Fenomena ‘Music Tourism’: Analisis Dampak Ekonomi, Psikologi Fandom, dan Strategi Kebijakan dalam Era Mega-Konser
Fenomena ‘Music Tourism’ telah mengalami transformasi signifikan, bergeser dari kegiatan pariwisata berbasis festival budaya menjadi pendorong ekonomi global yang substansial, dipimpin oleh mega-tur artis tunggal seperti Taylor Swift, BTS, dan Coldplay. Analisis menunjukkan bahwa motivasi perjalanan kini didominasi oleh faktor psikologis massa—terutama Teori Identitas Sosial dan Fear of Missing Out (FOMO)—yang mendorong penggemar untuk merencanakan seluruh liburan internasional mereka di sekitar satu tanggal konser. Konser kelas dunia telah menjadi komoditas sosial, di mana nilai pengalaman kolektif dan validasi identitas kelompok melampaui biaya finansial yang dikeluarkan.
Dampak Ekonomi Global dan Regional
Dampak ekonomi dari fenomena ini, yang sering disebut Swiftonomics, sangat signifikan. Dalam kasus penyelenggaraan The Eras Tour di Singapura, investasi strategis pemerintah (melalui insentif eksklusif) diperkirakan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Singapura sebesar 2.9% pada Kuartal I 2024. Data menunjukkan lonjakan pemesanan akomodasi sebesar 460% dan pemesanan penerbangan sebesar 186% ke Singapura. Konser bertindak sebagai investasi strategis negara yang menghasilkan Multiplier Effect tinggi pada sektor jasa, menciptakan pendapatan, lapangan kerja, dan peningkatan devisa, namun sekaligus menimbulkan risiko economic leakage substansial bagi negara-negara tetangga yang gagal menjadi tuan rumah.
Implikasi Kebijakan
Peran pemerintah dalam Music Tourism telah melampaui fasilitasi semata. Kasus Singapura menunjukkan penggunaan soft power melalui pemberian insentif eksklusif untuk meraih kepentingan ekonomi, prestise, dan eksistensi regional. Kebijakan eksklusivitas ini memicu kritik keras dari negara-negara ASEAN (Thailand, Filipina) sebagai bentuk persaingan tidak sehat. Implikasinya bagi Indonesia adalah perlunya respons kebijakan yang terkoordinasi, termasuk pembangunan infrastruktur yang terintegrasi dan pembentukan dana insentif kompetitif untuk memitigasi kebocoran ekonomi regional.
Rekomendasi Aksi Cepat
Indonesia harus memprioritaskan: (1) Pembentukan Dana Insentif Konser Nasional untuk menegosiasikan status tuan rumah eksklusif di kawasan; (2) Akselerasi peningkatan infrastruktur urban mobility dan venue berstandar internasional; dan (3) Pemanfaatan kekuatan fandom domestik dan regional sebagai basis konsumen utama untuk memperkuat city branding dan meminimalkan economic leakage.
Pendahuluan: Music Tourism sebagai Driver Utama Pariwisata
Definisi dan Lingkup Music Tourism
Music Tourism didefinisikan sebagai minat spesifik dalam pariwisata yang berpusat pada musik. Menurut UNWTO & Sound Diplomacy (2018), music tourism mencakup setiap kegiatan yang dilakukan oleh wisatawan di mana motivasi utama mereka untuk bepergian adalah terkait musik—baik itu untuk mendengarkan pertunjukan langsung maupun untuk mencari pengalaman sejarah yang berkaitan dengan formasi atau performa musik.
Sektor ini tumbuh signifikan karena kemampuan musik untuk meningkatkan antusiasme dan daya tarik wisatawan. Musik, sebagai bentuk budaya, memenuhi kebutuhan psikologis wisatawan akan hal baru (novelty), kejutan, kesenangan, dan pengetahuan. Awalnya, music tourism banyak dikaitkan dengan festival musik lokal, seperti Jazz Gunung Bromo di Jawa Timur, atau pengembangan budaya musik folk lokal, seperti di Jiangxi, sebagai atraksi wisata budaya. Namun, dalam satu dekade terakhir, fokusnya telah bergeser secara dramatis.
