Loading Now

Krisis Perumahan Global yang Tidak Terjangkau—Analisis Komparatif London, Sydney, dan Jakarta

Latar Belakang: Financialization Properti dan Globalisasi Modal

Krisis ketidakmampuan perumahan global telah bertransisi dari masalah lokal menjadi ancaman eksistensial bagi stabilitas sosial-ekonomi di banyak kota utama dunia. Fenomena ini berakar pada financialization properti, sebuah pergeseran fundamental di mana perumahan dilihat kurang sebagai utilitas sosial dan lebih sebagai aset investasi global yang dapat diperdagangkan, diperkenalkan, dan dijadikan jaminan oleh aliran modal lintas batas.

UN-Habitat mendefinisikan krisis afordabilitas terjadi ketika biaya perumahan bersih bulanan melebihi 30% dari total pendapatan bulanan rumah tangga, menempatkan penduduk dalam risiko penggusuran (eviction) dan mengorbankan pemenuhan hak asasi manusia lainnya, seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan.

Globalisasi modal telah mempercepat dinamika ini, memompa dana spekulatif dari investor asing dan non-residen ke pasar-pasar properti utama, yang secara langsung menaikkan harga aset dan memutus hubungan antara biaya perumahan dan pendapatan domestik. Laporan ini memilih London dan Sydney sebagai representasi pasar modal maju yang ditandai oleh pasokan terbatas dan permintaan investor global yang kuat, serta Jakarta, yang mewakili pasar berkembang yang berjuang menyeimbangkan kebutuhan investasi asing dengan perlindungan perumahan lokal.

Metrik Keterjangkauan dan Konsep Displacement

Untuk menilai tingkat krisis secara komparatif, analisis ini menggunakan metrik standar global. Metrik utama adalah Median Multiple—rasio harga rumah median terhadap pendapatan rumah tangga median. Berdasarkan laporan Demographia International Housing Affordability 2024, pasar-pasar dikategorikan dari “terjangkau” hingga “sangat tidak terjangkau” (impossibly unaffordable).

Selain krisis struktural afordabilitas (kronis yang diukur dengan rasio harga/pendapatan), laporan juga mempertimbangkan risiko siklus pasar, yaitu risiko gelembung real estat, menggunakan Indeks Gelembung Real Estat Global UBS (GREBI). Analisis GREBI 2025 menunjukkan bahwa London dan Sydney, meskipun sangat tidak terjangkau secara struktural, berada di kategori risiko yang berbeda. London menghadapi risiko gelembung rendah, sementara Sydney berada pada risiko moderat. Perbedaan ini mencerminkan dinamika penyesuaian pasar, di mana kota yang sangat mahal belum tentu memiliki risiko gelembung tertinggi jika pasar tersebut dianggap telah stabil secara finansial.

Konsekuensi terberat dari ketidakmampuan perumahan adalah displacement—perpindahan penduduk lokal. Istilah ini merujuk pada perpindahan sosio-ekonomi (exclusionary displacement) di mana penduduk lokal yang berpenghasilan rendah atau menengah terpaksa pindah karena lonjakan biaya sewa atau harga beli, yang didorong oleh capital gain properti yang melampaui pertumbuhan gaji mereka. Perpindahan ini seringkali terjadi secara “sukarela” karena ketidakmampuan untuk bersaing dalam pasar yang terdistorsi oleh modal spekulatif.

Kerangka Analisis: Pendorong Makroekonomi dan Hambatan Struktural

Peran Aliran Modal Lintas Batas dan Kebijakan Kontrol Kapital

Pasar properti global saling terkait erat. Transmisi sentimen makroekonomi, terutama dari kebijakan moneter bank sentral, memainkan peran signifikan. Kenaikan suku bunga secara global telah menciptakan dampak besar di Asia, Amerika, dan Eropa. Dampak langsungnya adalah peningkatan biaya kredit dan penurunan nilai properti di beberapa sektor, yang pada akhirnya memicu sentimen negatif.

