Loading Now

Kontroversi Pengembangan Infrastruktur Mega Proyek (Jalan Tol dan Kereta Cepat) di Kawasan Hutan Indonesia

Pendahuluan: Paradoks Konektivitas dan Konservasi

Indonesia, sebagai negara dengan cadangan hutan tropis yang sangat signifikan, menghadapi dilema struktural yang akut: bagaimana mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan infrastruktur besar sambil secara simultan memenuhi komitmen nasional dan global terhadap mitigasi perubahan iklim dan pelestarian keanekaragaman hayati. Ketegangan ini berpusat pada upaya untuk menciptakan kondisi yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan memberi manfaat bagi masyarakat pedesaan, sementara pada saat yang sama membatasi konversi hutan alam dan mencegah deforestasi yang tidak terencana.

Pembangunan infrastruktur mega proyek seperti Jalan Tol dan Kereta Cepat seringkali dianggap sebagai prasyarat tak terhindarkan untuk transformasi ekonomi. Namun, ketika proyek-proyek ini memotong kawasan hutan lindung atau ekologis sensitif, prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development, SD) menjadi pusat perdebatan. SD didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Konsep ini menekankan perlunya mempertimbangkan keterbatasan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan manusia, terutama kebutuhan dasar masyarakat miskin dunia. Laporan ini bertujuan untuk mengulas secara mendalam kontroversi yang mengelilingi dua proyek strategis utama—Jalan Tol Trans-Sumatra (JTTS) dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB)—serta menganalisis dampak ekologis, sosial, dan kegagalan tata kelola yang menyertainya, memberikan perbandingan kontekstual dengan kasus global.

Justifikasi Ekonomi vs. Rasionalitas Ekologis

Pengembangan infrastruktur linear, terutama jalan tol dan jalur kereta api, secara tradisional dikaitkan dengan peningkatan konektivitas dan aksesibilitas, yang menjadi instrumen kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Di Indonesia, proyek-proyek ini dibenarkan atas dasar kebutuhan mendasar untuk menghubungkan manusia dan perdagangan, mengurangi biaya logistik, dan merangsang pertumbuhan industri.

Imperatif Pembangunan Ekonomi: Kasus Trans-Sumatra

Pembangunan Jalan Tol Trans-Sumatra (JTTS) merupakan upaya strategis untuk mewujudkan transformasi ekonomi di Pulau Sumatra, pulau terbesar kedua di Indonesia dengan populasi melebihi 55 juta jiwa dan kontribusi PDB signifikan. Mandat untuk membangun JTTS sepanjang kurang lebih 2.704 km ini didorong oleh visi percepatan pembangunan yang merata antara wilayah Barat dan Timur Indonesia, dengan nilai investasi mencapai Rp 538 triliun. Jalan tol ini diharapkan dapat berperan dalam transfer barang dan manusia, memajukan peradaban, dan meningkatkan kesejahteraan.

Data awal menunjukkan bahwa kabupaten/kota yang dilewati JTTS mengalami peningkatan rata-rata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 1,28%, dan proyek ini berkontribusi 3,3% terhadap PDRB Pulau Sumatra secara keseluruhan. Ini memberikan justifikasi kuantitatif awal untuk proyek tersebut.

Analisis Kritis Nuansa Ekonomi Proyek dan Biaya Eksternalitas

Meskipun terdapat kenaikan PDRB, analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa keterkaitan antara pembangunan infrastruktur ini dan pertumbuhan ekonomi yang substansial mungkin tidak sekuat klaimnya. Studi menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara pertumbuhan ekonomi dan variabel panjang JTTS (koefisien korelasi 0,092) atau kepadatan jaringan jalan (koefisien 0,305). Penemuan ini mengindikasikan bahwa pembangunan infrastruktur fisik, seperti jalan tol, tidak secara otomatis menjamin manfaat ekonomi yang dijanjikan. Agar infrastruktur dapat berfungsi sebagai katalis pertumbuhan, strategi pengembangan wilayah harus lebih cerdas, memprioritaskan penciptaan konektivitas baru antarwilayah sebagai pendekatan utama.