Pergeseran Paradigma: Konser sebagai Motif Perjalanan Primer
Saat ini, terjadi pergeseran paradigma fundamental, di mana konser bukan lagi elemen tambahan dalam liburan, melainkan tujuan utama yang mendominasi seluruh perencanaan perjalanan internasional. Bagi generasi muda, khususnya Gen Z dan Milenial, konser—seperti The Eras Tour Taylor Swift atau tur Adele—telah menjadi alasan untuk bepergian, menginap, dan membagikan pengalaman tersebut di media sosial.
Fenomena ini menunjukkan bahwa konsep music tourism di era mega-tur telah menjadi penggerak utama permintaan hotel dan perjalanan secara global. Perjalanan melintasi batas negara hanya demi satu atau beberapa pertunjukan dalam waktu singkat telah menjadi tren arus utama (mainstream), bukan lagi tren niche yang hanya terkait dengan festival atau musisi legendaris. Hal ini memaksa perencana perjalanan, hotel, dan maskapai untuk menyesuaikan pola permintaan mereka di seluruh dunia.
Latar Belakang Fenomena Mega-Tur Global
Mega-tur global seperti Taylor Swift, BTS, dan Coldplay memiliki skala dan dampak yang melampaui batas geografis. Keberhasilan tur-tur ini didukung oleh kekuatan fandom yang terorganisir dan terdigitalisasi.
Kasus BTS (Hallyu) mencontohkan bagaimana fenomena budaya Korea (Hallyu) telah menjadi tren global. Studi menunjukkan adanya pengaruh kuat antusiasme penggemar konser BTS, bahkan yang diadakan secara online, terhadap euforia Korean Wave di media sosial. Hubungan yang kuat antara penggemar (ARMY) dan grup didukung oleh Teori Interaksi Parasosial, yang memungkinkan ikatan emosional meskipun interaksi terjadi melalui platform digital. Kekuatan branding budaya inilah yang mendasari kesiapan penggemar untuk melakukan perjalanan fisik demi konser offline.
Kasus The Eras Tour Taylor Swift merupakan contoh ekstrem dari dampak mega-tur. Dengan enam hari pertunjukan di Singapore National Stadium, tur ini menjadi watershed year bagi Sports Hub Singapura. Singapura menjadi satu-satunya destinasi di Asia Tenggara, memaksa penggemar dari seluruh kawasan, termasuk Wisatawan Nasional (Wisnas) Indonesia, untuk melakukan perjalanan lintas negara hanya untuk mendapatkan cap paspor demi menonton pertunjukan tersebut. Proporsi kunjungan Wisnas ke Singapura tercatat meningkat dari 16.65% menjadi 17.26% pada Maret 2024, didorong antara lain oleh penyelenggaraan konser musik internasional.
Analisis Psikologi dan Sosiologi Fandom (The Fandom Factor)
Identitas Sosial dan Partisipasi Kolektif
Perjalanan ekstrem untuk menghadiri konser tidak dapat dipahami hanya melalui rasionalitas biaya-manfaat. Teori Identitas Sosial menawarkan kerangka kerja yang kuat untuk menganalisis fenomena ini. Ketika seseorang tergabung dalam kelompok atau komunitas (fandom seperti Swifties atau K-Pop fandom), mereka cenderung mengidentifikasi diri sebagai bagian integral dari kelompok tersebut.
Konser berfungsi sebagai ritual partisipatif kolektif. Identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri individu, yang berasal dari pengetahuan, internalisasi nilai-nilai, emosi, dan rasa bangga sebagai anggota kelompok. Bagi para penggemar, berkumpul di venue konser memungkinkan mereka untuk membangun identitas kelompok. Anonimitas dalam kerumunan besar justru meningkatkan keberartian kelompok karena adanya rasa saling memiliki yang lebih kuat. Dengan demikian, konser adalah ajang bagi anak muda untuk bersosialisasi, memperluas jaringan pertemanan, menjalin ikatan emosional yang kuat, dan mengekspresikan diri sebagai bagian dari komunitas global.
