Loading Now

Mengatasi ‘Tribalisme’ Digital: Kerangka Kerja Menuju Kewarganegaraan Internasional yang Empatik di Media Sosial

Disrupsi Digital dan Kontradiksi Konektivitas Global

Ketika internet pertama kali diperkenalkan, terdapat ekspektasi yang luas akan dimulainya era konektivitas yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Platform komunikasi digital diproyeksikan untuk merevolusi dunia sosial pada skala internasional, memungkinkan seseorang di Memphis, Tennessee, untuk berkomunikasi dengan seseorang di Mumbai, India, semudah berbicara dengan tetangga sebelah. Teknologi komunikasi modern memang telah mengubah cara masyarakat mengakses, menyebarkan, dan memahami informasi melalui media digital yang bersifat cepat, interaktif, dan melampaui batas geografis.

Namun, realitas saat ini menunjukkan adanya kontradiksi mendasar antara janji konektivitas dan dampaknya terhadap kohesi sosial. Alih-alih menciptakan ruang publik yang semakin pluralistik dan berbasis debat terbuka, kita justru menyaksikan munculnya fenomena pengelompokan yang intensif dan polarisasi. Meskipun teknologi komunikasi menawarkan peluang besar untuk konektivitas global, tantangan serius seperti misinformasi, literasi digital yang rendah, dan ketidaksetaraan akses (digital divide) telah menggeser fokus dari manfaat globalisasi ke masalah fragmentasi sosial.

Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang pertukaran lintas budaya, kini cenderung mendorong pembentukan apa yang disebut sebagai ‘Tribalisme Digital’ atau Neotribalism. Ini adalah efek homogenisasi dalam komunitas digital yang diperparah oleh dinamika internal dan desain sistem, yang pada akhirnya menghambat munculnya kewarganegaraan internasional yang matang. Oleh karena itu, ulasan komprehensif ini bertujuan untuk mendiagnosis mekanisme yang mendorong tribalisme digital dan menawarkan kerangka kerja preskriptif bagi individu agar dapat menavigasi lingkungan digital sebagai Warga Negara Internasional yang empatik dan bertanggung jawab.

Definisi Konseptual: Membedah Tribalisme Digital, Echo Chamber, dan Polarisasi

Untuk menganalisis secara mendalam fenomena ini, diperlukan pemahaman yang jelas mengenai konsep-konsep kunci yang saling terkait.

Tribalisme Digital (Neotribalisme)

Tribalisme digital adalah istilah baru yang muncul untuk menggambarkan efek homogenisasi dan pengelompokan identitas di dalam komunitas media sosial. Fenomena ini dapat dilihat sebagai pembentukan kelompok identitas digital yang intensif, yang seringkali dipicu dan didorong oleh emosi negatif seperti kemarahan (anger) dan kemarahan besar (outrage). Inti dari tribalisme digital adalah pembentukan identitas yang kuat antara in-group (kelompok internal) dan out-group (kelompok luar), di mana afiliasi kelompok internal meningkatkan harga diri dan mendukung kohesi sosial di dalam kelompok tersebut. Konsekuensi dari afiliasi yang kuat ini adalah vilifikasi terhadap kelompok luar, yang dilihat sebagai ancaman, sehingga mendorong perpecahan dan konflik.

Echo Chamber (Ruang Gema)

Echo chamber atau ruang gema adalah lingkungan atau ekosistem dalam konteks media berita dan media sosial, di mana partisipan hanya menghadapi keyakinan yang memperkuat atau menguatkan keyakinan mereka yang sudah ada melalui komunikasi berulang di dalam sistem tertutup. Sistem ini terisolasi secara efektif dari sanggahan (insulated from rebuttal), sehingga membatasi paparan individu terhadap perspektif yang beragam dan secara eksklusif mendukung serta memperkuat narasi dan ideologi yang sudah diasumsikan.

