Carbon Offsetting Melalui Hutan: Solusi Iklim atau Sekadar Pencitraan?
Definisi dan Mekanisme Kompensasi Karbon
Carbon offsetting (kompensasi karbon) telah menjadi instrumen utama dalam strategi mitigasi iklim global dan nasional. Secara fundamental, Carbon Credit didefinisikan sebagai hak atau izin yang dapat diperdagangkan, memungkinkan entitas untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon tertentu. Satu unit carbon credit setara dengan pengurangan atau penyerapan satu ton karbon dioksida (). Aktivitas perdagangan ini dikenal sebagai carbon trading—mekanisme berbasis pasar di mana perusahaan dengan emisi rendah dapat menjual kelebihan kredit mereka, dan perusahaan yang melebihi batas emisi harus membeli kredit tambahan.
Dalam konteks kehutanan, hutan memegang peran vital sebagai carbon offset karena berfungsi sebagai penyerap karbon alami. Mekanisme utama yang digunakan untuk proyek berbasis hutan adalah REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, plus conservation and enhancement of forest carbon stocks). Perhitungan kredit karbon hutan dalam skema ini sangat bergantung pada proses Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (MRV) yang ketat. Proses MRV menggunakan pendekatan REDD+ yang mencakup pengukuran terhadap lima sumber karbon: biomassa di atas dan bawah tanah, serasah, pohon mati, dan tanah.
Lanskap Regulasi Indonesia (Nilai Ekonomi Karbon – NEK)
Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan ekosistem yang besar, telah mengintegrasikan perdagangan karbon sebagai instrumen utama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Kerangka hukum nasional diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2021, yang membahas prinsip, mekanisme, dan pedoman pelaksanaan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). NEK memberikan nilai ekonomi sebagai imbalan atas upaya perusahaan atau masyarakat dalam mengurangi atau menyerap emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Pasar karbon di Indonesia diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dilaksanakan oleh penyelenggara pasar yang diizinkan, yaitu PT BEI melalui IDX Carbon. Pasar wajib ini (disebut allowance market atau sistem kuota) mengakomodasi unit karbon berupa PTBAE-PU. Penting untuk dicatat bahwa kredit karbon tidak hanya berlaku untuk perusahaan besar di pasar wajib; masyarakat umum juga dapat berkontribusi melalui pasar sukarela dengan membeli carbon credit untuk mengimbangi jejak karbon pribadi.
Analisis Kesenjangan Pasar
Analisis menunjukkan adanya potensi kerentanan terhadap kritik greenwashing yang timbul dari kesenjangan regulasi pasar. Kerangka hukum Indonesia yang kuat fokus pada pasar wajib (PTBAE-PU) di bawah pengawasan OJK. Namun, sebagian besar kegiatan carbon offsetting di sektor pariwisata (seperti maskapai penerbangan atau individu) cenderung beroperasi di Pasar Karbon Sukarela (VCM). Jika proyek yang dibeli di VCM tidak memiliki integritas lingkungan yang setara dengan standar pasar wajib yang ketat, hal ini dapat merusak kredibilitas sektor pariwisata yang mengklaim netral karbon.
Ketergantungan pada Land Use, Land-Use Change, and Forestry (LULUCF) menempatkan sektor pariwisata Indonesia pada posisi unik. Meskipun potensi ekonominya menarik , proyek berbasis hutan (AFOLU/REDD+) adalah yang paling sulit untuk diukur secara permanen dan paling rentan terhadap risiko non-permanence (seperti kebakaran atau deforestasi ulang) dibandingkan dengan proyek pengurangan emisi industri lainnya.
Implikasi Sektor Pariwisata Terhadap Emisi Global
Sektor pariwisata memiliki tanggung jawab mitigasi yang signifikan. Data dari Nature Climate Change tahun 2018 menunjukkan bahwa pariwisata global menyumbang sekitar 8% dari total emisi global, dengan 49% dari emisi tersebut berasal dari jasa transportasi. Hal ini menggarisbawahi urgensi bagi industri ini untuk tidak hanya mengimbangi emisi tetapi juga melakukan dekarbonisasi secara mendalam.
