Industri Kulit di Indonesia
Industri kulit merupakan salah satu sektor manufaktur yang fundamental bagi perekonomian Indonesia, didukung oleh sejarah yang panjang dan kemampuan adaptasi yang signifikan. Meskipun memiliki daya saing yang kuat di pasar global, terutama dalam produk jadi, sektor ini menghadapi tantangan struktural yang signifikan di sepanjang rantai nilai. Laporan ini menyajikan analisis komprehensif dari hulu ke hilir, mengevaluasi kinerja industri, mengidentifikasi tantangan utama, dan merumuskan rekomendasi strategis untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan.
Analisis ini menemukan beberapa hal penting:
- Kinerja Ekspor yang Volatil: Nilai ekspor produk kulit didominasi oleh produk hilir, dengan alas kaki menyumbang 69% dan tas 25,6% dari total ekspor pada tahun 2024, yang mencapai USD4,6 miliar. Meskipun demikian, data ekspor historis menunjukkan volatilitas yang tinggi, dipengaruhi oleh kondisi makroekonomi global seperti penurunan PDB di pasar utama dan fluktuasi harga. Terdapat pula ketidaksesuaian data nilai ekspor dari berbagai sumber, yang menandakan adanya tantangan dalam pelacakan dan pelaporan data yang akurat.
- Kelemahan Struktural Hulu: Sektor hulu, khususnya industri penyamakan kulit, sangat bergantung pada bahan baku impor. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat utilisasi kapasitas, yang rata-rata hanya mencapai 50,13% pada industri penyamakan menengah. Ketergantungan ini membuat industri rentan terhadap gejolak pasar dan fluktuasi nilai tukar global.
- Kesenjangan Implementasi Lingkungan: Meskipun pemerintah telah menetapkan kerangka regulasi yang kuat, seperti Standar Industri Hijau (SIH) melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 37 Tahun 2019 , implementasi di lapangan masih bermasalah. Studi kasus di sentra Magetan menunjukkan bahwa Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang ada seringkali tidak efektif, mengakibatkan pencemaran lingkungan yang serius, termasuk pencemaran Sungai Gandong.
Untuk meningkatkan daya saing industri, diperlukan pendekatan terpadu. Pemerintah harus memperkuat penegakan regulasi lingkungan dan memberikan insentif bagi industri untuk berinvestasi dalam teknologi yang efisien dan berkelanjutan. Sementara itu, pelaku industri perlu melakukan diversifikasi sumber bahan baku, meningkatkan efisiensi operasional, dan mengoptimalkan strategi pemasaran digital untuk memperkuat ketahanan industri di tengah dinamika pasar global.
Industri kulit dan alas kaki di Indonesia merupakan salah satu sub-sektor industri manufaktur yang berperan vital sebagai penopang ekonomi nasional. Sektor ini dikenal sebagai industri padat karya yang mampu menyerap banyak lapangan kerja, khususnya di tingkat Industri Kecil dan Menengah (IKM). Dengan potensi pasar yang besar, produk-produk kulit Indonesia telah diakui di pasar global, menjadikan sektor ini sebagai komoditas ekspor yang penting dan bernilai strategis bagi neraca perdagangan.
Sejarah Singkat dan Perkembangan Industri
Industri kulit di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang, dengan jejak perkembangannya dimulai sejak zaman kolonial sekitar tahun 1930-an. Sentra-sentra industri, seperti yang ada di Sukaregang, Garut, telah tumbuh dan berkembang pesat sejak masa itu, mengawali perjalanannya dari industri penyamakan kulit sederhana hingga menjadi klaster kerajinan kulit yang terkenal. Perkembangan ini tidak lepas dari peran pemerintah yang sudah terlibat sejak lama, dibuktikan dengan pendirian Perusahaan Negara Industri Kulit pada tahun 1961. Evolusi industri ini dari tradisi menjadi sektor ekonomi yang terorganisir terlihat jelas pada perkembangan sentra-sentra lain seperti Magetan, yang telah ada sejak akhir Perang Diponegoro (sekitar tahun 1830).