Peran Digitalisasi dan Interaksi Parasosial
Media sosial memainkan peran ganda. Di satu sisi, platform digital seperti Instagram dan TikTok mempermudah penggemar mendapatkan informasi jadwal dan membeli tiket secara daring, memungkinkan perencanaan yang lebih baik. Di sisi lain, media sosial memperkuat ikatan emosional dan interaksi parasosial, seperti yang terlihat pada penggemar BTS, yang mempertahankan hubungan kuat dengan artis meskipun hanya melalui platform digital.
Yang lebih penting, konser telah menjadi bagian dari sharing economy pengalaman. Pengalaman konser didokumentasikan dan dibagikan secara masif di media sosial. Hal ini menciptakan siklus dorongan visual dan sosial, di mana mereka yang belum hadir merasa tertekan untuk berpartisipasi. Konser berfungsi sebagai pilgrimage kontemporer. Karena akses digital terhadap konten musik sudah melimpah (lagu dapat didengarkan gratis di streaming platform atau ditonton di YouTube), nilai konser berpindah dari konten (musik) menjadi konteks (tempat, momen, dan komunitas). Konser fisik menjadi komoditas sosial yang memberikan validasi identitas di mata rekan-rekan mereka.
Anatomi Keputusan Perjalanan Ekstrem: FOMO dan Kelangkaan
Keputusan penggemar untuk membelanjakan uang berjuta-juta untuk konser yang durasinya hanya 2-3 jam, padahal pertunjukannya dapat diakses secara gratis di YouTube, menunjukkan dominasi faktor emosional. Analisis psikologi menunjukkan bahwa pemicu utama pembelian tiket yang impulsif, yang sering disebut panic buying, adalah Fear of Missing Out (FOMO).
Kelangkaan dan keterbatasan waktu (tur terbatas pada negara tertentu) meningkatkan rasa urgensi ini. Keterikatan emosional terhadap artis favorit membuat penggemar mempersepsikan pengalaman konser sebagai sesuatu yang “tidak bisa diulang,” berbeda dengan pengalaman travelling biasa yang menawarkan keanekaragaman dan dapat dilakukan secara lebih teratur. Dalam konteks ini, perjalanan jarak jauh, bahkan lintas benua, adalah biaya yang harus dibayar untuk menghindari penyesalan karena kehilangan momen unik dan untuk memenuhi kebutuhan identitas kelompok. Negara-negara yang berhasil menarik mega-konser ini tidak hanya menjual tiket hiburan, tetapi menjual peluang bagi penggemar untuk mendapatkan validasi identitas sosial skala global.
Dampak Ekonomi Musik Pariwisata (The Economic Multiplier Effect)
Komponen Pengeluaran Wisatawan Musik (Wisnas dan Wisman)
Dampak ekonomi langsung dari kegiatan wisata berkaitan erat dengan pengeluaran pengunjung (wisatawan) untuk produk dan jasa di lokasi tujuan. Komponen pengeluaran ini bervariasi antara wisatawan domestik (Wisnas) dan internasional (Wisman).
Berdasarkan laporan BPS mengenai Wisnas, komponen pengeluaran terbesar berasal dari akomodasi, dengan proporsi mencapai 29.81% pada tahun 2022. Namun, dalam konteks music tourism internasional yang didorong oleh mega-tur, distribusi pengeluaran bergeser secara dramatis, di mana biaya perjalanan antarnegara (penerbangan) dan akomodasi sering kali melampaui biaya tiket konser itu sendiri.
Studi Kasus ‘Swiftonomics’ di Singapura: Menghitung Kontribusi PDB
Fenomena Swiftonomics di Singapura menjadi studi kasus utama dalam mengukur kontribusi ekonomi sebuah mega-tur. Konser The Eras Tour Taylor Swift di Singapura diperkirakan mengerek PDB negara tersebut sebesar 2.9% pada Kuartal I tahun 2024, menunjukkan dampak ekonomi makro yang signifikan.