Indonesia menunjukkan komitmen serius melalui inisiatif pemerintah. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah meluncurkan program Carbon Footprint di Bali dan menyatakan komitmen Net Zero di sektor pariwisata, serta mengajak pelaku industri bergabung dalam Glasgow Declaration on Climate Action in Tourism. Program ini mencakup perancangan skema carbon offsetting dan pengembangan destinasi regeneratif yang relevan.
Table 1: Kerangka Regulasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia
| Instrumen Hukum | Fokus Utama | Relevansi Pasar Karbon Hutan |
| — | — | — |
| PP No. 98 Tahun 2021 | Prinsip, Mekanisme, dan Pedoman Pelaksanaan NEK | Dasar hukum penetapan nilai karbon sebagai imbalan upaya mitigasi/serapan GRK. |
| POJK No. 14 Tahun 2023 | Pengawasan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (IDX Carbon) | Regulasi dan pengawasan pasar karbon wajib di Indonesia (PTBAE-PU). |
| Mekanisme REDD+ | Mitigasi perubahan iklim melalui konservasi, pengelolaan, dan peningkatan stok karbon hutan | Mekanisme inti untuk proyek berbasis hutan (AFOLU/LULUCF). |
Proyek Karbon Hutan dalam Sektor Pariwisata: Manfaat dan Potensi
Implementasi Offsetting dalam Rantai Nilai Pariwisata
Carbon offsetting diintegrasikan ke dalam berbagai sub-sektor pariwisata. Dalam industri penerbangan, contohnya, Garuda Indonesia menawarkan program carbon offset melalui skema tukar mileage. Di sektor akomodasi, studi menunjukkan bahwa pencapaian hotel net-zero emission secara teknis dan ekonomis layak, dengan emisi yang tersisa diimbangi menggunakan mekanisme offsetting yang ada, setelah memaksimalkan penggunaan energi terbarukan dan efisiensi energi.
Pemerintah juga berperan aktif. Kemenparekraf, misalnya, berkolaborasi dalam merancang skema carbon offsetting yang detail, menjelaskan alur, peran, dan tanggung jawab berbagai pemangku kepentingan, mulai dari wisatawan, platform kalkulator karbon, komunitas, pemilik lahan, hingga industri. Peluncuran carbon footprint di Bali pada tahun 2022 merupakan langkah konkret menuju pariwisata berkualitas dan berkelanjutan.
Strategi Kemenparekraf yang mengaitkan offsetting dengan destinasi regeneratif mengindikasikan pemahaman bahwa kompensasi karbon harus melampaui sekadar netralisasi emisi. Dengan menyumbang 8% emisi global , pariwisata harus memastikan bahwa offset yang dibeli adalah high-quality, berkontribusi pada pemulihan ekosistem dan sosial, sejalan dengan persyaratan Gold Standard atau Plan Vivo.
Manfaat Ekologis dan Lingkungan
Peran hutan sebagai penyerap karbon memberikan manfaat lingkungan yang melekat pada proyek offsetting. Proyek-proyek karbon berbasis hutan mendukung tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 13 (Tindakan terhadap Perubahan Iklim) dan SDG 15 (Ekosistem Darat). Melalui pelestarian dan rehabilitasi, proyek ini tidak hanya membantu mengurangi emisi gas rumah kaca tetapi juga meningkatkan ketahanan ekosistem. Hutan yang dilindungi juga berfungsi sebagai habitat penting bagi keanekaragaman hayati dan penopang kehidupan masyarakat lokal.
Manfaat utama lainnya adalah penyediaan pendanaan krusial untuk kegiatan konservasi. Pendanaan ini sangat penting untuk mengatasi laju deforestasi dan degradasi hutan yang tinggi. Model tata guna lahan berkelanjutan, seperti yang ditemukan dalam program perdagangan karbon di Kosta Rika, menunjukkan bahwa mekanisme ini dapat memberikan keuntungan dana tanpa harus merusak rencana tata guna lahan secara nasional, menawarkan alternatif ekonomi dibandingkan pemanfaatan lahan yang merusak, seperti peternakan ekstensif.
