Loading Now

Ulasan Kritis Dan Komprehensif Mengenai Batas Pertumbuhan Perkotaan (Urban Growth Boundary) Portland, AS

Kerangka Konseptual Pengelolaan Pertumbuhan Perkotaan

Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai kebijakan Batas Pertumbuhan Perkotaan (Urban Growth Boundary/UGB) di Portland, Oregon, AS, yang telah diakui secara global sebagai model intervensi tata ruang untuk mengendalikan perluasan kota yang tidak terencana (urban sprawl). Evaluasi ini mencakup landasan kebijakan, mekanisme operasional, keberhasilan dalam konservasi lahan dan intensifikasi pembangunan, serta tinjauan kritis terhadap dampak sosial ekonomi, khususnya terkait krisis keterjangkauan perumahan.

. Definisi dan Konsekuensi Urban Sprawl

Urban Sprawl (juga dikenal sebagai suburban sprawl atau urban encroachment) didefinisikan sebagai ekspansi cepat jangkauan geografis kota dan wilayah perkotaan, yang sering kali ditandai oleh perumahan kepadatan rendah, zonasi tunggal fungsi (single-use zoning), dan meningkatnya ketergantungan pada kendaraan pribadi untuk transportasi. Fenomena ini mencakup berbagai bentuk pembangunan yang tidak efisien, seperti pembangunan strip, pembangunan yang tersebar (scattered development), dan pembangunan melompat (leapfrog development), yaitu pembangunan di area yang diselingi oleh lahan kosong.

Dalam konteks perencanaan kota, istilah urban sprawl bersifat sangat politis dan hampir selalu memiliki konotasi negatif, menyoroti inefisiensi dalam alokasi lahan, peningkatan biaya infrastruktur, dan degradasi lingkungan. Untuk mengatasi dinamika negatif ini, beberapa kota di dunia telah mengadopsi strategi tegas. UGB Portland adalah contoh utama di AS, serupa dengan kebijakan Greenbelt di London atau strategi Transit-Oriented Development (TOD) yang dipelopori di Singapura.

UGB sebagai Alat Manajemen Pertumbuhan

Urban Growth Boundary (UGB) adalah pendekatan yang semakin populer dalam manajemen pertumbuhan kota, wajib di beberapa negara bagian AS seperti Oregon, Washington, dan Tennessee. UGB merupakan garis legal yang ditarik untuk memisahkan lahan perkotaan dari lahan pedesaan, secara tegas mendefinisikan batas fisik tempat kota diizinkan untuk berkembang.

Tujuan inti dari UGB adalah ganda: pertama, membatasi sprawl dan melindungi hutan serta lahan pertanian di sekitarnya.3 Kedua, UGB secara aktif mendorong pembangunan kepadatan tinggi (higher density) dan pembangunan pengisian (infill development) di dalam batas yang ditentukan. Dengan memusatkan pertumbuhan dalam area ini, pemerintah daerah dapat mendukung pembangunan baru di kepadatan perkotaan, sambil menjaga karakter pedesaan di luar batas. Teknik regulasi, seperti penerapan zonasi ketat, digunakan untuk mencegah urbanisasi lahan di luar batas pertumbuhan. Secara teoretis, UGB menawarkan cara rasional untuk bertahap memperluas pertumbuhan perkotaan, menjanjikan pembangunan yang berdekatan dan relatif kompak sesuai kebutuhan pasar.2

Landasan Historis dan Mandat Regulasi Oregon

Kebijakan UGB di Oregon bukanlah inisiatif lokal yang terisolasi, melainkan bagian dari kerangka kerja tata ruang negara bagian yang revolusioner. Pada tahun 1973, Gubernur Oregon Tom McCall, yang didukung oleh koalisi unik antara petani dan pemerhati lingkungan, berhasil meyakinkan Badan Legislatif Oregon untuk mengadopsi undang-undang tata ruang negara bagian pertama di AS, dikenal sebagai Senate Bill 100 (SB 100).

Koalisi petani dan lingkungan memiliki kesamaan tujuan: mencegah keindahan alam dan akses mudah ke alam di negara bagian itu hilang akibat gelombang urban sprawl yang meluas.4 SB 100 menciptakan Land Conservation and Development Commission (LCDC) dan Department of Land Conservation and Development. Tujuan utama dari undang-undang tata ruang negara bagian ini meliputi :

  1. Penetapan batas pertumbuhan perkotaan (UGB).
  2. Penggunaan lahan urban secara bijak (wise use of urban land).
  3. Perlindungan sumber daya alam (pertanian dan hutan).

