Loading Now

Makanan Pokok Alternatif Indonesia dan Perkembangannya

Mengenai pangan pokok alternatif di Indonesia, yang berfokus pada dinamika terkini dan implikasinya di berbagai sektor. Meskipun beras secara historis mendominasi pola konsumsi nasional, ketergantungan ini menimbulkan kerentanan baik dari sisi ketahanan pangan maupun kesehatan masyarakat. Analisis menunjukkan bahwa inisiatif diversifikasi pangan lokal telah memperoleh momentum signifikan, didukung oleh sinergi antara kebijakan pemerintah, inovasi teknologi, dan kreativitas kuliner.

Temuan menunjukkan bahwa pangan lokal seperti jagung, singkong, sagu, ubi jalar, dan sorgum menawarkan keunggulan nutrisi yang superior, terutama dengan Indeks Glikemik yang jauh lebih rendah dibandingkan nasi putih, menjadikannya opsi krusial dalam mengatasi isu kesehatan nasional, seperti diabetes. Di sisi ekonomi, inovasi seperti pengembangan tepung mocaf (Modified Cassava Flour) telah mengubah singkong dari komoditas pertanian biasa menjadi produk industri bernilai tinggi dengan potensi ekspor yang menjanjikan. Ini juga membuktikan kelayakan finansial bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam rantai pasok.

Namun, tantangan signifikan masih tersisa. Kendala budaya yang menganggap nasi sebagai satu-satunya tolok ukur rasa kenyang masih kuat. Selain itu, inefisiensi dalam rantai pasok, mulai dari rendahnya produktivitas pertanian hingga infrastruktur distribusi yang belum merata, menjadi hambatan utama.

Sebagai kesimpulan, perkembangan pangan alternatif di Indonesia telah bertransisi dari sekadar wacana kebijakan menjadi gerakan multi-sektor yang nyata. Keberlanjutan dan keberhasilannya di masa depan akan sangat bergantung pada keberlanjutan intervensi kebijakan yang terpadu, investasi strategis dalam teknologi, serta kampanye edukasi yang mampu mengubah persepsi budaya secara fundamental.

Pendahuluan: Transisi Paradigma Pangan Nasional

Pangan adalah fondasi utama ketahanan dan kedaulatan sebuah bangsa. Di Indonesia, narasi pangan nasional telah lama berpusat pada satu komoditas tunggal: beras. Pola konsumsi yang sangat bergantung pada beras telah berlangsung selama beberapa dekade, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat konsumsi beras per kapita tertinggi di dunia. Ketergantungan yang masif ini, sebagaimana diidentifikasi oleh berbagai lembaga, menimbulkan kerentanan strategis. Secara ekonomi, tingginya permintaan beras yang tidak selalu dapat dipenuhi oleh produksi domestik memaksa pemerintah untuk melakukan impor, yang dapat mengganggu stabilitas pangan nasional dan ekonomi secara keseluruhan.

Lebih dari sekadar isu ketersediaan, dominasi beras juga memiliki implikasi serius terhadap kesehatan masyarakat. Nasi putih, dengan Indeks Glikemik (IG) yang tinggi, dapat berkontribusi pada peningkatan risiko penyakit kronis seperti diabetes. Realitas ini mendorong pergeseran paradigma, dari sekadar fokus pada swasembada beras menuju diversifikasi pangan yang lebih luas. Diversifikasi pangan, yang didefinisikan sebagai upaya mengurangi konsumsi beras dan menggantinya dengan sumber karbohidrat lain, kini dipandang sebagai langkah multi-lapis yang esensial.

Laporan ini bertujuan untuk mengupas tuntas lanskap pangan alternatif di Indonesia, menganalisis perkembangan mutakhir, serta menyajikan rekomendasi holistik yang dapat menjadi panduan strategis bagi para pemangku kepentingan. Analisis yang disajikan akan melampaui deskripsi faktual semata, dengan menelusuri dimensi nutrisi, ekonomi, sosial, kebijakan, dan inovasi kuliner. Laporan ini dibangun di atas premis bahwa diversifikasi pangan bukan hanya tentang ketersediaan makanan; ia adalah solusi komprehensif yang memengaruhi kesehatan masyarakat, memperkuat ekonomi lokal, mendukung keberlanjutan pertanian, dan pada akhirnya, memperkokoh kedaulatan pangan bangsa.