Di pasar berkembang seperti Indonesia, kondisi ini menyebabkan praktik investasi asing menjadi lebih konservatif. Investor dan pengembang asing cenderung memprioritaskan sektor dengan risiko lebih rendah dan keuntungan tinggi. Kondisi ini diperburuk oleh krisis struktural di Tiongkok, di mana sektor properti yang sebelumnya menyumbang 25–30% dari PDB kini menghadapi kolaps pengembang besar (seperti Evergrande) dan kelebihan pasokan di segmen mewah (ghost cities). Perlambatan industri berat Tiongkok memengaruhi pasar komoditas global, yang kemudian berpotensi mengurangi aliran modal spekulatif ke kota-kota Asia, termasuk Jakarta.

Sebagai respons, beberapa yurisdiksi telah menggunakan kebijakan kontrol modal. Tinjauan akademis menunjukkan bahwa kebijakan kontrol modal—kebijakan yang dirancang untuk mengelola aliran modal—memiliki efek negatif terhadap harga properti, artinya kontrol ini cenderung mengurangi harga. Namun, efektivitasnya bervariasi tergantung jenis kontrol, arah aliran modal, dan tingkat pendapatan negara. Meskipun temuan ini kompleks, ia memberikan justifikasi empiris bagi negara-negara seperti Australia untuk menerapkan kebijakan restriktif terhadap pembelian properti oleh non-residen, tujuannya untuk mengurangi tekanan permintaan yang datang dari luar negeri.

Hambatan Struktural Lokal: Kebijakan Lahan dan Zoning

Pendorong utama krisis afordabilitas, terutama di pasar maju seperti London dan Sydney, adalah hambatan struktural dalam negeri, terutama kebijakan penggunaan lahan. Kebijakan pembatasan pertumbuhan perkotaan (urban containment policies), termasuk batas pertumbuhan dan greenbelts, meskipun bertujuan baik untuk mengendalikan sprawl dan meningkatkan kepadatan, secara tidak sengaja membatasi pasokan lahan yang tersedia untuk perumahan. Keterbatasan pasokan ini kemudian menerjemahkan nilai lahan yang tinggi menjadi harga rumah yang melonjak secara dramatis.

Lebih lanjut, sistem pajak properti yang diterapkan di banyak negara, termasuk Australia, dituding menciptakan moral hazard struktural. Australia sangat bergantung pada duti setem (stamp duty), yang merupakan pajak transaksi satu kali. Kebijakan ini menjaga biaya kepemilikan tahunan (holding cost) tetap rendah bagi spekulan dan pemilik properti jangka panjang, sementara duti setem menghasilkan pendapatan besar bagi pemerintah. Kelemahan sistem ini adalah, pemilik tanah yang sudah ada (terutama generasi boomers di Australia) memiliki insentif finansial yang kuat untuk bersekongkol membatasi pasokan baru (melalui kontrol zonasi yang ketat) demi mempertahankan harga tanah yang tinggi dan menumpuk kekayaan. Kurangnya kemauan politik untuk mengganti duti setem dengan Pajak Nilai Lahan (LVT) yang lebih tinggi dan melonggarkan zonasi, telah diidentifikasi sebagai kegagalan kebijakan paling jelas yang memperburuk masalah perumahan Australia.

Analisis Kasus Komparatif (I): London dan Sydney – Episentrum Finansial

London dan Sydney, meskipun sama-sama kota global berpendapatan tinggi yang menarik investasi besar, menunjukkan dinamika krisis afordabilitas yang berbeda dalam hal laju pertumbuhan harga relatif terhadap pendapatan.

Sydney: Krisis Afordabilitas Paling Akut

Sydney terus mempertahankan posisinya sebagai salah satu pasar perumahan paling tidak terjangkau di dunia. Pada tahun 2024, Sydney diklasifikasikan sebagai impossibly unaffordable dengan Median Multiple mencapai 13.8, hanya sedikit di bawah Hong Kong (14.4). Rasio ini jauh melampaui fundamental pasar dan mencerminkan tekanan permintaan yang sangat parah.