Kebijakan SB 100 menetapkan UGB sebagai mandat hukum bagi setiap kota di Oregon. UGB untuk wilayah metropolitan Portland disetujui pada tahun 1980. Keputusan untuk menahan pengembangan di luar batas, yang didukung oleh koalisi politik yang kuat ini, merupakan prasyarat penting untuk memberikan legitimasi hukum dan dukungan publik yang berkelanjutan terhadap mekanisme perencanaan yang restriktif tersebut.

Mekanisme Operasional dan Struktur Tata Kelola UGB Portland

Portland menyediakan studi kasus yang menarik karena UGB-nya diatur pada tingkat regional, berbeda dengan banyak UGB lain yang dikelola di tingkat kota. Pengaturan ini memastikan kebijakan tata ruang terintegrasi dengan perencanaan infrastruktur dan pertumbuhan metropolitan.

Tata Kelola Regional: Peran Metro dan Shared UGB

Di wilayah Portland Raya, 24 kota berbagi satu UGB tunggal yang dikelola oleh pemerintah regional, yaitu Metro. Tata kelola regional ini merupakan elemen krusial yang membedakan pendekatan Portland. Dengan satu badan regional yang mengawasi batas pertumbuhan, terdapat koordinasi yang lebih baik dalam merencanakan layanan perkotaan penting seperti sistem air, saluran pembuangan, jalan, sekolah, dan layanan perlindungan kebakaran/polisi.

Pengelolaan regional ini memungkinkan Metro untuk memfokuskan investasi infrastruktur di dalam batas yang ada, sehingga biaya pemasangan pipa dan jalan raya tetap terkendali bagi para wajib pajak, dibandingkan jika pembangunan harus diperluas ke pinggiran kota.

Prinsip Pasokan Lahan 20 Tahun (20-Year Land Supply Mandate)

Berdasarkan Goal 14 hukum tata ruang Oregon, UGB tidak boleh bersifat statis. Sebaliknya, Metro diwajibkan untuk memastikan bahwa batas pertumbuhan tersebut selalu mengandung persediaan lahan yang memadai untuk menampung 20 tahun pertumbuhan populasi dan pekerjaan, termasuk kebutuhan perumahan, industri, ruang terbuka, dan rekreasi.

Untuk memenuhi mandat ini, Metro melakukan peninjauan berkala dan analisis yang ketat. Proses ini melibatkan penetapan perkiraan populasi untuk dua puluh tahun ke depan (sering disediakan oleh Portland State University Population Research Center), inventarisasi lahan yang dapat dibangun (buildable lands inventory), dan analisis kebutuhan perumahan (housing needs analysis) untuk menentukan jenis perumahan apa yang kurang. Jika inventarisasi menunjukkan pasokan lahan di dalam UGB tidak memadai untuk memenuhi proyeksi pertumbuhan 20 tahun, Dewan Metro harus mempertimbangkan untuk menyesuaikan atau memperluas batas tersebut

Proses Peninjauan dan Ekspansi UGB

UGB Portland adalah batas yang dinamis (elastis), bukan kaku. Metro wajib meninjau pasokan lahan dan melaporkan hasilnya setiap enam tahun. Sejak penetapannya, UGB Portland Raya telah diperluas “sekitar tiga lusin kali”.

Proses ekspansi UGB adalah upaya gabungan yang melibatkan kota, kabupaten, dan koordinasi dengan distrik khusus penyedia layanan. Ini melibatkan partisipasi warga dan, sejak 2007, didukung oleh sistem untuk menunjuk cadangan urban dan pedesaan (urban and rural reserves), yang lebih memperjelas kriteria untuk memasukkan lahan ke dalam batas. Karena UGB diwajibkan untuk menyediakan pasokan 20 tahun, penambahan lahan harus dilakukan secara terencana. Hal ini menggarisbawahi bahwa masalah kebijakan tata ruang bukan terletak pada apakah batas akan bergerak, tetapi pada seberapa efektif dan seberapa cepat lahan yang baru ditambahkan diintegrasikan dan dikembangkan sesuai dengan tujuan kepadatan dan efisiensi.

Integrasi Kebijakan Internal (Mendukung Kepadatan)

Meskipun UGB adalah batas eksternal, hukum tata ruang Oregon secara eksplisit mendorong pembangunan di dalam batas untuk menciptakan komunitas yang lebih layak huni, walkable, dan padat. UU ini mendorong berbagai jenis pembangunan perumahan—apartemen, kondominium, dan rumah tunggal.

