Loading Now

Tarian Kolosal dan Fenomenal di Indonesia: Antara Tradisi, Adaptasi, dan Tantangan Modern

Seni tari di Indonesia adalah manifestasi kekayaan budaya yang tak terhitung jumlahnya. Di antara ragam tarian tersebut, terdapat kategori khusus yang menonjol karena skala dan dampaknya yang luar biasa, sering disebut sebagai “tarian kolosal” dan “tarian fenomenal.” Dalam laporan ini, sebuah analisis mendalam akan dilakukan untuk meninjau secara kritis tarian-tarian ini, tidak hanya dari sisi estetika dan sejarah, tetapi juga dari sudut pandang sosial, ekonomi, dan tantangan pelestarian di era modern.

Secara operasional, tari kolosal didefinisikan sebagai pertunjukan yang melibatkan jumlah penari yang sangat besar, mencapai ratusan bahkan ribuan orang, untuk menciptakan formasi visual yang megah dan memukau. Pertunjukan ini dirancang untuk memberikan dampak visual yang masif dan seringkali menjadi puncak acara-acara besar. Sementara itu,  tari fenomenal merujuk pada tarian yang telah mencapai ketenaran luas dan memiliki dampak signifikan, baik secara kultural, historis, maupun di mata publik, seringkali menembus batas geografis dan meraih pengakuan nasional maupun internasional.

Namun, penting untuk memahami bahwa konsep “kolosal” ini memiliki nuansa yang berbeda. Berdasarkan kajian, pementasan kolosal dapat dibedakan menjadi dua jenis utama. Di satu sisi, ada pementasan yang muncul secara organik dan digerakkan oleh komunitas, seperti fenomena “Reog Obyog” di Ponorogo yang menyatukan ratusan grup reog dalam satu acara perayaan. Di sisi lain, terdapat pertunjukan yang dirancang dan disponsori secara terpusat untuk sebuah acara berskala besar, seperti pementasan Tari Ratoeh Jaroe di upacara pembukaan Asian Games 2018 yang melibatkan 1.600 pelajar terpilih. Perbedaan ini esensial untuk memahami motivasi, tantangan, dan tujuan dari setiap pertunjukan, di mana satu didorong oleh semangat komunal dan yang lain didorong oleh ambisi spektakuler. Laporan ini akan mengkaji berbagai contoh, termasuk Tari Saman, Tari Kecak, Reog Ponorogo, dan Tari Ratoeh Jaroe, untuk mengilustrasikan perbedaan-perbedaan tersebut dan menganalisis dampaknya.

Studi Kasus I: Tari Saman—Simfoni Gerakan dari Tanah Gayo

Sejarah, Filosofi, dan Ciri Khas

Tari Saman, yang berasal dari suku Gayo di Provinsi Aceh, Sumatera, adalah salah satu tarian kolosal paling ikonik di Indonesia. Tarian ini dikembangkan oleh Syekh Saman sebagai media penyampaian pesan (da’wah) dan biasanya dipentaskan untuk merayakan peristiwa penting, termasuk perayaan keagamaan seperti Maulid Nabi Muhammad. Awalnya, Tari Saman hanya dibawakan oleh kaum laki-laki, tetapi seiring perkembangannya, tarian ini juga mulai dipentaskan oleh kaum perempuan.

Ciri khas Tari Saman terletak pada kekompakan dan kecepatan gerakannya yang luar biasa, sehingga tarian ini sering dijuluki “Tari Seribu Tangan”. Tarian ini tidak diiringi oleh alat musik tradisional, melainkan mengandalkan perkusi tubuh para penarinya. Suara dihasilkan dari tepukan tangan ke dada, paha, dan lantai, dikombinasikan dengan lambaian tangan dan goyangan kepala yang sinkron. Para penari duduk berbaris rapat, berlutut atau bersimpuh, dan dipimpin oleh seorang syekh yang menyanyikan syair dalam bahasa Gayo untuk memimpin ritme dan gerakan. Gerakan-gerakan ini secara simbolis merepresentasikan kehidupan sehari-hari masyarakat Gayo dan nilai-nilai luhur seperti kebersamaan dan kepahlawanan.

Pengakuan Dunia dan Tantangan Pelestarian

Pada tahun 2011, Tari Saman diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia. Pengakuan ini menempatkan Tari Saman di panggung dunia dan memvalidasi pentingnya warisan budaya ini. Namun, dokumen dari UNESCO sendiri mengungkapkan sebuah tantangan signifikan yang sering kali terabaikan dalam narasi publik: frekuensi pementasan dan transmisi Tari Saman justru menunjukkan penurunan. Fenomena ini memperlihatkan bahwa pengakuan internasional, meskipun penting, tidak selalu menjadi solusi akhir untuk keberlanjutan sebuah seni tradisional.

