Loading Now

Apropriasi vs. Apresiasi Budaya dalam Mode Global

Latar Belakang: Globalisasi Mode dan Krisis Kepemilikan Budaya

Globalisasi telah menempatkan industri mode dalam siklus inovasi yang tak berkesudahan, di mana kecepatan produksi masif yang didorong oleh fast fashion secara agresif mencari estetika baru. Dalam pencarian ini, motif dan desain busana etnik, yang kaya akan makna, warisan sejarah, dan spiritual, seringkali menjadi sasaran utama komodifikasi. Desain-desain ini diambil dari konteks asalnya dan diinjeksikan ke dalam rantai pasok global untuk keuntungan komersial, seringkali tanpa memperhatikan asal-usul, arti, atau dampaknya terhadap komunitas pencipta aslinya.

Tujuan analisis ini adalah untuk memetakan secara analitis garis batas etika antara pengambilan yang menghormati (apresiasi) dan pengambilan yang merugikan atau mengeksploitasi (apropriasi) dalam praktik desain internasional. Penting untuk menguji fenomena ini dalam konteks pasca-kolonial. Hubungan antara kelompok mayoritas yang dominan dan kelompok minoritas atau adat yang terpinggirkan saat ini dibentuk oleh ketidakseimbangan kekuasaan ekonomi dan historis yang diwarisi dari masa kolonial, yang memfasilitasi eksploitasi budaya tanpa konsekuensi yang setara bagi pihak yang mengambil.

Struktur Argumentasi: Mendefinisikan Batasan Moral dan Ekonomi

Argumentasi utama dalam laporan ini berpusat pada tiga pilar: konteks sosial, niat pelaku, dan konsekuensi ekonomi yang dihasilkan. Apresiasi budaya diartikan sebagai tindakan yang menghasilkan manfaat timbal balik dan pelestarian warisan budaya, yang melibatkan izin dan pengakuan formal. Sebaliknya, apropriasi budaya didefinisikan sebagai ekstraksi nilai simbolis dan ekonomi demi keuntungan budaya dominan atau perusahaan global, tanpa adanya mekanisme berbagi keuntungan atau pemahaman mendalam. Batasan antara keduanya bukanlah absolut, namun ditentukan oleh adanya ketimpangan kekuasaan yang menjadi ciri utama praktik eksploitasi.

Landasan Teoretis: Mendiferensiasi Apresiasi dan Apropriasi Budaya

Apresiasi Budaya (Cultural Appreciation): Prinsip Penghormatan dan Manfaat Bersama

Apresiasi budaya didefinisikan sebagai tindakan saling memahami, menghormati, dan memberi manfaat bagi kedua belah pihak ketika menerapkan atau menggambarkan sebuah budaya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), apresiasi mencakup kesadaran akan penilaian atau penghargaan terhadap suatu budaya dan nilai seni.

Karakteristik kunci dari apresiasi budaya dalam mode meliputi:

  1. Niat Tulus dan Pemahaman Mendalam: Apresiasi ditandai oleh rasa hormat dan pemahaman yang tulus terhadap warisan budaya yang diadopsi. Ini melampaui estetika superfisial dan mencakup riset mendalam mengenai makna, teknik, dan sejarah di balik motif tersebut.
  2. Saling Menguntungkan dan Pelestarian: Apresiasi budaya harus menghasilkan dampak positif, seperti mengangkat popularitas kebudayaan asal secara global, membantu melestarikan teknik tradisional yang terancam punah, dan membuka pasar baru yang etis bagi pengrajin lokal.
  3. Kolaborasi Formal dan Izin: Tindakan ini melibatkan konsultasi dan kerja sama resmi dengan pemilik budaya asal, seperti Kedutaan Besar atau komunitas penenun langsung, untuk memastikan kesesuaian dan atribusi yang layak.