UGB berfungsi sebagai pemicu untuk memastikan bahwa pembangunan multifungsi (multifamily development) terjadi di dalam distrik bisnis yang ada, mempromosikan lingkungan di mana orang dapat berjalan kaki untuk memenuhi kebutuhan mereka dan mendukung bisnis kecil. Penekanan ini memastikan bahwa UGB tidak hanya menjadi alat konservasi, tetapi juga alat manajemen kualitas pembangunan perkotaan.

Analisis Keberhasilan UGB: Konservasi Lahan dan Intensifikasi Pembangunan

Keberhasilan UGB Portland harus diukur berdasarkan dua tujuan utamanya: perlindungan lahan di luar batas dan intensifikasi pembangunan yang efisien di dalam batas.

Konservasi Lahan Sumber Daya: Menjaga Batasan Perkotaan

UGB telah berhasil dalam melindungi lahan pertanian berkualitas tinggi, hutan, dan habitat alami di Oregon, yang sangat dihargai oleh penduduk setempat. Konservasi ini diukur melalui metrik kinerja yang ketat.

Salah satu metrik utama yang digunakan oleh Departemen Konservasi Lahan dan Pembangunan (DLCD) Oregon adalah Key Performance Measure (KPM) #6, yang mengukur persentase lahan yang ditambahkan ke UGB yang bukan merupakan lahan sumber daya (pertanian atau hutan). Targetnya adalah 55% lahan yang ditambahkan seharusnya berasal dari zona non-sumber daya (seperti residensial pedesaan atau lahan non-sumber daya lain), sehingga meminimalkan hilangnya lahan kerja (pertanian dan kehutanan) yang berkontribusi pada ekonomi negara bagian.

Analisis terhadap data kinerja menunjukkan bahwa mandat ini sulit untuk dipertahankan secara konsisten, mencerminkan adanya tekanan pembangunan dan kompromi politik saat ekspansi dilakukan.

Tabel 3.1: Tren Kinerja UGB dalam Preservasi Lahan Sumber Daya (KPM #6)

Tahun Pelaporan Persentase Lahan Non-Sumber Daya yang Ditambahkan ke UGB Target Persentase Metro Kinerja Pelestarian (Keberhasilan Menghindari Lahan Sumber Daya)
2021 0% 55% Gagal Total
2022 23% 55% Gagal
2023 85% 55% Berhasil (Melebihi Target)
2024 65% 55% Berhasil (Melebihi Target)
2025 15% 55% Gagal Signifikan

Sumber: Diadaptasi dari data KPM #6 Laporan Perkembangan Kinerja Tahunan DLCD Oregon

Tabel di atas menunjukkan volatilitas signifikan. Meskipun ada tahun-tahun di mana DLCD berhasil melampaui target (2023, 2024), kegagalan signifikan terjadi pada 2025 (15%), yang sebagian besar dipengaruhi oleh ekspansi tunggal 228 hektar di Redmond yang menyasar lahan Exclusive Farm Use (EFU). Fluktuasi ini menunjukkan bahwa meskipun tujuan konservasi sudah tertanam dalam kebijakan, kebijakan ini terus menghadapi pengujian berat dari kebutuhan pertumbuhan dan tekanan untuk melepaskan lahan sumber daya, yang membahayakan legitimasi koalisi politik awal yang mendukung UGB.

. Studi Kasus 1: Residential Infill Project (RIP) dan Missing Middle Housing

Karena UGB membatasi ekspansi horizontal, Portland dipaksa untuk mencari solusi intensifikasi vertikal yang cerdas. Keterbatasan lahan yang disengaja di dalam batas  memicu reformasi zonasi internal yang progresif.

Titik balik penting adalah Residential Infill Project (RIP) yang diadopsi pada tahun 2020. Portland menjadi kota modern terbesar di AS yang secara efektif mengakhiri zonasi “rumah tunggal” (single-family zoning), yang melegalisasi hingga empat rumah dengan harga pasar di hampir semua lahan perumahan, atau hingga enam rumah jika setidaknya setengahnya adalah perumahan terjangkau yang diatur.