Analisis lebih mendalam menunjukkan bahwa tantangan ini berakar pada beberapa faktor struktural. Pertama, banyak syekh atau pemimpin yang memiliki pengetahuan mendalam tentang Tari Saman kini sudah berusia lanjut dan menghadapi masalah regenerasi karena ketiadaan penerus. Kedua, tarian ini harus bersaing dengan bentuk-bentuk hiburan modern dan permainan baru yang lebih menarik bagi generasi muda. Terakhir, ada kendala finansial yang cukup besar, mengingat biaya untuk kostum dan pementasan Saman tidaklah sedikit. Dengan demikian, status UNESCO dapat dipandang sebagai sebuah katalisator yang krusial untuk memicu kesadaran dan dukungan nasional, tetapi beban pelestarian yang sesungguhnya berada di pundak komunitas lokal, yang harus didukung dengan strategi sistemik untuk mengatasi masalah regenerasi, pendanaan, dan adaptasi di tengah perubahan zaman.

Studi Kasus II: Tari Kecak—Epos Ramayana dalam Lingkaran Magis Bali

Asal-Usul dan Transformasi dari Ritual ke Pertunjukan

Tari Kecak adalah salah satu tarian Bali yang paling terkenal dan sering menjadi agenda wajib bagi wisatawan. Awalnya, Tari Kecak berakar dari ritual sakral bernama  Sanghyang, sebuah tarian kesurupan yang bertujuan untuk berkomunikasi dengan roh leluhur dan mengusir roh jahat atau penyakit. Pada tahun 1930-an, tarian ini mengalami transformasi signifikan melalui kolaborasi antara seniman Bali, Wayan Limbak, dan seorang pelukis Jerman, Walter Spies. Mereka mengadaptasi ritual  Sanghyang menjadi pertunjukan dramatis yang mengisahkan epos Hindu Ramayana, khususnya adegan penyelamatan Dewi Shinta yang diculik oleh Rahwana.

Anatomi Pertunjukan Kolosal

Pertunjukan Tari Kecak sangat khas dengan formasi melingkar yang dibentuk oleh puluhan hingga ribuan penari pria. Para penari pria ini berfungsi sebagai paduan suara (koor) yang mengeluarkan suara “cak, cak, cak” secara berirama dan serentak, yang kemudian menjadi nama tarian ini. Koor vokal ini menjadi iringan utama yang menciptakan suasana magis dan dinamis, menggantikan peran alat musik tradisional seperti gamelan. Di tengah lingkaran, para tokoh utama seperti Rama, Shinta, Rahwana, dan Hanoman, tampil membawakan alur cerita. Pertunjukan ini juga dikenal karena penggunaan elemen api, terutama dalam adegan Hanoman, yang menambah nuansa mistis dan dramatis.

Dilema Kontemporer: Antara Sakralitas dan Komersialitas

Transformasi Tari Kecak dari ritual sakral menjadi pertunjukan fenomenal untuk publik menyoroti sebuah dilema krusial dalam pelestarian budaya. Tarian ini secara eksplisit dikembangkan untuk memenuhi selera dan harapan audiens Barat. Versi yang dipentaskan secara rutin untuk turis di tempat-tempat ikonik seperti Pura Uluwatu tidak selalu menarik secara artistik bagi masyarakat Bali sendiri. Sebaliknya, banyak orang Bali justru lebih menghargai kecak kreasi yang dikembangkan untuk audiens lokal.

Situasi ini menggambarkan sebuah fenomena komodifikasi budaya, di mana seni tradisional beradaptasi untuk bertahan secara ekonomi di pasar global, namun berisiko kehilangan daya tarik artistik dan makna mendalamnya di mata komunitas asalnya. Ini adalah hubungan yang kompleks, di mana nilai-nilai spiritual dan artistik harus diseimbangkan dengan kebutuhan ekonomi yang didorong oleh pariwisata. Sebagai catatan penting, meskipun Kecak identik dengan Bali, tarian ini tidak secara eksplisit termasuk dalam daftar “Tiga Genre Tarian Tradisional Bali” yang diakui UNESCO, yang terdiri dari tarian sakral, semi-sakral, dan hiburan.

Studi Kasus III: Reog Ponorogo—Simbol Perjuangan dan Kebesaran Jawa Timur

Latar Belakang Historis dan Mitologi

Reog Ponorogo adalah kesenian tradisional dari Jawa Timur yang memiliki sejarah panjang dan kaya makna. Kesenian ini diperkirakan telah ada sejak tahun 1920-an dan sering dikaitkan dengan hal-hal mistis. Secara historis, Reog diyakini bermula dari kritik sosial terhadap kekuasaan Majapahit. Namun, legenda yang paling populer mengisahkan perjuangan Raja Kelana Sewandana dari Kerajaan Bantarangin untuk melamar Putri Dewi Sanggalangit dari Kediri. Sang raja harus memenuhi syarat sulit, salah satunya membawa binatang berkepala dua, yang membawanya bertarung melawan Prabu Singabarong yang memiliki kepala harimau berhias bulu merak.