Penting untuk dicatat bahwa echo chamber berbeda dari konsep serupa seperti epistemic bubblesEcho chamber tidak hanya menghilangkan suara-suara yang penting, tetapi secara aktif berfungsi dengan mengedarkan pandangan yang sudah ada tanpa menghadapi pandangan yang berlawanan. Fungsi isolasi ini berpotensi memicu tiga bias kognitif utama: correlation neglectselection bias, dan confirmation bias.

Polarisasi Sosial dan Politik

Polarisasi adalah peningkatan pembagian sosial atau politik yang diakibatkan oleh echo chamber. Di lingkungan digital, polarisasi terjadi ketika komunitas-komunitas dalam jaringan memiliki tingkat modularitas yang tinggi. Modularitas ini mencerminkan kecenderungan komunitas untuk berinteraksi hanya dalam kelompoknya sendiri dan jarang berhubungan dengan komunitas lain. Konsekuensi dari polarisasi ini sangat signifikan bagi wacana publik, karena dapat membatasi dialog konstruktif dan meningkatkan ekstremisme. Penelitian menunjukkan bahwa ruang publik pada media sosial telah bergeser dari arena berkomunikasi yang dialogis dan demokratis menjadi arena yang dimanfaatkan oleh kekuatan ekonomi politik tertentu untuk menyebarkan teks ujaran kebencian.

Struktur dan Tujuan Ulasan Komprehensif

Ulasan ini disusun secara analitis, bergerak dari diagnosis kausal menuju preskripsi berbasis aksi. Bab II akan memaparkan diagnosis mendalam mengenai akar psikologis, bias kognitif, dan peran amplifikasi algoritmik dalam mendorong tribalisme digital. Bab III akan menyajikan Kerangka Kerja Warga Negara Digital Internasional berdasarkan model sembilan elemen. Bab IV akan menguraikan panduan aksi yang terperinci untuk individu dalam membangun empati dan mempromosikan dialog global lintas perspektif. Terakhir, Bab V akan membahas tantangan etika dan regulasi yang melingkupi isu ujaran kebencian serta menawarkan rekomendasi strategis untuk platform dan regulator.

Diagnosis: Mekanisme Penguatan Tribalisme di Dunia Maya

Tribalisme digital bukan sekadar hasil dari pilihan pengguna; ia adalah produk dari interaksi antara psikologi manusia, bias kognitif yang melekat, dan desain sistem platform digital yang didorong oleh algoritma.

Akar Psikologis: Dinamika In-Group dan Out-Group dalam Lingkungan Digital

Proses psikologis yang membentuk representasi “kita” dan “mereka” adalah fondasi bagi tribalisme digital. Afiliasi dengan in-group berfungsi sebagai mekanisme psikologis positif; afiliasi ini dapat meningkatkan harga diri (boost self-esteem) dan mendukung kohesi sosial di dalam kelompok. Ketika individu memperoleh rasa identitas dan nilai diri dari kelompok mereka, mereka cenderung mempertahankan batas-batas kelompok dengan lebih ketat.

Perpecahan muncul karena out-groups cenderung dipersepsikan sebagai ancaman. Di lingkungan digital yang didorong oleh kemarahan dan kemarahan besar (anger and outrage), pembagian antara in-group dan out-group semakin melebar. Konsekuensi yang lebih berbahaya terjadi ketika perilaku toksik menjadi norma. Paparan terhadap perilaku tidak sopan (impolite behavior) yang dilakukan oleh anggota in-group tidak hanya terkait dengan peningkatan perilaku tidak sopan oleh pengguna itu sendiri, tetapi juga terkait dengan ekspresi intoleransi yang lebih besar terhadap kelompok sosial dan politik lainnya.