Tekanan ini secara eksplisit diterjemahkan menjadi Capital Gain Displacement. Data menunjukkan bahwa selama Tahun Fiskal (FY) 2024, nilai properti median Sydney meningkat sebesar 6.3%, atau setara dengan kenaikan $96,828. Hal yang mencengangkan, jumlah ini hampir identik dengan rata-rata pendapatan penuh tahunan di New South Wales ($98,352.80). Artinya, dalam satu tahun, nilai properti median menghasilkan keuntungan modal yang setara dengan seluruh pendapatan yang diperoleh pekerja penuh waktu rata-rata. Di area mewah, seperti Bellevue Hill, kenaikan nilai bahkan mencapai 6.7 kali rata-rata pendapatan tahunan. Fenomena ini secara tegas menunjukkan mengapa rumah tangga berpendapatan menengah tidak memiliki peluang untuk mengejar pertumbuhan aset: pendapatan dari tenaga kerja tidak lagi relevan untuk mengakuisisi properti di kota tersebut.

Menghadapi krisis yang diperburuk oleh meningkatnya biaya hidup dan ketidakpuasan publik, pemerintah Australia telah mengambil respons kebijakan yang agresif dan bersifat hard control. Selain mengenakan Surcharge Purchaser Duty dan Land Tax Surcharge sebesar 8% bagi pembeli asing di NSW , pemerintah federal mengumumkan larangan sementara bagi warga negara asing untuk membeli rumah yang sudah ada (properti eksisting) mulai 1 April 2025 hingga 31 Maret 2027. Langkah kuantitatif drastis ini diperkirakan dapat menyediakan 1.800 properti per tahun untuk warga negara Australia. Kebijakan ini adalah manifestasi politis bahwa afordabilitas telah menjadi isu pemilu utama, menuntut intervensi langsung untuk meningkatkan pasokan bagi penduduk lokal.

London: Stabilitas Finansial Struktural dan Gentrifikasi Meluas

London juga menghadapi rasio afordabilitas yang sangat tinggi (11.1 pada tahun 2024) dan diklasifikasikan sebagai impossibly unaffordable. Namun, kota ini menunjukkan paradoks: meskipun harga tinggi, Indeks Gelembung Real Estat UBS 2025 menempatkannya dalam kategori risiko gelembung rendah.

Stabilisasi ini disebabkan oleh mekanisme pendinginan pasar yang terjadi baru-baru ini. Rasio afordabilitas London yang sempat mencapai puncaknya (12.9 pada 2021) telah menurun kembali ke 11.1 pada 2024, setara dengan level 2015. Analisis ONS menunjukkan bahwa harga rumah secara nasional hanya naik 1% sejak 2021, sementara pendapatan (upah) telah meningkat 20% dalam periode yang sama. Kenaikan pendapatan nominal yang lebih cepat daripada kenaikan harga properti telah membantu menstabilkan rasio afordabilitas dalam jangka pendek, meskipun perumahan tetap tidak terjangkau secara struktural (sejak tahun 2002, rumah rata-rata telah dijual melebihi lima kali lipat pendapatan lokal).

Dalam hal pengendalian modal, London menerapkan kontrol fiskal yang lebih lunak, yaitu Non-Resident Stamp Duty Land Tax (SDLT) Surcharge sebesar 2% yang diterapkan di atas tarif standar.

Terlepas dari stabilisasi rasio harga/pendapatan, London mengalami gentrifikasi dan perpindahan penduduk secara meluas, terutama di inner boroughs. Pemetaan perubahan lingkungan menunjukkan bahwa antara 2001 hingga 2011, ratusan area (Lower Super Output Areas/LSOAs) diklasifikasikan sebagai ascending atau mengalami peningkatan, dengan gentrifikasi hanya merupakan salah satu bentuk peningkatan tersebut. Penelitian telah mengkonfirmasi hubungan kausal antara gentrifikasi dan lintasan migrasi penduduk lokal yang rentan, menunjukkan bahwa perpindahan adalah konsekuensi yang diperlukan dari gentrifikasi. Berbagai mutasi gentrifikasi—super-gentrification, marginal, dan mainstream—diprediksi akan terus meluas di masa depan.