Apropriasi Budaya (Cultural Appropriation): Mengambil Tanpa Konteks dan Izin

Apropriasi budaya adalah perbuatan mengambil atau menggunakan sesuatu dari sebuah budaya yang bukan milik sendiri, terutama tanpa menunjukkan pemahaman, penghormatan, atau penghargaan terhadap budaya tersebut. Istilah ini mulai digunakan dalam bidang akademik sejak tahun 1980-an untuk mendiskusikan isu kolonialisme dan dinamika hubungan antara kelompok mayoritas dan minoritas.

Implikasi negatif dari apropriasi sangat signifikan. Ketika elemen budaya digunakan dengan pemahaman yang salah atau tanpa konteks, makna atau arti sebenarnya dari motif tersebut dapat hilang, tereduksi, atau bahkan salah diartikan. Dalam konteks mode, apropriasi biasanya tidak melibatkan izin atau pengakuan terhadap pemilik budaya, sering disebut sebagai bentuk “cultural plagiarism”.

Variabel Penentu: Konteks Sosial, Niat, dan Dinamika Kekuasaan

Perbedaan antara apresiasi dan apropriasi budaya tidak dapat disederhanakan menjadi penilaian niat semata. Garis batasnya bersifat dinamis dan ditentukan oleh tiga faktor utama: konteks sosial, niat pelaku, dan yang paling krusial, hubungan ketidaksetaraan kekuasaan antara budaya dominan dan terpinggirkan.

Apropriasi sering terjadi saat budaya dominan mengeksploitasi budaya minoritas, yang secara inheren menciptakan ketimpangan struktural dan memicu tuduhan ketidakpekaan. Jika niat seorang desainer mungkin tulus untuk menghormati, tetapi tindakan tersebut dilakukan dalam konteks ketidakseimbangan kekuasaan tanpa mekanisme benefit-sharing yang formal dan pengakuan yang adil, maka tindakan tersebut pada akhirnya berfungsi sebagai eksploitasi. Diskusi etika harus diangkat dari ranah etika personal desainer ke ranah etika struktural industri.

Tabel I: Matriks Kriteria Diferensiasi: Apresiasi vs. Apropriasi Budaya dalam Mode

Kriteria Penilaian Apresiasi Budaya (Penghormatan & Etika) Apropriasi Budaya (Eksploitasi & Dominasi)
Niat Dasar Penghormatan, pembelajaran mendalam, dan pertukaran timbal balik.3 Pengambilan untuk tujuan komersial atau estetika superfisial tanpa pemahaman.
Dinamika Kekuasaan Mengakui dan mengatasi ketimpangan kekuasaan; memberi atribusi dan kompensasi yang layak. Terjadi dari budaya dominan/global ke budaya minoritas/terpinggirkan, menciptakan ketidaksetaraan
Keterlibatan Komunitas Melibatkan izin formal, riset mendalam, kolaborasi dengan pemilik EBT, dan konsultasi budaya. Pengambilan tanpa izin atau pengakuan terhadap pemilik budaya, seringkali melalui “cultural plagiarism”.
Dampak Ekonomi Menciptakan pasar baru, melestarikan teknik tradisional, dan berbagi keuntungan yang adil. Devaluasi keterampilan leluhur, memiskinkan pengrajin lokal, dan keuntungan yang tidak adil.

Analisis Akar Masalah: Ketidakseimbangan Kekuasaan dan Warisan Kolonial

Mode sebagai Lahan Pasca-Kolonial

Dinamika apropriasi budaya saat ini tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa mengulas konteks sejarah penjajahan. Masa kolonial, seperti penjajahan Belanda di Indonesia, memiliki dampak yang mendalam dan abadi pada struktur budaya dan sosial. Meskipun terjadi perpaduan tradisi, ini juga mencerminkan warisan dominasi yang menghasilkan budaya hibrida. Struktur historis inilah yang membentuk kesenjangan kekuasaan di mana praktik apropriasi dapat berkembang.

