Loading Now

Kosmologi Tata Kota: Studi Komparatif Sumbu Filosofi Yogyakarta (SFY) sebagai Teks Eksistensial Global

Fondasi Kosmologis Sumbu Filosofi Yogyakarta (SFY)

Sumbu Filosofi Yogyakarta (SFY), yang membentang lurus secara imajiner dari Gunung Merapi di utara, melalui Keraton, hingga Laut Selatan di selatan, telah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia. Pengakuan ini menegaskan Nilai Universal Luar Biasa (Outstanding Universal Value/OUV) SFY di mata dunia, menempatkan Yogyakarta di panggung global. SFY bukanlah sekadar warisan fisik; ia adalah representasi tata ruang yang unik karena memadukan lanskap budaya dan filosofi hidup masyarakat Jawa secara mendalam. SFY adalah poros imajiner yang sejak berabad-abad lalu menjadi jantung simbolis sekaligus spiritual kota.

Dalam kerangka teoritis urbanisme kosmologis, ruang tidak hanya dimaknai sebagai bentang fisik yang dapat diukur melalui peta dan koordinat. Sebaliknya, ruang dipandang sebagai wadah makna yang menyatukan spiritualitas, kosmologi, dan kehidupan manusia dalam satu keselarasan yang utuh. Pandangan ini menjadikan Yogyakarta lebih dari sekadar kota fungsional; ia adalah ruang hidup yang dibentuk oleh filosofi dan kesadaran kosmis. Poros imajiner ini dirancang sejak awal oleh Sultan Hamengkubuwono I untuk mencerminkan keseimbangan kosmos dalam kehidupan orang Jawa, menghubungkan manusia dengan alam semesta. Pengakuan UNESCO menjadi tantangan sekaligus dorongan bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dan Pemda DIY untuk mempertahankan kawasan ini, memastikan pelestarian tidak hanya aspek fisik tetapi juga nilai spiritualnya yang terancam oleh modernitas.

Inti Filosofis: Sangkan Paraning Dumadi (SPD) dalam Worldview Jawa

Definisi dan Makna Eksistensial SPD

Inti dari kosmologi yang membentuk SFY adalah konsep falsafah Jawa, Sangkan Paraning Dumadi (SPD). Ajaran yang mendalam ini tak hanya menjadi bagian dari kepercayaan spiritual masyarakat Jawa, tetapi juga menjadi fondasi etika dalam menjalani hidup yang seimbang dan penuh kesadaran. Secara harfiah, SPD berarti “asal dan tujuan dari segala kejadian (ciptaan)”.

Falsafah SPD mencerminkan pemahaman filosofis tentang asal-usul manusia dan ke mana akhirnya kita akan kembali. Secara spiritual, SPD diuraikan menjadi dua bagian: Sangkan (asal), yang merujuk pada asal muasal kehidupan, sering dikaitkan dengan Sang Hyang Tunggal, yaitu Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber segala kehidupan; dan Paraning Dumadi (tujuan akhir), yang merujuk pada ke mana semua makhluk hidup akan kembali, yakni kepada asalnya, yaitu Tuhan. Dengan demikian, garis imajiner SFY menggambarkan perjalanan siklus hidup manusia, dari kelahiran hingga kembali pada kesucian asal (mulih marang asal) dalam keadaan selamat.

Pandangan Dunia Jawa (Kejawen) dan Konsep Monistis

Tata ruang SFY adalah manifestasi fisik dari pandangan dunia monistis yang dianut oleh masyarakat Jawa. Pandangan monistis ini mudah menerima pengaruh dari luar (seperti Hindu) karena sejalan dengan alam pikiran Jawa, menghasilkan perpaduan filosofi yang kompleks. Beberapa ahli, seperti Niels Mulder, menyatakan bahwa Kejawen bukanlah suatu agama, melainkan lebih menunjukkan etika dan gaya hidup yang dipengaruhi oleh pemikiran Jawa.

Pengejawantahan SPD ke dalam tata ruang menegaskan bahwa tujuan utama kota (sejak didirikan oleh Sultan Hamengkubuwono I) bukanlah fungsi ekonomi atau militer semata. Alih-alih demikian, tata ruang SFY berfungsi sebagai Tuntunan (panduan etika) untuk membantu manusia menyadari jati dirinya sebagai makhluk spiritual. Hal ini menandakan bahwa SFY adalah ruang meditatif berskala kota. Jika tata ruang mencerminkan siklus hidup spiritual, maka tujuannya adalah memandu manusia untuk mencapai Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan), sebuah konsep luhur dalam spiritualitas Jawa.

