Inovasi Tata Kelola Kota Cerdas: Studi Kasus Pemerintah Metropolitan Seoul
Pendahuluan
Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai inovasi tata kelola kota cerdas (Smart City Governance/SCG) yang diterapkan oleh Pemerintah Metropolitan Seoul (SMG). Seoul diakui secara global sebagai salah satu kota cerdas terdepan, didorong oleh infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang canggih dan rencana induk digital yang visioner. Analisis ini berfokus pada kerangka tata kelola, pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan efisiensi layanan publik dan manajemen lalu lintas, serta strategi inklusif untuk partisipasi warga dalam ekosistem digital.
Smart governance merupakan konsep multidimensi, yang mengintegrasikan teknologi, kebijakan, dan partisipasi publik untuk mengelola kota secara efektif dan meningkatkan keberlanjutan urban. Keberhasilan inisiatif ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menghasilkan dan menggunakan data real-time yang masif guna menginformasikan kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga memastikan penyampaian layanan publik yang efisien dan efektif. Studi kasus Seoul memberikan model yang penting bagi para pembuat kebijakan global, khususnya dalam menyeimbangkan percepatan adopsi teknologi dengan tuntutan keberlanjutan, inklusi sosial, dan perlindungan data.
Kerangka Konseptual dan Arsitektur Tata Kelola Smart City Seoul
Definisi, Evolusi, dan Pilar Strategis Smart City Governance (SCG)
Smart City Governance (SCG) merujuk pada struktur organisasi yang dirancang untuk mengumpulkan berbagai pemangku kepentingan—termasuk pemerintah, sektor swasta, dan warga—untuk berkolaborasi dalam memecahkan masalah umum dan mencapai visi kolektif. Dalam konteks Seoul, tata kelola cerdas adalah landasan sistemik untuk mempromosikan transformasi digital. Seoul Metropolitan Government telah mengartikulasikan visi “Seoul, Leading the Future of Digital Transformation as a Global Smart City”. Untuk mewujudkan visi ini, SMG menetapkan Smart City and Digitization Master Plan 2021–2025, yang mencakup langkah-langkah strategis untuk memperluas infrastruktur cerdas dan meningkatkan penyampaian layanan publik non-tatap muka.
Menurut kerangka kerja yang dikembangkan oleh ITU-T Technology Watch, model Smart Seoul didukung oleh tiga pilar fungsional utama yang memastikan pendekatan yang holistik: 1) ICT Infrastructure, yang berfokus pada penyediaan konektivitas yang canggih (Korea terkenal dengan infrastruktur ICT yang kompetitif ); 2) Integrated City-management, yang mencakup berbagai dimensi tata kelola (seperti pemerintahan, transportasi, dan kesehatan); dan 3) Smart Users, yang bertujuan mengembangkan solusi cerdas yang berpusat pada pengguna. Struktur ini menunjukkan bahwa pembangunan kota cerdas di Seoul tidak hanya berorientasi pada teknologi tetapi juga pada integrasi manajemen dan pemberdayaan warga.
Kerangka Tata Kelola Data dan Tantangan Utama
Perkembangan kota cerdas memanfaatkan teknologi digital mutakhir, seperti Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), dan Big Data, yang menghasilkan volume data real-time yang sangat besar. Keberhasilan model Seoul bergantung pada ketersediaan dan pemanfaatan data ini secara efektif.
Namun, keunggulan Seoul dalam sektor ICT (seperti penetrasi smartphone yang tinggi dan keberadaan perusahaan teknologi global ) secara paradoks juga mempercepat tantangan tata kelola data. Volume data urban yang dihasilkan berkembang jauh lebih cepat daripada kapasitas pemerintah, baik di tingkat nasional maupun kota, untuk menyimpan dan memprosesnya. Selain itu, jumlah pemangku kepentingan yang terlibat dalam produksi, analisis, dan penyimpanan data urban terus meningkat, mendorong kapasitas manajemen data kota ke batasnya.