Dampak langsung pada sektor hospitalitas sangat mencolok. Selama periode konser enam hari pada Maret 2024, pemesanan yang terkait dengan Singapura melonjak tajam: Penerbangan meningkat sebesar 186%, akomodasi naik sekitar 460%, dan pemesanan objek wisata serta tur melonjak hingga 2.373%. Kenaikan ini menunjukkan bahwa wisatawan konser cenderung memperpanjang masa tinggal mereka di luar tanggal konser, memaksimalkan potensi pengeluaran induced di ekonomi lokal.
Penerimaan hotel mengalami kenaikan pendapatan jumlah kamar tersedia hingga lebih dari 50% dibandingkan rata-rata bulan Maret tahun sebelumnya. Dampak langsung terhadap penerimaan hotel diperkirakan mencapai US$35 juta, didasarkan pada asumsi bahwa 70% dari 300.000 penonton datang dari luar negeri dan rata-rata menginap selama periode pertunjukan.
Analisis estimasi pengeluaran langsung terkait konser di Singapura menunjukkan dominasi pengeluaran non-tiket:
Tabel 1: Estimasi Dampak Ekonomi Langsung Pengeluaran Wisatawan Konser The Eras Tour di Singapura (Contoh Komponen)
| Komponen Pengeluaran | Total Estimasi Nilai (Juta Dolar Singapura) | Sektor Terdampak Primer |
| Transportasi Antarnegara (Penerbangan) | 138.6 | Penerbangan |
| Penjualan Tiket | 122.0 | Industri Hiburan |
| Akomodasi (Hotel) | 57.6 | Hospitalitas |
| Makanan dan Minuman | 21.06 | F&B, Ritel |
| Merchandise | 14.6 | Ritel |
| TOTAL (Minimal) | ~353.86 | Ekonomi Jasa Regional |
Table 2: Peningkatan Persentase Aktivitas Pariwisata di Singapura Selama Periode Konser Taylor Swift
| Sektor Pariwisata | Persentase Peningkatan (Dibandingkan Periode Normal) | Indikasi Dampak |
| Akomodasi (Pemesanan) | +460% | Kenaikan Drastis Okupansi/Harga Hotel |
| Objek Wisata dan Tur | Hingga +2,373% | Pengeluaran Induced |
| Penerbangan (Pemesanan) | +186% | Tekanan Tinggi pada Kapasitas Udara |
| Proyeksi Kenaikan PDB Q1 2024 | +2.9% | Dampak Ekonomi Makro Signifikan |
Analisis Dampak Berganda (Multiplier Effect)
Sektor pariwisata dikenal memiliki multiplier effects yang tinggi dalam perekonomian. Dampak berganda (multiplier effect) mencakup tiga komponen: dampak langsung (pengeluaran pengunjung), tidak langsung (indirect—misalnya, pengeluaran hotel untuk membeli barang/jasa dari pemasok lokal), dan induksi (induced—pendapatan yang diperoleh dari pengeluaran ulang pendapatan lokal oleh masyarakat yang menerima uang dari sektor pariwisata).
Keuntungan makroekonomi dari multiplier effect yang tinggi ini adalah penciptaan lapangan kerja, peningkatan devisa, dampak positif pada neraca pembayaran, dan stimulasi sektor pasokan pariwisata, yang secara keseluruhan dapat membantu mengurangi kemiskinan.
Namun, keberhasilan music tourism sangat bergantung pada pengelolaan economic leakage (kebocoran ekonomi). Kebocoran terjadi ketika sebagian uang yang dikeluarkan wisatawan, terutama di sektor seperti akomodasi, digunakan untuk mengimpor keperluan (misalnya bahan makanan atau peralatan hotel) dari luar negeri, yang mengurangi dampak berganda lokal.
Dalam kasus Singapura, investasi berupa insentif yang diberikan kepada pihak penyelenggara tur harus dipandang sebagai seed funding atau modal awal yang strategis. Meskipun insentif ini dilaporkan mencapai jutaan dolar AS per konser , biaya ini berhasil menjamin pengalihan pengeluaran ratusan juta dolar dari pasar regional ke Singapura. Karena komponen terbesar pengeluaran wisatawan internasional adalah penerbangan dan akomodasi (senilai S138.6jutadanS57.6 juta masing-masing) , investasi insentif ini berhasil menghasilkan return on investment (ROI) yang signifikan bagi sektor jasa negara tersebut, yang membenarkan strategi investasi Business-to-Government (B2G) ini.