Manfaat Sosio-Ekonomi (Payment for Environmental Services – PES)
Di tingkat masyarakat, proyek karbon hutan dapat menjadi alternatif yang signifikan untuk pengembangan ekonomi kerakyatan, sejalan dengan upaya membangun Indonesia dari pinggiran. Karbon hutan dari hutan-hutan masyarakat dapat diuangkan melalui skema Payment for Environmental Services (PES).
Model Plan Vivo adalah contoh yang menempatkan partisipasi masyarakat sebagai kunci utama, menjadikan mereka penerima manfaat utama karbon. Plan Vivo memadukan keilmuan ilmiah dengan pengetahuan lokal masyarakat (inventory partisipatif) untuk pengukuran karbon. Proyek-proyek ini mendukung pemulihan lahan terdegradasi, melindungi ekosistem yang berisiko, dan secara eksplisit berfokus pada pengembangan mata pencaharian, pembangunan kapasitas, dan penguatan hak-hak lahan bagi komunitas (misalnya di Yaeda Valley, Tanzania).
Penyaluran dana kompensasi karbon harus melalui Mekanisme Pembagian Manfaat (Benefit Sharing Mechanism/BSM) yang adil dan transparan hingga ke tingkat tapak, termasuk desa-desa yang terlibat dalam konservasi. Keberhasilan proyek seperti Plan Vivo pada Unit Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) di Indonesia, yang memiliki potensi karbon sebesar 70–200 ton C/Ha, menunjukkan bahwa model berbasis masyarakat ini dapat mendorong sistem sertifikasi hutan lestari yang lebih “ramah terhadap pengetahuan komunitas” di tingkat nasional.
Meskipun pendanaan pasar karbon sangat dibutuhkan untuk konservasi, ada risiko inheren yang perlu diperhatikan. Keberhasilan mitigasi iklim melalui offsetting menjadi terikat pada fluktuasi Pasar Karbon Sukarela (VCM), yang berpotensi tidak stabil atau tidak mencukupi untuk menjamin permanence jangka panjang, terutama ketika berhadapan dengan tekanan ekonomi industri ekstraktif yang masif.
Analisis Kritis Integritas Lingkungan dan Risiko Greenwashing
Debat mengenai carbon offsetting berbasis hutan seringkali berkisar pada apakah ia merupakan solusi teknis yang efektif atau sekadar praktik greenwashing yang menutupi kegagalan struktural. Integritas kredit karbon bergantung pada tiga pilar teknis utama: adisionalitas, permanensi, dan kebocoran.
Pilar Integritas Kredit Karbon
Adisionalitas (Additionality)
Adisionalitas adalah kriteria fundamental yang mensyaratkan bahwa pengurangan emisi yang diklaim hanya dapat terjadi karena adanya pendanaan karbon; jika aktivitas konservasi sudah akan terjadi tanpa dana tersebut, maka proyek tersebut non-additional. Integritas adisionalitas adalah poin kritik terbesar. Sebuah studi Komisi Eropa tahun 2017 menemukan bahwa 85% proyek pengimbangan yang digunakan Uni Eropa di bawah Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) PBB memiliki kemungkinan yang rendah untuk memastikan pengurangan emisi yang diklaim bersifat tambahan. Meta-studi yang lebih baru pada tahun 2023 menyimpulkan bahwa hanya 12% dari lebih dari 2.000 proyek offset yang secara efektif mengurangi emisi.
Tingkat kegagalan additionality yang tinggi ini menunjukkan bahwa masalahnya bersifat struktural, bukan hanya teknis. Ketika laju deforestasi didorong oleh industri ekstraktif yang masif , proyek konservasi hutan tunggal yang dibiayai VCM seringkali tidak dapat dianggap ‘tambahan’ karena tekanan struktural deforestasi yang jauh lebih besar tetap ada.