Struktur Industri: Dari Hulu ke Hilir
Secara struktural, industri kulit terbagi menjadi dua sektor utama. Sektor hulu berfokus pada proses penyamakan kulit mentah yang berasal dari berbagai hewan seperti sapi, kerbau, domba, kambing, reptil (buaya, ular), dan ikan. Proses ini mengubah kulit mentah menjadi kulit setengah jadi atau kulit jadi yang siap diolah lebih lanjut. Selanjutnya, sektor hilir mengolah kulit tersamak tersebut menjadi beragam produk bernilai tambah seperti alas kaki, tas, jaket, dompet, dan berbagai aksesoris fesyen lainnya.
Keberhasilan sentra-sentra seperti Sukaregang, Garut, memberikan gambaran penting tentang ekosistem industri yang ideal. Lokasi ini merupakan klaster industri terintegrasi yang mampu mengolah kulit mentah di hulu menjadi kulit tersamak dengan nilai tambah tinggi, yang kemudian menjadi input bagi industri garmen dan kerajinan kulit di hilir. Integrasi ini tidak hanya meningkatkan nilai ekonomi produk, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada pemasok dari luar, serta memperkuat identitas merek lokal di pasar global.
Sektor Hulu: Penyamakan dan Bahan Baku
Alur Proses Penyamakan Kulit: Tinjauan Teknikal
Proses penyamakan kulit merupakan serangkaian tahapan kompleks yang mengubah kulit mentah yang mudah rusak menjadi bahan yang stabil dan tahan lama. Proses ini umumnya terbagi menjadi tiga tahapan pokok :
- Tahap Pengerjaan Basah (Beam House): Tahap ini bertujuan untuk membersihkan kulit dari kotoran dan bulu yang tidak diinginkan. Proses kuncinya meliputi perendaman (soaking) untuk mengembalikan kadar air kulit dan pengapuran (liming) yang bertujuan untuk menghilangkan bulu dan protein larut lainnya. Setelah itu, dilakukan pengasaman (pickling) untuk mempersiapkan kulit sebelum proses penyamakan inti.
- Tahap Penyamakan (Tanning): Ini adalah tahap krusial di mana kulit diubah menjadi bahan yang tidak mudah busuk. Ada beberapa metode yang umum digunakan, antara lain penyamakan nabati yang menggunakan ekstrak tumbuhan (ramah lingkungan), penyamakan mineral yang umumnya menggunakan krom, dan penyamakan minyak. Penggunaan bahan kimia seperti krom dalam proses ini secara langsung berkorelasi dengan tantangan lingkungan yang dihadapi oleh industri.
- Tahap Penyelesaian Akhir (Finishing): Setelah proses penyamakan, kulit melewati serangkaian proses lanjutan untuk mencapai karakteristik produk akhir yang diinginkan. Tahapan ini mencakup pengetaman (shaving) untuk meratakan ketebalan, pengecetan dasar (dyeing), peminyakan (fat liquoring) untuk meningkatkan ketahanan air, hingga pengeringan dan penyetelan akhir.
Keterbatasan teknologi dan penggunaan metode manual yang belum efisien, terutama di skala IKM , dapat memperburuk masalah limbah dan efisiensi produksi.
Ketergantungan Bahan Baku: Dinamika Pasokan Domestik vs. Impor
Sektor penyamakan kulit di Indonesia menghadapi defisit pasokan bahan baku domestik yang signifikan. Menurut data, permintaan pasar nasional untuk kulit tersamak mencapai sekitar 20 juta lembar per tahun, namun kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi secara mandiri oleh pasokan domestik. Akibatnya, industri ini memiliki ketergantungan yang besar pada impor kulit mentah. Keterbatasan pasokan ini tercermin dari rendahnya tingkat utilisasi kapasitas pada industri penyamakan menengah, yang rata-rata hanya mencapai 50,13% antara tahun 2010 dan 2015. Kondisi ini merupakan kelemahan struktural mendasar yang membuat industri rentan terhadap gejolak pasar global dan fluktuasi nilai tukar. Utilisasi kapasitas yang rendah ini bukan hanya masalah inefisiensi operasional, melainkan secara langsung disebabkan oleh ketidakstabilan pasokan bahan baku, menciptakan hambatan serius bagi pertumbuhan dan pengembangan skala industri yang lebih besar.