Strategi Kebijakan dan Dinamika Geopolitik ASEAN
Studi Kasus Singapura: Kepentingan Nasional Non-Vital
Penyelenggaraan konser The Eras Tour di Singapura selama enam hari dengan klausul eksklusivitas regional merupakan contoh nyata penggunaan soft power oleh negara untuk meraih kepentingan nasional non-vital. Tiga kepentingan utama yang dicapai Singapura adalah :
- Kepentingan Ekonomi: Memperoleh pendapatan besar di berbagai sektor, didukung oleh pengeluaran rata-rata penonton yang tinggi (sekitar 1.385 Dolar AS per orang).
- Kepentingan Prestise: Singapura meningkatkan citranya sebagai pusat industri musik di kawasan Asia Tenggara, menunjukkan kemampuan logistik dan fasilitas kelas dunia. Citra positif ini meningkatkan daya tarik negara di mata internasional.
- Kepentingan Peningkatan Eksistensi: Singapura mendorong kerja sama di bidang industri musik dan secara tidak langsung menantang negara lain untuk meniru strateginya. Misalnya, Thailand berupaya meniru strategi tersebut dengan menarik festival internasional seperti Summer Sonic dan Tomorrowland.
Kebijakan Eksklusivitas Konser dan Kritik Regional
Singapura berhasil mengamankan status satu-satunya venue The Eras Tour di Asia Tenggara dengan memberikan kesepakatan eksklusif, termasuk hibah atau insentif finansial kepada pihak manajemen Taylor Swift. Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengakui bahwa dana besar dan sejumlah insentif diberikan untuk membujuk artis tersebut agar hanya tampil di Singapura selama tur Asia Tenggara. Meskipun Menteri Kebudayaan dan Pemuda Singapura menepis angka insentif yang dilaporkan sebesar US$2-3 juta per konser , mereka mengonfirmasi pemberian hibah dari Dewan Pariwisata Singapura (STB) dan Kementerian Komunitas, Kebudayaan, dan Pemuda (MCCY).
Kebijakan ini memicu reaksi dan kritik keras dari negara-negara tetangga ASEAN. Perdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin, menuduh Singapura melakukan monopoli regional. Anggota parlemen Filipina secara formal mengkritik kesepakatan tersebut sebagai tindakan yang dilakukan dengan “mengorbankan negara-negara tetangga,” yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai ASEAN dan merugikan kemampuan negara lain menarik penonton konser asing.
Persaingan di bidang Music Tourism ini telah melampaui ranah pasar bebas murni dan memasuki ranah kebijakan luar negeri ekonomi. Insentif yang didanai publik ini berfungsi sebagai subsidi tersembunyi untuk industri jasa nasional, menciptakan hambatan tidak langsung bagi pariwisata negara tetangga. Hal ini dipersepsikan sebagai agresi ekonomi melalui soft power.
Analisis Dampak Economic Leakage terhadap Pasar Regional
Keputusan eksklusivitas ini secara langsung menghasilkan economic leakage regional. Kebocoran ini memaksa konsumen dari pasar tetangga, terutama Indonesia dan Malaysia, untuk mengalihkan pengeluaran mata uang asing dan pengeluaran domestik mereka ke Singapura.
Data menunjukkan bukti kualitatif dari Indonesia. BPS mencatat kenaikan proporsi perjalanan Wisnas ke Singapura pada Maret 2024, yang sebagian didorong oleh penyelenggaraan konser musik internasional. Demikian pula, Malaysia mengalami lonjakan pemesanan penerbangan dari Kuala Lumpur ke Singapura selama periode konser.
Kegagalan Indonesia untuk menjadi tuan rumah mega-tur eksklusif tidak hanya berarti kehilangan pendapatan langsung (tiket dan merchandise), tetapi juga kehilangan pendapatan tidak langsung yang jauh lebih besar dari sektor penerbangan (S138.6juta)danakomodasi(S57.6 juta). Lebih jauh lagi, Indonesia kehilangan kepentingan prestise dan eksistensi regional, yang menunjukkan kesenjangan dalam kemampuan negosiasi dan infrastruktur event kelas dunia.