Tantangan utama yang dihadapi dalam tata kelola data Smart City, yang relevan dengan konteks Seoul, dapat dikategorikan sebagai berikut :
- Hambatan Finansial: Keterbatasan sumber daya finansial dan, yang lebih krusial, kurangnya model bisnis yang memadai untuk membiayai dan membiayai ulang pengumpulan data secara berkelanjutan.
- Keterbatasan Sumber Daya Manusia: Akses terbatas terhadap pakar yang terampil (skilled experts) yang diperlukan untuk menganalisis dan memanfaatkan data yang kompleks.
- Risiko Regulasi dan Keamanan: Kurangnya kepatuhan penuh terhadap legislasi nasional mengenai berbagi dan perlindungan data, yang menimbulkan risiko data dan keamanan yang serius. Pengelolaan dan pembagian data secara bijaksana menjadi penting untuk meningkatkan kesejahteraan warga dan mempromosikan lingkungan yang berkelanjutan.
Fokus Seoul pada pilar Integrated City-management menyiratkan strategi kebijakan yang mendasar: data yang dikumpulkan melalui satu domain (misalnya, transportasi) harus menghasilkan nilai lintas sektor. Pendekatan penciptaan nilai lintas sektor ini penting untuk mengatasi tantangan finansial yang disoroti oleh OECD, karena mendorong pembangunan ekosistem industri yang mandiri dan menarik partisipasi swasta secara aktif, yang merupakan kunci untuk memastikan keberlanjutan layanan cerdas dalam jangka panjang.
Tabel 1 merangkum tantangan utama yang dihadapi oleh Seoul dalam mengelola data urban di tengah perkembangan teknologi yang pesat.
Tabel 1: Tantangan Utama dalam Tata Kelola Data Smart City Seoul
| Dimensi Tata Kelola | Isu Kunci (Berdasarkan OECD) | Implikasi Kebijakan |
| Finansial | Sumber daya tidak mencukupi; Kurangnya model bisnis untuk pendanaan data. | Menghambat skalabilitas proyek dan memerlukan kerangka kerja Public-Private Partnership (PPP) yang inovatif. |
| Sumber Daya Manusia | Akses terbatas ke pakar terampil. | Membatasi kapasitas analitis dan pengambilan keputusan berbasis data real-time. |
| Regulasi dan Kepatuhan | Ketidakpatuhan terhadap undang-undang berbagi dan perlindungan data. | Risiko hukum, krisis kepercayaan publik, dan perlunya penguatan privasi data. |
Peningkatan Efisiensi Layanan Publik Melalui Inovasi Digital
Seoul telah menggunakan transformasi digitalnya—dari e-Government tradisional hingga platform imersif—untuk secara drastis meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas layanan publik.
Transformasi E-Government dan Layanan Proaktif
Sejarah e-Government Seoul dimulai sejak tahun 1990-an, ditandai dengan upaya untuk meningkatkan transparansi, efisiensi administrasi, dan partisipasi publik. Inisiatif awal mencakup pengembangan Sistem Kerja Elektronik (Electronic Work System) yang mengintegrasikan manajemen bisnis dengan persetujuan elektronik. Pada periode 2000–2009, SMG mulai fokus pada keselamatan warga melalui instalasi Seoul CCTV Integrated Control Center dan membangun pusat data yang beroperasi dengan daya rendah dan efisiensi tinggi. Layanan seperti 120 Dasan Call Center juga didirikan sebagai hotline respons cepat yang berpusat pada warga.
Saat ini, Master Plan Digital 2021-2025 Seoul menggeser fokus administrasi dari reaktif menjadi proaktif, sejalan dengan evolusi e-Government menuju platform kota cerdas. Strategi ini menekankan tiga misi utama:
- Layanan Proaktif dan One-Stop: Menyediakan notifikasi personalisasi mengenai kelayakan layanan, tenggat waktu, atau acara kepada warga. Ini memerlukan renovasi proses layanan untuk memecah silo dan hambatan antar entitas pemerintah, memfasilitasi aplikasi one-stop.