Prinsip Keseimbangan Kosmik (Hamemayu Hayuning Bawana)

Konsep kosmologi SFY beroperasi dalam kerangka yang lebih luas, yaitu Hamemayu Hayuning Bawana, prinsip hidup yang menuntun manusia menjaga harmoni antara dirinya, lingkungan, dan Sang Pencipta. Keseimbangan ini direfleksikan dalam tiga hubungan fundamental yang dilambangkan oleh poros imajiner: hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah), manusia dengan manusia (Hablun min Annas), dan manusia dengan alam.

Secara makro-kosmos, SFY menghubungkan Keraton di tengah dengan dua kekuatan alam yang dianggap sakral: Gunung Merapi di utara dan Laut Selatan di selatan. Keseimbangan ini juga diintegrasikan dengan pemahaman tentang Lima Anasir pembentuk alam semesta: api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta, air (tirta) dari Laut Selatan, serta angin (maruta) dan akasa (ether). Kedudukan Sultan di Keraton, yang terletak di pusat sumbu, secara filosofis menempatkan beliau sebagai penjaga keseimbangan kosmik ini. Kegagalan Raja menjaga tatanan tata ruang secara filosofis dianggap mengganggu keseimbangan kosmik, yang kemudian dapat meruntuhkan legitimasi kekuasaannya.

Pengejawantahan Arsitektural Perjalanan Hidup (SPD di sepanjang Sumbu)

Sumbu Filosofi Yogyakarta adalah poros linear yang mengejawantahkan perjalanan SPD dari selatan ke utara, atau dalam siklus balik, dari utara ke selatan.

Sangkan (Asal/Kelahiran): Panggung Krapyak (Selatan)

Perjalanan spiritual ini dimulai di Panggung Krapyak, yang secara geografis berada di ujung selatan Sumbu Filosofi. Secara kosmologis, Panggung Krapyak memiliki makna awal kelahiran atau asal manusia. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, khususnya Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak adalah tempat roh-roh suci dihembuskan ke dalam calon bayi dalam kandungan Ibu. Oleh karena itu, Krapyak secara simbolis menggambarkan yoni (simbol feminin/rahim) atau benih (wiji). Panggung Krapyak, sebagai gerbang awal kehidupan, menjadi titik kontemplasi sebelum manusia memasuki fase duniawi yang lebih kompleks di utara.

Dumadi (Perjalanan Duniawi): Kraton dan Pusat Kota

Fase Dumadi, atau perjalanan hidup di dunia fana, dipusatkan di Keraton Yogyakarta. Kraton adalah cikal bakal Kota Yogyakarta dan berfungsi sebagai pusat kosmos (mikro-kosmos), tempat pertemuan antara spiritualitas, politik, dan kehidupan sehari-hari. Di kawasan pusat kota ini terdapat formasi arsitektural yang dikenal sebagai Catur Gatra Tunggal (Empat Elemen Tunggal), yang menjadi identitas abadi kota. Keempat elemen tersebut terdiri atas: bangunan Keraton (pusat kekuasaan), Masjid (pusat agama), Alun-alun (ruang publik dan tatanan sosial), dan Pasar (pusat ekonomi). Perjalanan duniawi (Dumadi) menekankan peran Raja untuk memprioritaskan rakyat dan menjaga tata ruang.

Paran (Tujuan/Kembali): Tugu Pal Putih (Utara)

Paran, atau tempat tujuan akhir, dilambangkan oleh Tugu Pal Putih (sebelumnya dikenal sebagai Tugu Golong Gilig) di ujung utara Sumbu Filosofi. Tugu ini melambangkan lingga (simbol maskulin) yang berinteraksi dengan yoni (Panggung Krapyak) untuk menandai siklus kehidupan dan rekonsiliasi. Makna simbolis Tugu Pal Putih adalah kesucian hati, yang diwakili oleh warna putihnya, sebagai tujuan spiritual manusia untuk kembali ke asal dalam keadaan murni.