Upaya Indonesia dalam Membangun Swiftonomics Lokal
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno, mengakui pentingnya menumbuhkan ekonomi lokal melalui gelaran internasional, dengan visi membangun konsep serupa Swiftonomics yang dapat menunjang pertumbuhan PDB. Namun, untuk mewujudkan gagasan tersebut, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar, yaitu perlunya pengembangan sarana dan prasarana yang memadai. Penyiapan infrastruktur yang optimal adalah prasyarat dasar untuk dapat menawarkan acara-acara terbaik yang diminati turis lokal dan mancanegara. Musisi dan festival lokal Indonesia juga berpeluang menggaet pengunjung mancanegara, asalkan didukung oleh strategi city branding dan infrastruktur yang kuat.
Tantangan Operasional dan Kebutuhan Infrastruktur Kritis
Kesiapan Fasilitas Venue dan Logistik Event
Mega-tur menuntut fasilitas venue yang mampu menampung puluhan ribu penonton per malam dan mendukung kebutuhan logistik pertunjukan yang kompleks. Misalnya, National Stadium Singapura mencatat kehadiran hingga 63.000 penonton dalam satu malam untuk The Eras Tour, menandai pertunjukan terbesar yang pernah dipentaskan di Singapura. Kapasitas ini sangat menentukan skala dampak ekonomi yang dapat dihasilkan.
Selain kapasitas fisik, dukungan logistik internal seperti sistem ticketing yang handal, keamanan, dan manajemen kerumunan yang efisien (seperti yang diamati di Sports Hub Singapura) sangat krusial untuk memastikan pengalaman yang tak terlupakan bagi penggemar internasional.
Kapasitas Infrastruktur Transportasi Publik
Lonjakan permintaan perjalanan sebesar 186% pada penerbangan ke Singapura selama konser Taylor Swift menunjukkan tekanan yang masif pada kapasitas bandara dan sistem konektivitas. Untuk negara dengan populasi penggemar yang besar seperti Indonesia, infrastruktur transportasi publik perkotaan yang terintegrasi menjadi kebutuhan kritis.
Data menunjukkan bahwa mode share transportasi publik di Jakarta masih rendah, yaitu 18%, dibandingkan dengan kota-kota global lainnya. Ketergantungan Jakarta pada bandara internasional yang berada di provinsi tetangga (Banten) juga menjadi hambatan struktural yang signifikan bagi kota global dalam menarik event MICE berskala besar. Infrastruktur yang tidak memadai, terutama urban mobility dari bandara ke venue, dapat menjadi hambatan yang membatalkan potensi keuntungan ekonomi dari mega-konser. Jika pengalaman mencapai lokasi, mobilitas di dalam kota, dan akses kembali ke bandara buruk, citra negara (kepentingan prestise) akan rusak, yang pada akhirnya menghambat minat artis lain untuk datang. Oleh karena itu, investasi dalam pengembangan dan pemeliharaan infrastruktur transportasi publik yang terintegrasi, ramah lingkungan, dan aman adalah prioritas.
Peningkatan konektivitas melalui pembangunan dan pengembangan bandara adalah sarana dan prasarana transportasi yang mendasar untuk mendukung peningkatan kunjungan wisatawan.
Strategi City Branding Melalui Music Tourism
Festival musik dan event hiburan berfungsi sebagai katalis vital untuk membentuk citra otentik kota dan meningkatkan daya tarik pariwisata urban. Transformasi kota menjadi pusat urban tourism dan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) harus didukung oleh pemanfaatan kekayaan budaya dan kreativitas lokal sebagai pilar utama city branding.