- Inisiatif MyData: Menerapkan MyData dan sertifikat digital untuk layanan non-kontak. Inisiatif ini memungkinkan warga untuk mengotorisasi dan mengontrol pembagian data mereka, secara signifikan meningkatkan efisiensi pengumpulan data pemerintah, sambil meminimalkan transaksi informasi yang berlebihan untuk perlindungan privasi.
- Administrasi Berbasis Data: Membentuk pusat analisis data terintegrasi di tingkat pan-pemerintah dan regional untuk pengambilan kebijakan, keputusan, dan evaluasi berbasis data, termasuk pencegahan dan respons bencana real-time menggunakan datastream sensor IoT.
Inovasi Layanan Real-Time Berbasis Big Data
Seoul memanfaatkan data besar dan teknologi digital untuk menginformasikan keputusan dan mengembangkan layanan real-time yang responsif terhadap kebutuhan warga. Salah satu contoh paling menonjol dari penggunaan Big Data dalam administrasi pemecahan masalah adalah optimalisasi rute bus malam.
Data besar, termasuk data panggilan telepon dan transportasi, dianalisis untuk merevisi dan merampingkan rute bus malam pada lima rute yang paling padat. Hasil dari proyek ini tidak hanya menghasilkan peningkatan kepuasan publik tetapi juga memberikan manfaat lingkungan berupa pengurangan konsumsi bahan bakar. Pemanfaatan data yang dihasilkan oleh warga sendiri ini membantu pejabat kota membuat keputusan yang lebih tepat dan mengembangkan layanan berbasis mobile yang memenuhi beragam kebutuhan masyarakat.
Studi Kasus Revolusioner: Metaverse Seoul
Seoul mengambil langkah radikal dengan mengintegrasikan platform metaverse ke dalam model kota cerdasnya. Proyek Metaverse Seoul bertujuan untuk memberikan akses ke berbagai layanan publik dan memperkuat hak-hak warga di ruang virtual.
Platform ini dirancang untuk mengatasi batasan layanan di dunia nyata. Fungsinya mencakup Metaverse 120 Center, sebuah pusat layanan publik virtual yang dibuka pada tahun 2023 di mana avatar dapat menangani kekhawatiran dan permintaan warga yang sebelumnya hanya dapat ditangani dengan mendatangi balai kota secara fisik. Layanan virtual lainnya mencakup reservasi fasilitas publik seperti ruang pertemuan perpustakaan dan lapangan tenis.
Pengembangan platform Metaverse Seoul dapat dipandang sebagai solusi ganda untuk meningkatkan efisiensi dan inklusi. Pertama, hal ini memanfaatkan familiaritas warga Seoul dengan layanan non-kontak yang meningkat pesat sejak pandemi. Kedua, platform ini secara eksplisit dirancang untuk menyediakan cara yang aman dan nyaman bagi komunitas rentan, seperti kaum disabilitas, untuk berinteraksi dengan pegawai publik dan mengakses layanan administrasi, mengatasi hambatan fisik dan geografis.
Namun, implementasi teknologi imersif ini juga memunculkan risiko kesenjangan digital baru. Meskipun tujuannya adalah memperluas akses, perangkat keras khusus seperti headset virtual reality masih mahal (berkisar antara $300 hingga $600) dan tidak seumum smartphone atau komputer. Oleh karena itu, SMG harus memastikan akses yang setara melalui perangkat yang sudah tersebar luas atau menyediakan dukungan infrastruktur publik untuk mencegah marginalisasi digital berbasis ekonomi.
Tabel 2: Inovasi Layanan Publik Digital Seoul dan Peningkatan Efisiensi
| Platform/Inisiatif | Tujuan Efisiensi | Basis Teknologi | Dampak Kunci (Contoh) |
| E-Government/Portal Administratif | Meningkatkan transparansi dan kecepatan persetujuan elektronik. | Sistem Kerja Elektronik, Portal Administrasi | Meningkatkan kecepatan dan kualitas pengambilan keputusan administrasi. |
| Big Data Analytics | Optimalisasi layanan berbasis permintaan dan kondisi real-time. | Big Data (data panggilan, transportasi) | Revisi Rute Bus Malam: Peningkatan kepuasan publik & pengurangan konsumsi bahan bakar. |
| Metaverse Seoul (120 Center) | Layanan non-kontak, mengatasi batasan fisik dan geografis. | Platform Metaverse, Avatar | Memungkinkan komunitas rentan (disabilitas) untuk mengakses layanan publik dengan nyaman. |
Manajemen Lalu Lintas Cerdas dan Optimalisasi Mobilitas Urban
Manajemen lalu lintas di Seoul merupakan contoh utama pemanfaatan teknologi untuk menciptakan sistem transportasi yang efisien dan berpusat pada manusia.