Jika manfaat ekonomi yang dihasilkan dari proyek JTTS tidak sekuat yang diproyeksikan, sementara proyek tersebut memotong atau berbatasan dengan kawasan ekologis sensitif, maka biaya lingkungan dan sosial (eksternalitas negatif) menjadi tidak proporsional. Biaya ini mencakup alih fungsi lahan permukiman dan persawahan yang diakibatkan oleh pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Oleh karena itu, rasionalitas ekologis menuntut agar beban biaya eksternalitas ini dihitung secara akurat dalam analisis biaya-manfaat.

Pengenalan Beban Ekologis Awal: Kasus Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Di sisi lain, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), yang bernilai sekitar USD 5,5 miliar, menjadi kasus yang menyoroti konflik kepentingan antara kecepatan proyek dan proses lingkungan. Sejak awal, proyek ini menuai kontroversi terkait izin lingkungannya. Proses perizinan diduga diproses terlalu cepat—disebutkan dalam 41 hari—yang menimbulkan kekhawatiran tentang integritas kajian lingkungan.

Kontroversi ini menjadi substansial karena jalur KCJB melewati kawasan yang secara ekologis sensitif. Salah satu area yang disoroti adalah Walini, yang merupakan daerah groundbreaking. Walini diidentifikasi sebagai daerah tangkapan air yang penting, rawan longsor, dan berdekatan dengan Waduk Jatiluhur. Direktur Kemitraan Lingkungan KLHK pada saat pembahasan Amdal KCJB bahkan menolak pengesahan dokumen tersebut karena khawatir gangguan di daerah tangkapan air tersebut akan mengancam fungsionalitas waduk (untuk PLTA dan irigasi). Konflik ini menunjukkan bahwa meskipun proyek menjanjikan perbaikan transportasi dan dampak ekonomi positif, risiko kerusakan lingkungan jangka panjang dianggap terlalu tinggi jika proses tata kelola dilanggar.

Analisis komparatif proyek ini dapat disintesis sebagai berikut:

Analisis Komparatif Proyek Infrastruktur Mega di Indonesia dan Kontroversi Lingkungan Kuncinya

Proyek Rasionalisasi Ekonomi Kritik Kinerja Ekonomi Isu Ekologis Utama Isu Tata Kelola Kunci
Jalan Tol Trans-Sumatra (JTTS) Transformasi ekonomi regional, peningkatan PDRB Korelasi PDRB vs. panjang/kepadatan jalan tidak signifikan Alih fungsi lahan , Potensi fragmentasi ekologis, deforestasi sekunder Perlunya studi komprehensif, manajemen eksternalitas sosial
Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) Kecepatan transportasi, mengatasi kepadatan Biaya dan efisiensi proyek Kerusakan daerah tangkapan air (Walini), risiko longsor, ancaman Waduk Jatiluhur Proses AMDAL dipercepat (41 hari), dokumen Amdal dinilai lemah, administrasi dikejar proyek

Dampak Ekologis Mendalam: Fragmentasi, Efek Tepi, dan Jasa Ekosistem

Pembangunan infrastruktur, terutama yang sifatnya linear seperti jalan raya atau rel kereta api, memiliki konsekuensi ekologis yang jauh melampaui tapak fisik proyek itu sendiri. Dampak utamanya adalah fragmentasi habitat dan gangguan terhadap jasa ekosistem vital.

Mekanisme Fragmentasi Habitat

Infrastruktur linear berfungsi sebagai penghalang buatan yang memutus konektivitas ekologis. Dampak paling serius adalah memecah habitat alami menjadi fragmen-fragmen yang terisolasi. Isolasi ini menghambat pergerakan satwa liar, mengurangi pertukaran genetik, dan membuat populasi lokal rentan terhadap kepunahan.

Contoh nyata dari mekanisme ini terlihat di sekitar Gunung Slamet (Kabupaten Purbalingga), di mana fragmentasi hutan alam telah menghilangkan habitat dan memecahnya. Dalam periode 10 tahun (1990–2000), kelompok hutan alam lahan kering yang awalnya kompak (luas 72.874,62 ha) mengalami penyusutan signifikan dan menjadi terfragmentasi, menghasilkan dampak yang jelas pada satwa liar.