Sentra Produksi Kunci: Magetan dan Garut (Studi Kasus)
- Magetan: Sentra industri kulit Magetan di Jawa Timur memiliki sejarah panjang dan peran yang kuat dari pemerintah daerah. Unit Pelaksana Teknis (UPT) Industri Kulit dan Produk Kulit Magetan didirikan untuk menyusun program, memberikan pelayanan teknis, dan mengelola kawasan industri, termasuk Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). UPT ini juga berperan aktif dalam edukasi, pelatihan, dan fasilitasi bagi para pengrajin, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun UPT Magetan memiliki visi yang jelas untuk meningkatkan pengelolaan limbah, laporan evaluasi menunjukkan adanya ketidaksesuaian yang signifikan antara kebijakan yang ada dan implementasinya di lapangan. IPAL di sentra ini dinilai belum efektif dan seringkali tidak mampu menangani volume limbah yang melampaui kapasitasnya, bahkan pernah menerima rekomendasi sanksi administratif dari Dinas Lingkungan Hidup.
- Garut (Sukaregang): Di sisi lain, Garut dikenal sebagai sentra industri kulit yang telah melegenda, terutama untuk produk unggulannya, yaitu jaket kulit domba. Keterkenalan produknya bahkan telah menjangkau pasar global di Asia, Eropa, dan Amerika. Sentra ini merupakan klaster yang terintegrasi, di mana industri hulu mengolah kulit mentah menjadi kulit tersamak yang kemudian menjadi input bagi industri garmen dan kerajinan kulit di hilir. Model pertumbuhan di Garut lebih bersifat organik, didasarkan pada reputasi dan keterampilan tangan pengrajin. Perbandingan antara model Magetan yang bergantung pada intervensi pemerintah dengan model Garut yang berbasis pada keahlian menunjukkan variasi pendekatan pengembangan industri yang ada di Indonesia.
Sektor Hilir: Produk dan Dinamika Pasar
Ragam Produk Unggulan dan Diferensiasi
Sektor hilir industri kulit Indonesia menawarkan beragam produk bernilai tambah yang kompetitif, dengan alas kaki, tas, jaket, dan dompet sebagai produk dominan. Produk-produk ini memanfaatkan berbagai jenis kulit, masing-masing dengan karakteristik uniknya, seperti kulit sapi yang kuat, kulit domba yang lembut dan ringan, atau kulit kuda yang halus dan berkilau. Diferensiasi produk juga dicapai melalui berbagai teknik penyamakan dan penyelesaian akhir, seperti  Pull-up Leather, Full Grain Leather, Suede, dan Nubuck, yang menghasilkan tekstur dan tampilan yang beragam untuk memenuhi selera pasar.
Kreativitas dan keahlian tangan para pengrajin merupakan aset tak ternilai yang memberikan keunggulan kompetitif bagi produk kulit Indonesia. Kementerian Perindustrian secara eksplisit menyebutkan bahwa kemampuan ini adalah salah satu kekuatan utama Indonesia yang membuat produk-produk lokal sangat kompetitif di pasar domestik maupun internasional.
Analisis Perdagangan Internasional: Kinerja Ekspor
Kinerja ekspor produk kulit dan alas kaki Indonesia menunjukkan tren yang fluktuatif, namun secara umum, sektor ini telah memberikan kontribusi signifikan. Berikut adalah data nilai ekspor yang berhasil dikompilasi dari berbagai sumber:
Tahun | Nilai Ekspor (USD) | Sumber |
2010 | 207,015 juta | |
2011 | 230,148 juta | |
2012 | 214,790 juta | |
2013 | 222,631 juta | |
2014 | 209,328 juta | |
2018 (Jan-Sep) | 4,16 miliar | |
2021 | 6,15 miliar | |
2022 | 7,74 miliar | |
2023 | 6,44 miliar | |
2024 | 4,6 miliar |
Dari total nilai ekspor produk kulit dan barang dari kulit pada tahun 2024 yang mencapai USD4,6 miliar, produk alas kaki dari bahan kulit mendominasi dengan kontribusi sebesar 69% (USD3,1 miliar), diikuti oleh tas dan produk sejenis yang menyumbang 25,6% (USD1,1 miliar). Hal ini menunjukkan bahwa fokus industri berada pada produk hilir dengan nilai tambah tinggi. Negara tujuan ekspor utama mencakup pasar-pasar besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Hongkong, Vietnam, Jepang, dan beberapa negara Eropa.