Makna tertinggi yang terkandung dalam Tugu adalah Manunggaling Kawula Gusti, persatuan Raja dan Rakyat dengan Tuhan. Tugu Golong Gilig yang asli (sebelum runtuh akibat gempa 1867) secara simbolis melambangkan persatuan raja dan rakyat. Pengejawantahan Krapyak-yoni dan Tugu-lingga dalam tata ruang adalah sebuah kosmologi penciptaan dan daur ulang, memastikan kelangsungan hidup spiritual di lingkungan Keraton.

Tabel 1: Manifestasi Fisik Sangkan Paraning Dumadi pada Sumbu Filosofi Yogyakarta

Tahap Kehidupan (Sangkan Paraning Dumadi) Lokasi Fisik pada Sumbu Simbolisme Filosofis (Jawa) Fungsi Ruang & Nilai
Sangkan (Asal/Kelahiran) Panggung Krapyak (Selatan) Yoni (Benih/Asal Mula), Awal Manusia (Wiji) Gerbang awal kehidupan, titik kontemplasi sebelum memasuki fase duniawi.
Dumadi (Perjalanan Duniawi) Keraton, Alun-Alun, Malioboro Mikro-Kosmos, Perjalanan Duniawi, Catur Gatra Tunggal Pusat pemerintahan, ritual, sosial, dan ekonomi.
Paran (Tujuan/Kembali) Tugu Pal Putih (Utara) Lingga, Kesucian (Warna Putih), Manunggaling Kawula Gusti Simbol persatuan Raja-Rakyat dan tujuan spiritual akhir.

Komparasi Kosmologi Tata Kota Global

Metodologi Komparasi: Kosmologi sebagai Tata Kelola Pandangan Dunia

SFY menawarkan titik tolak yang kuat untuk analisis komparatif mengenai bagaimana peradaban kuno mengejawantahkan pandangan dunia mereka ke dalam struktur fisik kota. Tata ruang pada kota-kota kosmologis bukan sekadar rencana sipil, melainkan sebuah peta yang mengarahkan warga menuju tatanan kosmik yang dianggap ideal. Perbandingan ini akan menyoroti perbedaan mendasar dalam tujuan aksial: apakah poros kota berfungsi sebagai narasi spiritual-individual, tata kelola energi geometris, atau simbol hierarki politik.

Studi Komparatif I: Kosmologi Tata Kota India (Vastu Shastra)

Dasar Filosofis dan Tujuan Utilitas

Konsep tata kota filosofis di India kuno didasarkan pada Vastu Shastra, sebuah sistem arsitektur Hindu tradisional yang mendeskripsikan prinsip-prinsip desain, tata letak, pengukuran, dan geometri spasial. Vastu Vidya adalah pengetahuan yang lebih luas tentang arsitektur dan teori desain, yang menyediakan ide-ide dan konsep untuk mengorganisasi ruang.

Tujuan utama dari desain Vastu adalah mengintegrasikan arsitektur dengan alam dan menyelaraskannya dengan fungsi relatif berbagai bagian struktur. Hal ini dicapai dengan memanfaatkan pola geometris (yantra), simetri, dan penyelarasan arah. Vastu Shastra sangat menekankan penyelarasan ruang dengan kekuatan alam seperti sinar matahari, angin, dan gravitasi, untuk menumbuhkan harmoni antara individu dan lingkungannya. Prinsip-prinsip ini digunakan dalam desain kuil (Mandir), rumah, kota, jalan, dan area publik.

Kontras dan Kesamaan dengan SFY

Terdapat kesamaan mendasar antara Vastu Shastra dan SFY, yaitu fokus pada harmoni dengan alam dan penggunaan orientasi kardinal. Namun, perbedaan dalam sifat aksial sangatlah signifikan. Vastu beroperasi melalui grid matematika atau Mandala untuk mengoptimalkan energi dan alokasi ruang. Hal ini membuat tata kota Vastu cenderung bersifat geometris-fungsional yang dapat direplikasi di berbagai lahan.

Sebaliknya, SFY bersifat spesifik-topografis-naratif. Poros Yogyakarta (Merapi-Kraton-Laut Selatan) secara intrinsik terikat pada fitur geografi sakral dan tidak dapat dipisahkan darinya. SFY adalah Poros Naratif karena ia menceritakan perjalanan hidup (Sangkan Paraning Dumadi), bukan hanya mengoptimalkan aliran energi; ia berfokus pada panduan moral spiritual, sedangkan Vastu lebih menekankan tatanan fisik dan optimalisasi energi di ruang tersebut.