Permanensi (Permanence)
Permanensi mengacu pada penyimpanan karbon yang terjamin dalam jangka waktu yang lama, seringkali 100 tahun. Proyek offset berbasis lahan (AFOLU) sangat rentan terhadap risiko non-permanence yang dapat melepaskan kembali karbon ke atmosfer, seperti kebakaran hutan (Indonesia pernah mengalami 1,6 juta ha lahan terbakar pada 2019 ) atau perubahan kebijakan. Untuk mengatasi hal ini, standar seperti Verra VCS (Verified Carbon Standard) telah memperketat persyaratan mereka, termasuk pembaruan pada AFOLU Non-Permanence Risk Tool yang efektif pada Januari 2024, untuk mengelola risiko jangka panjang ini.
Kebocoran (Leakage)
Kebocoran terjadi ketika upaya konservasi di area proyek menyebabkan aktivitas yang menghasilkan emisi (misalnya penebangan) berpindah ke luar batas proyek. Kritik muncul bahwa jika satu hutan berhenti panen, permintaan dari pabrik lokal tidak hilang, melainkan hanya bergeser ke tempat lain. Skema sertifikasi Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca harus mencakup pedoman yang jelas untuk mitigasi kebocoran dalam Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi (DRAM).
Ancaman Greenwashing dan Kritik Struktural
Kritik utama dari organisasi lingkungan, seperti Greenpeace, adalah bahwa skema perdagangan karbon berfungsi sebagai “solusi palsu” dan praktik greenwashing. Khalisah Khalid dari Greenpeace Indonesia menjelaskan bahwa perusahaan yang mengumumkan dana untuk melindungi hutan melalui carbon offset hanya melakukan greenwashing jika mereka tidak menunjukkan komitmen sungguh-sungguh untuk menurunkan emisi inti mereka.
Di Indonesia, kritik ini diperkuat oleh masalah tata kelola yang lebih luas. Meskipun ada klaim keberhasilan pemerintah dalam menurunkan laju deforestasi, faktanya angka tersebut menjadi tidak relevan karena deforestasi skala besar hanya bergeser area dari wilayah barat ke wilayah timur, atau karena sumber daya hutan di wilayah tertentu sudah habis. Kegagalan menekan laju deforestasi secara struktural seringkali terkait erat dengan maraknya izin-izin industri ekstraktif yang menguasai hutan dan wilayah adat.
Lebih lanjut, Pasar Karbon Sukarela (VCM) yang menjadi tempat sektor pariwisata banyak berinteraksi, menghadapi kritik karena tata kelola yang lemah, kurangnya penegakan hukum yang kuat, dan aturan yang rumit. Situasi ini merusak kepercayaan pasar, memungkinkan proyek-proyek berkualitas rendah berkembang biak, dan menciptakan persaingan yang tidak seimbang.
Table 2: Cacat Integritas Utama dalam Proyek Kompensasi Karbon Hutan
| Kriteria Integritas | Definisi Kritis | Risiko/Kritik Utama |
| — | — | — |
| Adisionalitas (Additionality) | Pengurangan emisi yang hanya terjadi karena adanya pendanaan karbon. | Klaim yang dilebih-lebihkan; 85% proyek berisiko non-tambahan (Komisi Eropa Study). |
| Permanensi (Permanence) | Kepastian penyimpanan karbon dalam jangka panjang (100 tahun). | Risiko re-emisi karena bencana (kebakaran hutan 1.6 juta ha ), atau kegagalan tata kelola sosial. |
| Kebocoran (Leakage) | Pemindahan aktivitas yang menghasilkan emisi ke luar batas proyek. | Konservasi di satu tempat memicu deforestasi di tempat lain karena permintaan pasar (misalnya kayu) tidak hilang. |
Dimensi Keadilan Sosial dan Hak Masyarakat Adat
Integritas teknis proyek karbon tidak dapat dipisahkan dari integritas sosial. Pengalaman di Indonesia dan global menunjukkan bahwa proyek offset yang mengabaikan hak-hak Masyarakat Adat (MA) dan Komunitas Lokal (KL) akan menghadapi risiko permanence yang tinggi karena instabilitas sosial dan konflik.
