Loading Now

Arsitektur sebagai Narasi, dari Mistik Modernisme hingga Dilema Konservasi Kontemporer

Arsitektur: Manifestasi Fisik Narasi Budaya dan Filsafat Ruang

Arsitektur, sering disebut sebagai seni bina atau seni bangun, melampaui fungsinya sebagai tempat berlindung. Ia adalah proses multidimensi dari perencanaan, perancangan, dan konstruksi yang menghasilkan lingkungan binaan yang berfungsi sebagai teks budaya, merekam sejarah, nilai, dan hasrat kolektif masyarakat di baliknya. Laporan ini menguraikan bagaimana bangunan ikonik berperan sebagai narator ulung, mulai dari visi pribadi arsitek revolusioner hingga perdebatan krusial tentang pelestarian warisan urban.

Arsitektur sebagai Lingkungan Binaan dan Simbol Kultural

Sebuah karya arsitektur diakui sebagai simbol kultural dan karya seni; pencapaian arsitektural yang bertahan seringkali menjadi penanda utama identifikasi peradaban bersejarah. Menurut Van Romondt, arsitektur adalah ruang tempat hidup manusia dengan bahagia, di mana ruang tersebut meliputi segala lingkungan yang diciptakan oleh manusia. Ini menunjukkan bahwa arsitektur adalah manifestasi fisik dari wujud kebudayaan, yang merupakan hasil dari upaya manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Konsep manusia sebagai makhluk yang bersifat biososiobudaya menunjukkan adanya hubungan integral antara manusia, kebudayaan, dan lingkungan. Lingkungan alam memberikan daya dukung, dan melalui kebudayaan dan kemampuan akal, manusia melakukan adaptasi, mendayagunakan lingkungan untuk melangsungkan kehidupannya. Arsitektur lokal menjadi contoh paling nyata dari adaptasi ini. Sebagai contoh, Rumah Honai di Papua yang berbentuk bulat dan rendah dengan atap jerami dibangun untuk menahan dingin di daerah pegunungan, sekaligus mencerminkan pola hidup komunal dan nilai-nilai gotong royong. Demikian pula, Rumah Tongkonan di Sulawesi Selatan, dengan atap melengkungnya, tidak hanya berfungsi sebagai rumah tetapi juga sebagai tempat upacara adat yang menggambarkan hubungan erat antara manusia, leluhur, dan alam.

Narasi Politik dan Identitas Nasional

Bangunan ikonik sering kali menjadi medan tempur politik, digunakan sebagai prasarana untuk melegitimasi kekuasaan atau menciptakan narasi identitas yang baru. Dalam konteks dekolonisasi di Indonesia, arsitektur memainkan peran penting dalam upaya memutus hubungan dengan masa kolonial. Jakarta, yang sebelumnya dikenal sebagai Batavia, dianggap sebagai representasi pusat pemerintahan kolonial yang disimbolkan sebagai penjajahan dan ketidakadilan sosial. Oleh karena itu, muncul upaya serupa untuk menciptakan representasi baru tentang negara dan identitasnya, seperti usulan pemindahan ibu kota ke Palangka Raya di Kalimantan, sebagai upaya menyeimbangkan pembangunan dan menegaskan kembali identitas nasional yang terlepas dari bekas pusat kolonial.

Ketika arsitektur berfungsi sebagai adaptasi, ia merespons dua kebutuhan utama. Pertama, adaptasi fisik terhadap kondisi lingkungan (misalnya, menahan dingin), dan kedua, adaptasi sosial yang mengikat individu dalam pola komunal dan gotong royong. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur tidak hanya merupakan perangkat teknis untuk bertahan hidup, tetapi juga merupakan pernyataan filosofis yang mengukuhkan posisi manusia dalam alam dan komunitas.

Namun, narasi yang dibangun melalui arsitektur tidak selalu otentik. Meskipun arsitektur lokal mencerminkan subkultur dan kearifan lokal, terdapat ketegangan ketika arsitektur dipakai sebagai simbol hegemonik oleh kekuasaan sentralistik. Dalam beberapa kasus, identitas bentuk fisik arsitektur tradisional dipakai sebagai simbol untuk menunjukkan tertib kekuasaan dan kendali oligarki. Akibatnya, alih-alih pelestarian otentik, terjadi penyeragaman visual subkultur arsitektur vernakular di lingkup lokal demi menciptakan keberagaman semu di skala nasional. Ini menegaskan bahwa “identitas nasional” yang diartikulasikan melalui arsitektur seringkali merupakan narasi politik sentralistik yang menindas narasi regional yang lebih otentik.