Peluang di Pasar Domestik
Selain pasar ekspor, pasar domestik Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, didukung oleh daya beli masyarakat dan kreativitas para pengrajin lokal. Pemerintah menyadari potensi ini dan telah mendorong berbagai inisiatif untuk memperkuat pasar dalam negeri. Salah satu upaya yang dilakukan adalah revitalisasi sentra IKM, seperti Sentra IKM Tanggulangin di Sidoarjo, Jawa Timur. Revitalisasi ini tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi, tetapi juga mengintegrasikan industri dengan pariwisata melalui konsep “3-in-1” yang menggabungkan wisata belanja, budaya, dan edukasi industri. Strategi ini menunjukkan upaya pemerintah untuk membangun ketahanan industri dengan mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor yang volatil.
Isu Kritis dan Tantangan Utama
Tantangan Lingkungan: Pengelolaan Limbah dan Pencemaran
Proses penyamakan kulit, sebagai inti dari sektor hulu, memerlukan penggunaan air dalam jumlah besar dan bahan kimia berbahaya, yang pada akhirnya menghasilkan limbah cair beracun. Isu ini menjadi tantangan paling mendesak bagi keberlanjutan industri. Studi kasus di Sungai Gandong, Magetan, menjadi bukti nyata dampak buruk dari pengelolaan limbah yang tidak efektif. Limbah cair dari industri penyamakan telah mencemari sungai tersebut, menyebabkan air keruh dan berbusa, bau busuk yang menyengat, kematian ikan, serta ancaman kesehatan serius bagi warga yang tinggal di bantaran sungai, seperti penyakit kulit, sesak napas, dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Meskipun IPAL telah dibangun di sentra-sentra industri, kapasitas dan kinerjanya sering kali tidak memadai untuk menangani volume limbah yang ada. Parameter limbah cair yang dibuang (efluen) ke badan air, seperti BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), TSS (Total Suspended Solids), dan Kromium, seringkali melebihi baku mutu yang ditetapkan.
Parameter | Kualitas Efluen Limbah (mg/L) | Baku Mutu (mg/L) |
BOD | 279 | Tidak disebutkan |
COD | 291.5 | Tidak disebutkan |
TSS | 220 | Tidak disebutkan |
Krom | 1.5 | Tidak disebutkan |
Inefisiensi Rantai Pasok dan Keterbatasan Modal
Selain masalah lingkungan, industri ini juga menghadapi inefisiensi di sepanjang rantai pasok. Ketergantungan pada impor bahan baku menyebabkan rendahnya utilisasi kapasitas industri penyamakan di dalam negeri. Pada tingkat UMKM, tantangan ini diperburuk oleh keterbatasan modal dan penggunaan peralatan yang sudah usang, yang menghambat peningkatan kualitas produk dan efisiensi produksi. Inefisiensi ini menciptakan hambatan serius dalam upaya untuk meningkatkan skala industri dan mencapai daya saing global yang optimal.
Dampak Faktor Makroekonomi dan Global
Kinerja ekspor industri kulit sangat sensitif terhadap perubahan kondisi ekonomi global. Sebagai contoh, penurunan PDB di Amerika Serikat, yang merupakan salah satu pasar ekspor utama, secara langsung menyebabkan penurunan pesanan alas kaki dari Indonesia. Selain itu, faktor geopolitik, seperti kekhawatiran terkait negosiasi tarif resiprokal, dapat menciptakan ketidakpastian di kalangan pelaku industri. Kondisi ini seringkali menyebabkan perusahaan mengambil sikap wait-and-see, yang berujung pada pembatalan investasi hingga iklim usaha kembali stabil.
Peran Pemerintah dan Kerangka Regulasi
Kebijakan Pendukung dan Program Pembinaan
Pemerintah, melalui Kementerian Perindustrian, memandang industri kulit sebagai sektor prioritas untuk dikembangkan agar memiliki daya saing global. Komitmen ini diwujudkan melalui berbagai program pembinaan dan fasilitasi. Salah satu program yang menonjol adalah revitalisasi sentra-sentra IKM, seperti Sentra Kulit Manding di Yogyakarta, yang dilakukan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain itu, pemerintah daerah, seperti yang diwakili oleh UPT Industri Kulit dan Produk Kulit Magetan, memainkan peran aktif dalam memberikan bimbingan teknis, alih teknologi, dan fasilitas pemasaran kepada para pengrajin. Hubungan timbal balik antara pemerintah pusat dan daerah ini menciptakan ekosistem kolaboratif yang terarah dalam mendukung pengembangan IKM.