Konflik dan Penolakan Pasar Karbon
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah menyatakan penolakan tegas terhadap mekanisme pasar karbon, terutama yang diimplementasikan di wilayah adat. Mereka mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengubah hukum yang meminggirkan MA dan mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. MA juga menyerukan mekanisme global non-market yang secara langsung mendukung inisiatif mereka dalam menjaga wilayah dan sumber daya secara berkelanjutan.
Aktivis lingkungan dan pemimpin MA berpendapat bahwa mekanisme REDD+ yang ada dibangun di atas eksploitasi alam dan manusia, serta memperkuat ketidaksetaraan. Proyek karbon berpotensi memberi penghargaan kepada pelaku kaya karena mengurangi perilaku ilegal mereka, yang pada akhirnya merusak legitimasi moral dan politik REDD+. Komunitas pesisir dan adat, meskipun menjadi garda depan penjaga alam, justru rentan terhadap proyek karbon. Tuntutan utama mereka bukanlah proyek yang rumit, melainkan pengakuan, perlindungan hak, dan dukungan untuk terus merawat lingkungan.
Keterlibatan Lokal sebagai Syarat Efektivitas Jangka Panjang
Masyarakat lokal dan adat harus menjadi penerima manfaat utama. Para peneliti dan praktisi sangat setuju dengan gagasan bahwa masyarakat lokal harus diberi upah atau penghargaan atas kegiatan pengurangan emisi. Tanpa keterlibatan mereka dalam pelaksanaannya, proyek REDD+ tidak mungkin efektif.
Keadilan sosial, yang diwujudkan melalui pengakuan hak tenurial dan pembagian manfaat yang adil, berfungsi sebagai pilar ketiga integritas iklim. Proyek tanpa legitimasi lokal tidak akan mampu bertahan dalam jangka waktu 100 tahun (gagal permanence). Implementasi REDD+ di Indonesia harus didukung oleh kerangka hukum yang memadai untuk perlindungan hak masyarakat adat atas tenurial. Program yang berhasil, seperti Plan Vivo, menunjukkan bahwa proyek berbasis masyarakat dapat mengintegrasikan pengetahuan lokal dan penguatan hak lahan sebagai bagian dari mekanisme offsetting.
Standar Internasional dan Kriteria Integritas Tinggi
Standar internasional sangat penting untuk membedakan kredit karbon berintegritas tinggi dari proyek greenwashing. Sertifikasi oleh badan terkemuka menjamin bahwa pengurangan karbon proyek bersifat nyata, terukur, dan tambahan. Badan penetapan standar karbon mengembangkan metodologi, protokol, dan persyaratan yang harus dipatuhi oleh pengembang proyek. Kementerian Kehutanan juga telah bersepakat dengan entitas internasional untuk membentuk pasar karbon berintegritas tinggi di Indonesia.
Standar Integritas Lingkungan (Verra VCS)
Verra’s Verified Carbon Standard (VCS) adalah salah satu program offset sukarela terkemuka. VCS menyediakan kerangka kerja yang kuat untuk pengembangan, verifikasi, dan sertifikasi, serta diakui karena kredibilitas dan transparansinya.
Dalam proyek AFOLU/REDD+, Verra telah mengembangkan metodologi inovatif yang menggabungkan proses pengembangan proyek yang efisien dengan metode akuntansi yang ketat. Persyaratan teknis VCS meliputi kriteria adisionalitas, permanensi, dan transparansi. Untuk mengelola risiko re-emisi, Verra memperketat persyaratan terkait AFOLU Non-Permanence Risk Tool dalam program VCS yang diperbarui.
Standar Sosial Kritis (Gold Standard dan Plan Vivo)
Mengingat risiko sosial dan permanence yang melekat pada proyek berbasis hutan, sektor pariwisata disarankan untuk mencari standar yang melampaui metrik lingkungan murni.