Untuk mitigasi fragmentasi ini, pengelolaan hutan yang tersisa, seperti hutan tanaman Perum Perhutani, harus dirancang sebagai habitat alternatif, koridor, atau penyangga bagi satwa liar langka. Hal ini memerlukan pengelolaan yang memperhatikan aspek ekologi dalam skala lanskap yang luas, terutama dalam pengaturan rotasi penebangan dan tumpangsari, untuk menghindari fragmentasi temporal dan mempertahankan kualitas habitat.

Infrastruktur sebagai Katalis Deforestasi yang Diperparah oleh Tata Kelola

Kerusakan hutan yang paling luas dari proyek infrastruktur seringkali bukan berasal dari area yang secara langsung dibeton atau diaspal, melainkan dari dampak sekunder yang diciptakan oleh aksesibilitas baru. Jalan dan jalur kereta api membuka kawasan hutan terpencil, menciptakan apa yang dikenal sebagai efek tepi (edge effect) dan memicu deforestasi yang tidak terencana (deforestasi sekunder).

Analisis di Amazon Peru, yang menghadapi tantangan serupa dengan infrastruktur transportasi yang melewati hutan primer, menunjukkan bahwa dinamika deforestasi tidak hanya dipengaruhi oleh infrastruktur jalan, tetapi juga diperburuk oleh faktor kontekstual sosio-ekonomi, kelembagaan, dan politik. Dalam konteks ini, akses formal yang diberikan oleh JTTS ke wilayah-wilayah yang sebelumnya terisolasi di Sumatra berisiko tinggi memicu perambahan, pembalakan liar, dan konversi lahan yang diperburuk oleh lemahnya kontrol dan pengawasan negara, kepentingan politik, dan korupsi. Aktivis lingkungan menyoroti bahwa pembangunan jalan di kawasan seperti Amazon (dan analoginya di Indonesia) berisiko mempercepat deforestasi di wilayah yang seharusnya dilindungi karena infrastruktur bertindak sebagai jalan setapak bagi eksploitasi ilegal. Oleh karena itu, integritas tata kelola sangat menentukan apakah JTTS akan menghasilkan pembangunan berkelanjutan atau hanya menjadi pembuka pintu bagi kerusakan yang tidak terkelola.

Dampak pada Jasa Ekosistem Kritis

Proyek infrastruktur juga mengancam fungsi ekologis spesifik yang disebut jasa ekosistem. Kasus KCJB di Walini, yang merupakan daerah tangkapan air penting, menunjukkan risiko spesifik terhadap ketersediaan air regional. Gangguan pada fungsi hidrologis ini dapat mengancam fungsionalitas Waduk Jatiluhur untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan irigasi. Kegagalan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan mengorbankan ketersediaan sumber daya alam untuk masa depan. Prinsip ESG menuntut agar proyek infrastruktur mendukung perlindungan dan pemeliharaan habitat alam serta menjaga jasa ekosistem yang ada.

Matriks dampak ekologis dan strategi mitigasi dapat dipetakan melalui kerangka ESG:

Matriks Dampak Ekologis Infrastruktur Linear pada Hutan dan Strategi Mitigasi Terkait ESG

Dampak Ekologis Mekanisme Kausalitas Indikator Kinerja Lingkungan (ESG) Terkait Solusi Mitigasi dan Adaptasi yang Direkomendasikan
Fragmentasi Habitat Jalan memecah habitat menjadi fragmen terisolasi, menghambat pergerakan satwa dan genetika Konservasi Keanekaragaman Hayati (CKH) dan Jasa Ekosistem Pembangunan Koridor Ekologi (Wildlife Crossings), restorasi habitat di skala lanskap
Deforestasi Sekunder Peningkatan akses formal memicu konversi lahan informal, diperparah oleh kepentingan politik/korupsi Governance (G): Kontrol dan Pengawasan Negara Penguatan pengawasan, integrasi proyek dengan skema Perhutanan Sosial/Kearifan Lokal
Degradasi Ekosistem Air/Lahan Pembangunan di kawasan tangkapan air meningkatkan risiko bencana (longsor) dan mengganggu fungsi hidrologis Lingkungan (E): Efisiensi Sumber Daya dan Pencegahan Polusi Penerapan teknologi hijau, Nature-Based Solutions, pemulihan ekosistem yang rusak