Studi menunjukkan bahwa karena afiliasi in-group memberikan manfaat psikologis (peningkatan harga diri ), tindakan vilifikasi atau serangan terhadap out-group dapat dilihat sebagai tindakan yang secara moral membenarkan dan memperkuat solidaritas kelompok internal. Dengan kata lain, lingkungan digital yang cepat dan anonim telah mentransfer konsep etika in-group ke ranah ideologi: semakin seseorang menyerang “musuh,” semakin besar pengakuan dan dukungan yang ia dapatkan dari kelompoknya. Hal ini secara paradoks memperkuat kohesi in-group melalui perilaku toksik, yang membawa implikasi negatif terhadap norma-norma demokratis.

Peran Bias Kognitif dalam Penguatan Ideologi

Dinamika psikologis in-group didukung kuat oleh serangkaian bias kognitif yang diperkuat oleh struktur echo chamber.

Amplifikasi Bias Konfirmasi

Echo chamber secara langsung memicu bias kognitif, terutama confirmation bias (bias konfirmasi), correlation neglect, dan selection biasConfirmation bias adalah kecenderungan individu untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi dengan cara yang mengonfirmasi atau memperkuat keyakinan yang sudah ada. Bahkan tanpa memandang preferensi politik spesifik, individu masih bisa terjebak dengan praduga yang mereka miliki. Di media sosial, confirmation bias diperkuat karena individu cenderung memprioritaskan interaksi dan sumber yang sesuai dengan pandangan mereka, dan algoritma semakin memfasilitasi lingkungan yang terisolasi dari sanggahan.

Homogenitas dan Modularitas Jaringan

Penelitian tentang jaringan gerakan sosial di platform media sosial menunjukkan bahwa polarisasi sangat dipengaruhi oleh struktur jaringan itu sendiri. Jaringan-jaringan ini seringkali memiliki tingkat modularitas yang tinggi, yang berarti bahwa komunitas-komunitas dalam jaringan cenderung berinteraksi secara eksklusif di dalam kelompoknya sendiri dan jarang berinteraksi dengan komunitas lain. Efek echo chamber yang kuat ini memastikan bahwa informasi dalam kelompok menjadi semakin homogen, yang pada gilirannya memperkuat bias kognitif anggota kelompok.

Amplifikasi Algoritmik: Peran Sistem Rekomendasi

Meskipun bias kognitif adalah sifat manusia, polarisasi sistemik di dunia maya adalah hasil dari desain sistem. Algoritma media sosial memainkan peran sentral dalam memperburuk polarisasi.

Algoritma, yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, cenderung memprioritaskan interaksi yang didasarkan pada kesamaan ideologi. Dengan secara otomatis menyaring konten yang berlawanan dan mempromosikan konten yang selaras dengan pandangan pengguna, algoritma secara efektif menghambat penyebaran perspektif yang lebih beragam. Modularitas tinggi dalam jaringan, yang disebutkan sebelumnya, bukanlah fenomena organik murni tetapi didorong oleh sistem rekomendasi algoritmik.

Selain itu, aktor-aktor dengan tingkat degree centrality yang tinggi (aktor utama dalam jaringan) seringkali berfungsi sebagai gatekeeper informasi. Algoritma memberikan visibilitas yang berlebihan kepada aktor-aktor ini, yang kemudian menentukan arah narasi yang berkembang di komunitas mereka. Ini menciptakan struktur kekuasaan asimetris di mana beberapa gatekeeper dapat memanipulasi arus informasi, yang semakin mengunci dan menguatkan bias kelompok.

Polarisasi dengan demikian dipahami sebagai hasil dari sebuah siklus yang mandiri: Bias kognitif individu (Confirmation Bias) dipicu dan diperkuat oleh desain sistem (Algoritma Rekomendasi) yang menciptakan struktur jaringan yang terfragmentasi (Modularitas Tinggi). Siklus ini menggeser fungsi ruang publik, menjadikannya arena yang rentan eksploitasi dan penyebaran ujaran kebencian, menggantikan fungsi dialogis yang independen dan demokratis.

Tabel 2.1 merangkum taksonomi mekanisme yang mendorong tribalisme digital.