Gold Standard (GS)
Gold Standard (GS) berfokus pada dampak Sustainable Development Goals (SDGs) selain mitigasi karbon. Semua proyek GS wajib mematuhi Safeguarding Principles & Requirements. Persyaratan ini mencakup penilaian dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi yang harus tersedia untuk Stakeholder Consultation. Secara eksplisit, GS menyerukan penghormatan, promosi, dan perlindungan hak-hak fundamental Masyarakat Adat dan komunitas lokal, serta memastikan toleransi nol terhadap kekerasan atau intimidasi terhadap pembela lingkungan. GS juga mengatur hak-hak perburuhan dan mencegah konsekuensi ekonomi negatif bagi kelompok rentan.
Plan Vivo (PV)
Plan Vivo adalah standar sertifikasi sukarela yang unik karena menempatkan mata pencaharian masyarakat sebagai inti dari solusi iklim, fokus pada program berbasis lahan dan penggunaan hutan oleh komunitas. Model Plan Vivo memastikan masyarakat adalah penerima manfaat utama. Model ini didasarkan pada restorasi lahan terdegradasi, pengembangan mata pencaharian, dan penguatan hak-hak lahan. Plan Vivo juga menggunakan inventory partisipatif, memadukan pengetahuan lokal dengan keilmuan ilmiah dalam MRV.
Kriteria Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)
Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) adalah persyaratan wajib untuk integritas sosial dan landasan yang diakui secara internasional. FPIC adalah hak kolektif Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MA/KL) untuk memberikan atau menahan persetujuan sebelum dimulainya kegiatan yang dapat memengaruhi hak, tanah, sumber daya, atau mata pencaharian mereka.
Empat Elemen Kunci FPIC:
- Bebas (Free): Keputusan dibuat tanpa paksaan atau manipulasi.
- Sebelum (Prior): Konsultasi harus dilakukan jauh sebelum aktivitas dimulai.
- Terinformasi (Informed): Penerima harus menerima informasi yang lengkap, dapat diakses, dan dipahami mengenai dampak potensial.
- Persetujuan (Consent): Hak untuk memberi, mengubah, menahan, atau menarik persetujuan kapan saja.
Standar berkualitas tinggi, seperti Gold Standard dan Plan Vivo, mengintegrasikan FPIC sebagai prinsip wajib. Hal ini memastikan bahwa proyek memiliki legitimasi lokal, yang secara langsung mengurangi risiko sengketa lahan dan kegagalan permanence di masa depan.
Table 3: Perbandingan Standar Kualitas Utama untuk Proyek Karbon Hutan (VCM)
| Standar | Fokus Utama | Kriteria Integritas Lingkungan | Persyaratan Sosial Kritis |
| — | — | — | |
| Verra VCS | Volume, skala proyek luas (AFOLU/REDD+). | Ketat pada Adisionalitas, menggunakan Non-Permanence Risk Tool. | Transparansi, namun fokus utamanya adalah akuntansi karbon. |
| Gold Standard (GS) | Dampak Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Climate & Development. | Mengharuskan bukti Additionality dan Permanence yang kuat. | Wajib Safeguarding Principles, termasuk FPIC, Hak Buruh, dan perlindungan komunitas. |
| Plan Vivo (PV) | Berbasis Komunitas (Smallholder/SHK) dan Mata Pencaharian Lokal (PES). | Memadukan ilmu ilmiah dengan pengetahuan lokal dalam MRV. | Memposisikan masyarakat sebagai penerima manfaat utama, penguatan hak lahan, dan pembangunan kapasitas. |
Kesimpulan
Analisis menyeluruh menunjukkan bahwa carbon offsetting berbasis hutan bukanlah solusi mandiri untuk krisis iklim atau krisis keberlanjutan pariwisata, tetapi ia adalah alat mitigasi yang sah hanya jika diterapkan dengan integritas yang luar biasa tinggi.