Capaian RIP berfokus pada legalisasi “perumahan menengah yang hilang” (missing middle housing) seperti duplex, triplex, dan cottage cluster development. Keberhasilan proyek ini tidak hanya terletak pada peningkatan opsi perumahan, tetapi juga dampaknya pada keterjangkauan. Misalnya, sebuah triplex tiga lantai di Portland Utara menghasilkan tiga rumah yang dijual antara $435K hingga $490K, jauh di bawah harga penutupan rata-rata rumah tunggal baru di Portland ($916,000). Hal ini menunjukkan bahwa UGB, ketika dipasangkan dengan reformasi zonasi agresif (RIP), dapat menghasilkan unit yang lebih kecil, lebih beragam, dan lebih terjangkau.

Studi Kasus 2: Integrasi dengan Transit-Oriented Development (TOD)

Prinsip UGB adalah penggunaan lahan yang efisien, yang secara alami mendorong integrasi erat dengan sistem transportasi publik. TOD didefinisikan sebagai pembangunan yang padat, memiliki campuran fungsi lahan, walkable, dan terletak dalam jarak pendek dari stasiun transit utama. Portland memanfaatkan sistem MAX Light Rail yang ekstensif (seperti Blue Line, Green Line, dan Yellow Line)  sebagai jangkar untuk pembangunan kepadatan tinggi.

Orenco Station di wilayah Portland adalah studi kasus TOD yang ikonik. Sebagai pengembangan skala besar, Orenco Station menunjukkan kinerja transportasi yang luar biasa. Permintaan parkir pada jam sibuk di Orenco Station kurang dari setengah pedoman pasokan parkir suburban dari ITE (Institute of Transportation Engineers), dan tingkat pembangkitan perjalanan kendaraan pribadi (VTR) juga sekitar setengah dari pedoman ITE.

Keberhasilan Orenco Station dalam mengurangi ketergantungan pada mobil menunjukkan bahwa UGB yang efektif tidak hanya menahan pertumbuhan, tetapi juga memaksanya untuk berinteraksi secara sinergis dengan investasi transportasi publik. Pengalaman Portland membuktikan bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan TOD yang berhasil, diperlukan hubungan positif antara para pemangku kepentingan, komunikasi yang kuat, tumpang tindih dalam tujuan dan visi, serta tim implementasi multidisiplin.

Tinjauan Kritis dan Evaluasi Dampak Sosial Ekonomi

Meskipun UGB Portland menuai pujian atas keberhasilannya dalam konservasi lingkungan dan pengendalian sprawl, kebijakan ini juga menjadi pusat kontroversi, terutama terkait krisis keterjangkauan perumahan dan efek spillover regional.

Debat Keterjangkauan Perumahan (Housing Affordability Crisis)

Sejak akhir tahun 1990-an, UGB dituduh memicu krisis perumahan terjangkau di Portland dengan membatasi suplai lahan yang dapat dibangun. Secara teoretis, pembatasan pasokan lahan melalui UGB memang memberikan tekanan harga ke atas pada lahan, dan akibatnya, pada harga perumahan.

Namun, analisis ekonometri yang lebih rinci menunjukkan bahwa efek UGB terhadap kenaikan harga perumahan relatif kecil dibandingkan dengan faktor-faktor spekulatif pasar yang lebih luas. Selain itu, kota-kota besar di Amerika Barat lainnya yang tidak memiliki UGB juga mengalami lonjakan harga yang sebanding, yang mengindikasikan bahwa masalah keterjangkauan didominasi oleh dinamika pasar makro.

Kritik yang lebih bernuansa menunjukkan bahwa masalah utama bukanlah garis batas itu sendiri, melainkan kegagalan politik untuk secara agresif mendorong kepadatan di dalam batas. Masalah keterjangkauan disebabkan terutama oleh kendala dalam membangun kepadatan yang lebih tinggi dalam kawasan urban yang ada, sebuah konsep yang disebut Growing Up, Not Out. Seorang kritikus berpendapat bahwa UGB Portland gagal karena pemerintah “lupa melakukan bagian pertumbuhan perkotaannya”.

Ketidakefisienan dalam menanggapi permintaan terlihat jelas dalam data pasokan. Meskipun UGB telah diperluas untuk menambahkan lebih dari 32.000 hektar lahan selama 15 tahun terakhir, area ekspansi ini hanya menyumbang sekitar 8.500 unit perumahan baru—sekitar 7% dari unit perumahan baru total. Kenyataan bahwa penambahan lahan di pinggiran (ekspansi UGB) memberikan sedikit pengaruh pada suplai di pusat kota, tempat permintaan dan harga premium berada, memperkuat pandangan bahwa reformasi zonasi internal jauh lebih penting daripada perluasan batas eksternal.