Kesenjangan kekuasaan antara budaya yang mengadopsi (Barat atau merek global) dan budaya yang diadopsi (komunitas adat atau minoritas) secara signifikan memperumit dinamika apropriasi. Budaya yang dominan seringkali memiliki kekuatan finansial, hukum, dan pasar yang tak tertandingi untuk mengambil, mereplikasi, dan menjual ulang motif budaya terpinggirkan dalam skala global. Dalam kondisi ini, praktik pengambilan elemen budaya hampir selalu rentan terhadap tuduhan eksploitasi, terlepas dari niat awal desainer.

Komodifikasi Identitas: Mengubah Makna Sakral menjadi Estetika Konsumsi

Motif etnik bukanlah sekadar pola visual; mereka seringkali memiliki makna ritual, sejarah, atau spiritual yang mendalam, mewakili identitas komunal atau silsilah leluhur. Apropriasi budaya berfungsi mengeliminasi makna sakral ini dan mereduksinya menjadi tren musiman atau estetika konsumsi semata. Pengambilan simbol-simbol yang semula dikenakan oleh Shaman atau pemimpin spiritual, seperti kasus label fashion KTZ yang mereplikasi pakaian Aua, salah satu Shaman Inuit Kanada terakhir, menunjukkan dekontekstualisasi ini.

Komodifikasi ini menghapus “keberlainan” dan sensitivitas konteks yang penting untuk menilai interaksi budaya. Ketika sebuah motif membutuhkan seratus jam pengerjaan tangan dan memuat kisah mitologis yang diwariskan turun-temurun, nilai intrinsiknya tak terukur. Namun, ketika merek global mereplikasi pola tersebut dalam hitungan detik melalui pencetakan digital dan menjualnya dengan harga murah, mereka tidak hanya mencuri desain tersebut. Mereka secara efektif mengekstrak dan menghancurkan nilai simbolis dan waktu yang tertanam di dalamnya, lalu menguangkannya. Proses ekstraksi nilai simbolis tanpa kompensasi atas warisan yang diwariskan ini merupakan bentuk neokolonialisme ekonomi dalam industri mode.

Model Eksploitasi Industri: Peran Fast Fashion dan Reproduksi Massal

Eksternalitas Negatif Fast Fashion dan Motif Etnik

Industri fast fashion beroperasi berdasarkan siklus produksi yang masif, cepat, dan berfokus pada kuantitas, bukan kualitas atau etika produksi. Model ini kontras tajam dengan filosofi slow fashion, yang memprioritaskan proses beretika, daya tahan tinggi, dan kualitas jangka panjang.

Ketika motif etnik dimasukkan ke dalam model fast fashion, warisan budaya tersebut terseret ke dalam sistem produksi yang destruktif. Fast fashion adalah salah satu konsumen air terbesar di dunia, menghasilkan polusi air masif dari proses pewarnaan, dan menyumbang sekitar 10% dari total emisi gas rumah kaca global. Sifat cepat usang dari produk-produk ini juga menghasilkan limbah tekstil yang sangat besar. Dengan mengkomodifikasi motif etnik dalam sistem yang secara ekologis dan etis tidak berkelanjutan, fast fashion turut merusak nilai warisan budaya yang diakuinya “apresiasi.”

Devaluasi Keterampilan Leluhur dan Pemiskinan Komunitas Adat

Salah satu praktik apropriasi yang paling merusak adalah penggantian keterampilan leluhur yang intensif waktu dengan teknologi manufaktur yang murah. Kasus MaxMara yang menjual pakaian dengan pola yang identik dengan bordir tradisional masyarakat Oma, namun pola tersebut hanya dicetak digital pada kain—bukan disulam tangan—menggambarkan devaluasi keterampilan ini. Replikasi yang cepat dan murah ini mendevaluasi kerajinan tangan dan waktu yang dibutuhkan oleh pengrajin tradisional.