Jika offsetting dilakukan tanpa mengurangi emisi inti industri (terutama transportasi, yang menyumbang 49% emisi pariwisata ) dan tanpa mematuhi standar integritas sosial-lingkungan yang ketat, hal itu merupakan greenwashing. Kegagalan additionality yang struktural (tingkat kegagalan yang tinggi pada proyek offset ) menunjukkan bahwa proyek konservasi tunggal tidak dapat memecahkan akar masalah deforestasi yang didorong oleh kebijakan ekstraktif.
Carbon offsetting menjadi solusi sejati ketika:
- Dekarbonisasi Inti Diutamakan: Pembelian offset adalah langkah terakhir, digunakan hanya untuk emisi sisa yang secara teknis tidak dapat dihilangkan.
- Kualitas Lingkungan Terjamin: Adisionalitas, Permanensi, dan Kebocoran dikelola secara konservatif dengan metodologi ketat (misalnya, Verra’s AFOLU methodology).
- Keadilan Sosial Terpenuhi: Proyek harus memiliki legitimasi lokal yang kuat melalui kepatuhan penuh terhadap FPIC, Pengakuan Hak Tenurial, dan Mekanisme Pembagian Manfaat yang transparan, seperti yang disyaratkan oleh Gold Standard atau Plan Vivo.
Bagi pelaku industri pariwisata yang ingin mencapai tujuan keberlanjutan dan memitigasi risiko reputasi greenwashing, strategi mitigasi harus berfokus pada dua area utama: dekarbonisasi inti dan pengadaan kredit berintegritas tinggi.
Pertama, perusahaan harus memprioritaskan pengurangan emisi pada sumbernya, seperti investasi dalam efisiensi energi di fasilitas dan transisi ke bahan bakar rendah karbon untuk transportasi.
Kedua, pengadaan kredit harus diperlakukan sebagai investasi sosial dan lingkungan, bukan sekadar komoditas termurah. Disarankan agar perusahaan pariwisata melakukan due diligence ketat dengan:
- Memilih Standar Tertinggi: Mengutamakan pembelian kredit yang disertifikasi oleh Gold Standard atau Plan Vivo. Standar ini secara eksplisit menjamin co-benefit sosial, yang penting untuk industri yang sensitif terhadap citra.
- Memverifikasi FPIC: Memastikan proyek beroperasi di bawah Prinsip FPIC penuh dan memiliki Mekanisme Pembagian Manfaat yang transparan hingga tingkat tapak. Menghindari proyek yang memiliki catatan konflik tenurial, karena konflik ini secara langsung mengancam permanence proyek jangka panjang.
Untuk menjamin integritas NEK Indonesia dan memaksimalkan potensi hutan tanpa mengorbankan keadilan sosial, direkomendasikan tiga langkah kebijakan strategis:
- Penguatan Perlindungan Hak Tenurial: Pemerintah harus segera memperkuat regulasi yang melindungi dan mengakui hak-hak Masyarakat Adat. Pengakuan hak tenurial dan kepatuhan FPIC harus dijadikan prasyarat wajib untuk registrasi proyek karbon hutan di Sistem Registri Nasional (SRN). Hal ini adalah kunci untuk mengatasi penolakan MA dan menjamin permanence proyek.
- Penyelarasan Standar VCM dengan NEK: Mengembangkan pedoman yang jelas mengenai bagaimana kredit VCM berkualitas tinggi yang dibeli oleh industri pariwisata dapat diakui atau diintegrasikan di bawah kerangka NEK Indonesia, sambil tetap mempertahankan integritas tinggi (misalnya, berkolaborasi dengan standar global seperti Plan Vivo atau Gold Standard).
- Dukungan Infrastruktur Komunitas: Memberikan insentif dan dukungan legalitas yang lebih sederhana untuk skema hutan kerakyatan (SHK) dan model berbasis Plan Vivo. Model ini telah terbukti memperkuat ekonomi lokal dan ketahanan hutan , dan merupakan jalur yang efektif untuk mencapai keadilan iklim dalam struktur pasar karbon.