Kegagalan Tata Kelola Lingkungan dan Krisis Integritas Regulasi

Kontroversi terbesar dalam proyek infrastruktur mega di kawasan hutan terletak pada tata kelola lingkungan, khususnya integritas instrumen pencegahan.

Kontroversi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan instrumen hukum yang sangat penting di Indonesia (berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) yang berfungsi untuk mencegah kerusakan lingkungan sebelum proyek dimulai. Tujuannya adalah memastikan proyek pembangunan tidak merusak keseimbangan lingkungan dan masyarakat sekitar.

Namun, dalam proyek strategis berkecepatan tinggi, AMDAL sering mengalami cacat prosedural. Banyak pihak mengeluhkan bahwa kajian AMDAL sering disusun hanya sebagai formalitas untuk memenuhi syarat administratif, bukan sebagai panduan yang serius untuk mitigasi lingkungan. Kasus KCJB memberikan ilustrasi konkret di mana tim teknis menemukan banyak kelemahan dan ketidaklengkapan data dalam dokumen AMDAL. Ada penolakan karena dokumen tersebut terkesan dikejar-kejar demi kepentingan administrasi groundbreaking, padahal lokasi yang direncanakan (Walini) adalah daerah tangkapan air rawan longsor. Selain itu, pelanggaran kepatuhan regulasi juga terlihat pada proyek lain, di mana sejumlah proyek infrastruktur di Jakarta dilaporkan tidak mengantongi analisis mengenai dampak lalu lintas (Amdalalin).

Implikasi Undang-Undang Cipta Kerja terhadap Tata Kelola

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), kerangka hukum lingkungan mengalami perubahan signifikan. Meskipun pemerintah mengklaim UUCK hanya menyederhanakan proses dan tidak menghapus AMDAL , penggantian istilah “Izin Lingkungan” dengan “Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup” sebagai syarat penerbitan Perizinan Berusaha menunjukkan pergeseran prioritas.

Jika proses AMDAL yang ketat saja sudah rentan terhadap percepatan demi kepentingan proyek, maka penyederhanaan yang dilakukan UUCK berisiko tinggi melemahkan kontrol lingkungan lebih lanjut. UUCK, yang dirancang sebagai payung investasi besar, seharusnya memperkuat komitmen ramah lingkungan, bukan mengabaikannya. Pemerintah memang menetapkan bahwa Perizinan Berusaha dapat dibatalkan jika kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal tidak dilaksanakan. Namun, risiko terbesar adalah lemahnya penegakan hukum dan pengawasan di lapangan, terutama di sepanjang proyek linear yang panjang seperti JTTS, di mana peluang bagi deforestasi sekunder dan korupsi cenderung tinggi.

Perbandingan regulasi ini menggambarkan tarikan antara kepentingan investasi dan integritas lingkungan:

Perbandingan Regulasi Lingkungan (AMDAL) Pra- dan Pasca-UU Cipta Kerja (UUCK)

Aspek Regulasi Era Pra-UUCK (UU No. 32/2009) Era Pasca-UUCK (UU No. 11/2020) Implikasi Analisis Kritis
Perizinan Lingkungan Wajib memiliki Izin Lingkungan Digantikan oleh Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup Mengubah fokus dari izin pencegahan menjadi syarat administratif perizinan berusaha. Risiko pelemahan pengawasan.
Status AMDAL Instrumen pencegahan yang ketat Diserhanakan, namun ancaman pembatalan tetap ada jika kewajiban lingkungan diabaikan Menciptakan konflik kepentingan antara percepatan investasi dan perlindungan lingkungan. Potensi AMDAL sebagai formalitas semakin besar.