Dampak ekonominya bersifat destruktif. Reproduksi massal yang dilakukan oleh merek-merek fast fashion secara langsung merusak dan memiskinkan ekonomi pengrajin lokal dan komunitas adat. Pengrajin tradisional tidak mampu bersaing dengan harga yang ditawarkan oleh perusahaan global yang memproduksi volume tinggi dengan biaya minimal. Fenomena ini menciptakan rantai nilai terbalik, di mana perusahaan mode mendapatkan keuntungan dari identitas komunitas (motif) tanpa berinvestasi pada kelangsungan hidup ekonomi komunitas tersebut. Hal ini berisiko menyebabkan hilangnya teknik dan pengetahuan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun.

Studi Kasus: Menarik Garis Batas Etika

Kasus Apropriasi Terang-terangan (Cultural Plagiarism)

Kasus-kasus berikut mencontohkan pengambilan yang dilakukan tanpa izin, pengakuan, atau kompensasi yang layak, seringkali melibatkan replika nyaris identik (cultural plagiarism):

  • KTZ dan Shaman Inuit Kanada: Label mode Inggris, KTZ, mereplikasi nyaris identik pakaian yang dirancang dan dikenakan oleh Aua, salah satu Shaman Inuit Kanada.
  • Isabel Marant dan Komunitas Purépecha: Desainer Isabel Marant dituduh mengambil desain dan pola unik milik komunitas Purépecha dari Michoacan, Meksiko, yang menjadi salah satu dari banyak tuduhan apropriasi terhadap merek tersebut.
  • Merek Global di Meksiko: Zara, Patowl, dan Anthropologie dituduh menggunakan pola-pola khas yang menjadi ciri khas komunitas adat Meksiko, seperti desain Huipil milik komunitas Mazatec.
  • Urban Outfitters dan Navajo: Penggunaan nama Navajo dan motif ala Navajo pada berbagai produk, mulai dari sweater hingga pakaian dalam, menunjukkan komodifikasi identitas suku tanpa konsultasi atau pembagian keuntungan.

Kasus Apresiasi Sejati: Kolaborasi yang Beretika dan Berbasis Riset

Apresiasi sejati menuntut investasi waktu, riset, dan due diligence budaya, serta komitmen untuk berbagi manfaat.

Studi Kasus 1: Dior dan Kain Endek Bali (Indonesia)

Rumah mode Dior menggunakan kain Endek Bali dalam koleksinya di Paris Fashion Week. Tindakan ini secara luas dianggap sebagai apresiasi budaya karena memenuhi kriteria etika yang ketat. Direktur Artistik Dior secara eksplisit menyatakan bahwa inspirasi didapatkan dari kebudayaan serta craftmanship Indonesia, terutama para penenun Bali. Pihak Dior melakukan riset mendalam serta berkolaborasi secara formal dengan Kedutaan Besar Indonesia di Paris untuk memastikan kesesuaian dengan kebudayaan dan warisan Bali. Kolaborasi ini menghasilkan manfaat ganda: pengangkatan popularitas global bagi Endek Bali dan validasi formal atas nilai warisan budaya Indonesia. Kasus ini menunjukkan bahwa apresiasi yang berhasil membutuhkan lapisan formal (pemerintah/institusi) untuk memvalidasi otentisitas dan memastikan perlindungan warisan budaya, bukan sekadar hubungan desainer-pengrajin.

Studi Kasus 2: Sheep Inc. x Yawanawá (Brasil)

Kemitraan antara merek pakaian carbon negative Sheep Inc. dan komunitas adat Yawanawá di Brazil, difasilitasi oleh UNDP Equator Initiative, mencontohkan model kolaborasi dekolonial.Kolaborasi ini secara eksplisit mengakui peran penting masyarakat adat sebagai custodian paling efektif atas lahan mereka dalam agenda iklim dan keanekaragaman hayati. Kemitraan ini bertujuan untuk mengubah model bisnis usang, mengintegrasikan inisiatif dari masyarakat adat ke dalam solusi pembangunan berkelanjutan (SDGs), dan memastikan bahwa sumber daya serta keuntungan berkontribusi pada mereka yang menjaga lahan paling kaya keanekaragaman hayati di Bumi.