Para Narator Abad ke-20: Kontras Estetika Radikal (Gaudí vs. Hadid)

Analisis naratif arsitektur menjadi tajam ketika mengamati karya para arsitek yang menolak ortodoksi zamannya, menciptakan narasi pribadi yang melampaui gaya konvensional. Antoni Gaudí dan Zaha Hadid mewakili dua kutub radikalisme: satu berakar pada mistisisme alam, yang lain pada futurisme teknologi.

Antoni Gaudí: Modernisme Katalan dan Simfoni Alam (Barcelona)

Antoni Gaudí (1852–1926) adalah sosok sentral dalam Modernisme Katalan, sebuah gerakan di Barcelona yang muncul pada pergantian abad ke-20, yang menolak keanggunan Art Nouveau demi emosi, kebanggaan regional, dan inovasi tak terbatas.

Filosofi Gaudí berpusat pada alam. Ia percaya bahwa arsitektur ditarik dari “buku alam yang agung” dan secara radikal menolak penggunaan garis lurus, karena menurutnya “tidak ada garis lurus di alam”. Karyanya dipenuhi bentuk-bentuk terinspirasi dari flora dan fauna, termasuk tangga spiral, lengkungan katenari, dan kolom-kolom yang menyerupai pepohonan.

Karya-karya ikoniknya adalah manifestasi dari narasi spiritualitas dan kekayaan lokal. Basílica de la Sagrada Família (dimulai 1882) merupakan mahakarya abadi yang menggabungkan elemen Gotik dan Art Nouveau dengan simbolisme religius yang mendalam. Gaudí membayangkan 18 menara, dengan yang tertinggi melambangkan Yesus Kristus. Di dalamnya, kolom-kolom meniru hutan, dan kaca patri yang berwarna-warni menyaring cahaya menjadi pola yang hidup, meningkatkan pengalaman spiritual. Selain itu, karya seperti Casa Batlló dan Casa Milà (La Pedrera), dengan bentuknya yang cair dan mirip mimpi, menegaskan narasi bahwa bangunan dapat menjadi organisme hidup. Warisan Gaudí—yang mencakup tujuh bangunan Situs Warisan Dunia UNESCO—memberikan warisan budaya yang khas bagi Katalonia, menegaskan kebanggaan regional.

Zaha Hadid: Dekonstruktivisme dan Horizon Futuristik (Global)

Jauh di masa depan pasca-Modernisme, Zaha Hadid (1950–2016) muncul sebagai “Queen of the Curve,” seorang arsitek yang melukis masa depan dengan kurva yang berani dan cakrawala yang dinamis. Ia adalah wanita pertama dan muslim pertama yang memenangkan Penghargaan Arsitektur Pritzker pada tahun 2004.

Visi Dekonstruktivisme Hadid berfokus pada fluiditas, abstraksi, dan penolakan terhadap bentuk-bentuk geometris konvensional. Ideologinya dipengaruhi secara mendalam oleh gerakan Russian Avant-garde dan Suprematism, yang menekankan abstraksi, dinamisme, dan bentuk-bentuk geometris dasar. Ia menggunakan material modern yang kokoh seperti kaca, baja, dan beton untuk mendukung komposisi non-linear dan struktur pencakar langit yang dinamis.

Karya-karya Hadid berfungsi sebagai narasi futurisme global. Vitra Fire Station (1994) adalah proyek pertamanya yang selesai, melambungkan namanya dalam dekonstruktivisme, menunjukkan bahwa bangunan dapat berevolusi dari lukisan konseptual. Proyek selanjutnya seperti London Aquatics Centre dan stasiun kereta Hungerburgbahn di Austria, yang gerbangnya dibangun seperti jamur kaca menyala, menampilkan desain futuristik yang berani. Bahkan tesisnya yang tidak dibangun di London’s Hungerford Bridge telah menunjukkan kemampuannya untuk memadukan lanskap dan arsitektur menjadi bentuk yang cair.