Eksternalitas Sosial dan Prinsip Keadilan

Selain dampak ekologis, pembangunan infrastruktur juga menciptakan eksternalitas sosial yang harus dimitigasi. Alih fungsi lahan untuk proyek seperti JTTS berdampak langsung pada permukiman dan mata pencaharian pertanian. Keadilan sosial menuntut bahwa pembangunan harus mampu meningkatkan kualitas masyarakat dan memenuhi kebutuhan manusia. Oleh karena itu, penanganan dampak sosial tidak berhenti pada ganti kerugian tanah. Misalnya, pengusaha warung makan yang usahanya kolaps akibat dampak pembangunan jalan tol harus diberi prioritas untuk menempati rest area tanpa kompensasi yang memberatkan, untuk membantu mereka bertahan. Kegagalan mengelola aspek sosial ini dapat memicu tingkat kecemasan dan konflik.

Menuju Infrastruktur Berkelanjutan: Mitigasi, Inovasi, dan Tata Kelola Baru

Merespons ketegangan antara pembangunan dan konservasi, diperlukan pergeseran filosofi dari sekadar memitigasi kerusakan menjadi mengintegrasikan dan bahkan merestorasi ekosistem.

Integrasi Prinsip ESG dan Perlindungan Keanekaragaman Hayati

Prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) harus menjadi kerangka kerja wajib dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek infrastruktur strategis. Dari perspektif lingkungan, ini mencakup pencegahan polusi, pengelolaan dampak, dan penggunaan sumber daya yang berkelanjutan. Secara spesifik, aspek konservasi keanekaragaman hayati menuntut agar proyek mendukung perlindungan, pemeliharaan, dan rehabilitasi habitat alam serta fungsinya, termasuk menjaga jasa ekosistem yang ada. Selain itu, keterlibatan Masyarakat Adat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek sangat penting untuk melestarikan nilai kearifan lokal dan menghindari dampak buruk sedini mungkin.

Model Pembangunan Ekosentris: Visi Kota Hutan (Forest City)

Pengembangan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur menawarkan contoh pembangunan dengan filosofi baru yang berpotensi menjadi cetak biru bagi proyek-proyek masa depan. IKN mengadopsi konsep “Kota Hutan” (Forest City) yang berkomitmen menjadikan 75% dari total wilayahnya sebagai area hijau.

Visi IKN menekankan keseimbangan ekologis, mengintegrasikan manusia dengan alam, dan berfokus pada pemulihan ekosistem yang telah rusak. Pembangunan dirancang untuk tidak mengganggu koridor ekologi satwa liar, seperti orangutan Kalimantan dan burung enggang, dan mengadopsi teknologi hijau, termasuk gedung-gedung yang dirancang dengan konsep net-zero carbon. Model ini menunjukkan bahwa mega proyek dapat diposisikan bukan hanya sebagai penghalang lingkungan, tetapi sebagai agen restorasi dan konservasi, menuntut agar proyek linear seperti JTTS dan KCJB juga mentransformasi pendekatannya untuk mencakup koridor satwa liar yang terintegrasi dan manajemen habitat di kedua sisi proyek.

Mekanisme Pembiayaan dan Kompensasi Ekologis

Untuk mengatasi emisi karbon dan kerusakan lingkungan yang tidak terhindarkan dari pembangunan, mekanisme pembiayaan hijau menjadi krusial. Indonesia telah membuka pasar karbon, yang berfungsi sebagai instrumen untuk mendorong pertumbuhan hijau dan inklusif.

Carbon offset adalah salah satu mekanisme yang dapat digunakan oleh perusahaan infrastruktur untuk mengimbangi emisi residual mereka dengan mendanai program konservasi, penanaman pohon, atau perlindungan hutan. Proyek carbon offset ini sering memberikan manfaat sosial ganda, seperti membuka lapangan kerja dan menyediakan infrastruktur pendukung bagi masyarakat lokal.