Potensi dan Profil Pangan Pokok Alternatif

Indonesia diberkahi dengan keanekaragaman hayati yang melimpah, menawarkan beragam sumber karbohidrat lokal yang memiliki potensi besar untuk menggantikan dominasi beras. Berbagai pangan lokal ini, yang telah menjadi makanan pokok di beberapa wilayah, kini mulai mendapatkan perhatian lebih sebagai bagian dari strategi pangan nasional.

Jagung

Sebagai salah satu sereal utama, jagung memiliki sejarah panjang sebagai makanan pokok di Indonesia. Jagung banyak dikonsumsi di wilayah dengan curah hujan rendah seperti Madura dan Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana ia diolah menjadi nasi jagung dan dikonsumsi layaknya nasi beras. Keterkaitan antara konsumsi jagung dan kondisi iklim ini menunjukkan adanya adaptasi ekologis dan kearifan lokal yang telah berjalan selama berabad-abad. Secara nutrisi, jagung unggul karena kaya akan serat, vitamin B kompleks (B1, B3, B5, B9), dan memiliki kandungan kalori yang relatif rendah sekitar 96 kkal per 100 gram. Kandungan seratnya yang tinggi efektif untuk mencegah sembelit, dan konsumsi 3 buah jagung dikategorikan setara dengan satu porsi nasi.

Singkong dan Produk Turunannya (Mocaf)

Singkong, atau ubi kayu, adalah umbi-umbian yang sangat umum dibudidayakan di seluruh nusantara. Singkong dikenal memiliki sumber serat tinggi dan kadar gula yang rendah, yang membuatnya efektif dalam mengurangi risiko diabetes. Dalam hal porsi, 1,5 potong singkong dikategorikan setara dengan satu porsi nasi. Meskipun sering diolah menjadi makanan tradisional seperti tiwul, gatot, dan getuk, potensi ekonomi singkong telah dielevasi melalui inovasi produk.

Salah satu inovasi paling signifikan adalah pengembangan tepung mocaf (Modified Cassava Flour). Mocaf adalah tepung singkong yang dimodifikasi melalui proses fermentasi, yang secara fundamental mengubah karakteristiknya menjadi mirip tepung terigu. Keunggulan mocaf sangat menonjol; ia bersifat bebas gluten, memiliki indeks glikemik yang rendah, dan kaya akan serat serta kalsium. Transformasi ini mengatasi salah satu tantangan terbesar bagi petani singkong, yaitu kesulitan menjual hasil panen dengan harga layak. Dengan diolah menjadi produk bernilai tambah seperti mocaf, singkong dapat menjadi komoditas industri yang menguntungkan.

Sagu

Sagu merupakan makanan khas Indonesia bagian timur, dengan persebaran alami yang melimpah, terutama di Maluku dan Papua. Selain potensinya yang sangat besar, sagu memiliki nilai guna yang tinggi, tidak hanya sebagai sumber karbohidrat, tetapi juga sebagai bahan baku industri dan bahkan sumber energi terbarukan. Dari perspektif kesehatan, sagu memiliki keunggulan yang signifikan dibandingkan nasi; patinya lebih mudah dicerna oleh tubuh, memiliki kandungan glukosa yang lebih sedikit, dan indeks glikemik yang lebih rendah. Sagu juga kaya akan antioksidan, seperti flavonoid dan tanin, yang berfungsi sebagai penangkal radikal bebas. Aspek lain yang membuat sagu menjanjikan adalah keramahannya terhadap lingkungan, di mana proses penanamannya tidak mengganggu ekosistem. Namun, tantangannya adalah mengubah persepsi masyarakat dari sekadar makanan lokal di daerah asalnya menjadi komoditas yang dapat diterima secara nasional.