Table III.1: Metrik Keterjangkauan Perumahan dan Indikator Risiko Pilihan, 2024-2025

Kota Rasio Harga Median/Pendapatan Median (Median Multiple) Kategori Keterjangkauan (Demographia) Indeks Risiko Gelembung Real Estat (UBS 2025) Tren Kenaikan Harga vs. Pendapatan (Tren 2024)
London 11.1 (ONS 2024) / 9.1 (Demographia 2024) Impossibly Unaffordable Risiko Rendah Kenaikan Pendapatan Nominal Melampaui Kenaikan Harga Properti
Sydney 13.8 (Demographia 2024) / 8.1 (Lokal Q3 2024) Impossibly Unaffordable Risiko Moderat Kenaikan Harga Median Hampir Sama dengan Pendapatan Tahunan Median
Jakarta Data IHP 110.36 Poin (2018=100) Tidak Diklasifikasikan dalam Indeks Utama Tidak termasuk dalam 21 kota utama UBS Pertumbuhan Harga Residensial Tumbuh Terbatas (Nominal 0.90%)

Analisis Kasus Komparatif (II): Jakarta – Globalisasi yang Tersegmentasi

Jakarta menunjukkan dinamika pasar yang berbeda dibandingkan London dan Sydney, beroperasi dalam kerangka globalisasi yang tersegmentasi di mana investasi asing diarahkan ke sektor tertentu melalui kebijakan yang ketat.

Kebijakan Kepemilikan Asing yang Dibatasi

Indonesia secara tradisional membatasi kepemilikan properti untuk warga negara asing (WNA) berdasarkan prinsip Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa hanya WNI yang dapat memiliki tanah. Dalam rangka menarik investasi asing langsung (FDI) dan mengikuti agenda integrasi MEA, pemerintah telah melonggarkan aturan melalui Peraturan Pemerintah (PP) 103 Tahun 2015, yang mencabut PP 41 Tahun 1996.

Kebijakan ini menciptakan strategi pasar ganda (dual market). WNA diizinkan memiliki properti (umumnya apartemen) dengan status Hak Pakai, tetapi dengan batasan yang ketat, termasuk harga minimum yang sangat tinggi (Rp 3 Miliar ke atas). Pembatasan ini bertujuan untuk memastikan bahwa modal asing hanya menargetkan segmen mewah, menghindari kompetisi langsung di pasar perumahan terjangkau yang sangat dibutuhkan penduduk lokal. Investor didorong masuk untuk tujuan bisnis, pendidikan anak (meniru model Australia ), atau tempat pensiun.

Meskipun demikian, pelonggaran regulasi ini menghadapi konflik hukum. Analisis menunjukkan adanya ketidakselarasan antara PP 103/2015 dengan UUPA dan PP 40/1996. Ketidakpastian hukum ini, ditambah dengan usulan ambang batas pajak yang lebih tinggi bagi pembeli asing (seperti PPNBM 20% untuk properti di atas Rp 30 Miliar ), secara implisit membatasi investasi skala besar yang spekulatif, meskipun pada saat yang sama menghambat potensi FDI yang ingin memanfaatkan pasar properti.

Gentrifikasi Lokal: Infrastructure-Induced Displacement

Meskipun Jakarta tidak mengalami tekanan harga properti residensial sebesar Sydney—dengan pertumbuhan harga properti residensial yang terbatas (nominal 0.90% Realisasi SHPR Triwulan III 2024) —kota ini menghadapi masalah gentrifikasi yang didorong oleh investasi infrastruktur publik.

Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit (Transit-Oriented Development atau TOD) adalah pemicu gentrifikasi yang terbukti. Studi kasus di Manggarai, Jakarta, menunjukkan bahwa pengembangan TOD telah memicu peningkatan harga lahan di sekitarnya. Jarak yang lebih dekat ke stasiun secara signifikan memengaruhi harga lahan dan ukuran populasi.

Namun, terdapat kegagalan mengelola land value capture yang mendasar. Lonjakan nilai lahan yang dihasilkan oleh investasi publik dalam infrastruktur (aksesibilitas transportasi) tidak secara proporsional meningkatkan pendapatan penduduk lokal atau dikonversi menjadi perumahan terjangkau. Akibatnya, nilai lahan yang melambung tinggi tersebut menjadi beban biaya yang tidak terjangkau, menyebabkan perpindahan penduduk lokal secara sukarela atau terpaksa (displacement). Fenomena ini mengancam kaum milenial dengan pendapatan setara Upah Minimum Regional (UMR) yang kesulitan mendapatkan hunian tapak atau menghadapi risiko penggusuran sukarela di pusat-pusat kota.