Table 2.1: Taksonomi Mekanisme Tribalisme Digital

Mekanisme Kunci Definisi Fungsional Dampak Kognitif/Psikologis Utama Penguatan Sistemik (Platform)
Tribalisme Digital (Neotribalisme) Pembentukan identitas kelompok digital yang intensif, sering kali didorong oleh emosi negatif. Peningkatan harga diri In-Group, Vilifikasi Out-Group, Intoleransi Dinamika Konten Berbasis Kemarahan/Outrage
Echo Chamber Lingkungan tertutup yang hanya memberikan paparan informasi yang mendukung keyakinan awal. Confirmation BiasCorrelation Neglect, Keterbatasan Eksposur Filter Algoritma, Kurasi Otomatis
Polarisasi Jaringan Jaringan interaksi yang memiliki tingkat modularitas tinggi; komunikasi hanya terjadi secara internal. Homogenitas Informasi, Penguatan Bias Kognitif Kelompok Algoritma Rekomendasi Berbasis Kesamaan Ideologi

Kerangka Kerja Warga Negara Digital Internasional

Menjadi Warga Negara Internasional (International Digital Citizen) di media sosial menuntut lebih dari sekadar partisipasi; ini memerlukan kompetensi, etika, dan kesadaran global. Kerangka kerja ini berpusat pada penguatan literasi dan etika digital yang kritis.

Pilar Kewarganegaraan Digital Global: Model 9 Elemen

Konsep kewarganegaraan digital (digital citizenship) menyediakan fondasi yang kokoh untuk menanggulangi tribalisme digital. Konsep ini mencakup sembilan elemen penting yang perlu dikuasai individu untuk berpartisipasi penuh dan bertanggung jawab dalam masyarakat digital.

Dimensi Akses dan Komunikasi

Digital Access didefinisikan sebagai partisipasi elektronik penuh dalam masyarakat, sementara Digital Communication adalah pertukaran informasi secara elektronik. Penting untuk diakui bahwa meskipun teknologi komunikasi membuka peluang konektivitas global , digital divide (ketimpangan akses) masih menjadi tantangan serius bagi partisipasi global yang inklusif. Warga Negara Internasional harus memahami bahwa kesadaran mereka tentang polarisasi dan echo chamber hanya dapat diatasi jika masalah akses ini diakui dan ditangani.

Dimensi Etika dan Hukum

Digital Etiquette berfokus pada standar perilaku atau prosedur elektronik, dan Digital Law adalah tanggung jawab elektronik atas tindakan dan perbuatan. Etika dan praktik terbaik ini adalah fondasi yang membangun kepercayaan dan menjaga hubungan yang positif. Digital Rights & Responsibilities menjamin kebebasan yang diberikan kepada setiap orang di dunia digital, menuntut keseimbangan antara ekspresi dan tanggung jawab.

Dimensi Kesehatan dan Keamanan

Digital Health & Wellness menekankan kesejahteraan fisik dan psikologis di dunia teknologi digital, yang sangat relevan mengingat dampak negatif polarisasi terhadap kesehatan mental individu. Terakhir, Digital Security atau perlindungan diri melibatkan tindakan pencegahan elektronik untuk menjamin keamanan pribadi.

Literasi Digital yang Kritis dan Penyadaran Bias Algoritmik

Status “Warga Negara Internasional” mensyaratkan kompetensi (Literacy) dan bukan hanya fasilitas (Access). Literasi digital (Digital Literacy) adalah proses pengajaran dan pembelajaran tentang teknologi dan penggunaan teknologi. Dalam konteks memerangi tribalisme, literasi kritis harus dikembangkan, terutama dalam mengenali misinformasi dan bias sistemik.

Mengatasi Disinformasi dan Hoaks

Kewarganegaraan yang bertanggung jawab menuntut individu untuk menghindari informasi hoaks dan disinformasi. Sebaran berita palsu adalah tantangan besar di dunia maya. Tantangan ini tidak hanya sekadar ketidakmampuan membedakan fakta, tetapi juga kesulitan audiens untuk membedakan informasi yang akurat dari teks yang berupa berita palsu, termasuk ujaran kebencian, karena ruang publik telah dimanipulasi.