Perbandingan antara kedua arsitek ini mengungkapkan sebuah kontradiksi filosofis yang mendasar dalam penolakan terhadap arsitektur klasik. Penolakan Gaudí terhadap garis lurus berasal dari alasan metafisik—menghormati alam dan spiritualitas yang mendalam—menghasilkan geometri organik yang religius. Sebaliknya, penolakan Hadid terhadap bentuk ortogonal didorong oleh dorongan ideologis Dekonstruktivisme dan kemungkinan teknologis material modern. Kedua arsitek ini menggunakan seni bina mereka untuk menulis ulang “kontrak” antara bangunan dan bentuk konvensional, membuktikan bahwa arsitektur radikal dapat lahir dari dua sumber inspirasi yang berlawanan.

Selain itu, terdapat perbedaan signifikan dalam cakupan narasi identitas. Gaudí adalah narator Modernisme Katalan yang eksplisit, mengikat karyanya dengan identitas regional yang spesifik, merayakan kebanggaan lokal. Hadid, dibesarkan dalam latar belakang budaya yang kaya di Baghdad dan berpendidikan di London, membawa pengaruh Avant-garde global, menciptakan gaya yang dapat diterapkan secara universal, memisahkan bentuknya dari konteks lokal demi universalitas teknologis. Hal ini mencerminkan pergeseran historis dari arsitektur yang sarat dengan local pride pada abad ke-19 menuju arsitektur global abad ke-21 yang didorong oleh inovasi teknologi.

Table 1: Perbandingan Naratif Arsitek Radikal

Arsitek/Gaya Filosofi Inti Narasi yang Diwakili Aplikasi Geometri
Antoni Gaudí (Modernisme Katalan) Alam sebagai Guru Utama Spiritual, Otentisitas Regional, Organik Kurva Katenari, Kolom Pohon (Anti-Garis Lurus)
Zaha Hadid (Dekonstruktivisme) Dinamisme, Abstraksi Avant-garde Futuristik, Teknologi, Pelepasan dari Massa Kurva Fluiditas, Bentuk Geometris Terfragmentasi

Gaya Arsitektur sebagai Kisah Kolektif: Ideologi, Krisis, dan Komodifikasi

Gaya arsitektur yang diadopsi secara luas di suatu wilayah berfungsi sebagai kisah kolektif yang menceritakan respons masyarakat terhadap tekanan ekonomi, politik, dan sosial. Art Deco di Miami dan Brutalisme di Eropa Timur, meskipun kontras dalam estetika, keduanya merupakan respons langsung terhadap krisis.

Art Deco di Miami Beach: Dari Krisis ke Ikon Pariwisata

Distrik Art Deco Miami Beach merupakan koleksi terbesar arsitektur Art Deco dan sub-gaya Streamline Moderne, yang narasi utamanya adalah ketahanan dan redefinisi identitas kota pasca krisis.

Kebangkitan gaya ini terjadi setelah periode yang sulit, ditandai dengan Badai Besar Miami tahun 1926 dan Depresi Hebat tahun 1929. Arsitektur yang dominan di sana, Streamline Moderne (fase kedua Art Deco), merupakan refleksi yang lebih sederhana dan lebih murah, lahir dari Depresi. Namun, ia juga didukung oleh keyakinan bahwa masa depan akan lebih baik, diresapi dengan optimisme futuristik yang diekstolasi pada Pameran Dunia tahun 1930-an.

Secara visual, Art Deco di Miami Beach menampilkan kurva ramping, “alis” jendela, dan garis vertikal yang menekankan ketinggian. Mereka memanfaatkan material modern seperti baja tahan karat, kaca, beton, dan yang paling ikonik, pencahayaan neon yang dramatis—digunakan secara efektif untuk mengumumkan kehadiran hotel kepada para wisatawan. Arsitek lokal seperti Henry Hohauser dan L. Murray Dixon mengembangkan varian unik yang disebut Tropical Deco, yang menampilkan ornamen relief dengan motif flora, fauna, dan kapal laut, secara eksplisit memperkuat citra Miami Beach sebagai resor tepi laut yang mewah.