Ironi Kelebihan Pasokan dan Krisis Kebutuhan

Pasar properti Jakarta menunjukkan ironi yang mencolok: meskipun pemerintah menargetkan pembangunan jutaan rumah per tahun, kota ini menghadapi masalah kelebihan pasokan di segmen mewah, di mana apartemen kosong semakin banyak. Fenomena ini serupa dengan krisis Ghost Cities di Tiongkok.

Disparitas ini menunjukkan kegagalan penyelarasan antara pasokan dan kebutuhan sosial. Investasi, baik domestik maupun asing, terfokus pada properti yang berfungsi sebagai aset finansial spekulatif atau hunian mewah, mengabaikan kebutuhan dasar perumahan terjangkau bagi penduduk lokal berpenghasilan rendah dan menengah. Krisis di Jakarta bukanlah krisis kekurangan rumah secara absolut, tetapi krisis kekurangan rumah yang sesuai dengan daya beli dan lokasi yang dibutuhkan masyarakat.

Mekanisme Perpindahan Penduduk (Displacement) dan Konsekuensi Sosial

Gentrifikasi sebagai Kekuatan Perpindahan Sosio-Ekonomi

Gentrifikasi, yang didorong oleh peningkatan nilai lahan dan alih fungsi menjadi komersial, secara langsung menciptakan kelangkaan perumahan yang terjangkau. Bagi masyarakat rentan, gentrifikasi meningkatkan pengeluaran perumahan, yang jika melampaui ambang batas 30% pendapatan, akan memiskinkan rumah tangga dan mengorbankan kebutuhan dasar lainnya.

Di London, pemetaan ekstensif telah menunjukkan bagaimana berbagai bentuk gentrifikasi memengaruhi segmen masyarakat yang berbeda dan memperluas area risiko perpindahan. Di Jakarta, peningkatan harga lahan pasca-pengembangan TOD menempatkan penduduk lokal di Manggarai dalam posisi yang tidak berkelanjutan secara finansial, menciptakan mekanisme perpindahan yang dipicu oleh infrastruktur publik.

Spekulasi Lahan dan Properti Kosong

Spekulasi lahan merupakan faktor kunci dalam menciptakan kelangkaan artifisial, yang pada akhirnya memperburuk ketidakmampuan perumahan. Di banyak kawasan perkotaan, lahan atau properti dibiarkan kosong selama bertahun-tahun dengan pertimbangan properti, karena spekulan berharap harga aset akan naik terus. Kondisi ini menghambat fungsi tata guna lahan yang seharusnya dimanfaatkan untuk perumahan atau fasilitas publik.

Untuk memerangi spekulasi ini, pemerintah dapat menerapkan pajak nilai tanah yang efektif.

  1. London:Otoritas lokal mengenakan Council Tax Premium yang progresif pada properti yang kosong dan tidak berpenghuni. Premi ini meningkat seiring lamanya properti kosong, dapat mencapai hingga empat kali lipat tagihan pajak normal jika properti kosong setidaknya selama 10 tahun. London Borough of Waltham Forest, misalnya, juga mengenakan premi 100% pada rumah kedua (second homes) sejak April 2025.
  2. Indonesia:Penelitian menunjukkan potensi kerugian pendapatan lokal yang signifikan akibat spekulasi lahan kosong. Konsekuensinya, pemerintah perlu segera memberlakukan dan memperluas kebijakan pengenaan pajak progresif pada Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) terhadap lahan kosong. Pajak progresif ini bertujuan untuk menyeimbangkan keadilan bagi pemilik tanah, mengurangi spekulasi, dan mendorong pemanfaatan lahan yang efektif untuk pembangunan.

Perbandingan Kebijakan Pengendalian Modal dan Fiskal

Perbandingan kebijakan di tiga yurisdiksi ini menyoroti spektrum intervensi, dari kontrol fiskal lunak hingga larangan kuantitatif keras.

Kontrol Fiskal vs. Kuantitatif: Inggris dan Australia

Inggris Raya dan Australia menggunakan kontrol harga (surcharge) sebagai penghalang fiskal bagi pembeli asing, namun Australia telah meningkatkan intensitas intervensinya.

Di London, Non-Resident SDLT Surcharge sebesar 2% merupakan hambatan finansial yang relatif ringan dan bertujuan untuk menambah pendapatan negara serta memberikan sinyal bahwa investasi non-residen harus membayar premi untuk mengakses pasar perumahan Inggris.