Mengungkap Bias Algoritmik

Aspek krusial dari literasi kritis adalah literasi algoritmik. Individu harus menyadari bahwa sistem rekomendasi yang mereka gunakan memiliki bias yang memperkuat bias sosial yang sudah ada. Bias algoritmik dapat muncul dari berbagai sumber, termasuk bias dalam data pelatihan, bias dalam desain algoritma, dan bias dalam data proxy.

Misalnya, dalam perawatan kesehatan, kurangnya representasi kelompok minoritas dalam data dapat membelokkan algoritma AI prediktif, yang berdampak pada hasil akurasi yang lebih rendah untuk pasien kulit hitam daripada pasien kulit putih. Untuk mengatasi hal ini, Warga Negara Internasional harus menerapkan strategi transparansi individu, yaitu dengan secara aktif mencari pemahaman tentang bagaimana input mereka diubah menjadi output dan mengapa rekomendasi dibuat. Di tingkat pengembang, solusi yang disarankan adalah menerapkan model AI yang dapat dijelaskan (explainable models), seperti sistem berbasis aturan, sehingga pengguna dapat melihat dengan jelas bagaimana input diubah menjadi output.

Pendidikan Kewarganegaraan Digital sebagai Gardu Terdepan

Pendidikan memegang peran penting dalam memitigasi tribalisme. Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship Education) menjadi garda terdepan untuk menyukseskan tujuan menciptakan masyarakat yang adil, damai, makmur, dan sejahtera di kemudian hari. Pendidikan harus fokus pada penyiapan generasi muda menjadi warga negara demokratis di abad digital.

Generasi Z, misalnya, dikenal memiliki keingintahuan yang besar dan kreativitas yang tinggi, tetapi juga dikatakan mudah putus asa dan sedang dalam pencarian jati diri. Kelompok ini membutuhkan fokus khusus dalam pengembangan etika digital, terutama dalam mengelola interaksi sosial yang terfragmentasi dan seringkali toksik. Pendidikan harus mengajarkan kompetensi budaya (Cultural Competence) untuk memahami bahwa budaya membentuk komunikasi dengan mempengaruhi nilai-nilai dan norma , yang merupakan langkah awal dalam mengatasi prasangka dan stereotip.

Panduan Aksi: Membangun Empati dan Dialog Lintas Perspektif

Untuk mengatasi kecenderungan algoritmik dan psikologis yang mendorong polarisasi, individu perlu mengadopsi serangkaian strategi proaktif yang memprioritaskan empati, pemahaman perspektif asing, dan dialog konstruktif.

Strategi Pribadi untuk Melawan Keterbatasan Algoritmik

Warga Negara Internasional harus menyadari bahwa algoritma secara sengaja membatasi eksposur mereka. Oleh karena itu, tindakan untuk mencari pandangan yang berbeda harus dilakukan secara sadar dan proaktif.

Individu harus secara sadar mencari dan mengonsumsi perspektif yang berlawanan secara ideologis. Ini adalah upaya individu untuk mengatasi selection bias dan menembus filter bubble yang didorong oleh sistem. Upaya ini harus disertai dengan dekonstruksi aktif terhadap stereotip dan prasangka. Komunikasi antar budaya di media sering terhambat oleh stereotip, etnosentrisme, dan informasi yang salah. Strategi proaktif harus berfokus pada menumbuhkan saling pengertian (fostering mutual understanding) untuk mengurangi dampak stereotip dan prasangka dalam komunikasi antarbudaya.

Praktik Terbaik Komunikasi Empatik di Media Sosial

Empati adalah fondasi yang diperlukan untuk membangun koneksi melampaui batas in-group. Mampu merasakan empati memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah banyak orang akan terbantu secara tidak sadar melalui perilaku empatik individu di media sosial.