Tantangan dan Mekanisme Perlindungan Hukum Atas Pengetahuan Tradisional (TK)

Kesenjangan dalam Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Klasik

Perlindungan desain etnik, yang merupakan bagian dari Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) atau Pengetahuan Tradisional (TK), menghadapi tantangan besar dalam kerangka hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) konvensional (Hak Cipta, Paten, Desain Industri). Hukum HKI klasik bersifat individual, berjangka waktu, dan berorientasi kapitalis. Prinsip-prinsip ini secara fundamental bertentangan dengan sifat TK/EBT yang bersifat komunal, abadi (diwariskan turun-temurun), dan non-kapitalis.

Secara teknis, pengetahuan tradisional sering disebarkan secara lisan, sehingga sulit dibuktikan atau didokumentasikan dalam sistem hukum yang memerlukan pendaftaran formal. Lebih lanjut, keterbukaan praktik dan desain masyarakat adat sering kali menghambat perlindungan melalui paten atau desain industri karena EBT tersebut tidak memenuhi syarat “kebaruan” atau “kerahasiaan” yang disyaratkan oleh HKI. Ketiadaan kerangka hukum yang kuat (seperti Undang-Undang sui generis khusus) menyebabkan kolaborasi yang etis sangat bergantung pada itikad baik perusahaan, menciptakan risiko moral hazard di mana merek fast fashion dapat meniru tanpa takut sanksi hukum yang komprehensif.

Tabel II: Analisis Kesenjangan Perlindungan Hukum Klasik terhadap EBT

Aspek Hukum/Etika Karakteristik Pengetahuan Tradisional (EBT) Tantangan dalam Kerangka HKI Klasik Solusi yang Diperlukan (WIPO/Lokal)
Sifat Kepemilikan Komunal, diwariskan, anonim. HKI (Hak Cipta/Paten) bersifat individual dan kapitalis. Pengakuan Kepemilikan Komunal oleh Negara (KIK) dan UU Sui Generis.
Bentuk Transmisi Lisan, praktik, sulit dibuktikan secara tertulis. Membutuhkan dokumentasi dan pendaftaran formal untuk perlindungan. Dokumentasi dan Inventarisasi KIK untuk Perlindungan Defensif.
Syarat Perlindungan Terbuka bagi komunitas adat, sudah diketahui umum. Tidak memenuhi syarat “kebaruan” dan “kerahasiaan” untuk Paten atau Desain Industri. Instrumen internasional WIPO (IGC GRTKF) dan Peraturan pembagian hasil.

Upaya Global dan Nasional dalam Melindungi Pengetahuan Tradisional

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah untuk mengatasi kesenjangan ini dengan melakukan inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal (KIK). Tujuan dari inventarisasi ini adalah untuk perlindungan defensif—memperkuat kedaulatan, menyediakan bukti kepemilikan, dan mencegah pemanfaatan KIK tanpa izin atau pembagian keuntungan yang tidak adil.

Di tingkat regulasi nasional, Undang-Undang (UU) telah memuat ketentuan yang relevan. UU Paten (No. 13 Tahun 2016) mewajibkan penyebutan jelas dan benar asal sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional dalam deskripsi invensi, serta mengatur pembagian hasil pemanfaatan. Selain itu, Hak Cipta atas Ekspresi Budaya Tradisional secara eksplisit dipegang oleh Negara.

Secara internasional, Komite Antarpemerintah tentang HKI dan Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional, dan Folklor (IGC GRTKF) di bawah naungan World Intellectual Property Organization (WIPO) secara aktif memperjuangkan instrumen hukum internasional untuk perlindungan EBT. WIPO juga telah menerbitkan draf panduan untuk desainer global mengenai pertimbangan etis ketika menggunakan elemen EBT. Namun, solusi pamungkas yang disarankan oleh pakar hukum adalah pembentukan Undang-Undang khusus (sui generis) yang bersifat komprehensif untuk melindungi pengetahuan tradisional secara holistik, di luar kerangka HKI yang ada.

