan ASEAN memberikan Indonesia kesempatan untuk menarik investasi asing, terutama di sektor manufaktur elektronik dan otomotif. Pemerintah juga dapat mendorong diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara non-tradisional di Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah.
Meskipun demikian, ada perbedaan yang mencolok dalam kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan peluang relokasi ini dibandingkan dengan negara tetangganya. Analisis data menunjukkan bahwa dari 33 perusahaan besar yang merelokasi pada tahun 2020, hanya 7 yang memilih Indonesia, sementara 19 lainnya memilih Vietnam. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk iklim investasi yang lebih kondusif dan adanya perjanjian perdagangan bebas (FTA) antara Vietnam dan AS. Perbedaan ini menunjukkan bahwa peluang eksternal harus didukung oleh kebijakan internal yang kuat untuk dapat terwujud.
Untuk menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang ini, Indonesia telah mengusulkan dan menerapkan beberapa solusi strategis. Ini termasuk pendekatan  Whole of Government yang melibatkan berbagai kementerian untuk menyusun kebijakan terpadu, penguatan pertahanan ekonomi nasional melalui hilirisasi dan digitalisasi UMKM, dan diplomasi ekonomi proaktif untuk mendapatkan pengecualian tarif dan memperkuat kerja sama dengan negara-negara lain.
Perkembangan Terkini dan Proyeksi Masa Depan
Perang dagang AS-Tiongkok tidak berakhir dengan Perjanjian Fase I. Sebaliknya, konflik ini terus berevolusi dan kembali memanas di bawah pemerintahan baru.
Perang Dagang Era Joe Biden dan Kembali Memanasnya Ketegangan
Meskipun retorika pemerintahan Joe Biden lebih lunak dibandingkan dengan pendahulunya, kebijakan tarif AS tidak hanya dipertahankan, tetapi juga diperluas. Fokus kebijakan telah bergeser dari mengatasi defisit perdagangan secara umum menjadi menargetkan sektor-sektor strategis yang dianggap penting untuk masa depan ekonomi. Pada tahun 2024, pemerintahan Biden mengumumkan kenaikan tarif baru senilai US$18 miliar terhadap impor Tiongkok. Kenaikan ini sangat spesifik dan tajam: tarif pada kendaraan listrik melonjak empat kali lipat dari 25% menjadi 100%, panel surya naik menjadi 50%, dan semikonduktor diproyeksikan naik menjadi 50% pada tahun 2025.
Rasional di balik kebijakan ini adalah untuk melindungi industri AS dari praktik “kelebihan kapasitas” (overcapacity) dan subsidi besar-besaran yang dilakukan oleh Tiongkok. Para pejabat AS berpendapat bahwa Tiongkok membanjiri pasar global dengan produk murah, yang merusak industri energi ramah lingkungan di negara lain dan merugikan pekerja serta perusahaan AS. Dengan menargetkan sektor-sektor ini, AS tidak lagi hanya fokus pada perdagangan yang tidak adil secara umum, tetapi secara eksplisit berupaya menghambat ambisi strategis Tiongkok yang tertuang dalam program  Made in China 2025. Pergeseran ini menunjukkan bahwa konflik telah berevolusi dari perang dagang yang luas menjadi sebuah “perang dingin teknologi” yang berfokus pada perebutan dominasi dalam industri-industri kunci masa depan.
Proyeksi di Bawah Trump Kedua
Masa depan perang dagang menjadi semakin tidak pasti dengan kemungkinan Donald Trump kembali berkuasa. Dalam kampanye kepresidenannya, Trump berjanji untuk menerapkan tarif yang jauh lebih besar daripada yang ia terapkan di masa jabatan pertamanya. Ia telah mengusulkan tarif 60% pada Tiongkok dan bahkan tarif 20% pada semua negara lain. Analisis dari masa jabatan keduanya (mengacu pada data terkini) menunjukkan bahwa dalam sebuah “spiral balasan”, tarif AS terhadap barang Tiongkok melonjak hingga 145%, sementara tarif Tiongkok terhadap barang AS mencapai 125%. Kenaikan tarif yang ekstrem ini diproyeksikan akan menyebabkan kerugian besar pada perdagangan global.
Kesimpulan
Perang dagang AS-Tiongkok adalah konflik multidimensional yang berakar pada persaingan struktural untuk dominasi ekonomi dan teknologi global. Meskipun pada awalnya didorong oleh isu-isu domestik seperti defisit perdagangan dan lapangan kerja, konflik ini telah berevolusi menjadi upaya terarah untuk menghambat kemajuan Tiongkok dalam industri-industri kunci masa depan, seperti semikonduktor dan kendaraan listrik. Dampaknya tidak seragam; sementara kedua negara merasakan kerugian dalam volume perdagangan, negara-negara pihak ketiga menghadapi disrupsi rantai pasok global dan ketidakpastian ekonomi.
Untuk negara-negara pihak ketiga seperti Indonesia, konflik ini menyajikan tantangan sekaligus peluang. Tantangan utama adalah ketergantungan pada input bahan baku dari Tiongkok dan risiko volatilitas ekonomi. Namun, peluang relokasi industri dan diversifikasi pasar ekspor sangat besar. Kesuksesan dalam memanfaatkan peluang ini, sebagaimana ditunjukkan oleh studi kasus perbandingan dengan Vietnam, sangat bergantung pada faktor-faktor internal.
Berdasarkan analisis ini, berikut adalah rekomendasi strategis bagi Indonesia untuk menghadapi dinamika perang dagang yang terus berlanjut:
- Penguatan Ketahanan Ekonomi Nasional: Pemerintah perlu mempercepat pembangunan ketahanan ekonomi yang berbasis pada industri domestik, hilirisasi sumber daya alam, dan digitalisasi UMKM. Pengembangan National Supply Chain Resilience Roadmap adalah langkah penting untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara pemasok.
- Peningkatan Daya Saing Investasi: Untuk menarik lebih banyak investasi relokasi pabrik, Indonesia harus secara serius meningkatkan iklim investasi dengan menyederhanakan perizinan, memperbaiki kualitas infrastruktur, dan menawarkan insentif fiskal yang kompetitif.
- Diplomasi Ekonomi Proaktif: Indonesia harus menjaga posisi netral namun proaktif dengan melakukan negosiasi bilateral untuk mendapatkan pengecualian tarif dan memperkuat kerja sama dengan negara-negara mitra lainnya. Diversifikasi pasar ekspor ke kawasan non-tradisional seperti Afrika dan Timur Tengah juga harus terus didorong.
- Penguatan Posisi Geopolitik: Indonesia harus cermat menjaga posisinya agar tidak terjebak dalam kepentingan salah satu kekuatan besar dan terus memperkuat pertahanan maritimnya, terutama di Natuna, untuk mengantisipasi ketegangan geopolitik yang meluas.