Studi Komparatif II: Kosmologi Tata Kota Tiongkok (Simetri Kekaisaran dan Feng Shui)

Dasar Filosofis: Keseimbangan Kosmos dan Feng Shui

Arsitektur tradisional Tiongkok, termasuk tata letak kota, didasarkan pada konsep kosmologi Tiongkok kuno seperti Feng Shui (geomansi) dan Taoisme. Prinsip inti adalah mencapai harmoni yang sempurna dalam kosmos melalui perpaduan prinsip Yin dan Yang, memastikan kelancaran aliran energi positif (qi). Secara tradisional, bangunan ideal di Tiongkok harus menghadap selatan untuk mendapatkan sinar matahari penuh, dengan gunung di belakang sebagai pelindung dan air di depan sebagai sumber kemakmuran.

Dominasi Sumbu Kekaisaran: Contoh Forbidden City

Forbidden City di Beijing adalah contoh utama tata kota kosmologis Tiongkok. Kompleks yang selesai pada tahun 1420 ini adalah pusat politik dan ritual Kekaisaran selama lebih dari 500 tahun. Tata letak Forbidden City dicirikan oleh penekanan pada simetri bilateral yang ketat. Sumbu utama utara-selatan di Beijing dikenal sebagai Sumbu Kekaisaran, dirancang secara monumental untuk menunjukkan sentralitas absolut Kaisar.

Tujuan tata ruang ini adalah menempatkan Kaisar sebagai Putra Langit, penghubung takhta surgawi dengan bumi, sehingga tata ruang harus mencerminkan tatanan kosmik yang mutlak dan hierarkis. Simetri dan sumbu utama berfungsi untuk memvisualisasikan tatanan sosial, kekuasaan, dan keyakinan leluhur.

Kontras dan Kesamaan dengan SFY

Kedua konsep (SFY dan arsitektur Tiongkok) menggunakan sumbu utara-selatan dan simetri untuk menciptakan tatanan. Namun, terdapat perbedaan mendasar dalam tujuan kekuasaan. Kosmologi Tiongkok (Beijing) bersifat Hierarkis dan Politikal. Tata ruang dirancang untuk memastikan tatanan sosial yang ketat dari atas ke bawah, melindungi dan menonjolkan kekuatan otoritas kekaisaran.

Sebaliknya, SFY bersifat Individual-Spiritual atau Poros Eksistensial. Meskipun Keraton adalah pusat kekuasaan, tata ruang secara keseluruhan berfungsi untuk memandu moralitas dan spiritualitas Raja dan rakyat (Manunggaling Kawula Gusti) menuju tujuan batin yang sama. Tata ruang Tiongkok melindungi kekuatan politik; tata ruang Jawa membimbing jiwa menuju kesucian.

Sintesis Komparatif: Tata Ruang sebagai Cermin Pandangan Dunia

Tiga model tata kota kosmologis ini—Jawa, India, dan Tiongkok—menunjukkan bahwa worldview masyarakat diinternalisasi secara fisik dalam bentukan kota:

  1. Jawa (SFY): Worldview berpusat pada siklus hidup dan persatuan spiritual (monisme). Tata kota berfungsi sebagai teks naratif yang memandu perjalanan eksistensial. Keterikatan dengan topografi Merapi dan Laut Selatan bersifat mutlak.
  2. India (Vastu Shastra): Worldview berpusat pada optimalisasi energi dan geometri kosmik. Tata kota berfungsi sebagai alat fungsional yang menjamin kesejahteraan, meskipun dasar-dasar spiritual tetap ada.
  3. Tiongkok (Feng Shui): Worldview berpusat pada tatanan langit dan kekuasaan imperial (Mandat Langit). Tata kota berfungsi sebagai manifestasi visual dari hierarki politik dan sentralitas otoritas.