Makna Simbolis dalam Setiap Elemen

Setiap elemen dalam pertunjukan Reog Ponorogo memiliki makna simbolis yang mendalam. Tokoh yang paling ikonik adalah  Dadak Merak, topeng kepala harimau berhiaskan bulu merak yang beratnya bisa mencapai 50 kilogram dan hanya ditahan oleh gigitan penarinya. Topeng ini melambangkan Prabu Singabarong, dan bulu meraknya merepresentasikan kesombongan, kekuatan, dan keserakahan. Kemampuan penari untuk menahan beban seberat itu menjadi simbol ketahanan dan keperkasaan.

Tokoh-tokoh lain seperti Warok dan Jathilan juga memiliki peran sentral. Warok adalah tokoh sentral yang melambangkan kekuatan spiritual dan kebijaksanaan, dipercaya sebagai pelindung masyarakat. Sementara itu, Jathilan adalah tarian prajurit berkuda yang menggambarkan kegagahan dan semangat juang yang tinggi dari pasukan Raja Kelana Sewandana.

Fenomena “Reog Obyog” dan Pengakuan UNESCO

Reog Ponorogo kini sering dipentaskan dalam berbagai acara, termasuk hajatan, khitanan, dan perayaan kenegaraan. Pementasan massal “Reog Obyog” adalah sebuah fenomena kolosal yang unik di mana ratusan grup Reog dari Ponorogo dan sekitarnya (bisa mencapai 320 grup) berkumpul untuk tampil dalam satu acara besar.

Baru-baru ini, Reog Ponorogo diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Namun, status yang diberikan adalah “In Need of Urgent Safeguarding” (Memerlukan Perlindungan Mendesak). Berbeda dengan status “Representative List” yang diberikan kepada Tari Saman, kategori ini menunjukkan bahwa UNESCO telah mengidentifikasi ancaman yang nyata dan mendesak terhadap kelangsungan seni ini. Status ini kemungkinan terkait dengan tantangan regenerasi dan tuntutan fisik yang ekstrem, yang menuntut adanya upaya pelestarian yang lebih terarah dan mendesak, seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat dengan mendokumentasikan, mempromosikan, dan mengintegrasikannya ke dalam pendidikan.

Tarian Kolosal dan Fenomenal Lainnya dalam Konteks Nasional

Studi Kasus: Tari Ratoeh Jaroe di Asian Games 2018

Salah satu pertunjukan tarian kolosal paling fenomenal di era modern adalah Tari Ratoeh Jaroe yang dipentaskan pada upacara pembukaan Asian Games 2018. Pertunjukan ini melibatkan 1.600 pelajar dari 18 sekolah menengah di Jakarta dan dikoreografikan oleh Denny Malik. Pertunjukan ini memukau audiens global, bukan hanya karena jumlah penari yang masif, tetapi juga karena inovasi teknologinya.

Koreografi yang spektakuler itu diwujudkan dengan kostum berlapis yang dirancang khusus dengan perekat Velcro. Ini memungkinkan para penari untuk melakukan perubahan warna kostum secara cepat dan serentak di tengah pertunjukan, menciptakan efek animasi visual yang dinamis dan memesona dari pandangan udara. Pementasan ini merupakan contoh sempurna bagaimana seni tradisional dapat beradaptasi dan berinovasi tanpa mengorbankan identitas intinya, menjadikannya relevan dan “fenomenal” di panggung global yang serba modern dan berbasis media. Hal ini membuktikan bahwa perpaduan antara tradisi dan teknik produksi modern dapat menjadi strategi yang kuat untuk menarik audiens baru.

Peran Tarian Massal dalam Perayaan Kenegaraan

Selain acara internasional, tarian kolosal juga memainkan peran penting dalam perayaan kenegaraan, seperti peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Misalnya, di Nusa Tenggara Barat, Tari Kolosal Tembolak Beaq memeriahkan upacara HUT RI ke-79, dengan peserta upacara mengenakan berbagai baju adat Nusantara. Hal ini menunjukkan bagaimana tarian kolosal berfungsi sebagai alat untuk memperkuat identitas nasional dan persatuan di tengah keberagaman budaya.