Rekomendasi Etis dan Jalan Menuju Mode yang Dekolonial

Kerangka Kerja Etika untuk Perancang Busana Global

Untuk bergerak melampaui apropriasi dan menuju apresiasi, perancang busana global harus mengadopsi kerangka kerja etika yang ketat, yang dapat diringkas sebagai Prinsip 4R: Respect, Research, Recognition, and Reciprocity.

  1. Respect (Hormat): Menghargai makna budaya di balik motif.
  2. Research (Riset): Melakukan riset mendalam dan due diligence budaya untuk memahami konteks sosial dan spiritual desain.
  3. Recognition (Pengakuan): Memberikan atribusi yang jelas dan formal kepada komunitas asal.
  4. Reciprocity (Timbal Balik): Memastikan adanya kompensasi dan pembagian manfaat yang adil.

Perusahaan mode memiliki kewajiban untuk berkonsultasi dengan otoritas atau perwakilan sah komunitas asal sebelum memproduksi dan memasarkan desain yang terinspirasi dari EBT, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kolaborasi sukses Dior dengan Kedutaan Besar Indonesia.

Model Berbagi Keuntungan (Benefit Sharing) yang Transparan

Kolaborasi etis tidak boleh berhenti pada pembayaran one-off. Diperlukan adanya perjanjian hukum yang mengatur pembagian royalti yang berkelanjutan. Dana atau manfaat yang dihasilkan harus dialokasikan untuk melestarikan tradisi, teknik pengerjaan, atau untuk mengembangkan kapasitas ekonomi komunitas yang menyediakan desain.

Selain itu, industri mode harus mengadopsi model produksi slow fashion dan etis, menjauh dari fokus pada kecepatan dan kuantitas. Dengan menghargai proses pengerjaan yang lambat, beretika, dan berkualitas tinggi, merek global dapat secara struktural mendukung keberlanjutan ekonomi pengrajin, bukan justru mempercepat pemiskinan mereka melalui replikasi murah.

Peran Pemerintah dan Komunitas Adat dalam Penguatan Kedaulatan Budaya

Kedaulatan budaya membutuhkan dukungan institusional. Pemerintah harus mempercepat pembentukan kerangka hukum sui generis untuk melindungi Pengetahuan Tradisional dan EBT secara komprehensif, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat adat Indonesia.

Penguatan inventarisasi KIK penting sebagai alat perlindungan defensif, memberikan komunitas adat dasar hukum untuk menuntut hak mereka ketika terjadi pelanggaran. Sementara itu, komunitas adat harus diberdayakan untuk secara aktif mendokumentasikan dan mempublikasikan desain tradisional mereka, misalnya melalui inisiatif basis data (seperti #NotPublicDomain), guna memastikan bahwa warisan mereka diakui sebagai milik komunal yang dilindungi dan bukan sebagai domain publik yang bebas dieksploitasi.

Kesimpulan

Apropriasi budaya dalam mode adalah fenomena yang berakar pada ketidakseimbangan kekuasaan pasca-kolonial, yang diperkuat dan diakselerasi oleh kapitalisme industri fast fashion. Garis batas antara apresiasi dan eksploitasi bukanlah semata-mata masalah niat pribadi, melainkan masalah dampak ekonomi riil, dinamika kekuasaan, dan ketersediaan struktur hukum untuk perlindungan komunal.

Apropriasi adalah pengambilan yang merusak nilai simbolis dan ekonomi, sementara apresiasi adalah pertukaran yang bersifat restoratif dan saling menguatkan. Untuk dianggap sebagai penghormatan, sebuah tindakan harus didasarkan pada riset yang mendalam, izin yang formal, atribusi yang transparan, dan model berbagi keuntungan yang berkelanjutan. Mode global memikul kewajiban moral dan etis yang mendalam untuk beralih dari model ekstraksi budaya pasif menuju kolaborasi aktif dan dekolonial. Masa depan mode yang benar-benar berkelanjutan harus menjamin bahwa warisan budaya dihargai, dilindungi secara hukum, dikompensasi secara adil, dan didasarkan pada prinsip kedaulatan budaya bagi komunitas asal.