Prinsip Profesionalisme dan Etika

Sikap yang profesional dan empati menciptakan lingkungan komunikasi yang sehat dan mendorong keterlibatan yang positif. Etika dalam pengelolaan media sosial juga mencakup konsistensi dalam branding dan suara, yang menciptakan kepercayaan dan pengakuan di kalangan audiens. Konsistensi ini sangat penting untuk menunjukkan transparansi dan tanggung jawab, dua elemen utama yang kontras dengan anonimitas dan ketidaktanggungjawaban yang sering muncul dalam neotribalism.

Teknik Dialog Lintas Budaya

Dialog lintas budaya memerlukan serangkaian kompetensi yang melampaui kemampuan linguistik:

  1. Kompetensi Budaya (Cultural Competence): Mengakui bahwa budaya membentuk komunikasi dengan mempengaruhi nilai-nilai dan norma, yang pada gilirannya menentukan gaya berpikir dan komunikasi. Pemilihan komunikator yang efektif untuk komunikasi lintas budaya harus mempertimbangkan kompetensi budaya.
  2. Adaptasi Gaya Komunikasi dan Mendengarkan Aktif: Strategi harus mencakup active listening yang efektif untuk meningkatkan pemahaman dan empati, sekaligus mengadaptasi gaya komunikasi dan menumbuhkan empati untuk menjembatani perbedaan bahasa di berbagai lingkungan.
  3. Dialog Konstruktif: Dialog yang konstruktif mendorong pandangan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang harus dirayakan sebagai suatu realitas. Prinsip ini didukung oleh nilai-nilai kemanusiaan dan persatuan yang mendasari toleransi dalam masyarakat multikultural.

Mendorong Dialog Global yang Konstruktif

Dialog yang efektif tidak terjadi secara kebetulan; ia memerlukan struktur dan komitmen terhadap kondisi psikologis yang aman. Prinsip-prinsip yang diperlukan untuk resolusi konflik yang sehat di antara pasangan atau kelompok sensitif dapat dialihkan ke ruang publik digital.

Pengelolaan konflik yang sukses bergantung pada dialog yang terbuka dan jujur, kesediaan untuk berkompromi, dan pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan emosional dan nilai-nilai. Yang paling penting adalah pentingnya menciptakan ruang aman (safe space for vulnerability) di mana semua pihak merasa didengar dan dihormati. Ketika prinsip kerentanan ini diterapkan dalam dialog ideologis, hal itu memungkinkan individu untuk melihat kemanusiaan di balik perbedaan ideologi, yang merupakan antivirus paling kuat terhadap vilifikasi out-group.

Platform digital dan media massa juga memiliki peran dalam memfasilitasi dialog ini. Media massa melalui digitalisasi memperluas akses ke konten budaya global. Program-program penting seperti pertukaran pelajar, dialog antarbudaya, dan festival budaya adalah alat yang kuat untuk menjembatani kesenjangan dan memperkuat pemahaman antarbudaya, dengan platform digital memainkan peran memfasilitasi interaksi. Bahkan, konten gaya hidup (lifestyle content) dapat digunakan sebagai sarana yang lebih ringan dan efektif untuk belajar komunikasi lintas budaya.

Tabel 4.1 menguraikan panduan aksi spesifik bagi Warga Negara Digital untuk menumbuhkan dialog global.