Ratusan hotel dan apartemen pastel yang dibangun pada boom tahun 1930-an kini mendefinisikan kawasan tersebut. Wilayah ini berhasil diselamatkan dari pembongkaran berkat upaya pelestarian yang dipimpin oleh Barbara Capitman dan Leonard Horowitz pada tahun 1970-an, yang memenangkan Penetapan Daftar Nasional pada tahun 1979. Saat ini, Art Deco tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga merek dagang dan mesin pariwisata utama Miami Beach, sebuah kisah sukses tentang bagaimana pelestarian arsitektur dapat mendorong pembangunan ekonomi.

Brutalisme: Narasi Utilitarianisme dan Kerasnya Idealogi Sosial

Brutalisme, berasal dari istilah Prancis béton brut (beton kasar), adalah gaya arsitektur yang mendominasi di Eropa pasca Perang Dunia II, khususnya di Inggris dan negara-negara Eropa Timur. Gaya ini didorong oleh cita-cita sosialis yang mencari solusi bangunan utilitarian, keras, dan berbiaya rendah untuk rekonstruksi massal, menjadikan beton sebagai material pilihan.

Filosofi inti Brutalisme adalah kejujuran material dan penolakan ornamen. Bangunan ini dicirikan oleh penggunaan material yang dibiarkan tanpa finishing (beton ekspos atau batu bata kasar), memberikan kesan asli dan kejujuran struktural. Secara formal, Brutalisme menampilkan bentuk geometris yang berat dan repetitif, seperti yang terlihat pada pola mata gergaji di atap University of Leicester. Meskipun prinsip dasarnya adalah mengekspos struktur bangunan, dalam praktiknya, seringkali yang diekspos adalah utilitas bangunan, seperti tangki air hidrolik, alih-alih kolom struktural. Unsur fungsionalitas diwujudkan melalui penggunaan jendela besar untuk memaksimalkan pencahayaan dan sirkulasi udara alami.

Pengamatan yang lebih dalam menunjukkan bahwa gaya kolektif Art Deco dan Brutalisme mewakili respons yang berbeda terhadap jenis krisis yang dihadapi masyarakat. Art Deco Streamline Moderne adalah respons estetis terhadap krisis ekonomi (Depresi), menawarkan narasi pelarian yang optimis, modern, dan dikomodifikasi untuk menarik pariwisata dan modal. Brutalisme, sebaliknya, adalah respons fungsional dan ideologis terhadap krisis sosial dan infrastruktur pasca-perang. Kedua gaya ini, meskipun sangat kontras secara visual—satu pastel dan ramping, yang lain kasar dan berat—adalah dokumen sejarah tentang bagaimana masyarakat menggunakan arsitektur untuk menanggapi kebutuhan mendesak.

Lebih lanjut, terdapat kontradiksi internal dalam narasi Brutalisme. Meskipun gaya ini didasarkan pada idealisme sosialistik kejujuran material untuk masyarakat yang egaliter , bentuknya yang monumental dan impersonal sering disalahgunakan oleh rezim otoriter di banyak negara. Arsitektur Brutalisme digunakan sebagai simbol kekuasaan politik untuk melegitimasi kontrol dan menciptakan penyeragaman visual, bahkan hingga menindas ekspresi arsitektur vernakular di tingkat lokal. Dengan demikian, sebuah gerakan yang lahir dari cita-cita sosial berakhir sebagai simbol otoritarianisme dan impersonalitas institusional.

Table 2: Analisis Kontekstual Gaya Kolektif: Art Deco vs. Brutalisme

Aspek Perbandingan Brutalisme Art Deco (Streamline Moderne)
Konteks Sejarah Kunci Pasca Perang Dunia II, Ideologi Sosialis Pasca Depresi Hebat (1930-an), Optimisme Industrial
Material Utama Beton Ekspos (Béton Brut), Batu Bata Kasar Neon, Baja, Kaca, Beton, Warna Pastel
Fungsi Sosial Dominan Institusi Publik, Perumahan Massal, Infrastruktur Pariwisata, Hiburan, Hotel/Resor
Narasi yang Dinarasikan Utilitarianisme, Kejujuran, Kekuatan Institusional Modernitas, Kecepatan, Kemewahan (Pariwisata)

Konservasi Warisan: Perdebatan Abadi Restorasi versus Adaptasi Modern

Narasi sebuah bangunan tidak berhenti pada saat selesai konstruksi, tetapi berlanjut melalui proses penuaan dan, yang terpenting, melalui keputusan pelestarian. Perdebatan antara restorasi murni dan modernisasi memunculkan strategi konservasi yang lebih cerdas dan berkelanjutan.