Arsitektur ITS dan Sentralisasi Data (TOPIS)
Seoul memulai adopsi Intelligent Transportation System (ITS) secara serius pada pertengahan 1990-an. Awalnya, Freeway Traffic Management System (FTMS) diimplementasikan pada Jalan Tol Olimpiade, memungkinkan kontrol lalu lintas real-time dan pengumpulan data otomatis. Sistem ini menggantikan operasi manual, memungkinkan respons cepat terhadap kondisi lalu lintas yang merugikan atau darurat.
Inti dari manajemen transportasi Seoul saat ini adalah Seoul TOPIS (Transport Operation & Information Service), pusat kendali umum yang bertanggung jawab mengoperasikan dan mengelola keseluruhan lalu lintas kota. TOPIS berfungsi mengumpulkan dan mengintegrasikan informasi lalu lintas dari berbagai sumber data yang beragam, termasuk :
- Bus Management System (BMS).
- Transport Card System (kartu transit).
- Sistem pengawasan nirawak.
- Lembaga terkait, seperti Badan Kepolisian Metropolitan Seoul dan Korea Expressway Corporation.
Informasi yang dikumpulkan mencakup operasional bus, jumlah pengguna transportasi publik, kepadatan dan kecepatan lalu lintas, insiden tak terduga (kecelakaan, demonstrasi), dan kondisi jalan bebas hambatan. Tujuannya adalah untuk membersihkan lalu lintas yang padat, menghindari masalah mendadak, dan menetapkan kebijakan transit publik yang berbasis sains (science-based) melalui analisis data yang terintegrasi.
Pengukuran Kinerja dan Dampak Pengurangan Kemacetan
Sistem ITS di Seoul dinilai berdasarkan serangkaian Key Performance Indicators (KPIs) yang berorientasi pada mobilitas dan keselamatan. Tujuan implementasi FTMS, misalnya, mencakup jaminan mobilitas jalan bebas hambatan urban dengan mempertahankan kecepatan perjalanan 40 km/jam atau lebih, dan mencapai target keselamatan publik dengan nol fatalitas lalu lintas.
Manfaat langsung dari ITS mencakup pengurangan biaya operasional kendaraan, waktu tempuh yang lebih cepat, respons insiden yang lebih cepat (kecelakaan, kerusakan), dan peningkatan ketepatan waktu.
Lebih dari sekadar mengelola lalu lintas kendaraan di jalan raya, Seoul menunjukkan komitmen terhadap mobilitas yang berpusat pada manusia (human-centric) melalui analisis mendalam terhadap infrastruktur transit massal. Kota cerdas modern menyadari bahwa optimalisasi flow penumpang di stasiun transit sama pentingnya dengan mengurangi kemacetan kendaraan di jalan. Seoul menggunakan Big Data dari penggunaan kartu transportasi selama jam sibuk, dikombinasikan dengan metode analisis canggih seperti principal component analysis (PCA) dan K-means clustering, untuk mengklasifikasikan stasiun berdasarkan karakteristik struktural dan pola kongesti.
Analisis ini menemukan inefisiensi signifikan di stasiun transfer multilayer dan menghasilkan rekomendasi perencanaan yang sangat spesifik. Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa mengoptimalkan koridor transfer di Stasiun Seoul dapat mengurangi waktu transfer rata-rata lebih dari 10 menit. Temuan tersebut menggarisbawahi pergeseran penekanan kebijakan dari sekadar efisiensi lalu lintas menjadi peningkatan kualitas pengalaman hidup warga melalui optimalisasi arsitektur transit.