Tabel 4.1: Perbandingan Kenaikan Harga Lahan vs. Inefisiensi Pembangunan

Aspek Data Kritis Implikasi Kebijakan
Tekanan Harga Lahan UGB menciptakan tekanan harga ke atas, tetapi efeknya kecil dibandingkan faktor spekulatif/pasar. Masalah harga didominasi faktor pasar makro, bukan hanya batas fisik.
Inefisiensi Ekspansi UGB Ekspansi 32.000+ acre dalam 15 tahun hanya menyumbang $\approx$7% unit perumahan baru. Ekspansi UGB tidak menyelesaikan masalah suplai di inti pasar yang sangat diminati.
Krisis Kepadatan Kendala utama adalah kesulitan membangun kepadatan yang lebih tinggi di dalam batas yang ada (Growing Up, Not Out). Perlu reformasi regulasi dan mengatasi penolakan lokal (NIMBY) di dalam UGB.

Selain kendala internal, produksi perumahan secara keseluruhan di Oregon mengalami penurunan. Meskipun ada reformasi zonasi untuk perumahan menengah (HB 2001), total izin unit perumahan yang dikeluarkan pada tahun 2024 menurun 33% dari puncaknya pada 2021, dengan penurunan tajam pada perumahan multifamily (turun 36% dari 2019 hingga 2024). Hal ini menunjukkan bahwa reformasi saja tidak cukup; hambatan biaya, pendanaan, dan peraturan lokal masih menghambat laju pembangunan yang diperlukan untuk mengatasi kekurangan pasokan.

Efek Spillover Regional dan Kegagalan Koordinasi

Salah satu kelemahan signifikan dari UGB Portland adalah fenomena spillover, yaitu pengalihan pertumbuhan penduduk dan pembangunan ke yurisdiksi tetangga yang tidak diatur oleh kerangka kerja Oregon.

Analisis mendalam menunjukkan tingkat spillover yang signifikan terjadi dari kabupaten di Oregon ke Clark County di Washington (yang berada di luar yurisdiksi UGB Metro Portland) selama tahun 1990-an. Pertumbuhan populasi yang dialihkan ini mengindikasikan bahwa UGB, pada periode tersebut, mengalihkan pertumbuhan, yang mengarah pada sprawl di yurisdiksi tetangga yang tidak dikoordinasikan. Studi statistik menemukan bahwa variabel UGB tidak signifikan dalam memengaruhi lokasi konstruksi perumahan baru di Oregon pada tahun 1980-an dan 1990-an, tetapi variabel dummy Clark County signifikan, mendukung adanya efek spillover.

Konsekuensinya, meskipun UGB berhasil mengendalikan sprawl di Oregon, kebijakan ini secara efektif mengekspor masalah pertumbuhan ke wilayah metropolitan yang lebih luas di mana pasar perumahan tetap tunggal (harga di dalam dan luar UGB tidak berbeda signifikan). Hal ini menekankan risiko kebijakan tata ruang yang tidak dikoordinasikan secara lintas yurisdiksi.

Tantangan Implementasi: Gentrifikasi dan Perpindahan Penduduk

Upaya untuk mendorong kepadatan di dalam UGB, terutama melalui infill di lingkungan yang dulunya berharga lebih rendah atau kurang terlayani, dapat meningkatkan kekhawatiran mengenai gentrifikasi dan perpindahan penduduk (displacement). Pengembangan yang berorientasi transit, seperti TOD, yang dikatalisasi oleh UGB, dapat menyebabkan kenaikan nilai properti yang cepat.

Untuk mengatasi dampak sosial ini, kebijakan pendukung seperti inclusionary zoning—mewajibkan pengembang menyisihkan unit di bawah harga pasar—sering dipertimbangkan. Namun, implementasi IZ sendiri memiliki keterbatasan dalam mengatasi kekurangan pasokan perumahan terjangkau skala besar. Oleh karena itu, wilayah Portland harus mengandalkan kombinasi reformasi zonasi internal (seperti RIP) dan penggunaan dana khusus perumahan terjangkau, seperti dana obligasi perumahan Metro atau Low-Income Housing Tax Credit, untuk memastikan pembangunan yang adil.

Pelajaran Kebijakan Utama dan Rekomendasi Implementasi

UGB Portland adalah salah satu eksperimen manajemen pertumbuhan perkotaan yang paling menonjol dan berjangka panjang di dunia. Kisahnya menunjukkan keberhasilan yang tak terbantahkan dalam melestarikan lingkungan pedesaan dan mendorong inovasi, tetapi juga mengungkapkan keterbatasan kritis dalam menghadapi dinamika pasar perumahan modern.