Tabel 2: Perbandingan Kosmologi Tata Kota: SFY vs. Vastu Shastra vs. Feng Shui

Parameter Komparasi Sumbu Filosofi Yogyakarta (Jawa) Vastu Shastra (India) Kosmologi Tiongkok (Feng Shui)
Basis Filosofis Inti Sangkan Paraning Dumadi (Siklus Hidup Spiritual) Integrasi dengan Daya Alam, Keseimbangan Loka Keseimbangan Yin-Yang, Aliran Qi, Tatanan Kekaisaran
Orientasi Tata Ruang Poros Utara-Selatan (Merapi-Laut Selatan) Grid Geometris (Mandala), Penyelarasan Kardinal Simetri Bilateral Ketat, Prioritas Hadap Selatan
Fokus Utama Tata Ruang Perjalanan Spiritual Individu, Hamemayu Hayuning Bawana Optimalisasi energi dan fungsi demi harmoni individu-lingkungan Sentralitas Kekaisaran, Stabilitas Politik, Perlindungan
Sifat Hubungan Alam-Kota Keterikatan Topografis Unik (Merapi, Laut Selatan, Lima Anasir) Matematis-Geometris (Grid dapat diterapkan) Lingkungan Sekunder (Gunung-Air) Mendukung Pusat Kekuatan

SFY adalah pengecualian yang menarik karena ketergantungannya pada geografi spiritual lokal yang spesifik. Tata ruangnya adalah cerminan langsung dari siklus spiritual yang harus dijalani oleh setiap individu, menjadikannya suatu kota yang dirancang sebagai instrumen etika.

Implementasi dan Pelestarian Strategis

Memposisikan SFY dalam Pariwisata Budaya Berkelanjutan

Dengan status Warisan Dunia UNESCO, SFY memiliki potensi besar dalam pariwisata budaya, namun pengelolaan harus didasarkan pada nilai-nilai filosofis yang melekat. Karya budaya Jawa, termasuk tata ruang Keraton, dituntut untuk memenuhi tiga unsur: Tontonan (atraksi fisik), Tuntunan (panduan moral), dan Tatanan (penata ruang). Mengutamakan Tuntunan dalam narasi wisata adalah kunci untuk mengatasi komersialisasi dangkal.

Oleh karena itu, pariwisata di SFY harus dikembangkan sebagai wisata edukatif-hermeneutik. Para wisatawan didorong untuk menjelajahi SFY bukan hanya sebagai situs sejarah, tetapi sebagai jalur spiritual. Program-program seperti Jogja Heritage Track (Bus Pariwisata) telah dirancang dengan rute tematik, termasuk rute Paraning Dumadi dan Historical Heritage, yang dapat digunakan sebagai sarana interpretasi filosofis mendalam. Misalnya, wisatawan dapat menjelajahi kawasan kosmologis utara, termasuk Pasar Beringharjo, Kompleks Kepatihan, dan Tugu Yogyakarta, sambil memahami makna spiritual yang ada di balik fungsi ekonomi dan administrasi ruang tersebut.

Tantangan Pelestarian Nilai dan Bentuk di Era Modernitas

Pelestarian SFY menghadapi tantangan kompleks yang berasal dari globalisasi, urbanisasi, dan komersialisasi. Tantangan ini merupakan konflik inheren antara fungsi modern (efisiensi, ekonomi) dan makna spiritual (kesakralan ruang).

Konflik Fungsi Ruang dan Ancaman Fisik

Tekanan terbesar datang dari pembangunan fisik dan pengelolaan lalu lintas. Integritas visual dan spiritual sumbu terancam oleh isu lalu lintas dan pembangunan bangunan modern di kawasan Malioboro dan sekitarnya. Pelestarian memerlukan komitmen Pemkot untuk menjaga dan melestarikan kawasan SFY, terutama karena 95 persen kawasan tersebut berada di wilayah Kota Yogyakarta.

Jika zona penyangga (buffer zone) dan lingkungan SFY dikuasai oleh kepentingan komersial dan modernisasi yang mengabaikan tata ruang tradisional, hal ini secara filosofis merusak keselarasan Hablun min Allah (hubungan manusia dengan Tuhan) yang diwakili oleh poros Merapi-Kraton-Laut. Pelestarian SFY, dengan demikian, bukan hanya tugas fisik mempertahankan bangunan, tetapi tugas etis mempertahankan makna kesakralan tata ruang.