Partisipasi Warga dan Inklusi Digital (Smart Citizen)
Pilar Smart Users dalam kerangka Seoul tidak hanya mencakup penyediaan layanan digital, tetapi juga integrasi warga ke dalam proses tata kelola kota, di samping upaya serius untuk mengatasi kesenjangan digital.
Tata Kelola Partisipatif Digital: mVoting
Untuk mempromosikan tata kelola partisipatif, Seoul memperkenalkan aplikasi mVoting pada tahun 2013. Aplikasi ini memungkinkan warga untuk mengajukan dan memberikan suara pada proposal kebijakan lokal, sebuah sistem yang memberdayakan warga untuk bertindak seolah-olah “warga adalah walikota” (citizens are mayors).
mVoting memfasilitasi komunikasi kebijakan dua arah (G2C dan C2G) dan mengubah warga menjadi Policy Prosumers, yaitu konsumen sekaligus produsen kebijakan. Hingga saat ini, platform tersebut telah menangani 4.404 kasus proposal pemungutan suara.
Salah satu aspek penting dari mVoting adalah implementasi Precision Governance melalui fitur targeted vote. Pejabat SMG dapat membuka pemungutan suara yang ditargetkan kepada kelompok warga tertentu berdasarkan kriteria demografi, seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, atau lokasi (menggunakan GPS/QR). Fitur ini memungkinkan pemerintah untuk mengumpulkan data spesifik yang diperlukan untuk merumuskan kebijakan yang sangat terperinci dan relevan. Namun, efektivitas jangka panjang platform partisipatif seperti ini sangat bergantung pada kepercayaan publik yang didukung oleh tata kelola data yang kuat, terutama dalam hal perlindungan data pribadi yang dibagikan.
Tantangan Kesenjangan Digital (Digital Divide)
Terlepas dari infrastruktur ICT yang maju, Korea Selatan menghadapi kesenjangan digital yang signifikan. Kesenjangan ini telah berevolusi; awalnya disebabkan oleh faktor ekonomi (biaya perangkat keras dan akses internet), kini masalah utamanya adalah kesenjangan pemanfaatan (utilization gap) berdasarkan tingkat keterampilan dan adaptasi terhadap teknologi.
Disparitas yang paling jelas terlihat pada kelompok usia. Sementara tingkat penggunaan internet di kalangan muda mencapai 99.9%, angka tersebut turun drastis menjadi 64.3% untuk warga lanjut usia (lansia). Kesenjangan pemanfaatan ini membatasi kesempatan bagi kelompok yang terpinggirkan untuk mengakses layanan sosial (administrasi dan kesejahteraan) dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial, sementara beberapa studi juga mencatat penurunan partisipasi dari warga berpendidikan rendah dalam inisiatif kota cerdas.
Strategi Inklusi Digital Seoul Metropolitan Government
Seoul menyadari bahwa keberlanjutan Smart City tidak dapat dicapai jika inovasi hanya menguntungkan sebagian kecil populasi. Oleh karena itu, SMG telah menerapkan strategi inklusi digital multi-dimensi untuk memastikan bahwa layanan cerdas bersifat human-centered dan adil.
Pendidikan dan Pelatihan Digital Terarah: SMG, bekerja sama dengan Seoul Digital Foundation, menjalankan program pendidikan digital khusus yang ditujukan untuk warga lansia. Pelatihan ini mencakup penggunaan teknologi baru dan bahkan menggunakan fasilitator pengajaran robotik (misalnya, LIKU) di pusat kesejahteraan lansia untuk meningkatkan literasi digital dan menghilangkan ketakutan terhadap teknologi.
Peningkatan Aksesibilitas Infrastruktur Fisik: Untuk mengatasi hambatan akses fisik bagi lansia dan disabilitas, SMG mengambil tindakan keras terhadap perangkat keras publik yang tidak inklusif. Kota ini berencana untuk secara sekuensial meningkatkan dan mengganti sekitar 81.9% dari total 5.371 kios publik dengan model yang aksesibel. Kios baru ini dirancang agar dapat disesuaikan tingginya (untuk pengguna kursi roda), menyediakan fitur panduan suara dan elektronik, dan menggunakan font yang lebih besar dan antarmuka yang tidak rumit bagi lansia.