UGB Bukan Solusi Mandiri, Tetapi Fondasi Regional

Pelajaran fundamental dari Portland adalah bahwa UGB hanya efektif sebagai bagian dari strategi manajemen pertumbuhan yang menyeluruh. UGB adalah alat penahanan (containment), tetapi keberhasilan nyata memerlukan kebijakan pendukung yang sama agresifnya. Hal ini terbukti dalam pendekatan 2040 Growth Concept and Framework Plan Portland, yang mencakup perencanaan transportasi di tingkat regional, perencanaan utilitas, hingga desain urban di tingkat lingkungan.

UGB harus diposisikan sebagai alat efisiensi fiskal. Dengan memfokuskan pembangunan di area yang memiliki kapasitas utilitas dan layanan, UGB membantu pemerintah menghemat dana publik yang sebaliknya akan dihabiskan untuk membangun jalan dan pipa ke kawasan pinggiran.

Pentingnya Peningkatan Kepadatan Internal yang Agresif

Kegagalan awal Portland dalam mengatasi masalah keterjangkauan membuktikan bahwa kebijakan yang membatasi suplai eksternal harus segera diikuti dengan tindakan untuk meningkatkan suplai internal melalui kepadatan.

Pelajaran kuncinya adalah: keterbatasan pasokan lahan yang disengaja oleh UGB harus digunakan sebagai pendorong politik untuk reformasi zonasi progresif. Negara atau kota yang mengadopsi UGB harus secara cepat dan agresif menerapkan upzoning—seperti yang dilakukan Portland melalui RIP pada tahun 2020—untuk melegalisasi perumahan menengah dan kepadatan tinggi di dalam batas. Selain itu, komitmen politik diperlukan untuk melawan penolakan lokal (NIMBY) yang berusaha memblokir proyek pembangunan di tingkat lingkungan, yang pada akhirnya menghambat produksi perumahan regional.

Manajemen Spillover: Kebutuhan Regionalisme Lintas Yurisdiksi

Efek spillover yang dialami Portland ke Clark County, Washington, menyoroti tantangan tata ruang yang melampaui batas politik negara bagian atau provinsi. Untuk wilayah metropolitan besar, terutama yang melibatkan banyak yurisdiksi (misalnya di Asia Tenggara yang padat), UGB memerlukan koordinasi yang ketat dan, idealnya, badan regional yang kuat dengan mandat hukum untuk mengelola UGB secara kohesif. Jika tidak ada koordinasi yang efektif, kebijakan pembatasan pertumbuhan hanya akan mengalihkan sprawl ke daerah tetangga yang tidak diatur, menciptakan masalah regional yang lebih besar.

Pelajaran Spesifik untuk Kota-Kota Metropolitan

Bagi wilayah metropolitan yang menghadapi tekanan urbanisasi tinggi dan kehilangan Ruang Terbuka Hijau (RTH)—seperti yang dihadapi kota-kota di Indonesia —model Portland menawarkan cetak biru dengan penyesuaian:

  1. Prioritas Infill: Gunakan tekanan UGB untuk memaksa pembangunan memanfaatkan lahan kosong yang ada di pusat kota dan kawasan yang terlayani infrastruktur.
  2. Integrasi Transit: Mengaitkan UGB secara eksplisit dengan pengembangan Transit-Oriented Development (TOD) di sekitar jaringan mass transit yang baru (meniru keberhasilan Orenco Station) untuk mengurangi ketergantungan mobil dan mencapai kinerja transportasi yang unggul.
  3. Partisipasi Pemangku Kepentingan: Melibatkan pemangku kepentingan kunci, termasuk penyedia layanan utilitas dan komunitas lokal, dalam proses penetapan dan peninjauan batas untuk memastikan dukungan dan pelaksanaan yang efisien.

Secara keseluruhan, UGB Portland telah berhasil mencapai tujuan konservasi historisnya. Namun, keberlanjutan dan keefektifannya sebagai alat manajemen pertumbuhan bergantung pada kemauan politik yang terus-menerus untuk mengatasi kendala regulasi di dalam batas, memastikan bahwa containment pertumbuhan secara fisik dibarengi dengan intensifikasi kepadatan dan keterjangkauan perumahan secara sosial dan ekonomi.