Selain itu, skema Pembiayaan Konservasi dan Pelestarian Hutan melalui Model Transfer Fiskal Berbasis Ekologis (TFBE)  dan integrasi Perhutanan Sosial dapat memberikan nilai ekonomi langsung pada kelestarian hutan. Keterlibatan masyarakat lokal dalam Perhutanan Sosial memungkinkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, reduksi emisi karbon, dan peningkatan kesejahteraan lokal melalui pengembangan ekowisata, seperti trackingbirdwatching, atau kerajinan tangan. Dengan mengubah perspektif hutan dari ‘penghambat pembangunan’ menjadi ‘aset ekonomi berkelanjutan’, konflik kepentingan dapat dimitigasi.

Kesimpulan

Kontroversi pengembangan infrastruktur mega proyek seperti Jalan Tol Trans-Sumatra dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung di kawasan hutan merefleksikan ketegangan mendasar antara imperatif politik untuk konektivitas dan kebutuhan ekologis jangka panjang. Analisis menunjukkan bahwa justifikasi ekonomi seringkali dilebih-lebihkan atau tidak terintegrasi, sementara dampak ekologis—terutama fragmentasi habitat, ancaman terhadap jasa ekosistem air, dan deforestasi sekunder yang didorong oleh tata kelola yang lemah—sangat nyata. Kegagalan tata kelola, yang ditandai dengan proses AMDAL yang terburu-buru dan risiko pelemahan regulasi di bawah UUCK, menjadi titik kritis yang harus segera diperbaiki.

Untuk mencapai pembangunan infrastruktur yang benar-benar berkelanjutan, diperlukan adopsi kerangka kerja ekosentris yang mengintegrasikan prinsip-prinsip konservasi ke dalam desain, pembiayaan, dan pelaksanaan proyek.

Enam Pilar Rekomendasi untuk Infrastruktur Ekosentris

  1. Reformasi Integritas AMDAL dan Penilaian Risiko: Pemerintah harus mengembalikan integritas Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan memastikan kajian tersebut bersifat teknis dan ilmiah, bukan sekadar syarat administratif yang dikejar-kejar waktu. Proses ini harus mencakup penilaian risiko bencana yang komprehensif (misalnya, kerawanan longsor di kawasan tangkapan air) sebelum perizinan final diberikan.
  2. Penegakan Hukum Anti-Korupsi dan Pengawasan Tata Ruang: Mengingat bahwa deforestasi sekunder diperparah oleh kepentingan politik dan lemahnya kontrol negara , penegakan hukum harus diperkuat secara masif di sepanjang koridor infrastruktur baru (terutama JTTS) untuk mencegah konversi lahan ilegal dan perambahan hutan.
  3. Keterpaduan Ekologis Wajib (Ecological Connectivity): Setiap proyek infrastruktur linear yang melewati kawasan ekologis penting harus diwajibkan membangun koridor ekologi atau perlintasan satwa liar (wildlife crossings) yang terintegrasi, serta mengelola habitat di kedua sisi proyek dalam skala lanskap untuk memastikan fungsi koridor dipertahankan.
  4. Valuasi Ekonomi Jasa Ekosistem: Analisis Biaya-Manfaat (BCA) proyek harus diperluas untuk menginternalisasi biaya eksternalitas lingkungan secara penuh, termasuk nilai moneter dari jasa ekosistem yang hilang (misalnya, penyediaan air, penyerapan karbon, pencegahan banjir) untuk memastikan biaya lingkungan tidak dialihkan kepada publik atau generasi mendatang.
  5. Inovasi Pembiayaan Hijau dan Kompensasi: Pemanfaatan pasar karbon domestik dan skema carbon offset harus diwajibkan sebagai kompensasi terhadap emisi residual. Mekanisme ini harus terintegrasi dengan program pemberdayaan masyarakat lokal, seperti Perhutanan Sosial atau ekowisata, untuk mengubah kewajiban lingkungan menjadi peluang ekonomi berkelanjutan.
  6. Keterlibatan Inklusif dan Berkeadilan: Partisipasi masyarakat adat dan komunitas lokal harus dijamin dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek untuk menjamin keadilan sosial, melestarikan kearifan lokal, dan memaksimalkan manfaat sosial (misalnya, lapangan kerja dan infrastruktur pendukung) yang ditawarkan oleh proyek.