Sebaliknya, Sydney (Australia) telah bergerak menuju kontrol kuantitatif yang keras. Selain Stamp Duty Surcharge 8%, yang jauh lebih tinggi daripada London, pemerintah telah melarang pembelian properti eksisting oleh orang asing selama dua tahun. Larangan ini merupakan intervensi pasar langsung yang signifikan, didorong oleh kebutuhan mendesak untuk mengurangi tekanan biaya hidup dan memenangkan kembali afordabilitas bagi penduduk lokal.

Analisis struktural menunjukkan bahwa terlepas dari kontrol ini, akar masalahnya terletak pada kegagalan sistem pajak lahan dan zonasi. Para ekonom urban dan pakar properti berpendapat bahwa LVT yang lebih tinggi (menggantikan stamp duty yang bersifat transaksional) dan pelonggaran undang-undang zonasi yang ketat adalah solusi struktural jangka panjang yang jelas dan sederhana untuk masalah Australia. Namun, solusi ini kurang memiliki kemauan politik karena bertentangan dengan kepentingan finansial pemilik properti eksisting yang dominan.

Pengendalian Pasar Berkembang: Indonesia

Indonesia memilih pendekatan regulasi. Daripada mengenakan pajak tinggi pada semua transaksi asing (yang dapat menghambat FDI), fokusnya adalah membatasi jenis properti dan hak kepemilikan (Hak Pakai, bukan Hak Milik) serta menetapkan ambang batas harga minimum yang sangat tinggi (Rp 3 Miliar).

Namun, terdapat usulan kebijakan yang lebih agresif untuk pengendalian pasar. Sejumlah pakar properti mengusulkan agar Indonesia memberlakukan konsep harga dual, di mana harga jual dan tarif pajak properti bagi pembeli asing dibuat lebih mahal dibandingkan pembeli domestik, sejalan dengan praktik penetapan harga internasional di industri pariwisata (misalnya tiket warisan dunia). Penerapan regulasi zonasi yang ketat untuk kota-kota besar atau tujuan wisata (seperti Jakarta dan Bali) juga dianggap perlu untuk mencegah investor asing berkompetisi di area perumahan yang sensitif terhadap kebutuhan domestik.

Table VI.1: Kebijakan Pengendalian Investasi Properti Asing dan Spekulasi (2024-2027)

Yurisdiksi Instrumen Kontrol Modal Asing Tarif/Batasan Utama Kebijakan Anti-Spekulasi Lahan Kosong Tujuan Kebijakan Utama
Inggris Raya (London) SDLT Surcharge (Fiskal) Surcharge 2% di atas tarif standar SDLT Council Tax Premium (hingga 4x) jika kosong ≥10 tahun Membatasi permintaan non-residen; Mendorong pemanfaatan properti kosong
Australia (Sydney) Surcharge Pembeli Asing + Larangan Pembelian (Kuantitatif) Surcharge Stamp Duty 8%; Larangan pembelian properti eksisting (Apr 2025-Mar 2027) Tidak tercantum secara eksplisit di NSW Menambah pasokan untuk warga lokal; Mengurangi tekanan biaya hidup
Indonesia (Jakarta) Pembatasan Hak (Hak Pakai) + Harga Minimum Tinggi Harga minimum di atas Rp 3 Miliar; Batasan jenis properti (apartemen) Pajak Progresif PBB-P2 (Diusulkan) Menarik FDI High-End; Melindungi Pasar Menengah Bawah dari kompetisi harga

Rekomendasi Strategis dan Kerangka Solusi Berkelanjutan

Untuk mengatasi krisis afordabilitas perumahan yang bersifat struktural dan diperburuk oleh aliran modal global, diperlukan reformasi kebijakan yang terkoordinasi, berani, dan berfokus pada pengembalian fungsi sosial perumahan.