Analisis Tematik: Tantangan dan Keberlanjutan Warisan Budaya

Perbandingan Kritis: Karakteristik dan Konteks

Kategori Tari Saman Tari Kecak Reog Ponorogo Tari Ratoeh Jaroe
Asal Daerah Aceh Bali Jawa Timur Aceh (Adaptasi)
Sejarah Singkat Media dakwah oleh Syekh Saman. Berakar dari ritual Sanghyang, diadaptasi untuk turis. Media kritik sosial, terkait mitologi lokal. Kreasi modern untuk pertunjukan spektakuler.
Ciri Khas Kolosal Baris rapat, gerakan sinkron “seribu tangan.” Koor pria melingkar, suara “cak-cak-cak.” Ratusan grup bergabung dalam satu parade. Formasi masif yang terprogram, perubahan kostum cepat.
Iringan Musik Perkusi tubuh dan vokal penari. Vokal penari. Gamelan, gong, kendang. Vokal, nyanyian, dan teknologi modern.
Narasi/Tema Dakwah, kebersamaan, dan nilai luhur. Epos Ramayana. Mitologi lokal dan kritik sosial. Tidak ada narasi, fokus pada estetika visual.
Status UNESCO 2011: Warisan Budaya Takbenda. Tidak terdaftar secara eksplisit. 2024: Memerlukan Perlindungan Mendesak. Tidak terdaftar.
Konteks Kontemporer Menghadapi masalah regenerasi dan pendanaan. Pertunjukan komersial vs. ritual/seni lokal. Fenomena komunal, ancaman mendesak. Contoh inovasi tradisi dengan teknologi.

 Akar Masalah Pelestarian

Tantangan terbesar dalam pelestarian seni tari tradisional Indonesia adalah kurangnya minat dari generasi muda. Namun, masalah ini jauh lebih kompleks daripada sekadar ketidakpedulian. Akar masalahnya bersifat multidimensi. Pertama, adanya daya tarik yang kuat dari tarian modern dan budaya populer global (seperti K-Pop dan modern dance) yang dianggap lebih “kekinian” dan mudah ditiru.  Kedua, ada hambatan struktural seperti keterbatasan akses ke sanggar tari tradisional di banyak daerah. Ketiga, faktor internal di dalam komunitas seniman itu sendiri, di mana ada pandangan yang “memiliki hak eksklusif” atas koreografi tertentu, yang menghambat kolaborasi dan partisipasi seniman-seniman baru. Terakhir, seperti yang terjadi pada Tari Saman, ada kendala finansial yang menjadi beban bagi para penari atau komunitas yang ingin mempertahankan tarian tersebut. Oleh karena itu, narasi tentang kurangnya minat generasi muda harus dilihat sebagai gejala dari masalah sistemik yang lebih dalam.

Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Tarian kolosal dan fenomenal di Indonesia mencerminkan sebuah narasi yang dinamis antara tradisi yang mengakar kuat dan adaptasi yang tak terhindarkan. Studi kasus Tari Saman, Kecak, Reog Ponorogo, dan Ratoeh Jaroe menunjukkan bahwa sebuah seni dapat menjadi “fenomenal” dalam berbagai cara—melalui pengakuan global, daya tarik komersial, manifestasi semangat komunal, atau inovasi teknologi. Namun, setiap jalur memiliki tantangannya sendiri, terutama terkait masalah regenerasi dan pendanaan.

Untuk memastikan keberlanjutan warisan budaya ini, diperlukan strategi yang terintegrasi dan proaktif dari berbagai pihak:

  • Pemerintah dan Institusi: Diperlukan dukungan finansial yang lebih terarah untuk memfasilitasi kegiatan pelestarian di tingkat komunitas dan sanggar, seperti yang dilakukan oleh BPNB DIY dan Kemendikbudristek. Selain itu, pendidikan formal harus mengintegrasikan seni tari tradisional untuk menanamkan rasa memiliki (handarbeni) sejak usia dini, seperti yang dicontohkan oleh program “Reyog Mini”.
  • Komunitas dan Seniman: Komunitas seni perlu membuka diri terhadap kolaborasi dan mengadaptasi metode pewarisan yang lebih modern, tidak hanya melalui hubungan keluarga tetapi juga melalui pelatihan terencana dan publikasi. Sikap “eksklusif” terhadap koreografi harus digantikan dengan semangat berbagi untuk menarik partisipasi baru.
  • Pemanfaatan Media dan Teknologi: Mengikuti jejak Tari Ratoeh Jaroe, media dan platform digital harus dimanfaatkan secara strategis untuk menampilkan seni tradisional dalam format yang menarik dan relevan bagi audiens modern. Promosi melalui media sosial dan pembuatan konten kreatif dapat mengubah persepsi dan memicu minat baru di kalangan generasi muda.

Pada akhirnya, keberlangsungan tarian kolosal dan fenomenal Indonesia tidak hanya bergantung pada pengakuan internasional atau pementasan spektakuler, tetapi pada sinergi yang harmonis antara pelestarian nilai-nilai luhur, inovasi kreatif, dan partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan, memastikan warisan budaya ini terus hidup dan berkembang di panggung global.

 

Post Comment

CAPTCHA ImageChange Image