Definisi dan Konflik dalam Pelestarian Bangunan Tua

Pelestarian bangunan bersejarah secara tradisional terkait erat dengan kegiatan pemeliharaan yang bertujuan untuk mempertahankan dan mengembalikan bentuk aslinya (restorasi). Namun, di tengah dinamika urban yang cepat, banyak struktur bernilai arsitektural dan historis tinggi mengalami degradasi fisik dan fungsional (functional obsolescence) akibat perubahan zaman dan kurangnya perhatian. Konflik muncul ketika mempertahankan bentuk sejati bangunan lama (sebagaimana didefinisikan oleh konsep konservasi) dianggap menghambat pemanfaatan dan keberlanjutan ekonomi bangunan tersebut.

Adaptive Reuse (AR): Jembatan antara Sejarah dan Keberlanjutan Fungsional

Adaptive Reuse (Penggunaan Ulang Adaptif) telah menjadi strategi pelestarian yang berkelanjutan dan esensial. AR adalah langkah cerdas untuk menciptakan fungsi dan manfaat baru, baik secara ekonomi, kultural, maupun sosial, pada bangunan tua yang sudah tidak terawat atau fungsinya sudah usang. AR memastikan bahwa bangunan lama tetap memiliki nilai manfaat sambil mempertahankan identitas dan karakter historisnya.

AR sangat relevan untuk melestarikan warisan modern, seperti arsitektur pertengahan abad ke-20 (misalnya, kantor pos lama), yang tipologi awalnya mungkin sudah usang akibat transformasi teknologi abad ke-21. Tujuannya adalah mengubah struktur kosong menjadi “warisan hidup” (living heritage) yang memastikan penggunaan berkelanjutan. Studi kasus menunjukkan potensi tinggi untuk fungsi baru seperti komersial, edukatif, atau budaya, asalkan dilakukan dengan pendekatan kontekstual. Contoh penerapannya terlihat pada revitalisasi Koridor Kesawan di Medan (Gedung AVROS, Bank Indonesia Lama) , Semarang Gallery , serta upaya menghidupkan kembali fungsi seperti Museum Tekstil Palembang untuk meningkatkan nilai ekonomi dan kesadaran budaya. AR bahkan dapat diterapkan pada struktur yang belum selesai atau terbengkalai, seperti pusat perbelanjaan, untuk mengatasi masalah keamanan dan kenyamanan pengguna.

Perdebatan mengenai pelestarian telah mengalami pergeseran mendasar. Konservasi tradisional berfokus pada otentisitas material dan bentuk asli (restorasi), sementara AR mengalihkan prioritasnya ke otentisitas fungsional—memastikan kehidupan bangunan melalui fungsi baru yang optimal. Pergeseran ini bukan hanya pilihan estetika; di tengah krisis keberlanjutan global, mempertahankan bangunan yang sudah ada merupakan imperatif etis karena mengurangi kebutuhan akan material baru dan memanfaatkan energi yang sudah terkandung (embodied energy) dalam struktur lama.

Selain itu, AR terbukti sebagai alat pembangunan ekonomi berbasis warisan yang kuat. Dengan merefungsi bangunan bersejarah menjadi tempat komersial, edukatif, atau pariwisata, narasi sejarah bangunan lama diubah menjadi modal budaya yang diinvestasikan kembali. Revitalisasi kawasan warisan, seperti di Kesawan, melalui AR dapat menjadi motor penggerak ekonomi , yang berarti pelestarian sejarah secara aktif membiayai masa depannya sendiri.

Sinergi Kritis: Dialog antara Elemen Arsitektur Lama dan Sisipan Baru

Konservasi modern yang efektif tidak lagi menuntut kepatuhan buta terhadap otentisitas historis, tetapi menekankan penciptaan dialog yang disengaja dan layering (pelapisan) antara yang lama dan yang baru. Pendekatan ini diyakini menciptakan arsitektur yang lebih inovatif dan regeneratif daripada konstruksi yang mengabaikan yang sudah ada.