Agar music tourism berkelanjutan, destination branding harus diperkuat melalui event yang berkesan. Hal ini memerlukan integrasi fungsi budaya (yang merupakan jiwa festival) dan fungsi ekonomi (yang merupakan kehidupan festival). Dengan menggabungkan kedua aspek ini, seperti yang dilakukan Surabaya dengan event-event seperti Jazz Traffic Festival, kota dapat menciptakan narasi urban yang kreatif dan inklusif, membangun loyalitas turis, dan mendukung pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Investasi infrastruktur untuk music tourism pada dasarnya adalah investasi yang memberikan manfaat berganda bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal dan kegiatan MICE secara keseluruhan.
Rekomendasi Strategis dan Rencana Aksi untuk Peningkatan Music Tourism Nasional
Untuk mengkapitalisasi fenomena ‘Music Tourism’ dan memitigasi economic leakage ke negara tetangga, Indonesia perlu menerapkan kerangka kebijakan strategis yang komprehensif.
Reformasi Kebijakan Insentif dan Negosiasi Eksklusivitas
- Membentuk Dana Insentif Kompetitif (Event Hosting Fund): Pemerintah harus segera mengalokasikan dan mengelola dana insentif khusus yang transparan dan kompetitif (mirip model hibah yang digunakan STB Singapura) untuk menarik event global. Dana ini harus difokuskan untuk menegosiasikan klausul eksklusivitas regional di Asia Tenggara, memastikan Indonesia menjadi venue tunggal di kawasan.
- Strategi Negosiasi Lintas Sektor: Negosiasi dengan promotor internasional harus melibatkan tim terpadu dari Kementerian Pariwisata (untuk memaksimalkan multiplier effect), Kementerian Keuangan (untuk penawaran insentif pajak dan pembebasan biaya tertentu), serta operator BUMN (Bandara, Akomodasi, Transportasi) untuk menyajikan penawaran paket logistik terintegrasi. Pendekatan ini harus meniru model investasi B2G yang terbukti berhasil mengalihkan pengeluaran pariwisata regional.
Peningkatan Infrastruktur dan Konektivitas
- Prioritas Urban Mobility Terintegrasi: Investasi harus dipusatkan pada pengembangan infrastruktur transportasi publik yang menghubungkan bandara internasional, pusat akomodasi, dan venue utama. Sistem transportasi harus mampu menangani lonjakan volume puluhan ribu penonton dalam waktu singkat, memastikan seamless tourism experience yang ramah lingkungan dan aman.
- Akselerasi Pembangunan Venue Multifungsi: Diperlukan investasi pada pembangunan atau peningkatan venue berskala besar (stadion/arena) yang memenuhi standar operasional dan logistik internasional, setara dengan Singapore Sports Hub, dan mampu menampung lebih dari 60.000 penonton.
Pemanfaatan Fandom Lokal dan Regional
- Memetakan Kekuatan Fandom: Melakukan penelitian mendalam mengenai demografi, budaya partisipatif, dan preferensi pengeluaran fandom K-Pop (ARMY), Swifties, dan genre lain di Indonesia untuk menciptakan penawaran paket turisme yang disesuaikan (fandom-specific packages) yang mendorong pengeluaran induced di luar konser.
- Mendorong Festival Musik Lokal Berskala Internasional: Memberikan dukungan strategis kepada musisi dan festival lokal yang telah memiliki potensi daya tarik internasional untuk memperkuat city branding Indonesia, menjadikan event lokal sebagai pendorong ekonomi dan budaya.
Kerangka Regulasi dan Mitigasi Leakage
- Regulasi Rantai Pasok Hospitalitas: Mendorong integrasi vertikal dan penggunaan pemasok domestik di sektor hospitalitas dan F&B. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pengeluaran tidak langsung (indirect effect) dari mega-konser lebih banyak dinikmati oleh pemasok lokal, sehingga meminimalkan kebocoran impor yang mengurangi multiplier effect.
- Pengembangan Paket Wisata Induced yang Menarik: Mengembangkan promosi terencana yang dirancang khusus untuk turis konser (yang memiliki kecenderungan memperpanjang masa tinggal, ditunjukkan dengan lonjakan 2.373% pada pemesanan tur di Singapura). Paket ini harus menggabungkan konser dengan destinasi wisata budaya dan alam di sekitar venue untuk memaksimalkan durasi tinggal dan pengeluaran di Indonesia.