Pangan Alternatif Lainnya

Selain tiga komoditas utama di atas, ada beberapa pangan lokal lain yang memiliki potensi serupa:

  • Ubi Jalar: Kaya akan vitamin A, C, dan serat, ubi jalar ideal untuk meningkatkan kesehatan mata, sistem kekebalan tubuh, dan pencernaan. Tanaman ini mudah dibudidayakan di berbagai kondisi tanah dan iklim, bahkan di lahan yang kurang subur, dengan biaya produksi yang relatif rendah.
  • Sorgum: Biji-bijian sereal ini kaya akan karbohidrat, protein, dan serat. Sorgum memiliki indeks glikemik yang rendah dan secara alami bebas gluten, menjadikannya pilihan yang sangat baik bagi penderita diabetes dan mereka yang memiliki penyakit celiac. Tanaman ini juga sangat tahan terhadap kondisi ekstrem dan dapat tumbuh di lahan kering.
  • Kentang: Meskipun tinggi antioksidan dan serat, kentang memiliki indeks glikemik yang sangat tinggi (sekitar 80–90). Ini menimbulkan paradoks; meskipun sering dipromosikan sebagai alternatif nasi, terutama dalam program diet, profil nutrisinya menuntut kehati-hatian, khususnya bagi individu dengan kondisi seperti diabetes.

Analisis Mendalam: Dimensi Nutrisi dan Kesehatan

Diversifikasi pangan bukan hanya tentang ketersediaan kalori, melainkan tentang kualitas nutrisi yang ditawarkan. Analisis mendalam menunjukkan bahwa pangan lokal alternatif sering kali memiliki profil nutrisi yang lebih unggul dari nasi putih, menjadikannya solusi strategis untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat Indonesia.

Perbandingan Nutrisi Kritis

Ketika membandingkan pangan pokok, penting untuk melihat lebih dari sekadar karbohidrat. Singkong, misalnya, mengandung sekitar 40 gram karbohidrat per 100 gram, sedikit lebih rendah dari nasi putih, namun dengan serat yang lebih tinggi. Pangan alternatif seperti singkong, jagung, dan sorgum memberikan energi yang lebih tahan lama berkat kandungan karbohidrat kompleksnya, yang dicerna lebih lambat oleh tubuh. Pangan-pangan ini juga sering kali menawarkan vitamin, mineral, dan antioksidan yang lebih beragam, mendukung pilar gizi seimbang yang dianjurkan oleh para ahli kesehatan.

Indeks Glikemik (IG) dan Implikasinya

Salah satu perbedaan paling krusial antara nasi putih dan pangan alternatif terletak pada Indeks Glikemik (IG). IG adalah ukuran seberapa cepat suatu makanan meningkatkan kadar gula darah setelah dikonsumsi. Makanan dengan IG tinggi (lebih dari 70) menyebabkan lonjakan gula darah yang cepat, sedangkan makanan dengan IG rendah (kurang dari 55) memiliki efek yang lebih stabil dan bertahap.

Kontradiksi muncul ketika kentang, yang sering dianggap makanan diet, memiliki IG yang sangat tinggi (80–90), bahkan lebih tinggi dari nasi putih (73). Sebaliknya, sebagian besar pangan lokal alternatif menunjukkan profil IG yang jauh lebih sehat. Jagung memiliki IG 46, ubi jalar 44, dan singkong sekitar 45–50. Sorgum juga tergolong rendah IG. Profil IG yang lebih rendah ini sangat relevan untuk kesehatan publik, khususnya dalam mengendalikan kadar gula darah pada penderita diabetes dan mencegah risiko penyakit terkait gula darah.

Tabel 1: Perbandingan Nutrisi Pangan Pokok

Pangan Pokok Kalori (per 100g) Karbohidrat (per 100g) Serat (per 100g) Indeks Glikemik (IG) Manfaat Utama
Nasi Putih 360 kkal 78,9 g 73 (tinggi) Sumber energi cepat
Singkong 160 kkal 40 g 2 g 45–50 (rendah) Serat tinggi, rendah gula, baik untuk pencernaan
Jagung 96 kkal 46 (rendah) Kaya vitamin B kompleks, antioksidan, mencegah sembelit
Sagu 332 kkal 73 g Rendah (tidak spesifik) Mudah dicerna, kaya antioksidan
Ubi Jalar 85,8 kkal Tinggi 44 (rendah) Kaya vitamin A & C, serat, baik untuk jantung
Sorgum 332 kkal 72 g 6,7 g Rendah Bebas gluten, mengontrol gula darah, menyehatkan jantung
Kentang 87 kkal Kaya 80–90 (tinggi) Kaya antioksidan & serat
Pisang 89 kkal 22,8 g 2,6 g Bervariasi (tergantung kematangan) Tinggi karbohidrat, zat besi, cocok untuk diet

Tabel ini secara visual memperjelas bahwa diversifikasi pangan ke arah jagung, singkong, ubi jalar, dan sorgum tidak hanya mendukung ketahanan pangan, tetapi juga menawarkan keunggulan nyata dalam manajemen kesehatan.