Inklusi Melalui Layanan Virtual (Metaverse): Seperti yang dibahas sebelumnya, pengembangan Metaverse 120 Center juga merupakan bagian dari strategi inklusi, karena bertujuan untuk memberikan jalur layanan yang aman dan nyaman bagi warga dengan disabilitas untuk berinteraksi dengan pegawai publik, terlepas dari mobilitas fisik mereka.
Strategi inklusi yang terintegrasi ini (Edukasi, Infrastruktur Fisik, dan Layanan Virtual) menunjukkan bahwa penanganan kesenjangan digital memerlukan lebih dari sekadar konektivitas; ia membutuhkan desain layanan yang adaptif dan komitmen kebijakan untuk pemberdayaan sosial.
Tabel 3: Strategi Mitigasi Kesenjangan Digital Seoul untuk Mengatasi Kesenjangan Akses
| Kelompok Sasaran | Tantangan Utama | Strategi Inklusi Digital Seoul | Sumber Daya (Contoh) |
| Warga Lanjut Usia | Kesenjangan pemanfaatan (utilization gap). | Program pelatihan digital intensif; Penggunaan robotik sebagai fasilitator pendidikan. | Seoul Digital Foundation, LIKU (robotik). |
| Komunitas Disabilitas | Hambatan fisik/geografis dalam mengakses layanan. | Penggantian Kios publik aksesibel (81.9% target penggantian); Layanan Virtual City Hall. | Kios Aksesibel , Metaverse 120 Center. |
Evaluasi Kinerja, Keberlanjutan, dan Rekomendasi Kebijakan
Pengukuran Kinerja dan Evaluasi Holistik
Untuk memastikan bahwa inisiatif kota cerdas memberikan hasil yang berkelanjutan, Seoul menyelaraskan upaya evaluasinya dengan standar internasional. Pemerintah Korea Selatan secara keseluruhan mengevaluasi hasil proyek Smart City menggunakan kerangka kerja United for Smart Sustainable Cities (U4SSC), inisiatif global yang dipimpin oleh organisasi PBB seperti ITU dan UN-Habitat. Adopsi kerangka kerja U4SSC ini memaksa akuntabilitas yang melampaui metrik teknologi semata, menjangkau kontribusi terukur terhadap keberlanjutan sosial dan lingkungan.
Penerapan Key Performance Indicators (KPIs) Smart City yang reguler adalah suatu keharusan. Penting bagi kota untuk menetapkan target jangka panjang dan memantau kinerja secara berkala, memastikan bahwa layanan cerdas tetap relevan dan efektif bagi warga. Selain itu, terdapat penekanan yang terus meningkat pada perlunya evaluasi lintas sektor, di mana pengembangan kota cerdas tidak hanya berfokus pada kecanggihan teknologi, tetapi juga pada pemberdayaan sosial dan peningkatan kualitas hidup.
Isu Keberlanjutan Ekonomi dan Lingkungan
Pengalaman Seoul menunjukkan bahwa keberlanjutan Smart City tidak hanya tentang mengadopsi teknologi baru; melainkan tentang mengutamakan manusia di atas teknologi (people rather than technology) dalam perencanaan.
Keberlanjutan Ekonomi: Layanan cerdas harus membangun ekosistem industri yang mandiri (autonomous ecosystem) agar dapat bertahan dalam jangka panjang tanpa bergantung sepenuhnya pada subsidi pemerintah. Agar layanan berbasis luas dapat mengakar kuat, inovasi harus diterima oleh pasar dan menarik partisipasi aktif sektor swasta. Subsidi publik hanya harus dialokasikan untuk layanan yang memiliki sifat publik yang kuat dan sangat diperlukan oleh warga, meskipun memerlukan suntikan dana pembayar pajak. Keberhasilan model ini membutuhkan keseimbangan antara investasi publik yang besar untuk infrastruktur dasar (misalnya, ITS, e-Government awal ) dan transparansi data publik (seperti Seoul Open Data Plaza ) yang mendorong sektor swasta untuk berinovasi di atasnya.