Erosi Makna Filosofis dan Relevansi Kontemporer

Meskipun SFY diakui secara global, hasil sosialisasi menunjukkan bahwa respon masyarakat DIY masih beragam, dengan banyak yang hanya mengetahui SFY secara garis besar dan belum memahaminya secara mendalam. Kurangnya pemahaman mendalam ini menciptakan kerentanan ganda: masyarakat cenderung melihat SFY hanya sebagai Tontonan (atraksi wisata) daripada Tuntunan (panduan hidup). Hal ini memudahkan komersialisasi yang mengabaikan nilai inti, sehingga ancaman terhadap SFY bukan hanya fisik, tetapi juga semantik.

Pelestarian nilai SFY memerlukan kontektualisasi hermeneutika nilai-nilai filosofis agar tetap relevan bagi generasi modern. Strategi pelestarian harus fokus pada pendidikan dan interpretasi ulang (misalnya, relevansi konsep SPD dalam mengatasi problematika Generasi Milenial). Inovasi seperti digitalisasi dan adaptasi ritual terbukti efektif dalam menjaga relevansi tradisi, memastikan resiliensi budaya Yogyakarta di tengah arus modernitas. Status keistimewaan DIY pun ditegaskan oleh identitas kultural yang kuat ini.

Kesimpulan

Sumbu Filosofi Yogyakarta (SFY) adalah mahakarya tata ruang yang menarasikan sebuah perjalanan eksistensial, Sangkan Paraning Dumadi, secara fisik. Tata ruang ini berfungsi sebagai instrumen etika spiritual, memandu kehidupan Raja dan rakyat menuju puncak spiritual Manunggaling Kawula Gusti. Kekhasan SFY terletak pada sifatnya sebagai Poros Naratif yang terikat erat pada geografi sakral (Merapi-Laut Selatan) dan nilai-nilai monistis Jawa.

Analisis komparatif menunjukkan bahwa SFY berbeda secara fundamental dari tata kota kosmologis lainnya. Berbeda dengan Vastu Shastra India yang menekankan optimalisasi energi geometris, atau tata kota Tiongkok yang menekankan hierarki dan tatanan kekaisaran, SFY berfokus pada panduan moral individual dan keseimbangan makro-mikro kosmos. SFY merupakan bukti bahwa sains spasial memiliki dimensi spiritual mendalam yang menjadi fondasi bagi kehidupan masyarakatnya.

Rekomendasi Kebijakan Pelestarian Filosofis dan Fisik

Untuk memastikan kelangsungan Outstanding Universal Value SFY di masa depan, direkomendasikan strategi terintegrasi berikut:

Penguatan zonasi konservasi dan pengendalian bangunan modern, terutama di kawasan penyangga (buffer zone), harus menjadi prioritas kebijakan tata ruang. Pemerintah daerah perlu menjamin bahwa pembangunan komersial atau infrastruktur (termasuk transportasi) tidak mengorbankan integritas visual dan spiritual sumbu, sebagaimana yang dikomitmenkan dalam kesepakatan pelestarian.

Penyusunan kurikulum pendidikan publik, baik formal maupun informal, yang mengintegrasikan filosofi Sangkan Paraning Dumadi secara mendalam wajib dilakukan. Hal ini penting untuk mengatasi kurangnya pemahaman masyarakat umum. Upaya pelestarian harus berfokus pada narasi, mengubah SFY dari sekadar Tontonan menjadi sumber Tuntunan yang relevan bagi kehidupan modern.

Pemerintah dan Keraton harus menciptakan platform interpretatif baru—melalui digitalisasi, aplikasi seluler, dan pemandu wisata yang tersertifikasi—untuk menjelaskan secara kontekstual bagaimana tata ruang kota mencerminkan filosofi hidup. Hal ini akan memastikan bahwa narasi SFY tidak hilang dalam komersialisasi pariwisata, sekaligus menjadi kekuatan budaya DIY dalam menghadapi berbagai tantangan kontemporer.

SFY memiliki potensi untuk diproyeksikan sebagai model global yang menunjukkan bagaimana etika dan nilai-nilai spiritual lokal (Hamemayu Hayuning Bawana) dapat menjadi panduan utama dalam perencanaan kota modern yang berkelanjutan. Model ini menawarkan alternatif terhadap perencanaan kota yang didominasi oleh utilitas dan ekonomi, menekankan bahwa tata ruang yang paling abadi adalah yang berakar pada koneksi spiritual antara manusia, alam, dan Penciptanya.