Table 4.1: Panduan Aksi Warga Negara Digital untuk Dialog Global

Komponen Kunci Tujuan Kognitif/Emosional Aksi Digital Spesifik Pilar Kewarganegaraan Digital yang Diterapkan
Melawan Bias Mengatasi Selection Bias dan Homogenitas Informasi Mengikuti secara sadar akun atau sumber berita yang berlawanan ideologi Literasi Digital Kritis
Kompetensi Empatik Membangun Kepercayaan dan Kohesi Sosial Merespons secara profesional; menerapkan active listening dan adaptasi gaya komunikasi Digital Etiquette & Digital Health
Dialog Konstruktif Merayakan Perbedaan sebagai Realitas Fokus pada pemahaman bersama, bukan kemenangan argumen; menciptakan ruang aman untuk kerentanan Digital Communication & Digital Rights

Tantangan Etika, Regulasi, dan Arah Masa Depan

Tribalisme digital tidak dapat diatasi hanya melalui tindakan individu. Perlu ada kerangka regulasi dan etika global yang mengatasi dilema fundamental antara kebebasan berekspresi dan perlindungan dari ujaran kebencian.

Konflik Etika Global: Menyeimbangkan Kebebasan Berekspresi vs. Moderasi Ujaran Kebencian

Media sosial telah memfasilitasi kebebasan berekspresi, namun penyalahgunaan hak ini dalam bentuk ujaran kebencian (hate speech) dan disinformasi menghadirkan tantangan serius terhadap kohesi sosial. Keseimbangan dalam mencari etika ini sangat kompleks.

Menurut hukum hak asasi manusia internasional, pembatasan kebebasan berbicara diperlukan, tetapi penerapannya memerlukan pertimbangan etis dan hukum yang cermat agar tidak mengorbankan hak-hak individu. Negara hanya dapat melarang bentuk “ujaran kebencian” yang memenuhi persyaratan Pasal 19(3) ICCPR, yang mencakup ancaman, serangan, dan pelecehan yang termotivasi diskriminasi dan ditargetkan terhadap individu tertentu. Sebaliknya, ujaran yang hanya menimbulkan kekhawatiran mengenai intoleransi dan diskriminasi, tetapi dilindungi secara hukum, harus dilindungi dari pembatasan dan membutuhkan respons kritis dari negara.

Absennya kesepakatan global mengenai definisi dan batasan ini mempersulit etika Warga Negara Internasional. Aksi yang dianggap sebagai kebebasan sipil di satu yurisdiksi dapat dianggap sebagai konten ilegal di yurisdiksi lain, sehingga menimbulkan ketegangan permanen di platform global.

Perbandingan Model Tanggung Jawab Platform Global

Pendekatan yurisdiksi global terhadap tanggung jawab platform digital menunjukkan keragaman yang signifikan, yang memengaruhi bagaimana ujaran kebencian dimoderasi.

Model Non-Kewajiban (Amerika Serikat)

Amerika Serikat secara tradisional memilih untuk tidak memaksakan kewajiban apa pun pada perusahaan media sosial untuk menghapus konten yang dibuat oleh pihak ketiga. Perusahaan hanya diberikan hak untuk membatasi akses ke materi tertentu yang dianggap cabul atau “tidak pantas” (otherwise objectionable). Model ini menekankan perlindungan maksimal terhadap kebebasan berekspresi, namun membebankan tanggung jawab moderasi yang besar pada kebijakan internal perusahaan itu sendiri.

Model Kewajiban Proaktif (Uni Eropa)

Sebaliknya, Uni Eropa telah mengadopsi regulasi yang mewajibkan perusahaan untuk menghapus konten yang menyinggung, termasuk ujaran kebencian, setelah konten tersebut dilaporkan kepada mereka. Model ini menunjukkan intervensi regulasi yang lebih kuat untuk melindungi publik dari bahaya konten online.

Model Tanggung Jawab Bersyarat (Indonesia)

Indonesia mengadopsi model tanggung jawab bersyarat (conditional liability) terhadap konten ilegal. Platform digital diwajibkan untuk menghapus konten ilegal seperti ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan pornografi setelah adanya pemberitahuan dari pemerintah. Namun, platform tetap dapat dituntut pertanggungjawaban dalam kasus kelalaian.