Keberlanjutan Lingkungan: Dalam mencapai tujuan keberlanjutan ekologis, kota cerdas harus memprioritaskan target nol karbon, kemandirian energi, dan pengembangan smart grid. Pengembangan layanan ini didukung oleh simulasi produksi dan konsumsi energi di tingkat kota, yang pada gilirannya memberikan landasan untuk perencanaan ekonomi yang berkelanjutan.
Rekomendasi Strategis untuk Penerapan Kebijakan
Berdasarkan analisis tata kelola, implementasi teknologi, dan tantangan yang dihadapi Seoul, berikut adalah rekomendasi strategis untuk lembaga pemerintah atau pengembang kota cerdas lainnya:
- Mewajibkan Kerangka Tata Kelola Data yang Tegas: Keberhasilan operasional data real-time yang masif (seperti TOPIS dan mVoting) memerlukan kerangka tata kelola data yang jelas, mencakup kepatuhan regulasi data sharing dan perlindungan privasi. Tanpa tata kelola yang kuat, risiko keamanan dan krisis kepercayaan publik dapat merusak legitimasi platform partisipatif digital.
- Mengadopsi Model Tata Kelola Dinamis dan Adaptif: Kota-kota yang melakukan benchmarking harus menghindari peniruan total model yang mahal seperti Seoul. Sebaliknya, mereka harus mengadopsi model tata kelola dinamis yang memungkinkan mereka memilih pendekatan dan teknologi yang sesuai dengan fase perkembangan dan ketersediaan sumber daya lokal.
- Mengintegrasikan Inklusi Digital sebagai Kriteria Desain: Program inklusi digital, seperti pelatihan terarah untuk lansia dan perbaikan aksesibilitas perangkat keras (kios, antarmuka Metaverse) , tidak boleh menjadi program tambahan. Program tersebut harus dijadikan komponen desain wajib dari setiap inisiatif Smart City baru untuk memastikan bahwa teknologi tidak memperluas, tetapi justru menjembatani, kesenjangan sosial dan digital.
- Fokus pada Output yang Berpusat pada Manusia: Investasi ICT harus diukur berdasarkan KPIs yang berpusat pada manusia dan keberlanjutan (seperti yang ditentukan oleh U4SSC ), bukan hanya efisiensi teknis. Mengukur dampak sosial (misalnya, penurunan waktu transfer penumpang kereta api ) dan manfaat lingkungan (pengurangan emisi dari optimalisasi rute bus ) adalah esensial untuk membenarkan investasi publik.
Kesimpulan
Pemerintah Metropolitan Seoul telah membangun model tata kelola kota cerdas yang unggul, ditandai dengan integrasi yang mendalam antara ICT Infrastructure, Integrated City-management, dan fokus yang kuat pada Smart Users. Inovasi seperti MyData, Big Data Analytics untuk optimalisasi layanan, dan peluncuran Metaverse Seoul merepresentasikan lompatan kuantum dalam efisiensi layanan publik, memungkinkan administrasi yang lebih proaktif dan aksesibel bagi komunitas rentan. Di bidang manajemen lalu lintas, sentralisasi data melalui TOPIS dan analisis mobilitas canggih di stasiun transfer menunjukkan komitmen Seoul terhadap sistem transportasi yang human-centric.
Namun, keberlanjutan model ini bergantung pada kemampuan Seoul untuk secara efektif mengelola tantangan tata kelola data (risiko finansial, keahlian, dan regulasi ) dan untuk mengatasi kesenjangan pemanfaatan digital yang signifikan, terutama di kalangan warga lanjut usia. Melalui investasi dalam pelatihan digital dan peningkatan aksesibilitas fisik perangkat publik, Seoul berupaya keras untuk memastikan bahwa transformasi digitalnya menghasilkan pembangunan yang adil dan berkelanjutan bagi semua warganya.