Dinamika Ekonomi dan Rantai Pasok

Keberhasilan diversifikasi pangan sangat bergantung pada kelayakan ekonomi dan efisiensi rantai pasok. Perkembangan terbaru menunjukkan adanya intervensi strategis dan inovasi yang berupaya mengatasi tantangan di sektor ini.

Produksi dan Penetapan Harga

Salah satu tantangan utama dalam diversifikasi pangan adalah memastikan petani mendapatkan harga yang layak. Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) telah mengambil langkah konkret dalam hal ini. Sebagai contoh, Kementan menetapkan harga singkong sebesar Rp1.350 per kilogram, meningkat dari harga sebelumnya Rp1.000 per kilogram. Penetapan harga ini merupakan respons langsung terhadap tuntutan petani dan bertujuan untuk menjaga kesejahteraan mereka. Intervensi harga ini secara langsung mengatasi salah satu kendala yang diidentifikasi dalam analisis, yaitu “tataniaga produk pangan yang belum pro petani”. Dengan memastikan harga yang adil, pemerintah mendorong petani untuk terus memproduksi, yang pada gilirannya menjaga pasokan bahan baku bagi industri.

Tantangan Logistik dan Distribusi

Meskipun produksi di tingkat hulu membaik, kendala masih banyak dijumpai di sektor logistik dan distribusi. Masalah ini mencakup infrastruktur yang belum memadai, sistem distribusi yang belum efisien, dan tingginya proporsi kehilangan hasil pasca-panen. Kerentanan ini dapat meningkatkan biaya logistik dan membuat harga produk pangan lokal menjadi kurang kompetitif.

Untuk mengatasi hal ini, Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah berinvestasi dalam penguatan logistik dan cadangan pangan. Bapanas menugaskan Bulog untuk mengelola komoditas strategis seperti padi dan jagung. Selain itu, Bapanas telah melakukan pengadaan sarana dan prasarana rantai dingin ( cold chain) seperti cold storage dan reefer container di beberapa provinsi sentra produksi. Langkah-langkah ini menunjukkan upaya pemerintah untuk menciptakan sistem logistik yang terintegrasi dan holistik.

Potensi Bisnis dan Pasar

Pangan alternatif, terutama yang diolah menjadi produk turunan, menawarkan peluang bisnis yang sangat prospektif. Analisis usaha untuk produksi tepung mocaf dan produk turunannya menunjukkan kelayakan finansial yang kuat. Kelompok usaha yang memproduksi tepung mocaf berhasil memperoleh nilai R/C rasio 1,01, yang berarti usaha tersebut layak dijalankan. Inovasi ini tidak hanya terbatas pada tepung; produk turunan seperti eggroll dan pangsit stik yang terbuat dari mocaf juga menunjukkan profitabilitas yang tinggi dengan R/C rasio masing-masing 1,9 dan 1,01.

Peluang bisnis ini meluas hingga ke pasar ekspor. Tepung mocaf telah berhasil menembus pasar internasional, dengan pengiriman ke Turki , Australia, Uni Emirat Arab, dan Amerika Serikat. Keberhasilan ekspor ini didorong oleh meningkatnya tren hidup sehat global dan permintaan akan produk bebas gluten.

Tabel 2: Analisis Ekonomi Pangan Alternatif (Studi Kasus Mocaf)

Parameter Analisis
Harga Bahan Baku Singkong Rp1.350 per kg (Harga ketetapan Kementan)
Harga Tepung Mocaf Curah Rp15.000 per kg
Harga Eceran Mocaf Rp18.500 – Rp28.800 per 500g – 1kg
Biaya Produksi Mocaf (per bulan) Rp35.736.000 (untuk 8.000 kg singkong)
Keuntungan Usaha Mocaf (per bulan) Rp264.000
Analisis Kelayakan Usaha (R/C Rasio) 1,01 (layak)
Keuntungan Produk Turunan (Eggroll) Rp48.431.000 per bulan

Perkembangan Sosial dan Kebijakan Pemerintah

Perubahan pola makan dari nasi ke pangan alternatif membutuhkan lebih dari sekadar ketersediaan produk; ia menuntut transformasi budaya dan dukungan kebijakan yang kuat.