Meskipun Indonesia telah mengembangkan kerangka hukum dasar, tantangan yang dihadapi meliputi definisi yang tidak jelas tentang konten terlarang dan hambatan penegakan hukum lintas batas. Selain itu, regulasi yang ada, seperti UU ITE, sering dianggap multitafsir, sehingga rawan disalahgunakan dan mengancam kebebasan sipil, meskipun bertujuan untuk bertindak tegas terhadap produsen disinformasi. Perbedaan model regulasi ini menyoroti perlunya kewajiban transparansi yang lebih kuat di tingkat global agar Warga Negara Internasional dapat memahami aturan main yang berbeda di berbagai yurisdiksi.

Rekomendasi Strategis untuk Platform dan Regulator

Mengatasi tribalisme digital memerlukan pendekatan menyeluruh yang mencakup reformasi kebijakan, inovasi teknis, dan edukasi publik.

Mitigasi Bias Struktural Platform

Platform memiliki tanggung jawab etis untuk mengatasi penguatan polarisasi yang didorong oleh sistem mereka. Ini termasuk mengatasi bias dalam data pelatihan dan desain algoritma. Platform disarankan untuk mengembangkan dan menggunakan model AI yang dapat dijelaskan (explainable models)  untuk memberikan transparansi mengenai proses pengambilan keputusan, yang akan membantu pengguna memahami mengapa mereka disajikan konten tertentu dan mengapa rekomendasi dibuat.

Reformasi Hukum yang Berimbang

Bagi regulator, reformasi hukum diperlukan untuk menyeimbangkan regulasi konten dengan perlindungan hak konstitusional dan inovasi digital. Diperlukan pedoman yang lebih jelas mengenai definisi konten terlarang, serta pengawasan independen terhadap praktik moderasi platform. Pembaruan regulasi harus menjamin perlindungan kebebasan sipil sambil tetap tegas pada produsen disinformasi yang mengeksploitasi momentum sosial-politik melalui jejaring siber terstruktur.

Kesimpulan: Jalan Menuju Ruang Publik Digital yang Inklusif

Tribalisme digital adalah manifestasi dari kegagalan sistemik dan psikologis dalam menghadapi kecepatan dan isolasi yang ditawarkan oleh media sosial. Fenomena ini didorong oleh siklus umpan balik antara bias kognitif (terutama confirmation bias), dinamika psikologi in-group yang membenarkan intoleransi, dan desain algoritmik yang memaksakan modularitas tinggi dalam jaringan. Hasilnya adalah fragmentasi ruang publik digital, yang seharusnya menjadi arena dialog, menjadi sarang ujaran kebencian dan manipulasi ekonomi politik.

Menjadi Warga Negara Internasional yang efektif memerlukan komitmen yang berlapis. Di tingkat individu, ini berarti mengadopsi model Digital Citizenship yang komprehensif, dengan fokus pada Literasi Algoritmik (memahami bagaimana sistem memanipulasi pandangan kita) dan Kompetensi Budaya (kemampuan untuk berdialog dengan empati dan tanpa stereotip). Warga digital harus secara proaktif mencari perspektif yang berlawanan dan menerapkan prinsip active listening serta menciptakan ruang aman untuk diskusi yang konstruktif, di mana perbedaan dirayakan sebagai sebuah realitas, bukan ancaman.

Di tingkat struktural dan kelembagaan, diperlukan sinergi yang lebih kuat antara: (1) Inovasi Platform, yang harus bergerak menuju transparansi algoritmik dan mitigasi bias data, dan (2) Reformasi Regulasi Global, yang harus mengatasi perbedaan tajam dalam penanganan ujaran kebencian (Model AS vs. UE vs. Indonesia) untuk menciptakan kerangka hukum yang koheren, transparan, dan melindungi hak-hak konstitusional sambil menjaga kohesi sosial dari polarisasi yang merusak. Hanya dengan upaya kolektif, mulai dari pendidikan hingga kebijakan global, ruang publik digital dapat direklamasi dari cengkeraman tribalisme menuju lingkungan yang inklusif dan empatik.