Proposal AR harus secara fundamental bertujuan untuk melindungi karakter bangunan—terutama nilai estetika, budaya, dan strukturalnya—bahkan ketika perubahan tipologi fungsi dilakukan. Ini menuntut sebuah kerangka kerja yang sensitif dan kontekstual.

Table 3: Kerangka Kerja Adaptive Reuse (AR) untuk Pelestarian Warisan

Kriteria AR Inti Fokus Implementasi Tujuan Jangka Panjang
Integritas Struktural Pemeliharaan fisik dan perkuatan struktur lama Keamanan, Daya Tahan, Keberlanjutan
Nilai Karakter Visual Mempertahankan fitur estetika dan identitas bangunan Menghindari perubahan tipologi drastis, menjaga “otentisitas” visual
Keberlanjutan Fungsional Menyuntikkan fungsi baru yang optimal (mis. Komersial, Edukatif) Memastikan status ‘Warisan Hidup’ (Living Heritage)
Konteks Sosio-Ekonomi Memperkuat hubungan dengan komunitas lokal Mendorong nilai ekonomi dan pemberdayaan masyarakat

Kesimpulan

Arsitektur adalah arbiter kultural dan perekam waktu yang tak terhindarkan. Dari simbolisme spiritual dan organik Antoni Gaudí di Barcelona  hingga dinamisme futuristik Zaha Hadid yang didorong teknologi , bangunan merupakan artefak yang menceritakan visi individu dan ideologi masa. Gaya kolektif seperti Art Deco dan Brutalisme membuktikan bahwa arsitektur adalah respons langsung terhadap kondisi sosio-ekonomi—baik itu optimisme pasca-Depresi yang dikomodifikasi  maupun utilitarianisme sosialis pasca-perang yang keras.

Analisis ini menyimpulkan bahwa narasi arsitektur dapat dibedakan menjadi dua kategori utama: narasi otentik yang mencerminkan kearifan lokal dan adaptasi ekologis , dan narasi hegemonik yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan politik dan sentralisasi.

Dalam menghadapi tantangan pelestarian urban kontemporer, strategi Adaptive Reuse (AR) muncul sebagai solusi paling bernuansa dan berkelanjutan. AR mengatasi konflik tradisional antara restorasi murni dan modernisasi dengan menggeser fokus dari otentisitas material belaka menuju otentisitas fungsional.

Rekomendasi Kebijakan untuk Pengelolaan Warisan Arsitektur:

  1. Prioritas Adaptive Reuse: Pemerintah kota dan otoritas pelestarian harus memprioritaskan kerangka kerja Adaptive Reuse (AR) sebagai strategi utama konservasi. Ini bukan hanya untuk bangunan tua bergaya kolonial tetapi juga untuk warisan arsitektur modern yang rentan terhadap tipologi yang usang.
  2. Kerangka Kontekstual yang Sensitif: Penerapan AR harus didasarkan pada kerangka kerja yang sensitif secara kontekstual, memastikan bahwa fungsi baru (komersial, budaya, edukatif) tidak mengorbankan nilai karakter visual, estetika, dan integritas struktural bangunan. Perlindungan pelestarian harus menjadi fokus utama, bahkan ketika perubahan fungsional dilakukan.
  3. Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Kebijakan harus secara eksplisit mengintegrasikan nilai ekonomi dalam proyek AR. Dengan mengubah bangunan bersejarah menjadi pusat kegiatan yang menghasilkan pendapatan (misalnya, pariwisata atau komersial), warisan arsitektur dapat membiayai konservasinya sendiri dan bertindak sebagai motor penggerak revitalisasi kawasan.
  4. Dialog Baru antara Lama dan Baru: Mendorong desain yang menciptakan sinergi kritis atau layering antara arsitektur lama dan sisipan modern yang jelas berbeda. Pendekatan ini menghasilkan dialog arsitektural yang lebih kaya dan inovatif, memastikan bahwa bangunan lama tetap menjadi living heritage yang relevan bagi generasi mendatang.