Tantangan Budaya

Tantangan terbesar dalam diversifikasi pangan di Indonesia adalah pola pikir masyarakat. Kebiasaan makan adalah bagian integral dari warisan budaya. Hal ini tercermin dari pandangan yang mengakar kuat bahwa “belum makan kalau belum makan nasi”. Persepsi ini menciptakan hambatan sosial yang signifikan, karena pangan alternatif seperti umbi-umbian dan sagu sering kali dianggap sebagai makanan “kelas dua” atau sekadar camilan. Mengubah kebiasaan ini membutuhkan waktu dan edukasi yang berkelanjutan.

Strategi Pemerintah

Pemerintah telah secara proaktif merespons tantangan ini dengan berbagai strategi kebijakan.

  • Kerangka Kebijakan: Diversifikasi pangan kini menjadi agenda prioritas yang diatur dalam berbagai peraturan. Peraturan Presiden (Perpres) No. 104 Tahun 2021 mengalokasikan setidaknya 20% Dana Desa untuk program ketahanan pangan. Demikian pula,  Perpres No. 81 Tahun 2024 secara spesifik berfokus pada percepatan penganekaragaman pangan dengan mengoptimalkan sumber daya lokal. Kebijakan ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mendanai dan mengatur program diversifikasi dari tingkat pusat hingga ke desa.
  • Peran Bapanas: Badan Pangan Nasional (Bapanas) memegang peran sentral dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ini. Bapanas memiliki fungsi untuk mengkoordinasikan, merumuskan, dan mengawasi kebijakan terkait penganekaragaman konsumsi pangan. Salah satu program utamanya adalah kampanye  Pola Konsumsi Pangan Beragam, Bergizi Seimbang, dan Aman (B2SA) yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang manfaat pangan alternatif.

Pendekatan kebijakan ini menunjukkan pemahaman yang mendalam bahwa masalah pangan di Indonesia bersifat kompleks dan membutuhkan pendekatan holistik, tidak hanya dari sisi produksi, tetapi juga dari sisi konsumsi dan edukasi.

Kolaborasi Sektor

Perkembangan positif dalam diversifikasi pangan tidak lepas dari kolaborasi antar-sektor.

  • BUMN dan Swasta: Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor pangan, seperti ID FOOD, berkomitmen untuk mendukung implementasi diversifikasi pangan dengan meningkatkan kerja sama dengan UMKM dan komunitas pegiat pangan lokal. Keterlibatan sektor swasta juga didorong, seperti yang diungkapkan oleh Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi), yang menyatakan bahwa sinergi BUMN dan swasta sangat penting untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.
  • UMKM: Pemerintah memberikan perhatian dan bimbingan khusus pada UMKM pangan lokal. Dukungan ini mencakup aspek teknis seperti pengembangan produk, pengemasan, dan pelabelan, hingga bimbingan dalam perizinan dan pemasaran. Keberdayaan UMKM ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja baru, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.

Inovasi Kuliner dan Tren Pasar Terkini

Perkembangan pangan alternatif di Indonesia telah memasuki babak baru, di mana inovasi kuliner menjadi jembatan antara bahan baku lokal dan selera pasar modern. Kreativitas ini memainkan peran penting dalam mengubah citra pangan alternatif dari makanan tradisional menjadi pilihan yang trendi dan sehat.

Transformasi dari Tradisional ke Modern

Pangan lokal yang dulunya hanya diolah dengan resep tradisional kini telah mengalami metamorfosis. Singkong, misalnya, yang secara klasik diolah menjadi tiwul atau getuk , kini menjadi bahan dasar untuk kue kering (cookies), pie, dan berbagai olahan modern lainnya. Tepung mocaf memungkinkan singkong menjadi substitusi untuk tepung terigu dalam pembuatan roti, kue, dan bahkan mi. Demikian pula, sagu yang identik dengan papeda, kini dapat dihidangkan dengan kuah ikan modern. Kentang, yang biasa direbus atau digoreng, diubah menjadi  mashed potato yang creamy atau bahan untuk perkedel yang menarik.