Reformasi Pajak dan Kontrol Spekulasi

  1. Implementasi Pajak Nilai Lahan (LVT) Progresif Global:Pemerintah harus beralih dari pajak transaksi (seperti Stamp Duty) ke pajak properti tahunan berbasis nilai lahan (LVT). LVT meningkatkan holding cost, mengurangi insentif spekulasi lahan, dan memaksa lahan yang berharga untuk segera dikembangkan atau dijual. Di Indonesia, ini berarti segera mengimplementasikan dan memperluas pajak progresif PBB-P2 pada lahan dan properti yang dibiarkan kosong bertahun-tahun.
  2. Kontrol Kapital yang Ditargetkan:Daripada larangan pembelian total (seperti di Australia), pemerintah dapat menerapkan kontrol modal yang lebih fleksibel dan ditargetkan pada aliran modal spekulatif jangka pendek di sektor residensial. Kontrol ini harus didasarkan pada durasi kepemilikan dan frekuensi transaksi untuk membedakan antara investor jangka panjang yang stabil dan spekulan yang merusak.

Peningkatan Pasokan dan Perumahan Sosial

  1. Investasi Skala Besar dalam Perumahan Sosial:Negara-negara perlu mengisi kesenjangan investasi perumahan sosial yang besar (di Uni Eropa saja, kesenjangan mencapai EUR 57 Miliar per tahun). Strategi harus mencakup mobilisasi pembiayaan yang inovatif, termasuk kemitraan pemerintah-swasta (KPBU) perumahan rakyat, dan pengambilalihan serta penggunaan kembali bangunan kosong (misalnya kantor atau apartemen mewah yang tidak terjual) untuk stok perumahan sosial.
  2. Pelonggaran Regulasi Zonasi yang Strategis:Di kota-kota dengan tekanan pasokan parah (Sydney, London), harus ada pelonggaran kebijakan urban containment di sekitar koridor transportasi utama untuk meningkatkan kepadatan dan pasokan. Namun, pelonggaran ini harus diimbangi dengan kebijakan inclusionary zoning yang mewajibkan pengembang menyisihkan persentase unit untuk perumahan terjangkau, memastikan pasokan baru tidak hanya melayani pasar mewah.

Perencanaan Kota yang Inklusif dan Mitigasi Displacement

  1. Mengintegrasikan Afordabilitas ke dalam Pembangunan Infrastruktur:Kebijakan pembangunan infrastruktur publik (seperti TOD di Jakarta) harus secara proaktif mengintegrasikan mekanisme land value capture untuk mendanai perumahan terjangkau. Nilai lebih yang diciptakan oleh aksesibilitas harus diarahkan kembali untuk mensubsidi penduduk yang rentan terhadap perpindahan.
  2. Perlindungan Masyarakat Rentan:Otoritas lokal harus secara aktif mengidentifikasi dan memantau wilayah yang rentan terhadap gentrifikasi dan perpindahan. Program perlindungan penyewa, kontrol sewa yang stabil, dan monitoring sejarah perumahan masyarakat rentan harus diterapkan sebagai tindakan pencegahan terhadap perpindahan paksa maupun sukarela.

Kesimpulan : Masa Depan Kota Global yang Inklusif

Krisis perumahan global yang tidak terjangkau adalah manifestasi dari kegagalan tata kelola (supply constraint policies) yang diperparah oleh tekanan modal finansial global. Studi kasus London, Sydney, dan Jakarta menunjukkan bahwa meskipun latar belakang ekonomi berbeda, mekanismenya serupa: kenaikan nilai aset properti jauh melampaui pertumbuhan upah, menghasilkan displacement sosio-ekonomi yang masif. Di Sydney, pertumbuhan modal properti setara dengan pendapatan tahunan; di Jakarta, gentrifikasi didorong oleh pembangunan infrastruktur tanpa perlindungan harga lahan.

Solusi struktural memerlukan komitmen politik yang berani untuk mereformasi sistem pajak lahan—beralih ke Pajak Nilai Lahan Progresif—dan mengatasi hambatan zonasi yang membatasi pasokan. Selain itu, pemerintah harus mengintervensi dengan investasi besar dalam perumahan sosial dan kontrol modal yang ditargetkan untuk mengurangi spekulasi.

Pada akhirnya, masa depan kota-kota global yang inklusif bergantung pada kemampuan para pembuat kebijakan untuk menegaskan kembali fungsi perumahan sebagai hak asasi manusia dan utilitas sosial, bukan hanya sebagai aset finansial untuk akumulasi modal global. Kegagalan dalam langkah ini akan terus menghasilkan kota-kota di mana penduduk yang menghidupinya tidak mampu untuk tinggal di dalamnya.