Regulasi Industri Hijau dan Standarisasi
Dalam menghadapi tantangan lingkungan, pemerintah telah merespons dengan merumuskan kerangka regulasi yang lebih ketat. Peraturan Menteri Perindustrian No. 37 Tahun 2019 tentang Standar Industri Hijau (SIH) untuk industri penyamakan kulit adalah langkah progresif yang menetapkan persyaratan teknis dan manajemen untuk mewujudkan industri yang ramah lingkungan. Regulasi ini mencakup aspek-aspek krusial mulai dari bahan baku, proses produksi, produk akhir, hingga pengelolaan limbah dan emisi gas rumah kaca. Perusahaan yang memenuhi standar ini dapat mengajukan sertifikasi industri hijau, yang memberikan pengakuan atas komitmen mereka terhadap keberlanjutan. Keberadaan regulasi ini adalah langkah yang tepat, namun efektivitasnya sangat bergantung pada penegakan hukum yang kuat dan pengawasan yang efektif. Tanpa implementasi yang tegas, peraturan tersebut berisiko kehilangan maknanya, seperti yang terlihat dari kondisi IPAL di Magetan.
Prospek dan Rekomendasi Strategis
Peluang Pertumbuhan dan Peningkatan Daya Saing
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, prospek industri kulit di Indonesia tetap menjanjikan. Sektor ini menunjukkan optimisme jangka panjang dengan masuknya investasi asing skala besar (PMA), dengan total nilai investasi yang mencapai Rp8 triliun untuk 12 investasi baru yang disetujui antara Januari hingga Mei 2025. Selain itu, potensi pasar domestik yang didukung oleh kreativitas lokal masih sangat besar. Adopsi strategi pemasaran digital dan e-commerce juga dapat menjadi katalisator untuk memperluas jangkauan pasar secara lebih efisien. Kombinasi investasi asing yang membawa modal dan teknologi dengan keahlian lokal dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan yang signifikan, terutama jika strategi ini dipadukan dengan kebijakan yang mendukung pengembangan industri hulu untuk mengatasi ketergantungan bahan baku.
Rekomendasi untuk Peningkatan Kinerja Industri
Untuk memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan meningkatkan daya saing, beberapa rekomendasi strategis perlu diterapkan:
- Untuk Pemerintah:
- Penegakan Regulasi: Perkuat penegakan hukum dan pengawasan terhadap IPAL di sentra-sentra industri untuk memastikan kepatuhan terhadap baku mutu lingkungan.
- Insentif Investasi: Berikan insentif fiskal dan non-fiskal bagi perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi penyamakan yang efisien, hemat air, dan ramah lingkungan.
- Pengembangan Hulu: Susun kebijakan yang mendorong ketersediaan kulit mentah domestik, misalnya melalui kemitraan dengan sektor peternakan, untuk mengurangi ketergantungan impor.
- Untuk Pelaku Industri:
- Modernisasi Peralatan: Lakukan investasi pada modernisasi peralatan, terutama di tingkat IKM, untuk meningkatkan efisiensi produksi dan mengurangi volume limbah yang dihasilkan.
- Diversifikasi dan Kemitraan: Diversifikasi sumber bahan baku, termasuk menjajaki kemitraan dengan peternak lokal untuk mendapatkan pasokan yang lebih stabil dan berkelanjutan.
- Adopsi Digital: Manfaatkan platform digital untuk pemasaran dan perluasan pasar, yang tidak hanya meningkatkan penjualan tetapi juga membangun hubungan langsung dengan konsumen.
- Untuk Investor:
- Investasi Hulu: Pertimbangkan peluang investasi di sektor hulu, terutama pada industri penyamakan, untuk mengisi kesenjangan pasokan domestik yang belum terpenuhi.
- Teknologi Lingkungan: Investasikan modal pada teknologi pengolahan limbah yang inovatif dan canggih, seperti teknik aerasi nano dispersed yang terbukti efektif, untuk mengatasi tantangan lingkungan yang menjadi isu utama industri.