Fenomena ini mencerminkan konsep glocalization, di mana bahan-bahan lokal diadaptasi ke dalam format kuliner global. Dengan mengemas pangan lokal dalam bentuk yang familiar bagi konsumen urban dan milenial, seperti kue bebas gluten atau camilan modern, inovasi ini berhasil memperluas pangsa pasar dan mengatasi hambatan persepsi.

Peran Digitalisasi dan Tren Pasar

Digitalisasi telah menjadi katalisator utama dalam memperluas jangkauan produk pangan lokal. Platform media sosial dan e-commerce menjadi kanal pemasaran yang efektif, memungkinkan UMKM untuk menjangkau konsumen secara lebih luas dan langsung. Pemasaran digital, edukasi, dan festival pangan lokal menjadi strategi yang terus didorong oleh berbagai pihak, termasuk ID FOOD.

Meskipun terdapat tren positif dalam inovasi produk, ada kesenjangan yang patut dicermati. Laporan menunjukkan bahwa meskipun ada banyak produk inovatif berbasis pangan alternatif, mereka belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam sektor food service arus utama. Restoran dan kafe modern di kota-kota besar, seperti Jakarta, masih belum secara eksplisit dan luas menawarkan pangan alternatif sebagai menu utama, dengan pengecualian beberapa hidangan tradisional. Hal ini menyiratkan bahwa promosi dan adopsi masih berada pada tahap awal dan lebih banyak terjadi di ranah UMKM dan pasar digital, bukan di sektor kuliner arus utama.

Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Perjalanan diversifikasi pangan di Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang nyata dan menjanjikan. Pangan lokal seperti singkong, jagung, dan sagu bukan hanya sekadar alternatif, melainkan aset strategis yang mampu memperkuat ketahanan pangan, meningkatkan kesehatan masyarakat, dan menggerakkan ekonomi lokal. Transformasi melalui inovasi, terutama dengan adanya mocaf dan kreasi kuliner modern, telah berhasil membuka peluang bisnis baru hingga ke pasar global.

Namun, keberlanjutan momentum ini bergantung pada kemampuan untuk mengatasi tantangan yang tersisa, terutama kendala budaya dan inefisiensi rantai pasok. Laporan ini menyimpulkan bahwa upaya diversifikasi pangan di Indonesia harus terus dilakukan melalui pendekatan yang terintegrasi dan holistik.

Untuk memastikan keberhasilan jangka panjang, laporan ini merekomendasikan langkah-langkah strategis berikut:

  1. Penguatan Kerangka Kebijakan dan Regulasi: Pemerintah perlu melanjutkan dan memperluas program-program yang telah berjalan, seperti kampanye B2SA dan alokasi dana desa untuk ketahanan pangan. Selain itu, kebijakan harga yang stabil dan pro-petani untuk komoditas strategis lainnya perlu dipertimbangkan untuk menjamin kesejahteraan produsen di tingkat hulu.
  2. Investasi dan Modernisasi Rantai Pasok: Mendorong investasi, baik oleh pemerintah maupun swasta, dalam teknologi pasca-panen dan infrastruktur logistik, seperti fasilitas rantai dingin, sangat krusial untuk mengurangi kehilangan hasil dan meningkatkan efisiensi distribusi. Fokus pada teknologi pengolahan, seperti mesin produksi mocaf, akan meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk lokal.
  3. Edukasi dan Kampanye Pemasaran yang Berkelanjutan: Diperlukan kampanye yang lebih kreatif dan masif untuk mengubah persepsi budaya masyarakat terhadap pangan non-beras. Pemasaran harus menargetkan segmen pasar yang lebih luas, termasuk generasi muda, dengan menekankan manfaat kesehatan dan nilai ekonominya. Kolaborasi dengan industri kuliner, seperti kafe dan restoran, dapat menjadi strategi efektif untuk memperkenalkan pangan alternatif ke pasar arus utama.

 

Post Comment

CAPTCHA ImageChange Image